GANTI FONT BLOG INI!

Al Quran Dalam Kacamata Sunni dan Mu’tazillah

Al Quran merupakan kalam Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sebagai pamunkas dari syariah para rosul terdahulu. Pembahasan tentang al Quran sejak dahulu menimbulakan pro dan kontra di kalangan para ulama sendiri, bahkan yang lebih miris, saling menkafirkan satu sama lain. Semua menklaim bahwa golongan merekalah yang benar dan yang lain adalah sesat kemudian harus di berantas sampai ke akar-akarnya. Munkin topik ini sudah di anggap usang, tapi disini kita perlu mengulasnya lagi untuk menyegarkan ingatan kita, dan mencari tahu akar perselisihan di kalangan ulama waktu itu.

Awal Munculnya faham “al Quran adalah makhluk”

Ja’ad bin Dirham, sosok itulah yang pertama kali mendengungkan dan mengatakan al-Quran adalah makhluk yang karena ucapanya itu dia langsung di hukum pancung oleh Khaled bin Abdullah al Qasary gubernur Kufah pada saat itu.
Kalau boleh penulis urutkan, benih-benih fikiran atau ide tentang al Quran itu makhluk sebenarnya sudah mulai ada pada zaman Rosulllah. Yaitu Labid bin A’sham , seorang Yahudi yang pernah melakukan santet atau sihir terhadap Rosul, dia mengatakan bahwa Taurat adalah makhluk. Kemudian oleh Thaalut seorang kafir zindik yang juga murid dia, ide Labid ini di tulis dan di ajarkan kepada murid dia bernama Abaan bin Sam’aan, kemudian baru di munculkan ke khalayak umum oleh Ja’ad bin Dirham, terus di kembangkan lagi oleh Jahm bin Shafwan yang kemudian di kenal dengan aliran Jahmiyah. Pada masa khalifah Harun ar-rasyid, wacana tentang faham ini kembali di lontarkan lagi ke publik oleh Basr al Marisy salah satu punggawa Mu’tazillah yang juga murid Jahm bin syafwan, Namun karena pemerintah pada saat itu masih belum pro dengn mereka, usaha mereka mengalami kegagalan dan berlahan sirna, bahkan pemerintan sempat berniat memburu penyebar faham tersebut untuk di eksekusi . Kemudian baru Setelah Khalifah Harun ar-Rasyid meninggal dan di gantikan oleh putranya al Ma’mun, mereka kembali menyebarkan faham tersebut, dan yang lebih membuat mereka bahagia, faham tersebut disambut hangat oleh Khalifah al Ma’mun (218 H) ini semua tidak lepas dari peran Basr bin Syafwan yang merupakan guru al Ma’mun , dia juga yang menanamkan akidah Mu’tazillah kedalam fikiran al Ma’mun. Semua usaha Mu’tazillah mencapai puncaknya di akhir pemerintahan beliau, dengan menjadikanya akidah dan peraturan pemerintah pada waktu itu. Dari sinilah di mulai zaman fitnah bagi umat islam. Al Ma’mun mengeluarkan keputusan pemerintah untuk memanggil semua ulama-ulama terkemuka pada masa itu untuk di interogasi guna mengetahui pendapat mereka tentang al Quran. Salah satu Ulama hadist yang dengan lantang mengatakan al Quran bukan makhluk adalah Imam Ahmad bin Hambal (241 H) dan karena keberanian itu, beliau di penjara dan mendapat perlakuan yang keji dan tidak manusiawi.

Lebih lanjut lagi, untuk mengekalkan akidah Mu’tazilah pada periode itu, al Ma’mun memberikan wasiat kepada saudara dia al Mu’tasim yang akan menggantikanya kelak untuk meneruskan apa yang dia yakini, kemudian berlanjut hingga pemerintahan al Watsiq bin al Mu’tasim(232 H). setelah al Mutawakil (247 H) naik tahta menggantikan al Watsiq, terjadi perombakan besar-besaran di tubuh pemerintahanya, banyak menteri-mentri yang di pecat, dan diganti dengan yang baru, para tahanan politik semisal Imam Ahmad bin Hambal di keluarkan dari penjara dan di beri kedudukan terhormat menjadi penasehat Khalifah. sampai - sampai al Mutawakil tidak akan mengankat gurbernur sebelum meminta pendapat dari Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian sebagai bantuk simpatinya terhadap apa yang terjadi di masa lalu, al Mutawakil mengeluarkan mandat berupa larangan kaum muslimin belajar agama kecuali apa-apa yang ada pada al Quran dan al Hadist. Dan larangan menkaji dan membahas tentang “al Quran adalah makhluk”, hukumanya sangat berat bila ada yang melanggarnya . dan inilah akhir dari bencana dan cobaan yang di alami kaum muslimin. Khususnya golongan Sunni yang terpojokan dan teraniaya pada masa Kholifah al Mu’tasim sampe al Watsiq.

Itulah seklumit gambaran tentang perbedaan yang terjadi antara Sunni versus Mu’tazillah yang sangat mengerikan apabila pemerintahan ikut mem-back up dan memihak salah satu dari mereka. Kemudian pada pembahasan selanjutnya penulis akan mencoba memberikan contoh perkhilafan yang terjadi beserta dali-dalilnya. So stay there with me……!!!!

Sunni Versus Mu’tazillah

Kalau kita mau cermati lebih dalam, sebenarnya kedua sekte ini mempunyai titik temu dan niat yang sangat luhur, yaitu sama - sama ingin menjaga akidah umat dengan meletakan sifat-sifat yang patut buat Allah dan membuang semua yang tidak pantas bagiNya. Itu yang sementara penulis bisa tangkap. Namun semua berubah ketika sampai pada ranah politik praktis, mereka lupa satu hal yang jauh lebih penting dari segalanya yaitu persatuan umat islam sebagaimana firman Allah :

“Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (QS. Ali Imran : 103).
Penulis tidak akan terlalu panjang beretorika, karena semua itu akan membuang-buang waktu, kita mulai saja pembahasan kali ini dengan bacaan Basmalah.

Dalil – dalil ulama’ Sunni:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya” (QS. Ar-Rum : 25).
dalam redaksi arabnya tertulis “Bi amrih” maksudnya ucapan atau kalam Allah .

”Alaa lahu al khalq wa al amr”. (QS.al-A’raaf : 54).
Al Khalq di sini bersifat umum, mencakup semua yang di ciptakan Allah. Dan tidak ada yang bisa membuang sifat keumuman di sini kecuali dengan dalil. Karena sebuah ucapan jika kalimat-kalimatnya menunjukan arti umum, maka kalam tersebut hakekatnya umum. Oleh karena itu ketika di ucapkan “alaa lahu al khalq” maksudnya semua makhluk, dan ketika mengatakan “Al amr” menunjukan makna lain yang bukan “khalq”. Kesimpulanya adalah “amrullah” bukan makhluk .

Dalil lain yang menunjukan al Quran bukan makhluk:

”Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", maka jadilah ia.(QS. An-Nahl : 40).
Jika al Quran adalah makhluk maka akan menjadi obyek ucapan “kun fayaun”, dan ketika Allah berkata kepada kalimat “kun”, maka kalimat “kun” juga akan mempunyai ucapan, akhinya akan terjadi musalsal ata sesuatu yang tidak berujung. Dan semua itu mustahil bagi Allah .

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. al- Kahfi : 109).
Kalau pena - pena menulis kalimat–kalimat Allah dengan lautan sebagai tintanya, niscaya lautan itu akan habis dan pena–pena itu patah sebelum menulis semua kalimat–kalimat Allah yang tidak akan habis dan rusak, sebagaimana ilmu Allah, kalau ada dzat yang kata–katanya habis maka otomatis dia akan diam. Kalau itu suatu hal yang mustahil bagi Allah, maka Allah senantiasa berfirman .

”Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." .

Bagaimana munkin al Quran itu makhluk, sedangkan nama–nama Allah ada didalam al Quran, kalau dipaksakan juga akan terjadi pemahaman, nama–nama Allah juga makhluk seperti keesaan Allah, ilmu Allah, kudrat Allah, dan lain–lain. Maha suci Allah dari semua itu.

Dalil–Dalil Ulama Mu’tazilah.

wamaa ya’tii him mindzikrim min ar rahmaani muhdatsin”.(QS. asy - Syu’araa’ : 5 ) Mereka berkata, al dikzr dalam ayat tersebut adalah al Quran dengan dalil fiman Allah dalam ayat lain, “wahaadzaa dzikrum mubaarakun” (QS. al – Anbiyaa’ : 50 ). Dari kedu ayat ini jelas bahwa al dikr adalah muhdits atau baru, segala sesuatu yang baru pasti ada yang menciptakan. Dan segala yg di ciptakan adalah makhluk. Kesimpulnya al
Quran adalah mahkluk .

”kitabun unzila ilaika” (QS. al A’raaf : 2) al Quran dalam ayat ini di sifati unzila yang berarti di turunkan, sesuatu yang turun pasti mengalami perpindahan dari satu tempat ketempat lainya. Hal–hal yang mengalami kondisi seperti itu tidak bisa kita katakan qodim atau dahulu, sesuatu tersebut pasti hadits atau baru. Dengan demikian al Quran adalah makhluk .

”Allahu khaaliqu kulli syaii” (QS. ar Ra’d : 16). Menurut Mu’tazillah ayat ini mempunyai arti Allah menciptakan segala sesuatu. Dan al Quran bukan Allah, otomatis ia adalah makhluk. Karena masuk dalam keumuman ayat diatas .

”Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. al Baqarah : 106) .

Mu’tazilah mengambil istifaadah dari ayat ini sebagai berikut :

Pertama : Kalam Allah jika kita katakan qodim maka nasikh atau mansukh secara otomatis juga qodim, dan itu hal yang mustahil. Sebab nasikh turun setelah masukh, segala hal yang turun belakangan tidak bisa kita katakan qodim. Begitu juga hal yang dihapus atau mansukh, tidak munkin punya sifat qodim.

Kedua : ayat di atas secara jelas menunjukan ada pembagian ayat, satu ayat lebih baik dari ayat lainya. Hal yang demikian tidak bisa kita katakan qodim.

Ketiga: firman Allah “alam ta’lam annallaha a’laa kulli syaiin qadiir” menunjukan bahwa Allah mampu mengapus ayat al Quran dan menggantinya dengan yang lebih baik, dengan demikian, segala sesuatu yang masuk dalam qadrat Allah dan berupa pekerjaan adalah muhdist.

Akar perselisihan antara Sunni dan Mu’tazilah

Khilaf yang terjadi antara Mu’tazilah yang mengatasnamakan diri sebaga ahli al adl wa tauhid, dan sunni yang berpegang teguh pada hadis–hadis atau ayat al Quran yang di fahami generasi soleh terdahulu atau lebih masyhur salaf as saaleh, terletak pada cara pandang mereka berdua mengenai sifat–sifat Allah.

Mu’tazilah berargumen sifat–sifat Allah sejatinya adalah dzat Dia sendiri. Allah mengetahu, berbicara, berkuasa dengan dzatNYA sendiri tanpa butuh sifat ilm, kalam, dan iradah atau sifat–sifat ma’aai lainya, yang merupakan di luar dzat Allah. Dengan kata lain, Mu’tazilah menafikan sifa–sifat ma’aani bagi Allah. Dasar mereka, jika sifat–sifat ma’aani ada pada dzat allah akan mengakibatkan tasybih dan ta’addud al qidam yang akan berujung pada penafian keesaan Allah. Maka dari itu, mereka mengatakan al Quran adalah makhluk .

Adapun ulama–ulama Sunni mempunyai pandangan lain bahwa sifat–sifat yang ada pada dzat Allah mempunyai kelaziman sifat yang disebut juga sifat–sifat ma’aani yang jumlanya ada tujuh (ilmu, iradah, qudrah, hayat, sam’un, basrun, kalam) . Allah mengetahui maka lazimnya harus ada sifat ilmu, Allah berkata otomatis harus ada kalam dan seterusnya. Menurut mereka sifat – sifat ma’aani punya hukum sebagai berikut :

  • Bukan dzat Allah, dengan kata lain berdiri sendiri.
  • Menyatu dengan dzat Allah.
  • Semua sifat – sifat ini qodim, dan azali.

Di sinilah titik perbedaan diantara kedua kubu yang akan berujung pada cara pandang mereka terhadap al Quran, apakah ia makhluk atau tidak.

Poin–poin yang bisa kita jadikan renungan

  • Tidak di temukanya hadis dari Nabi Muhammad shallahu alai wassallam, yang menyinggung tentang masalah al Quran adalah makhuk .
  • Begitu juga pendapat–pendapat dari para sahabat Nabi, tidak pernah kita jumpai topik tentang al Quran itu makhluk.
  • Sebelum munculnya ulama–ulama kalam, Al Quran dalam pandangan umat islam tak lain dan tak bukan adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, di turunkan kepada Nabi Muhammad shallahu alai wassallam, pembenar atas ke-rasulannya dan hidayah buat umatnya, tidak pernah membahas apakah ia makhluk atau bukan.
  • Tidak ada perbedaan diantara sekte–sekte umat islam mengenai al Quran adalah sifat kalam bagi Allah, Dia Mutakalim dengan kalam yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaNya, kalam Dia qodim sebagaimana dzatNya.
  • Merekapun sepakat al Quran adalah cermin dari kalamullah yang qodim dan mereka ibaratkan dengan kalam al nafsi. Jika yang di maksud dari al Quran adalah ma’aani al nafsiyah yang ada pada dzat Allah maka mereka sepakat al Quran adalah qodim dan bukan makhluk.
  • Mereka juga sepakat, tinta yang buat menulis mushaf, kertas dan kulit, juga bacaan, semuanya adalah makhluk.
  • Dalam unkapan lafdzii bi al Quran makhluuqun mereka berbeda pendapat.
  • Juga terjadi perbedaan besar mengenai huruf – huruf yang tersusun dalam al Quran. Ada yang mengatakan hadist ada yang mengatakan qodim.

Penutup

Perbedaan dalam pendapat itu suatu keniscayaan dan merupakan sunnatullah, karena kemampuan akal manusia itu terbatas dan tidak sama satu sama lainya. Kendati banyak sekali ayat–ayat al Quran yang mendorong kita untuk terus berfikir menggunakan otak kita, tapi ada area–area yang di luar nalar kita dan patut kita hindari. Semua pendapat ulama boleh kita ambil dan kita tinggalkan kecuali hadis Nabi kita Muhammad shallahu alai wassallam. Hanya Allah yang bersifat sempurna. Mari jadikan perbedaan ini sebagi karunia Allah yang harus kita sukuri. Wa aakhiru da’waanaa an al hamdulillah rabbi al aalamin.

Oleh: H. Budi Afief
 

Kholqu Al-Qur’an; Fitnah yang Kejam

Memahami Fitnah Ini dari Sisi Pemikiran Muktazilah

“Perbedaan umatku adalah rahmat”
(Nabi Muhammad)

Prolog
Al-Qur’an adalah kitab suci yang harus disakralkan oleh seluruh umat Muslim. Sakral karena ia adalah kalam Allah. Pada era Nabi, fitnah besar yang muncul seputar Al-Qur’an hanya sebuah isu dari musuh-musuh Islam saja; bahwa Al-Quran adalah karya Muhammad, bukan Allah. Fitnah seperti ini ¬--yang juga lahir dari luar Islam-- adalah fitnah yang masih relatif wajar dan sangat mudah disanggah oleh sarjana-sarjana muslim secara ideologi maupun secara kajian ilmiah.

Kadangkala, fitnah yang lahir dari luar Islam tidak berakibat besar di dalam dinamika Islam sendiri, tetapi akan terlihat berbeda jika fitnah seputar Al-Qur’an itu lahir dari seorang muslim sendiri. Banyak sekali, dinamika perdebatan antar golongan Islam berujung kepada kekerasan, saling mengkafirkan dan akhirnya saling adu pedang. Dan fitnah kholqu Al-Qur’an adalah salah satu fitnah kejam itu. Fitnah yang sangat kejam karena memakan korban sarjana-sarjana muslim terkemuka.
Fitnah yang sangat kejam karena memakan korban sarjana-sarjana muslim terkemuka. Fitnah yang sudah tidak hanya berlatar ideologi, tetapi juga sudah masuk dalam ranah politik dan berlatar kekuasaan. Penulis berusaha memaparkan tulisan seputar fitnah ini --Kholqu Al-Qur’an-- insyaAllah, lebih banyak dari perspektif Muktazilah. Karena memang konflik ini bermula dan lebih banyak bersinggungan dengan golongan Muktazilah itu.

Awalmula Fitnah Muncul
Di suatu pagi, di hari raya Idul Adha, sesaat setelah khutbah Id, mendadak jama’ah sholat terkaget-kaget. Sang khatib menyuruh jama’ah untuk segera membubarkan diri masing-masing dan menyembelih kurbannya.

“Segeralah pulang dan sembelih kurban kalian. Di Idul Adha ini aku akan berkurban dengan menyembelih al-Ja’ad bin Dirham. Semoga kurban kita diterima oleh yang Maha Kuasa” ucap sang khatib itu.

Ucapan khatib ini terkesan aneh dan sadis sekali karena dia akan berkurban dengan manusia, bukan hewan seperti yang diperintahkan Tuhan dan Nabinya. Khalid bin Abdullah al-Qirsy, nama sang khatib itu, akan menyembelih al-Ja’ad bin Dirham sebagai kurbannya karena a-Ja’ad layak dibunuh dengan berkata bahwa Al-Qur’an adalah makhluq.

Memang, fitnah kholqu Al-Qur’an ini dimunculkan pertama kali oleh al-Ja’ad bin Dirham. Yang kemudian dibunuh secara sadis oleh Khalid bin Abdullah al-Qirsy . Pembunuhan ini tepat dilaksanakan di hari Idul Adha. Hari besar kurban. Seperti perkataan Khalid sendiri sesaat setelah khutbah sholat Idul Adha itu, bahwa membunuh al-Ja’ad di hari Idul Adha adalah layaknya al-Ja’ad sebagai hewan kurban.

Inilah awalmula konflik seputar fitnah kholqu Al-Qur’an ini muncul dan kemudian menjadi semacam ‘gejala penyakit’ yang mudah menyebar di kalangan muslim kala itu, hingga berlanjut lebih besar di era sesudahnya. Atau lebih tepatnya di era Khalifah al-Ma’mun.

Jika dilacak sanad munculnya asalmuasal pemikiran al-Ja’ad ini, sesuai apa yang ditulis Ibnu Astir di kitab tarikhnya, ialah sebagai berikut: di tahun 240, telat wafat Abu Abdullah Ahmad bin Duad. Dia termasuk dari golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq. Pemikiran ini diadopsi dari Bisyr al-Marisy. Kemudian Bisyr mengadopsi dari Jahm bin Shufyan. Dan Shufyan mengadopsi dari al-Ja’ad bin Dirham. Jika dirunut ke atas lagi, pemikiran ini muncul dari seorang yahudi bernama Lubaid bin al-A’shom yang, konon, diceritakan pernah menyihir Nabi Muhammad. Kemungkinan yang paling mendasar, pemikiran ini terinspirasi dari kitab Taurat. Jika Taurat adalah makhluq maka tidak ada bedanya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga tentu makhluq. Lubaid adalah termasuk salah seorang yang getol mengatakan bahwa Taurat adalah makhluq . Sampai di sini, jelas lah bahwa pemikiran kholqu Al-Qur’an diadopsi dari pemikiran-pemikiran yahudi yang mengatakan bahwa Taurat adalah makhluq dan hadist (baru).

Sebenarnya, di kala Harun al-Rasyid berkuasa sebagai khalifah, isu kholqu Al-Qur’an sudah dihembuskan oleh Bisyr al-Marisy secara diam-diam. Sebab pemahaman keagamaan di era ini masih didominasi oleh ulama-ulama hadist. Seperti jamak diketahui, bahwa ulama-ulama hadist lah yang sangat fundamental dan radikal menolak pemikiran ini. Menurut mereka, pemikiran ini sudah tidak bisa ditolerir lagi karena sudah merusak akidah dan layak dibunuh karena sudah kafir. Hingga khalifah Harun wafat, kemudian di masa penggantinya, khalifah al-Amin, isu ini tidak berkembang besar. Tetapi seperti tersebut di atas, isu ini menjadi besar dan berkembang liar di tampuk kekuasaan khalifah al-Ma’mun. Pemikiran ini berkembang besar, karena ditopang oleh Muktazilah. Muktazilah membuat pemikiran yang berbeda dengan ulama hadist dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq dan mukhdast dengan didasari dalil-dalil agama yang susah dibantah dan masuk akal. Rupanya, al-Makmun, khalifah yang sangat progesif pemikirannya ini, menjadi backing yang kuat atas pemikiran rasional Muktazilah ini. Hingga, konon, akibat pemikiran ini, al-Makmun juga dituduh telah membunuh ulama-ulama terkemuka yang berseberangan dengan pemikirannya. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu korban pemanggilan al-Makmun ke istana sang khalifah untuk dieksekusi. Berkat takdir Tuhan saja Ahmad bin Hanbal selamat dari eksekusi sang khalifah karena al-Makmun meninggal sebelum Ahmad bin Hanbal masih di tengah perjalanan menuju istana. Inilah sejarah sekilas kholqu Al-Qur’an kemudian menjadi fitnah yang sangat kejam.

Kholqu Al-Qur’an di Era Khalifah al-Ma’mun (218)
Di masa kekhalifahan al-Makmun, paham-paham keagamaan Muktazilah menemukan momentumnya. Di era ini lah masa keemasan pemikiran Muktazilah. Tentu, keaadaan ini tidak terlepas dari sosok sang khalifah itu sendiri. Al-Makmun mempunyai pemikiran-pemikiran yang sudah progessif sekali. Di zaman ini, al-Makmun mempunyai banyak proyek besar-besaran dengan menerjemahkan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab. Buku-buku filsafat Yunani, kedokteran dari India dan masih banyak lagi buku berbagai bidang keilmuan dari Negara lain diterjemahkan ke bahasa Arab. Dengan fenomena ini, akulturasi pemikiran ini menyebabkan pemahaman keagamaan ulama hadist dinilai cenderung texstual dan terbelakang, sehingga pemikiran-pemikiran mereka mulai terpinggirkan.

Selain itu, memang, di kala al-Makmun berkuasa, banyak sekali ulama hadist yang meriwayatkan hadist Nabi dengan serampangan; tanpa memperhatikan makna yang dikandungnya. Sehingga banyak hadist palsu yang bermunculan di zaman ini. Semisal hadist ghoroniq atau hadist bahwa Nabi pernah disihir oleh seorang Yahudi Madinah. Fitnah kholqu Al-Qur’an ini pun disinyalir lahir dari hadist Nabi dengan martabat hadist ahad . Untuk itulah sang khalifah al-Makmun menyerukan kepada ulama-ulama hadist agar tidak berdalil ria dengan hadist ahad atas masalah-masalah ushulu al-din (akidah) .

Karena masalah kholqu Al-Qur’an muncul atas dasar hadist ahad itulah, sehingga al-Makmun mengikuti paham pemikiran Muktazilah yang lebih rasional dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluq. Menurut al-Makmun, sudah saatnya orang Islam tidak disibukkan dengan hadist-hadist ahad untuk dijadikan pijakan sebuah akidah. Al-Makmun mengikuti pemahaman ini dengan menggunakan kekuasaannya sebagai khalifah untuk memaksa siapa saja mengikuti pemahaman ini. Ini dibuktikan al-Makmun dengan mengutus wakil khalifah, Ishaq bin Ibrahim, ke Baghdad untuk menyerukan kepada siapa saja yang berseberangan agar mengikuti dan menerima pemikiran ini. Tidak hanya mengikuti dan menerima, tetapi orang itu juga harus menunjukkan pengakuannya dengan jelas bahwa pemikiran ini adalah yang benar. Dan siapa saja yang menolak dan tetap bersikukuh mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah qodim, maka, jika ia pejabat Negara, harus dicopot dari jabatannya. Dan jika orang itu dari kalangan ulama, orang itu segera dibawa ke istana untuk diadili dan dieksekusi .

Imam Ahmad bin Hanbal, pembesar ulama hadist kala itu, salah satu orang yang dengan lantang menolak perintah sang khalifah . Ada tiga ulama terkemuka lain selain Imam Ahmad yang menolak perintah ini. Yaitu: Muhammad bin Nuh, Hasan bin Hammad dan Ubaidillah bin Amru al-Qowariri. Tetapi pada akhirnya Hasan bin Hammad dan Ubaidillah bin Amru menyerah dan menerima ‘pemaksaan intelektual’ ini dari sang khalifah itu. Akhirnya hanya Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh saja yang dibawa ke istana. Tetapi ternyata, sang khalifah al-Makmun meninggal dunia sebelum kedua ‘tersangka’ ini sampai ke istana .

Ketika tampuk kekhalifahan beralih kepada al-Mu’tashim, mereka kembali lagi ke Baghdad. Di tengah perjalanan kembali ini, Muhammad bin Nuh menjumpai ajalnya. Imam Ahmad bin Hanbal ikut mensholati jenazah itu. Sesampainya di Baghdad, rupanya Imam Ahmad tidak juga lolos dari jerat tuduhan atas fitnah kholqu Al-Qur’an ini. Beliau dimasukkan di terali besi kurang lebih selama dua setengah tahun .

Sejak masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, sudah banyak sekali ulama-ulama hadist yang menggunakan hadist secara serampangan. Menggunakan dalil-dalil hadist ahad sebagai pijakan masalah akidah. Memang, khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mudah memperkenankan pengumpulan dan penulisan hadist-hadist Nabi. Barangkali karena terlalu mudah dan kurang pengawasan ini, hingga banyak bermunculan hadist-hadist palsu. Tetapi, sejak kepemimpinan khalifah al-Makmun, keadaan begitu berbeda karena sang khalifah telah dengan tegas melarang mempergunakan hadist dengan sembarangan tanpa mememperhatikan makna yang dikandungnya; apakah bertentangan dengan Al-Qur’an ataukah tidak. Sang khalifah juga dengan tegas melarang siapa saja yang menggunakan hadist ahad untuk permasalahan-permasalahan akidah seperti yang sudah disebut di atas.

Hal ini terbukti dengan permasalahan kholqu Al-Qur’an. Khalifah al-Makmun dengan terang-terangan mengaku mengikuti pemikiran Muktazilah dalam hal ini. Sebab, menurut sang khalifah itu, dalil yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah qodim didasari pada hadist ahad yang jelas-jelas ia tolak peggunaannya untuk dalil masalah-masalah akidah.

Hadist ahad itu ialah: "من قال ان القرأن مخلوق فقد كفر". Khalifah al-Makmun berpendapat bahwa; sangat tidak mungkin nabi berkata seperti itu, karena bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi sendiri. Sebab Allah berfirman: "انا انزلناه في ليلة القدر" dan"انا انزلناه قرأنا عربيا". Sesuai kaidah bahasa Arab, lafadz انزلنا digunakan dengan bermakna: “Menciptakan” (بمعني الخلق والايجاد). Makna ini juga sudah dipergunakan oleh Al-Qur’an sendiri, semisal dalam ayat: "وانزلنا الحديد". Ketika melihat analogi dari ayat ini, maka jelas bahwa besi adalah hadist (baru), tidak qodim karena ia keluar dan berasal dari bumi . Begitu juga dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah ciptaan Allah sesuai apa yang telah Allah dawuhkan sendiri. Diksi pencipataan Al-Qur’an itu, menurut al-Makmun, akan berimplikasi terhadap hadistnya Al-Qur’an. Dan hadistnya Al-Qur’an menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq.

Sejak pelarangan khalifah al-Makmun dan perintah untuk tidak menggunakan hadist ahad sebagai dalil akidah agama itu, maka lahirlah fitnah kejam ini. Banyak ulama hadist yang menolak perintah sang khalifah. Dan mereka sadar bahwa perintah itu datang dari pemimpin Negara. Pemimpin Negara yang harus ditaati dan dihormati sesuai perintah agama. Sesuai ayat Al-Qur’an surat an-Nisa’: "أطيعوا الله وأطبعوا الرسول وأولي الامر منكم". Ayat ini dengan jelas menjelaskan bahwa mentaati pemimpin Negara adalah wajib. Selain itu, perintah dari khalifah al-Makmun itu bukanlah termasuk perintah kepada kemaksiatan atau hal yang dilarang agama . Sehingga, dengan melihat ayat Al-Qur’an ini, ulama-ulama hadist yang tidak mengindahkan perintah khalifah itu terkesan ‘salah dan layak dihukum’ karena membangkang perintah sang khalifah.

Masih banyak lagi dalil-dalil yang bisa membenarkan khalifah al-Makmun dan bisa membebaskannya dari stigma negatif bahwa al-Makmun adalah khalifah yang lalim. Ironisnya, justeru dalil-dalil itu banyak ditemukan dan dijumpai di kitab-kitab ulama hadist itu sendiri. Yang jadi misteri adalah pertanyaan apakah sang khalifah memperlakukan ulama hadist itu didasari karena mereka berani berpendapat berbeda tentang masalah kholqu Al-Qur’an; dengan berkata bahwa Al-Qur’an adalah qodim? ataukan karena hal lain? Hal lain ini semisal; al-Makmun memperlakukan mereka itu dengan alasan agar periwayatan hadist nabi tidak serampangan dan agar tidak menggunakan hadist ahad sebagai dalil atas permasalahan ushulu al-din.

Di sisi lain juga dikisahkan bahwa, al-Makmun memperlakukan ulama-ulama hadist itu berdasarkan alasan yang terakhir di atas. Yakni agar dalam periwayatan hadist itu hendaknya melihat kandungan maknanya. Dan agar hadist ahad tidak digunakan sebagai dalil permasalahan akidah. Jika melihat alasan ini, tentu akan terlihat wajar dan mudah dimengerti dengan melihat sejarah; bahwa khalifah ke dua Islam, Umar bin Khattab, pun pernah melakukan hal yang sama; dengan melarang pembukuan hadist-hadist Nabi.

Setelah kepemimpinan al-Makmun berakhir dan di masa khalifah al-Mutawakkil ‘ala Allah berkuasa, muncul Imam Asy’ari sebagai madzhab ilmu kalam baru yang, konon, moderat. Karena Asy’ari adalah ‘mantan’ murid Imam Aly al-Juba’i, pembesar Muktazilah. Dan Asy’ari juga banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Tetapi dalam hal kholqu Al-Qur’an ini, tampaknya Imam Asy’ari lebih cenderung untuk mengikuti dan mengembangkan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Yakni bahwa Al-Qur’an adalah qodim.

Perdebatan Seputar Kholqu Al-Qur’an
Pertentangan-pertentangan masalah kholqu Al-Qur’an lebih didasari karena Al-Qur’an adalah kalam Allah. Jadi, perdebatan itu berpusat kepada pemaknaan dan pendefinisian arti kalam itu sendiri. Setiap pemaknaan dan pendefinisian golongan yang berbeda terhadap makna kalam, maka akan menghasilkan natijah yang berbeda pula. Selama ini, perbedaan masalah kholqu Al-Qur’an hanya menghasilkan dua pendapat saja; antara Al-Qur’an makhluq dan hadist atau bahwa Al-Qur’an adalah qodim. Masing-masing golongan itu mempunyai pendapat dan dalil-dalil yang tentu dianggap paling benar menurut mereka. Pendapat bahwa Al-Qur’an qodim ditegaskan oleh ulama-ulama hadist dan golongan Asy’ari. Sedangkan Muktazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluq dan hadist. Sebenarnya, bahwa Allah mempunyai sifat kalam, setiap golongan dalam Islam menyutujui dan mengamininya. Tetapi berbeda pendapat tentang bagaimana proses Allah berbicara (mutakalliman).

Menurut Ahlu hadist dan Asy’ari , kalam Allah adalah termasuk sifat nafsy dan azaly. Kalam Allah menunjukkan dalil atas madlulnya. Berarti, kalam Allah pun termasuk bagian dari Allah itu sendiri. Dan diri Allah mustahil hadist (baru). Jika melihat pendapat ini, maka memang akan terlihat fundamental dan akan radikal sekali terhadap golongan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah hadist. Menurut mereka, Al-Qur’an harus qodim. Karena memang, efek jika Allah hadist sangat berbahaya dan akan menyebabkan hilangnya iman seseorang, alias kafir. Hadisnya Allah akan berakibat butuhnya Allah terhadap pencipta yang lain. Dan ini akan menghilangkan konsistensi Allah sebagai tuhan pencipta atas segala sesuatu yang ada. Makna sebagai tuhan akan hilang jika Allah hadist. Maka tidak heran, jika sampai terjadi pembunuhan akibat statement bahwa Al-Qur’an adalah makhluq dan hadist. Karena orang itu sudah dianggap murtad. Dalam agama, memang murtad layak dibunuh.

Pendapat ini sebenarnya dipopulerkan oleh Abdullah bin Sa’id bin Kullab yang kemudian diadopsi oleh Asy’ari. Implikasi dari pendapat ini adalah, jika kalam Allah adalah sifat nafsy maka kalam Allah tidak mengandung huruf-huruf, bahkan kalam Allah tidak akan bisa didengar. Maka dalam menafsiri ayat Allah; "يسمعون كلام الله" mereka menta’wil; bahwa yang dimaksud “mendengarkan” dalam ayat itu adalah: “Memahami”. Jadi, jika melihat pendapat Asy’ary ini, kalam Allah hanya berupa makna-makna saja, tidak mengandung lafadz-lafadz. Keterkandungan kalam Allah dengan lafadz-lafadz hanya metafora (majaz) belaka. Lalu, jika demikian, bagaimana Allah memahamkan manusia dengan kalam-kalamnya? Dengan pertanyaan ini, maka pendapat Asy’ari akan terlihat kelemahannya. Memang, al-Baqilani sudah menjawab pertanyaan itu; bahwa untuk memahamkan manusia terhadap kalam-kalam Allah, Allah menciptakan ilmu linuwih (ilmu dhoruri) kepada hambanya itu. Semisal; Allah memerintahkan (dengan berbicara) kepada malaikat Jibril untuk menjalankan tugas tertentu, maka Allah menciptakan ‘intuisi’ kepada Jibril bahwa apa yang diperintahkan itu memang dari Allah . Agar Jibril paham bahwa perintah itu memang benar-benar datang dari Allah. Kelemahan pendapat Asy’ari itu ialah; bahwa akhirnya Allah pun menciptakan sesuatu yang baru (hadist) agar hambanya memahami kalam Allah tersebut. Yaitu, Allah menciptakan ilmu dharuri kepada hambanya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Muktazilah.

Seiring berjalannya waktu, pendapat Asy’ari ini memang terlihat banyak kelemahan-kelemahannya, bahkan menurut penganut Asy’ari sendiri (Asy’ariyyin) . Menurut Asy’ariyyin, kalam Allah mengandung makna dan juga lafadz-lafadz, tentu kalam Allah juga bisa didengar. Selain mempunyai kalam nafsy, kalam Allah juga bisa berupa lafadz yang juga bisa didengar. Pendapat ini yang kemudian dipilih oleh Imam al-Juwaini dan Fakhruddin al-Razi. Dan tentu, pendapat ini tidak langsung berkesimpulan bahwa kalam Allah adalah makhluq. Al-Qur’an tetap qodim menurut mereka.

Sedangkan menurut Muktazilah, Al-Qur’an adalah makhluq dan hadist (baru). Muktzilah memberikan pendapat yang sangat indah dan rasional. Pendapat Muktazilah ini tentu menambah hazanah keilmuan pemahaman tentang Islam. Lebih tepatnya pemahaman akidah tentang sifat-sifat Allah. Dan pendapat berbeda Muktazilah ini, didasari oleh definisi dari kalam Allah yang juga berbeda.

Kalam, menurut Muktazilah adalah; redaksi tertentu yang timbul dari susunan huruf-huruf, dan bisa dipahami serta bisa didengar. Untuk itu, suara burung, misalnya, tidak bisa disebut kalam karena meskipun, mungkin, kicauan burung itu tersusun dari huruf-huruf, tetapi tidak bisa dipahami .

Logika berpikir Muktazilah tentang hadistnya kalam Allah ini sangat ilmiah dan rasional sekali; Jika seseorang bilang, misalnya; “berilah aku air, karena aku haus”, sebelum orang mengucapkan lafadz itu, di dalam hatinya sudah ada ‘kehendak’. Dan kehendak ini lah yang tidak berubah seiring berbedanya tempat dan berjalannya waktu. Berbeda dengan lafadz ucapan orang tersebut; akan berubah-rubah menurut berbedanya tempat dan bergulirnya waktu . Dalil lafadz itu berbeda dengan madlul kehendak seseorang tersebut. ‘Kehendak’ tersebut lalu kemudian dianalogikan dengan kalam nafsynya Allah.

Sebenarnya, Muktazilah mengamini juga bahwa Allah mempunyai kalam nafsy. Dan kalam nafsy ini juga tidak mengandung lafadz-lafadz dan tidak bisa didengar. Kalam nafsynya Allah juga qodim. Tetapi, manusia adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan manusia lain. Manusia selamanya akan selalu membutuhkan satu sama lain. Karena saling membutuhkan satu sama lain itu, manusia membutuhkan media untuk berkomunikasi untuk saling memahami dan berinteraksi. Sebernarnya ada media lain untuk komunikasi itu, seperti bahasa isyarat atau tulis menulis, misalnya. Tetapi, mungkin, media itu cukup rumit untuk manusia agar saling memahami. Maka dibutuhkan media lain untuk menunjang komunikasi itu. Dan media itu disebut; Kalam. Manusia butuh pembicaraan untuk mengexpresikan dan mengungkapkan ‘kehendak’ dalam hatinya itu.

Allah pun juga begitu, butuh media untuk memahamkan manusia atas kehendak-kehendaknya. Allah harus berbicara agar manusia paham perintah dan larangannya. Allah berbicara dengan bahasa manusia pula. Tidak mungkin manusia akan paham kalam Allah itu, jika Allah hanya mempunyai kalam nafsy saja. Dan lagi, kalam Allah tidak selamanya azaly. Jika kalam Allah selamanya azaly, maka Allah sewaktu berbicara, dulu, tidak disertai lawan bicara. Ini tentu tidak mungkin dan irasional, karena Allah layaknya orang gila yang berbicara sendiri. Karena di zaman azaly itu, lawan bicara Allah yang sudah disebut dalam Al-Qur’an, Musa misalnya, belum tercipta . Lalu, karena Allah harus berbicara itu, Allah menciptakan media berupa jism yang mampu berbicara dan bisa didengar agar pembicaraan Allah --baik cerita-cerita, perintah-perintah dan larangan-larangannya-- bisa dipahami dan dimengerti manusia. Tentu, Allah sangat mampu untuk menciptakan media tersebut. Allah maha kuasa. Pembicaraan yang diciptakan Allah itu tentu berupa suara yang tersusun dari huruf-huruf sehingga mudah dipaham manusia. Buktinya adalah, jika Allah berkehendak menciptakan sesuatu, Allah akan berbicara "كن" , lalu terciptalah sesuatu tersebut. Dari "كن" tersebut, terlihat jelas bahwa kalam Allah tersusun dari huruf-huruf; kaf dan nun. Inilah, menurut Muktazilah, yang dimaksud dengan Allah berbicara (mutakalliman). Jadi Al-Quran, menurut Muktazilah, adalah makhluq dan hadist (baru) karena kalam Allah juga hadist tanpa menjadikan Allah juga hadist. Allah adalah qodim, maha pencipta dan tidak diciptakan.

Epilog
Melihat perdebatan-perdebatan antara Ahlu hadist dan Asy’ari dengan Muktazilah di atas, pertentangan masalah kholqu Al-Qur’an ini semestinya tidak berujung kepada kekerasan dengan tumpahnya darah seseorang atau pemaksaan intelektual. Dalil-dalil keduanya pun bisa dipertanggungjawabkan --baik secara ilmiah dan rasionalitas--. Kecuali pendapat golongan Karomiyah yang memang mengatakan bahwa dzat Allah tersusun dari sesuatu yang hadist yaitu kalam Allah itu. Tetapi, saat ini, kaum muslim harus menghindari adu pedang sesama muslim lainnya meski berbeda pemikiran dan argumentasi. Sesama muslim hendaknya hidup damai saling berdampingan. Sejarah sudah membuktikan bahwa pertumpahan darah antara sesama muslim sendiri adalah penyebab dominan Islam mengalami degradasi segala lini saat ini.
Allahu A’lam

Oleh: H. Abdullah Mubarok
 

Perdebatan Mu’tazilah dan Asy’ariyah Seputar Khalq al-Qur’an

Distrik VI, FAS Mesir 03/11/2010 – Istimewa. Barangkali itulah kata tepat untuk menggambarkan diskusi dwi mingguan FAS Mesir kali ini. Pasalnya, di tengah-tengah mereka terdapat anggota baru, Adib Ali Rahbini, dan mendapatkan tamu kehormatan Wakil Ketua KSW (Kelompok Studi Walisongo), Fatchul Machasin, sekaligus seorang reporter dari kswmesir.com, untuk melakukan silaturrahmi dan meninjau agenda FAS Mesir secara langsung.

Mekanisme diskusi sebagaimana biasa. Materi yang diberikan pihak Dep. Pendidikan seputar perdebatan Ulama tentang qadim-hadisnya Al-Qur’an. Kali ini ada dua presetator yang bertugas. Pertama, rekan Abdullah Mubarok dengan mengetengahkan makalah berjudul “Khalq al-Qur’an; Fitnah Yang Kejam” dan presentator kedua, rekan Budi Afief dengan makalahnya yang berjudul “Al-Qur’an Dalam Kacamata Sunni dan Mu’tazilah”.

Setelah rekan Agus Salim, Lc. --yang dalam hal ini bertindak sebagai moderator-- memberikan waktu masing-masing 15 menit kepada kedua presentator, merekapun secara bergantian mengelaborasikan makalah dan pembacaannya masing-masing. Hal paling mendasar yang disepakati keduanya adalah ide khalq al-qur’an (Al-Qur’an termasuk makhluq dan bersifat temporal) muncul dari seorang Yahudi bernama Lubaib bin A’sham, yang konon ia yang pernah menyihir Nabi Muhammad saw. Jadi, pada dasarnya ide itu telah muncul sejak periode nabi.

Dalam elaborasinya rekan Budi Afief memaparkan bahwa kontroversi yang sampai pada puncaknya adalah pada masa dinasti Mu’tasim dimana ia mempunyai paham teologi Mu’tazilah. Salahsatu argumen Mu’tazilah adalah mengutip Qur’an yang secara eksplisit menggunakan redaksi “wa anzalna al-qur’an..”. Jika al-Qur’an itu “turun” maka ia berubah dari tempatnya. Sedangkan jika sesuatu itu mengalami perubahan maka sudah seharusnya sesuatu tersebut bersifat hadits (baru). Jika al-Qur’an mempunyai kronologi ‘diturunkan’ Maka al-Qur’an adalah hadits bukan qadim.

Rekan Abdullah Mubarok memberikan pemaparan lain. Menurutnya ide khalq al-qur’an adalah sebuah akulturasi ilmiah, dimana Lubaib bin A’sham adalah sebagai pencetusnya. Lubaib mengkondisikan al-Qur’an sebagaimana Taurat, kitab suci orang Yahudi. Jika Taurat adalah makhluq maka al-Qur’an juga demikian.

Elaborasi rekan Abdullah Mubarok selanjutnya menyentuh dinasti-dinasti pasca nabi. Jika periode Harun Al-Rasyid getol membukukan hadits nabi, entah itu hadtis ahad maupun mutawatir, yang terjadi pada periode Al-Makmun justeru sebaliknya. Al-Makmun yang memproklamirkan diri sebagai Mu’tazilian ini lebih menggunakan tangan besinya, dengan membunuh dan menyiksa para kaum intelektual diluar pahamnya, ketimbang bersikap lunak. Salahsatunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun pada akhirnya beliau selamat.

Sesi selanjutnya dialog interaktif, sedangkan rekan Nurul Ahsan mempunyai kesempatan pertama. Menurutnya, fakta anarkisme tidak selalu identik dengan Islam fundamentalis. Selanjutnya rekan Shaleh Taufiq menyangsikan presentator kedua yang secara terang-terangan mendeklarkan diri sepakat dengan pendapat sekte Mu’tazilah. Menurutnya, jika yang terjadi demikian maka presentator kedua samahalnya sepakat dengan intervensi intelektual dan sikap arogansi yang dilakukan sekte Mu’tazilah terhadap tokoh-tokoh Islam.

Tak ketinggalan pula rekan Abdullah Farid, Zainal Mustaqim dan Irhas Darojat melemparkan pertanyaan dan mengemukakan beberapa counter terhadap apa yang disampaikan kedua presentator. Kamudian, kesempatan selanjutnya diberikan kepada rekan Anik Munir, Lc. selaku Pembimbing II FAS Mesir. Menurutnya tidak sepenuhnya benar jika arogansi Al-Makmun sudah tidak dapat ditolerir lagi, sedangkan Al-Makmun dalam sebuah manâqib (cerita) sangat menaruh hotmat kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa ulama-ulama lain.

Sejenak setelah beberapa pertanyaan dan pernyataan dari beberapa audien dijawab secara lugas oleh kedua presentator, kesempatan terakhir diberikan kepada Bapak Mahmudi Muhshon, MA. selaku Pembimbing I FAS Mesir. Menurutnya, argumentasi sekte Mu’tazilah dalam hal khalq al-qur’an memang sangat rasional. Namun yang demikian ini bukan untuk dijadikan konsumsi publik (diketahui orang-orang umum). Sebab, jika mushaf (al-Qur’an) dikalangan orang umum dikatakan sebagai sesuatu yang hadits (baru), bukan qadim, maka hal ini akan berpotensi mengikis sakralitas mushaf itu sendiri. Kemudian beliau teringat sebuah cerita tentang Imam Syafi’i yang enggan mendiskusikan teologi. Bukannya beliau tidak mempunyai kapasitas disiplin teologi, namun beliau beranggapan bahwa hal itu nantinya akan terasa rumit dan tidak akan ada ujungpangkalnya.

Setelah jam menunjukkan pukul 16.30 WC, dengan penuh kesadaran diskusi dihentikan, untuk segera melakukan shalat asar dan memperkenalkan anggota baru. []

Reporter: Nurul Ahsan
 

Konsep-Konsep Kalam Dalam Qadha Qadar

Muqaddimah

Semenjak petama kali turun AL-Qur`an berbicara kepada manusia dengan bahasa yang langsung terhubung ke dalam wawasan naluri (fithroh), “iqro` bismi robbik”. Ini sebuah potret jelas, bahwa pengenalan terhadap Allah swt adalah sebuah wawasan yang sangat mendasar yang terdapat dalam diri setiap insan, bahkan sebelum datangnya informasi wahyu verbal (kitab suci) dari Allah swt, ketika Allah ta`ala mempersaksikan: “alastu bi robbikum?”, jawaban setiap bani adam adalah’’ bala syahidna’’. Dan lebih dari itu Al –Qur`an juga menegaskan bahwa kandungan fithrah manusia ini bukan hanya terbatas pada pengenalan akan tuhannya, tetapi juga mencakup naluri untuk tulus mengabdi kepadanya:’’ fa Aqim wajhaka li al-dini hanifan fithrata lladzi fathara al-nasa alayha la tabdila li khalqillah dzalika dinul qoyyim (QS arum). Oleh karena itulah Allah kemudian mengutus seorang Rasul dan membekalinya sebuah kitab suci guna mengarahkan manusia untuk kembali kepada fithrah tauhid dalam pengabdian kepada Allah swt serta melengkapinya dengan panduan syariat sebagai pedoman teknis dalam menjalani kehidupan dunia.
Aqidah tauhid dalam pengabdian (tauhid uluhiyyah) ini merupakan seruan yang pertamakali di tekankan oleh islam dalam setiap dakwahnya, yang kemudian di iringi dengan Aqidah kerasulan Nabi Muhammad saw. serta keimanan akan kebangkitan dan kehidupan kembali di hari akhir dan juga Qadha` Qadar. Tauhid dalam mengabdi berarti menempatkan puncak kecintaan dan penghambaan kepada Allah swt semata. Sedangkan syirik pengabdian adalah mensekutakan Allah swt dengan pihak lainnya yang tentu saja sangat tidak layak dalam kecintaan dan pengabdian inilah subtansi paling esensial yang membedakan manusia beriman dengan orang dzalim. dan di samping itu parameter utama yang akan menentukan kesejatian seorang hamba dalam mencintai dan mengabdi kepada Allah swt (sekaligus penentu batasan iman dan kufur) adalah tingkat ketaan terhadap segala aturan agama Allah swt yang di sampaikan melalui lisan utusanya. Dua hal ini (tauhid dan ketaatan) yang merupakan isi dari kalimah syahadah dalam islam. Sebelum mendefinisikan Qadha` Qadar pemakalah akan menyingung sedikit akar permasalahan dalam konsep- konsep kalam.

Akar Permasalahan Dalam Konsep-Konsep Kalam

Permasalahan-permasalahan ilmu kalam (khususnya di kalangan mu`tazilah dan Asy`ariyyah) yang nantinya banyak pengaruh dalam masalah tentang shifat wa af`al (sifat dan perbuatan Allah), taqdir dan af’al al ibad hakikat keimanan, serta tentang kriteria baik buruk , juga datangnya wahyu atau rasul. Dalam masalah takdir, teologi Asy ariyyah secara subtansial tidak begitu berbeda dengan teologi jabariyah yang menafikan kemampuan hamba untuk berbuat sebelum ia berbuat. Asy` ariyyah mengajukan konsep ‘kasb’ yang memberikan arti ‘’keinginan’’ pada hamba. Akan tetapi itu adalah keinginan yang tidak punya pengaruh (ta`tsir). Lalu mengenai keimanan , teologi pada intinya Asy ariyyah tidak berbeda dengan teologi murjiah yang hanya membatasi pengertian iman sebagai kepercayaan dalam hati meskipun Asy’ariyyah juga mendukung pandangan jumhur ahlul hadist dalam persoalan istisna’ mengatakan ”saya insya Allah beriman”. sementara itu , mu`tazilah dalam persoalan takdir adalah Qodariyyah lantaran menafikan adanya ketentuan takdir Allah swt dengan alasan Allah swt tidak mungkin menginginkan dan menciptakan hal-hal yang buruk kalau pendapat Ahlus sunnah wal- jamaah ada pokok –pokok agama yang sudah di sepakati termasuk menetapkan kenyataan atau ilmu-ilmu, baik ilmu umum atau khusus, mengetahui pencipta alam (shoniul alam), mengetahui asma - asma` Allah atau sifat-sifat nya, mengetahui adilnya Allah, mengetahui para rasul atau para nabi, mengetahui mu`jizat para nabi atau karomah para wali, mengetahui perkara yang sudah di sepakati umat dalam syariat islam, mengetahui perintah Allah atau larangan Allah, mengetahui tentang khilafah atau imamah, mengetahui hukm-hukum iman atau islam secara mujmal. sedangkan mu`tazilah bersebrangan dengan Ahlu sunnah waljamaah yaitu menafikan shifat-shifat azali termasuk sifat Qudrah,ilmu, hayah,dan ru`yah. selanjut nya pemakalah kan mendefinisikan Qodho` dan Qodar di bawah ini.

Definisi

Qodho` dalam bahasa adalah: hukum atau keputusan, kekuatan, kemampuan. Adapun Kata Qadar berati ukuran (miqdar), dan tadir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau mencipatakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha’ berarti memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib. Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah Swt telah mencipatakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat terealisasi di dalam rangkaian sebab-sebab. dan Qodho` menurut abu Qosim al-hakim Al-tirmizdi yaitu: jelasnya rahasia Allah yang ada di lauh Al mahfudz sedangkan Qodar adalah rahasia Allah. Sedangkan yang dimaksud Qadha’ Ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu.
Berdasarkan maksud ini, tahap taqdir itu lebih dahulu dari tahap Qadha’, karena takdir terdapat beberapa syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Takdir ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya. Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai membentuk janin yang sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau gugurnya janin apada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada takdir itu. Adapaun Qodha’ bersifat seketika (dafi`) Qadha’ ini berhubungan dengan tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan mengalami perubahan. Allah Swt berfirman, “Apabila Allah menetapkam suatu perkara, Ia akan mengatakan, ‘Jadilah’ maka terjadilah.” (QS. Ali Imran: 47) Namun, sebagaimana telah kami jelaskan, Qadha’ dan Qodar ini juga bisa digunakan sebagai kata yang sinonim .

Dari sinilah Qadha’ dan Qadar dapat dibagi menjadi dua bagian;Qodho` dan Qodar yang pasti (hatmi) dan Qodha’ dan Qodar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan tersebut. Diantaranya, bahwa sedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah Qodha’. Qadha’ Qodar Ilmi dan ‘Aini Terkadang takdir dan Qodha’ Ilahi pun digunakan dengan arti ilmu Allah, yakni ketika sebab-sebab serta syarat-syarat telah terpenuhi. Atau ketika telah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat yang mempunyai pengaruh dalam mewujudkan fenomena-fenomena. Qadha’, Qodar juga digunakan untuk ilmu Tuhan terhadap kejadian fenomena-fenomena yang bersifat pasti. Arti Qodha’ Qodar ini dinamakan sebagai Qodha’ Qodar ilmi.

Kerapkali kedua kata ini digunakan pula untuk penisbahan proses pencitaan yang bertahap kepada makhluk-makhluk di alam ini. Sebagaimana pula terjadinya hal itu dalam wujud luar dinisbahkan kepada Allah Swt. Hal itu dinamakan Qodha’ Qodar ‘aini. Sesuai dengan ayat dan riwayat yang menyinggung hal ini, ilmu Allah dipercayakan kepada lauh al-mahfuzh, yaitu makhluk iIlahi yang tinggi dan mulia yang darinya terefleksi seluruh fenomena objektif (tahaqquq) di dunia luar (khariji). Setiap orang dapat bersentuhan dengan mencapai lauh al-mahfuzh itu dengan izin Allah Swt. Ketika seseorang dapat mencapai peringkat tersebut, ia akan menjadi alim dan mengetahui segala peristiwa yang telah lalu dan akan datang.

Ada lauh-lauh yang lainnya juga yang peringkat dan derajatnya lebih rendah dibanding lauh al-mahfuzh, yang padanya tercatat fenomena-fenomena dan makhluk-makhluk dalam bentuk yang bersyarat, tidak sempurna. Setiap orang yang dapat mengenal lauh tersebut akan mempunyai pengetahuan yang terbatas dan tidak sempurna, bersyarat dan dapat berubah. Barangkali ayat Al-Qur’an ini menjelaskan ikhwal kedua lauh tersebut, “Sesungguhnya Allah swt akan menghapus apa-apa yang Ia kehendaki dan juga akan menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul kitab (kitab induk).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Adanya perubahan pada takdir yang bersyarat dan tak pasti semacam ini diistilahkan dengan bada’. Dengan ini, iman kepada Qadha’ dan Qodar ilmi tidak melazimkan kesulitan-kesulitan logis yang lebih banyak sebagaimana kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan ilmu Ilahi yang azali, seperti yang telah kita pelajari keraguan Jabariyah di dalam masalah ilmu Ilahi. Telah jelas bagi kita bagaimana kelemahan pandangan tersebut. Akan tetapi, yang lebih sulit lagi terdapat dalam hal keyakinan terhadap Qadha’ dan Qodar ‘aini, khususnya dalam hal keimanan terhadap nasib yang pasti. Kami akan berusaha untuk mengatasi dan manjawab masalah ini dengan baik, meskipun jawaban dari masalah tersebut yang secara global telah diungkapkan dalam persoalan tauhid dengan pengertian pengaruh yang mandiri.

Antara Qodha’, Qodar, dan Kehendak Bebas Manusia Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap Qodha’ dan Qodar ‘Aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sampai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk pada takdir dan pengaturan Ilahi Yang Maha bijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah Swt. Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada izin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah Swt, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak mungkin akan mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan kepada Qodha’ dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan sampai pada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya merupakan pengajaran secara bertahap tentang tauhid dalam arti pengaruh mandiri’ sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan. Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman.

Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada Qodha’ Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topic perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap Qodha’ Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang apada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya. Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy’ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha’ Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka pada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teologi lainnya, yaitu kaum Mu’tazilah. Mahzab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu’tazilah mengingkari Qadha’ Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas. Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang saling berlawanan, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu kalam dan dalam risakah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).

Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu bersandar kepada kehendanya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan Qadha’ Allah Swt. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada Qadha’ Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu sendiri. Untuk menjawab persoalan semacam ini dan mengkompromikan perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya kepada Qadha’ Ilahi, kita pasti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbauatn sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah swt. Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:

Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pemgaruh atas sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan. Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi sesuai jumlah sebab-sebab itu yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa mesin yang bekerja secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah pesawat. Ketiga, masing-masing sebab memengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bila itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya memengaruhi dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat perhatikan pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan menulis.

Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertical, dimana wujud setiap sebab itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana wujud pena tidak mempenyai hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak mempunyai hubungan dengan kehendak manusia. Pada seluruh keadaan ini, bisa jadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah Swt. Adapun gambaran yang tidak mungkin terjadi, yaitu berkumpulnya beberapa sebab pada satu akibat, ialah berkumpulnya dua sebab pengada (dengan pengertian yang telah lalu), atau berkumpulnya dua sebab dalam memberikan pengaruh yang sama secara sejajar atau bergantian, pada satu akibat. Seperti dalam asumsi satu kehendak yang muncul dari dua subjek (pelaku) yang sama-sama berkehendak, atau satu fenomena yang bersandar kepada dua kelompok sebab yang kedua-duanya merupakan sebab lengkap (illah tammah).

Jawaban atas Keraguan Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa penyandaran kejadian perbuatan-perbuatan sengaja manusia kepada Allah Swt tidak bertentangan dengan penyandarannya kepada manusia itu sendiri, karena dua penyandaran ini berada pada kepanjangan yang lainnya, dan tidak ada benturan di antara keduanya. Dengan kata lain, penyandaran suatau perbuatan kepada manusia sebagai pelaku berada apada satu tahap. Sedangkan penyandaran perbauatan yang sama kepada Allah Swt berada pada tahap yang lebih tinggi. Pada tahap kedua inilah keberadaan manusia itu sendiri, keberadaan materi yang terlibat dalam kejadian perbuatannya dan juga keberadaan sarana-sarana yang digunakan untuk menuntaskan perbuatan tersebut, semua itu bersandar kepada Allah Swt. Dengan demikian, pengaruh kehendak manusia yang merupakan bagian akhir dari sebab sempurna terhadap perbuatannya itu tidaklah menegasikan penyandaran seluruh bagian-bagian sebab sempurna kepada Allah Swt. Karena Dialah Zat yang memiliki seluruh kekuatan. Pada-Nyalah kekuatan untuk mewujudkan alam, manusia dan berbagai macam kondisi wujudnya. Dialah Zat yang menganugerahkan wujud kepada manusia secara terus-menerus, dan seluruh makhluk itu tidak terlepas dari-Nya sekejap pun, dalam keadaan dan kondisi apapun. Karena, makhluk-makhluk ciptaan-Nya itu tidak mandiri.

Atas dasar ini, perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu senantiasa membutuhkan dan bergantung kepada Allah Swt, dan tidak mungkin keluar dari kehendak iIlahi. Seluruh sifat makhluk. Cirri-ciri khusus dan berbagai kelebihannya serta batasan-batasannya selalu berhubungan dan bergantung kepada takdir dan Qodha’ Allah Swt. Tidaklah seperti apa yang telah disebutkan di atas, bahwa seluruh perbuatan ini ada kalanya hanya bersandar kepada kehendak manusia, ada kalanya pula ia hanya bersandar kepada kehendak Allah saja. Sebab, dua kehendak ini tidak berada apada satu tahap, sehingga yang tidak mungkin lagi bertemu kedua-duanya. Dua kehendak ini pun tidak mempunyai pengaruh dalam mewujudkan berbagai perbuatan secara bergantian. Sesungguhnya kehendak manusia, sebagaimana asal keberadaan wujud dirinya sendiri, senantias berhubung dan bergantung kepada kehendak Allah, dan sesungguhnya kehendak Allah Swt itu niscaya untuk terwujudnya kehendak manusia tersebut.
Allah Swt berfirman, “Dan kalian tidaklah berkehendak melainkan Allah, pengatur alam semesta inilah yag berkehendak.” (QS. At-Takwir: 29) Manfaat Keyakinan pada Qadha’ dan Qodar Keyakinan pada Qadha’ dan Qodar, di samping merupakan peringkat yang tinggi makrifatullah dalam dimensi penalaran dan mendorong manusia menuju kesempurnaan insaninya, secara praktikal menyimpan manfaat yang melimpah. Sebagian manfaat ini telah kami kemukakan dan berikut ini akan kami jelaskan sebagian lainnya. Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa lepas dari kehendak Allah Yang Bijak dan semua kejadian itu bersumber dari takdir dan qodha’ Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang menyakitkan. Ia tidak akan pernah putus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak, pasti akan terwujud sesuai dengan kemashalatan dan kebijaksanaan, maka ia akan menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan lain sebagainya.

Demikian pula hati seorang mukmin akan terkait dan tidak akan tertipu oleh dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia tidak akan tertimpa penyakit sombong. Ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi sebagai sarana untuk mencapai status sosial. Allah Swt menyinggung manfaat-manfaat besar ini melalui ayat-Nya, Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula bagi dirimu sendiri melainkan tertulis dalam kitab lauh al-mahfuzh, sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23) Hendaknya kita berusaha menghidari pengaruh-pengaruh yang berlipat ganda dari penafsiran yang menyimpang terhadap masalah Qadha’, Qodar dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Karena penafsiran yang keliru atas masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan kejemuan, kemalasan, kepasrahan di hadapan tindak kezaliman dan kejahatan penguasa zalim, dan lari dari tanggung jawab. Kiranya perku kita ketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan kesengsaraan abadi manusia hanyalah dapat diusahakan melalui perbuatan bebas dan sengaja manusia itu sendiri. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya ia akan mendapat pahala dari perbuatan baik yang ia lakukan dan ia akan mendapat siksa dari perbuatan buruk yang ia kerjakan pula.” (QS. Al-Baqarah: 286); dan juga, “Dan manusia tidak akan mendapat balasan melainkan apa yang telah ia usahakan sendiri.” (QS. An-Najm: 39).
Pendapat-Pendapat Aliran Islam Yang Sangat Berkaitan Dengan Qadha` Dan Qadar.

Yaitu dari Jabariah dari golongan Jabariah adalah : 1. Tuhan menciptakan segala sesuatu perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. 2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat nanti, tetapi Tuhan bisa saja memindahkan hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan. Namun secara garis besarnya Ajaran faham mereka adalah; a. Iman dan taat, serta kufur dan maksiat semata-mata dari Allah. Tiada manusia berbuat, bercita-cita dan berdoa. b. Gugur taklif syara` daripada hamba. c. Berbuat baik tidak dapat kebajikan atau pahala, berbuat maksiat tidak dapat balasan dan putus asa daripada rahmat Allah. d. Berbuat baik tidak dapat pahala, berbuat jahat tidak dapat siksa. e. Tafakur itu lebih baik daripada segala ibadah fardhu atau sunah. f. Siapa yang menjadi kekasih Allah dan bersih daripada hawa nafsu yang jahat dan berilmu tidak perlu lagi berbuat amal ibadah. g. Bahwa orang-orang kafir dan ahli-ahli maksiat tidak akan ditanya di akhirat kelak karena segala-galanya itu Allah yang melakukannya. h. Bahwa Allah tidak menyiksa semua hamba-hambanya, kalau Allah menyiksa juga maka Allah itu zalim. i. Allah meghidupkan semua yang kafir dan segala orang yang bersalah di dalam neraka, setelah itu dimatikan pula dan tidak hidup lagi selama-lamanya. j. Apabila Allah selesai menciptakan makhluk maka beristirahatlah Ia. Setiap suatu yang dzahir pada waktunya yang ditetapkan itu, dengan sendirinya putus hubungan dengan Allah. k. Apabila sampai kepada derajat kekasih Allah (wali Allah) yang tinggi gugurlah taklif syara’ hanya tafakkur semata-mata. l. Harta dunia bersyarikat di antara semua keturunan Adam dan Hawa, halal mengambilnya tidak hak tagihan ahlinya. m. Apabila terasa dalam hati hendak melaksanakan sesuatu kebajikan atau kejahatan hendaklah segera mengerjakannya karena itu wahyu Allah yang dimasukkan di dalam hati. n. Barangsiapa belajar ilmu jadilah ia berada dalam syirik dan meneguhkan daripadanya jadilah ia kafir. o. Bahwa semua yang difardhukan oleh Allah boleh dikerjakan jika rajin dan boleh ditinggalkan jika malas. p. Segala perintah Allah itu hanya sekali saja tidak berulang-ulang. q. Hamba tiada mukallaf selain daripada iman dan kufur . Disebut mukmin hanya mengucap dua kalimah syahadat, menghilangkan dua kalimah syahadat jadi kafir. Tidak perlu lagi melaksanakan lebih daripada itu.

2. Ajaran-ajaran(doktrin) Qodariah Golongan ini menyatakan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan, dan secara garis besar Ajaran faham mereka adalah; a. Segala usaha ikhtiar, semata-mata dari Manusia. Tiada campur tangan Allah dalam perbuatan itu. b. Syaitan itu serupa dengan Allah kerana tidak mempunyai wujud yang nyata. c. Berbuat kejahatan itu seperti syaitan dan berbuat kebaikan itu seperti Allah. d. Qodha’ dan Qodar itu bukan daripada Allah. e. Beramal ibadah itu sia-sia karena tiap-tiap baik dan jahat itu azali. f. Tidak ada syurga, neraka, hisab, mizan dan belum dijadikan Allah. g. Bahwa segala amal ibadah daripada hamba semata-mata tidak diketahui memperoleh pahala atau siksa jika melaksanakan atau meninggalkannya. h. Bahwa Allah tiada menjadikan syaitan karena jika Allah menjadikan syaitan maka Allah juga menjadikan kekufuran maka sesungguhnya Allah itu berkehendak wujud kekufuran. i. Bahwa segala amal ibadah Allah semata-mata iman dan kufur. j. Benci kepada shalat fardhu dan suka kepada shalat sunah. Maka shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. k. Segala kitab-kitab Allah yang turun dari langit tidak mansuh, wajib beramal dengan semua isi kandungannya.

Telaah Pemikiran Antara Paham Qodariah dan Jabariah Perbuatan Tuhan dan Manusia Dari gambaran diatas penulis memberikan analisa bahwa Perbuatan manusia, siapakah yang melakukan, manusia atau Tuhan? Pertanyaan tersebut telah diperdebatkan di dalam sejarah teologi Islam. Perdebatan itulah yang melahirkan dua faham ini. Menurut faham Jabariah, perbuatan Jabariah pada dasarnya bukan manusia yang melakukannya, tetapi Tuhan. Manusia tidak berdaya atas perbuatannya. Kalaupun ada daya di dalam diri manusia untuk berbuat, maka daya tersebut tidak efektif. Yang efektif adalah daya tuhan yang menentukan perbuatan manusia. Jadi menurut faham ini bisa dikatakan posisi manusia jabariah dengan perbuatannya, digambarkan bagai kapas yang melayang menurut arah mata angin saja. Atau, Adapun dalam faham Qodariah, perbuatan manusia dilakukan oleh manusia, bukan Tuhan. Daya yang diberikan Tuhan ke dalam diri manusia, dipakai sepenuhnya oleh manusia untuk melakukan perbuatannya. Dalam hal ini, faham Jabariah melahirkan manusia fatalistik. Sedang, faham Qodariah melahirkan manusia optimistik. Karena bebas melakukan perbuatannya, maka menjadi logis dalam teologi Qodariah, jika manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Akan tetapi, logiskah untuk meminta tanggung jawab serupa, teologi Jabariah, di mana manusia terpaksa dengan perbuatannya karena Tuhan yang menentukan? Bagaimana dengan nasib hidup manusia?

Lantas bagaimana kita selaku manusia mensikapi akan kedua konsep faham tersebut? Seperti juga makhluk ciptaan Tuhan lainnya tanpa terkecuali, garis kehidupan manusia telah di polakan oleh Tuhan. Hanya makhluk berakal seperti manusia yang mampu melakukan “improvisasi” atas pola hidupnya dan juga bisa jadi mempengaruhi pola hidup makhluk lainnya. Diluar makhluk yang berakal, semua mengikuti fitrahnya hanyut ke dalam pola kehidupan yang telah final digariskan Tuhan mengikuti evolusi yang dirancang Tuhan dengan keseimbangan kosmos, keseimbangan lingkungan sebagai motor kompas[13] gerakannya.

Proses “improvisasi” atas pola kehidupan pemberian Tuhan bukan tidak terbatas. Kemampuan manusia berimprovisasi telah ditakar oleh Tuhan dalam bentuk Qodar baik dalam bentuk potensi bakat (14] kehidupan tertentu. Proses “improvisasi” manusia atas pola kehidupannya sendiri yang telah digariskan oleh Tuhan dibatasi oleh qadar tuhan atas masing-masing manusia itu sendiri yaitu oleh potensi yang dianugerahkan Tuhan Akan tetapi untuk mendapatkan “input” itu sendiri sudah ada pula takarannya, takaran dari Tuhan, sehubungan potensi lahir dan batin manusia yang telah ditakar pula oleh-Nya. Oleh karenanya, perolehan nasib kehidupannya tertakar pula kisarannya dari nilai minimum ke maksimum.

Memang manusia berusaha, tetapi tidak lepas dari ketentuan manusia yang telah terukir kisarannya. Hanya perlu dicamkan bahwa bentuk “improvisasi” dapat berdampak mengurangi nilai akumulasi keseluruhan usaha manusia yang bersangkutan. Maka bisa dikatakan, manusia bebas melakukan apapun sesuai apa yang dikehendakinya. Namun pada dasarnya ia tidak sepenuhnya bebas. Manusia sebenarnya telah terikat kepada setiap apa yang ia lakukan dalam artian antara lain menanggung seluruh akibat atas apa yang ia lakukan. Keterikatan kepada akibat atas apa yang ia lakukan tidak mungkin di hindarkan karena keberadaan manusia sebagai unsur alam yang harus patuh kepada aturan-aturan Tuhan berupa hukum alam atau sunnatullah. Seperti telah berkali-kali disebutkan bahwa bunyi sunnatullah perihal ini antara lain tercantum dalam (QS. 52: 21)[15] tersebut bahwa setiap orang terikat dari apa yang ia usahakan. Contoh, umpamanya kasus manusia dapat membunuh semut dengan kesengajaannya sehingga manusia mengaku mampu menentuan umur semut tersebut adalah seperti Fir’aun yang dapat menentukan hidup dan matinya manusia di bawah kekuasaannya. Dalam kasus ini, manusia di bawah kekuasaannya. Dalam kasus ini, manusia dan Fir’aun tersebut memiliki kekuasaan atau kekuatan pemberian Tuhan untuk melaksanakan kehendak mereka.
Manusia dan Fir’aun tersebut dapat menguasai sebab-sebab kejadian yang dikehendakinya untuk terjadi. Kehendak Tuhan melewati kehendak manusia dan Far’aun tersebut. Dalam kondisi seperti inilah manusia dapat mengatakan bahwa ia dapat menentukan nasib kehidupan berkat anugerah limpahan kehendak dan kekuasaan Tuhan kepadanya. Bahwa apa yang ia dapatkan tergantung dari apa yang ia usahakan baik lahir maupun batin atau dunia maupun akhirat. Pada posisi seperti inilah ayat-ayat suci al-Qur’an yang mendukung paham Qodariah dimaknakan. Kondisi atau posisi seperti inilah kondisi atau posisi Qodariah. Akan tetapi, tidak semua kejadian terjadi dengan kondisi Qodariah, dimana manusia mampu menguasai atau mengendalikan sebab-sebab terjadinya suatu kejadian bahkan sangat banyak kejadian mulai dari musibah hingga keberuntungan di mana manusia sama sekali tidak berdaya atas suatu kejadian yang menimpa diri atau masyarakatnya. Sebagai missal, orang yang terkena musibah kecelakaan pesawat terbang seperti juga musibah tenggelamnya Fir’aun dan pasukannya di laut Merah pada zaman Nabi Musa as. Terjadi diluar kehendak mereka yang terkena musibah. Mereka sama sekali tidak berdaya mengendalikan sebab-sebab terjadinya musibah, mereka terpaksa atau dipaksa oleh kehendak kompleks, yaitu kehendak alam lingkungan yang unsurnya kompleks untuk menerima musibah tersebut.

Kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak kompleks. Ini bukan hanya dalam peristiwa musibah saja, banyak juga peristiwa keberuntungan kejadiannya sama sekali diluar kesengajaannya. Inilah posisi atau kondisi Jabariah. Pada posisi seperti inilah ayat-ayat suci al-Qur’an yang mendukung paham Jabariah dimaknakan. Benar yang mana, Jabariah atau Qodariah? Kalau memang demikian adanya .. lantas pertanyaan timbul dalam benak kita, mana yang lebih baik ? Jabariah ataukah Qodariah? Allah Maha kuasa atas segala sesuatu .. Allah Juga menentukan segala sesuatu tapi baik buruk amal perbuatan manusia adalah tergantung dari pribadi manusia itu sendiri toh?… Segala puji bagi Allah yang dengan kuasa-Nya kita diciptakan berbeda satu dengan yang lainnya .. “Al-ikhtilaafuRrahmah” begitu kata rasul dan sebaik-baik permasalahan solusinya adalah apa yang diantara keduanya alias yang ditengah-tengah . “Khoirul-Umuri Ausaatuha” begitu sabda rasul .. intinya semua tergantung iman kita masing-masing , ya toh?

Paham Jabariah dan Qodariah yang kedua-duanya dilandasi ayat-ayat suci Al-Qur’an, tidak diragukan mengandung kebenaran. Adapun kedua paham teologi tersebut menjadi berseberangan dan konon pernah saling mengkafirkan[16] adalah suatu hal yang sangat wajar, manusiawi, sehubungan manusia mempunyai banyak keterbatasan dan terutama belum berkembangnya ilmu baru yang mampu mendukung penggabungannya. Untuk itu, kita perlu selalu mempertahankan sifat rendah hati, tawadhu’, karena manusia memang rentan dengan kelemahan serta keterbatasan. Sesuatu yang dianggap benar oleh sebagian orang menjadi kurang benar oleh sebagian orang lain di hari kemudian, karena berkembangnya ilmu pengetahuan. Dalam praktek kehidupan manusia sehari-hari, tidak seluruh keinginan manusia dapat dicapai oleh jerih payah usahanya seperti yang dikehendakinya. Kadang-kadang dapat tercapai dan kadang-kadang tidak. Banyak pula perolehan manusia yang di dapat diluar kesengajaan usahanya. Dalam kesehariannya, kehidupan manusia diperoleh melewati kondisi atau posisi Qodariah dan posisi Jabariah atau berkisar dari kondisi Qodariah hingga Jabariah. Dan sementara akan saya sebutkan pendapat aqidah Asy` ariyyah yaitu Qadha` bermaksud pelaksanaan.

Adapun Qodho` Terbaagi menjadi dua bahagian yaitu: Qodha` Mubram dan Qodha` Muallaq. Qodha` Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku dan tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. (Contoh: Mati pasti akan berlaku). Firman Allah Taala bermaksud: Dan pada sisi Allah Ta’ala juga kunci-kunci semua yang ghaib. (Surah al-Anaam: ayat 59). Qadha Muallaq: Adalah ketentuan yang tidak semestinya berlaku bahkan bergantung kepada sesuatu perkara. (Contoh: Panjang umur bergantung kepada menghubungkan silaturrahim dan amal kebajikan yang lain). Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud: “Tidak boleh ditolak Qodar Allah Ta’ala melainkan doa. Dan tiada yang boleh memanjangkan umur melainkan membuat baik kepada ibu bapak.” (Riwayat Hakim, Ibnu Hibban dan Tarmizi). Semua perkara di dalam pngetahuan Allah. Kedua-dua jenis qodho` di atas ini adalah di dalam pengetahuan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala bermaksud: Dan pada sisi Allah Taala Juga kunci-kunci semua yang ghaib. (Surah al-Anaam: ayat 59).

Hukum Mengimani Qodho` Dan Qodar

Definisi Iman secara kharfiyah (etimologis) adalah:percaya dan yakin. dan Iman secara ma`nawi (terminologis) Adalah: percaya dan yakin akan adanya Allah malaikatnya,kitab-kitab nya, para rasulnya,hari akhir,serta Qodho` Qodar.dan hukum mengimana Qodho Qodar adalah wajib hukum nya.

Ihtitam

Alhamudulillah dengan pertolongan Allah makalah ini bisa selesai walaupun banyak kesalahan semoga dengan kesalahan kita bisa terus semangat untuk memperbaiki kekurangan. Segala perbuatan hamba adalah diketahui oleh Allah Ta’ala melalui ilmu-ilmu-Nya. Hanya ianya terlindung dan tidak diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang lemah. Kerana itulah kita disuruh untuk sentiasa berusaha dan taat kepada-Nya kerana kita tidak mengetahui apa yang akan berlaku kepada kita nanti. Di antara bentuk ketaatan adalah dengan berdoa kepada Allah Ta’ala. Dengan berdoalah seseorang hamba itu akan merasakan dirinya lemah dan berhajat atau memerlukan kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang aku maka (jawablah) bahawasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Aku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Surah al-Baqarah: ayat 186). Sabda Rasulullah S.A.W.: “Doa merupakan otak kepada ibadat.” (Riwayat at-Tarmizi). senantiasalah berusaha dan berdo`a. Telah diketahui bahawa segala usaha dan doa dari hamba akan didengar oleh Allah Ta’ala maka dengan sebab itulah perlunya seseoarang hamba itu untuk sentiasa berusaha dan berdoa. Namun segala usaha dan doa ini sudah tentutukan di dalam kuasa dan ilmu Allah Ta’ala. Kerana itulah ada dinyatakan bahawa manusia hanya berusaha dan berdoa tetapi Allah yang menentukannya, sebab manusia tidak mengetahui qodha` dan qadar-Nya. Firman Allah Ta’ala: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Surah ar-Rad: ayat 11). Wallahu a`lam bi al-shawab.

Oleh: M. Nur Ihsan Mabrur

Referensi:


1. Fathul baary.
2. Al-farqu Baina al-Firaq. Maktabah Dar al-turas.
3 . Al Qadru, Al-hafiz al-Kabir Abu Bakar Abu Jakfar bin Muhammad bin Husain. Maktabah ashriyah Bairut.
4. Al-Qodho` wal Qodar karangan syekh ibnu Taimiyah .cetakan darul kitab Al Arabiy.
5. Al-Musamarah Fi Syarhi Al-Musayarah Fi Ilmi al-Kalam, Kamal bin Syarif, Maktabah Dar al-bashair.
6.Tarikh Al-Madzahib.7. Mausu`ah al-Firaq wa al-Madzahib. Majlis a`la.8. Aqidah Asyairah, Shalahuddin bin Ahmad Al-Id-libii. Dar al-Salam.
 

Qadla dan Qadar

Cairo, FAS Mesir 23/10/2010 - Qadla dan qadar merupakan persoalan pelik dan menjadi perdebatan panjang di antara para theolog dan filsuf. Untuk memetakan keduanya terjadi "perang dingin" hingga hal itu tampak tidak sehat lagi. Sebab, perdebatan itu tidak murni menjadi perdebatan intelektual, tapi merambah pada sektor politik.

Kedua tema itu pada sore kali ini dipaparkan secara lugas oleh dua presentator M. Nur Ihsan Mabrur dan Zainal Mustaqin, pada diskusi dwi mingguan FAS Mesir, dengan tema "qadla dan qadar" yang dimoderatori oleh rekan Yono Firmansyah. Karena agenda ini mengalami benturan dengan acara Bahsul Masail Waqi'iyyah PCI NU Mesir, maka agenda yang seharusnya dilaksanakan pada hari rabu (20/10) harus rela di undur beberapa hari setelahnya.

Pada kesempatan pertama rekan Nur Ihsan Mabrur memaparkan klasifikasi qadla dan qadar menjadi dua; mubram dan mu'allaq, sekaligus memberikan contoh riil. Menurutnya --sesuai referensi yang ada-- kematian merupakan realita qadla-qadar kategori mubram, dimana terjadinya tidak dapat ditawar, sedangkan rizqi masuk katerogi mu'allaq, dimana keberadaannya mampu diupayakan manusia.

Pada kesempatan lain rekan Zainal Mustaqim mendeskripsikan qadla-qadar dengan menghadirkan banyak tendensi dari al-Qur'an dan al-Hadis. Menurutnya, mempercayai (baca; iman) qadla-qadar merupakan salahsatu dari rukun iman, dan keduanya terklasifikasi menjadi empat bagian. Pertama; al-ilm (pengetahuan), kedua; al-kitabah (penulisan), ketiga; al-masyiah (kehendak) dan ke empat; al-khalq (penciptaan).

Sesaat setelah elaborasi keduanya terpaparkan, rekan Agus Salim melemparkan pertanyaan pada sesi dialog. Di antara pertanyaannya adalah; bagaimana memetakan mana qadla-qadar mu'allaq dan mana yang mubram?. hal itu mengemuka disebabkan para pakar teologi terjadi perbedaan signifikan.

Setelah beberapa pertanyaan dijawab secara lugas oleh kedua presentator, rekan Nurul Ahsan melemparkan pertanyaan mengenai korelasi qadla-qadar dan teori kausalitas (hukum sebab akibat) dikaitkan dengan kondisi dekadensi peradaban Islam sekian abad lamanya. Sepontan, wacana yang diberikan rekan Nurul Ahsan ini mendapat kritik tajam dari beberapa peserta semisal Agus Salim, Muhammad Shafi, Anik Munir sekaligus presentatornya.

Menurut Agus Salim, Lc., tidak tepat jika dekadensi peradaban Islam selalu mengkambinghitamkan teologi sedangkan persoalan umat Islam bukan hanya berkutat pada aspek teologisnya saja. "Jepang yang tidak mengenal teologi saja tetap bisa membangun peradaban" celetuknya.

Muhammad Shafi mempunyai kritik lain. Menurutnya yang bertanggungjawab terjadinya dekadensi peradaban Islam bukan hanya para teolog, tapi banyak faktor lain, salahsatunya para pakar hukum Islam (fuqaha). Kemudian rekan Anik Munir, Lc. memberikan kritik lebih spesifik lagi dengan mengacu pada historikalnya, bahwa dekadensi timbul justru disebabkan kekalahan perang dan intregitas umat Islam telah terkikis di mana-mana.

Meskipun kesempatan diskusi hampir mencapai batas akhir, rekan Nurul Ahsan masih diberi kesempatan moderator untuk memberikan counter pada beberapa kritik yang masuk. Ia sepakat bahwa teologi bukan satu-satunya problem terjadinya dekadensi, namun lebih tepatnya problem itu mendominasi. Kemudia ia menambahkan ketidaksepakatannya dengan apa yang dipaparkan rekan Anik Munir, Lc. "Jika menggunakan pendekatan mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) seakan-akan semua persoalan selesai dengan adanya persatuan dan kemenangan strategi perang. Uni Soviet juga mengalami hal sama, namun disana tetap dapat membangun peradaban maju" tambahnya.

Pada dasarnya, antusias audien masih terlihat begitu jelas. Namun, karena waktu saat itu menunjukkan pukul 15.30 maka diskusi terpaksa dihentikan moderator dan waktu diserahkan kepada Pembina I, Ust. Mahmudi Muhshon, MA. "Berbicara qadla-qadar merupakan persoalan pelik berabad-abad lamanya. Analogi diskursus teologi adalah manusia melihat matahari dengan mata telanjang. Boleh jadi awalnya mata mampu melihat tapi tidak untuk selanjutnya. Demikian juga diskursus teologi, semakin kita berdebat tentangnya maka persoalan yang ada akan semakin rumit dan njelimet" terangnya, dengan mengacu pada cerita Imam Abu Hanifah dengan salahseorang muridnya.

Reporter: Nurul Ahsan
 

FAS Mesir dan Qanathir

Cairo, FAS Mesir, 10/10/10 - Setelah melakukan diskusi perdana, selasa (5/10) yang bertemakan "Aqidah dan Eksistensi Tuhan", FAS Mesir beriniatif melakukan refreshing dengan “mancing bersama” di Qanathir, tepi sungai Nil. Hal ini mengacu pada aktifitas tahun lalu, disaat FAS Mesir usai menerima kedatangan tiga anggota baru.

Agenda berjalan sesuai rencana, selepas asar. Ada dua basecamp untuk keberangkatan. Pertama Hay. Sadis (secretariat) dan kedua Damardasy atau sering disebut Cairo lama. Kemudian keduanya bertemu di terminal Tahrir, dan berngkat bersama menuju Qanatahir.
Telah biasa, dalam mengendurkan otak barang sejenak, selepas ujian, FAS Mesir melakukan refreshing, sebagaimana organisasi-organisasi almamater lainnya. Mulai dari melakukan study tour secara personal, long march di beberapa situs bersejarah dan mancing bersama sebagaimana yang usai dilakukan.

Ada salahseorang anggota yang mengeluhkan rencana tersebut. "Mengapa harus ke Qanatrhir, dimana kepergian kita tidak akan mendapatkan apa-apa?" keluhya. Ada juga yang tetap bersemangat sembari mengatakan: "Saya akan tetap berangkat karena yang memobilisir organisasi almamater". Meskipun demikian, setelah agenda itu berjalan secara alami, semua tampak begitu menikmatinya tanpa ada rasa keterpaksaan. Padahal hampir sehari semalam mereka berada di sana.

Memang, kali ini tidak semua anggota FAS Mesir dapat berpartisipasi. Hal itu disebabkan padatnya aktifitas, sehingga menyebabkan beberapa anggota mengalami benturan satu aktifitas dan aktifitas lainnya. Barangkali, hal paling berharga yang dapat diambil dari perjalanan itu adalah "kebersamaan" dan sejauh mana loyalitas seseorang terhadap organisasi almamaternya.

Reporter: Nurul Ahsan.
 

Medis Membedah Puasa

Pendahuluan
Sudah jamak diketahui bahwasanya urgensi puasa, puasa Ramadhan khususnya, begitu dalam bagi umat muslim. Dipandang dari sisi manapun, puasa mempunyai makna yang sangat mendasar bagi kemaslahatan kehidupan. Jelas sekali mengapa Allah swt. mewahyukan tuntutan teruntuk umat Muhammad SAW yang termaktub dalam firman-Nya :

يأيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Al-Baqoroh : 183).
Hal senada juga diungkapkan oleh Rasulullah swt. dalam haditsnya "صُومُوا تَصِحّوا”. Dalam hal keistimewaan, Imam Al-Ghozali ikut urun pendapat perihal puasa: “telah banyak kita ketahui bahwa kesabaran adalah sebagian daripada iman manusia, seperti yang telah diungkapkan oleh baginda Rosul. Dan perlu diketahui juga nilai puasa itu sebenarnya mengandung setengah dari makna kesabaran, kesabaran yang pahalanya tak terbatas “hanya” sepuluh kali lipat, sabar dalam menahan segala jenis nafsu, puasa adalah seperempat dari iman.”

Puasa Dalam Tataran Medis
Dewasa ini, ambiguitas mengenai makna puasa perlahan mulai terkikis. Puasa yang dulunya dianggap beban oleh sebagian kalangan, saat ini mulai terbaca segala rahasia yang turut mengiringinya, salah satunya dalam segi medis (kedokteran). Mendengar ungkapan rasul di atas, semestinya patut kita telisik kandungan yang tersembunyi di dalamnya. Apa benar puasa menjadikan sehat? Padahal puasa sendiri adalah mengurangi kadar makanan yang kita konsumsi tiap harinya, dan yang kita ketahui, untuk mendapatkan tubuh sehat segala suplemen tubuh haruslah dipenuhi, dengan makan tentunya. Allah pun telah jelas-jelas memerintahkan hal tersebut dalam firman-Nya "كلواواشربوا..". Lantas, mengapa Allah sendiri menganjurkan “mengurangi jatah makan” kita?

Nabi Muhammad pernah bersabda: "Barangsiapa yang berani mengosongkan perutnya, maka dengan otaknya dia akan menghasilkan sesuatu yang besar..". Menilik semua ungkapan Nabi tersebut jelas-jelas bahwa puasa bukan “hanya” mampu menghentikan segala laju nafsu, tapi ada keistimewaan lain yang belum diungkap.

Imam Al-Ghozali mengungkap sedikit tabir berkaitan hal itu, dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin. Beliau menuturkan: “kadang kita tidak tahu bahwa makanan yang kita konsumsi sehari-hari sebenarnya berlebih. Setiap kita makan pasti ada sisa makanan yang berlebih, semakin hari semakin menumpuk di dalam tubuh. Penumpukan segala campuran makanan di dalam lambung tersebut dapat menyebabkan gangguan pencernaan di usus besar.” Hal itu jika dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu proses pencernaan tubuh kita. Dengan puasa, sisa-sisa makanan tersebut akan dioptimalkan menjadi sumber gizi yang bermanfaat. Disamping itu puasa juga membersihkan sisa-sisa makanan yang tidak terpakai. Dr. Widodo Judarwanto, salah satu pakar kesehatan Indonesia, mengungkapkan, jumlah sel yang mati dalam tubuh mencapai 125 juta per detik. Namun yang lahir dan meremaja lebih banyak lagi. Saat melakukan puasa terjadi perubahan dan konversi yang massif dalam asam amino yang terakumulasi dari makanan. Sebelum didistribusikan dalam tubuh terjadi format ulang, sehingga memberikan kesempatan tunas baru sel untuk memperbaiki dan merestorasi fungsi dan kinerjanya. Pola makan saat puasa dapat mensuplai asam lemak dan asam amino penting saat makan sahur dan berbuka. Sehingga terbentuk tunas-tunas protein , lemak, fosfat, kolesterol dan lainnya untuk membangun sel baru dan membersihkan sel lemak yang menggumpal di dalam hati.

Keuntungan rohaniah juga turut tergambar dalam puasa. Salah satunya adalah Kasr al-syahwat (meredamkan nafsu syahwat), dan ini mempunyai andil besar dalam tataran medis. Maksiat, yang notabene-nya muncul karena adanya syahwat dan kekuatan tubuh, hanya bisa timbul karena adanya sumber yang menyokongnya, yaitu makanan. Jadi, dengan menghentikan sementara laju makanan, secara langsung berdampak pada kencangnya keinginan maksiat. “karena kebahagian yang sesungguhnya adalah ketika seseorang dapat memiliki dirinya sepenuhnya mengendalikan dirinya”, komentar Imam Ghozali dalam sebuah karyanya.

Dr. Widodo Judarwanto menambahkan, keadaan psikologis yang tenang, teduh dan tidak dipenuhi rasa amarah saat puasa ternyata dapat menurunkan adrenalin. Saat marah terjadi peningkatan jumlah adrenalin sebesar 20-30 kali lipat. Adrenalin akan memperkecil kontraksi otot empedu, menyempitkan pembuluh darah perifer, meluaskan pembuluh darah koroner, meningkatkan tekanan darah rterial dan menambah volume darah ke jantung dan jumlah detak jantung. Adrenalin juga menambah pembentukan kolesterol dari lemak protein berkepadatan rendah. Berbagai hal tersebut ternyata dapat meningkatkan resiko penyakit pembuluh darah, jantung dan otak seperti jantung koroner, stroke dan lainnya.

Penutup
Setelah menelaah hal di atas, hikmah yang terselubung di balik puasa secara rahaniah ternyata mempunyai tali kaitan dengan tataran kesehatan. Yang perlu kita tekankan dalam memahami esensi puasa sebenarnya hanya berdasarkan hadits nabi ”"صُومُوا تَصِحّوا. Hadits tersebut memuat pelbagai rahasia puasa dalam segi lahiriah maupun batiniah. Rahasia mukjizat kesehatan yang dijanjikan dalam berpuasa inilah yang menjadi daya tarik ilmuwan untuk meneliti berbagai aspek kesehatan puasa secara psikobiologis, imunopatofisilogis dan biomolekular.

oleh: M. Mu’afi Himam
 

Sekilas Biografi Abu Darda

Adalah seorang Hakim di daerah Syam pada masa pemerintahan Utsman Bin Affan. Nama lengkapnya adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais, seorang sahabat perawi hadist dari Anshar, dari kabilah Khajraj. Ia hapal al-Quran dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Dalam perang Uhud Rasulullah bersabda mengenai dirinya: “Prajurit berkuda paling baik adalah Uwaimir”. Beliau ini dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Salman Al-Farisi. Dia mengikuti semua peperangan yang terjadi setelah perang Uhud. Ia meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah dan Zaid bin Tsabit, sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah anaknya sendiri; Bilal, dan istrinya; Ummu Darda’. Hadits yang dia riwayatkan mencapai 179 hadits. Masruq berkata mengenainya: ”Aku mendapatkan ilmu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam pada enam orang, diantaranya dari Abu Darda“.

Uwaimir bin Malik al-Khazraji lebih dikenal dengan nama Abu Darda. Ia merupakan sahabat nabi yang zuhud; meninggalkan gemerlapnya kehidupan dunia. Mengenai zuhud-nya, beliau berkata; “Dulu saya seorang pedagang sebelum Islam datang. Ketika ajaran Islam datang dan (saya masuk Islam), saya mengkalaborasikan antara dagang dan ibadah. Tapi keduanya tidak dapat bersatu. Hingga akhirnya saya tinggalkan profesi dagang untuk intens beribadah.” Karena ucapannya itu, Al-Imam Al-Dahabi berkata; “Alangkah baiknya mengabungkan keduanya secara sungguh-sungguh. Memang kadang tidak semua mampu mensinergikan keduanya. Meskipun demikian hak-hak dalam keluarga juga tidak kalah penting dibandingnya”.

Sebenarnya Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekedar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya telah cukup sesuap nasi, sebatas untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, ada sekumpulan orang bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, di antara mereka mempertanyakan selimut. Salah seorang dari mereka berkata; “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda". Kata yang lain; “Tidak perlu!” Tetapi orang itu menolak saran yang telah diberikannya untuk tidak menanyakan selimut kepada Abu Darda.

Dia terus menuju kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda sedang berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda; “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa mengenakan selimut. Anda kemanakan kekayaan dan harta benda Anda?”

Abu Darda pun menjawab: “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap mendapatkan harta benda kami langsung antarkan ke sana. Seandainya masih ada yang tersisa di sini (berupa selimut), sudah tentu kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu amat sulit dan mendaki. Apalagi membawa barang-barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang-barang yang berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa". Kemudian Abu Darda bertanya; “Pahamkah Anda?” Orang itu menjawab: “Ya, saya mengerti.”

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Abu Darda diberi kehormatan menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak jabatan tersebut, sehingga menjadikan Khalifah Umar marah kepadanya. Kemudian Abu Darda berkata: “Jika Anda menghendaki saya pergi ke Syam untuk mengajarkan Al-Quran dan sunah Rasul kepada mereka, serta menegakkan shalat bersama-sama dengan mereka, maka dengan senang hati saya terima.” Rupanya Khalifah Umar menyetujui rencana tersebut, kemudian Abu Darda berangkat ke Damaskus.

Sesampainya di sana, ia mendapati masyarakat tengah terbuai kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat membuatnya sedih. Maka, diajaknya orang-orang itu untuk pergi ke masjid dan ia berpidato di hadapan mereka: “Wahai penduduk Damaskus! Kalian adalah saudaraku seagama, tetangga senegeri, dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damaskus! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyukai saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balasan apa-apa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan melebihi batas, namun tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai. Bangsa-bangsa sebelum kalian juga pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya beberapa saat harta yang mereka tumpuk habis terkikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan mewah yang mereka bangun runtuh menjadi kuburan. Hai penduduk Damaskus! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.) yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli peninggalan kaum ‘Ad itu dariku dengan harga dua dirham?”

Banyak orang yang menangis mendengarkan pidato itu, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi tempat-tempat berkumpulnya masyarakat Damaskus dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya ia menjawab. Jika bertemu dengan orang bodoh ia mengajarinya, dan jika melihat orang lalai ia pun mengingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan-kesempatan baik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Demikian sekelumit kisah tentang sahabat nabi yang mampu memberikan keteladanan tentang bagaimana menjalani keseimbangan hidup, antara duniawi dan ukhrawy. Dunia bersifat sementara sedangkan akhirat bersifat kekal abadi. Bagaimanapun juga untuk meraih kekekalan itu sudah barangtentu tidak mengorbankan hak-hak keluarga, masyarakat dan sebagainya yang bersifat dunia. Wallahu a’lam.

Disadur oleh; M. Nurul Ahsan, dari berbagai sumber.
 

Karya Ilmiah vs Karya Sastra

Cairo, 07/09/2010 – Meriah dan penuh tawa. Itulah kondisi kongkow asyr al-awakhir bulan Ramadlan yang diadakan FAS Mesir, malam ini. Kongkow yang berlangsung hampir 2 jam itu suasananya tampak begitu hidup. Memang biasanya banyak terdapat joke juga, tapi malam ini nuansanya terasa beda dan istimewa, karena pembicara adalah Ust. Muhammad Shofi, ketua FAS Mesir, pereode 2010 – 2011.

Nurul Ahsan yang bertindak sebagai moderator memberikan prolog dan menyampaikan kebingungannya atas makalah yang ditulis pembicara. Menurutnya, tulisan yang ada justeru identik dengan “cerpen”. “Tulisannya bagus, tapi saya rasa kita akan bingung; harus menggunakan kaca mata apa kita menilainya? Karena, menurut saya ini bukan karya ilmiah tapi karya sastra” tutur moderator dalam memberikan prolog.

Hampir 20 menit pembicara memberikan orasi dan menjelaskan kronologi tulisannya. Sesuai dengan apa yang ia sampaikan, ternyata beliau hanya ingin menyajikan tulisan dengan bentuk yang berbeda. “Ini kisah nyata yang saya kemas dengan bentuk yang berbeda. Tapi tulisan ini tetap karya ilmiah. Apalagi di dalamnya menggunakan Ihya Ulum al-Din karya Al-Ghazali sebagai referensi” kisahnya untuk menepis keraguan pembaca.

Setelah orasi selesai secara otomatis masuk dialog interaktif. Ada lima orang yang bersedia menanggapi, yakni; Abdullah Farid, Sholeh Taufiq, Fathullah Mannan, Shalihan Labib dan Agus Salim. Mereka semua sepakat bahwa tulisan yang ada ditangan mereka bagus, hanya timing yang kurang tepat.

Agus Salim, Pembina FAS Mesir menyarankan: “Seharusnya Pembicara membidik segala pernak-pernik Ramadlan dari aspek sejarahnya, semisal; siapa yang memulai maidat al-rahman (pemberian buka puasa massal) dan bagaimana Fanus (lampu khas hari-hari besar) itu ada, seperti yang ada dalam buku ini” terangnya, serambi menunjukkan sebuah buku lumayan tebal.

Setelah semua bentuk kritik dijawab oleh Pembicara, sebagai penutup Penasehat FAS Mesir Bapak Machmudi Muhsan, MA. memberikan penilaian dengan cara pandang berbeda dari mayoritas audient malam ini. Pasalnya: “Pada dasarnya semua jenis tulisan atau narasi adalah informasi, sedangkan tulisan ini juga masuk kategori tersebut. Jadi, tulisan ini tidak salah. Hanya system penilaian yang kita gunakan yang berbeda, jadi terkesan absurd disampaikan di sini”.

Barangkali semua sependapat bahwa menilai sesuatu itu harus melihat kapasitas obyek sebagai apa agar mampu memberikan penilaian yang tepat. Bagaimanapun juga, semua yang hadir mengapresiasi bahwa tulisan yang disajikan cukup bagus. Apalagi Pembicara kali ini Ketua FAS Mesir, Ustadz Muhammad Shafy, orang pertama yang mampu mengetengahkan tulisan bernuansa baru.

Reporter: Nurul Ahsan
 

Rukhsah Puasa dan Problematika Kontemporer

Cairo, 06/09/2010 – Kehidupan tidak akan lepas dari yang namanya problem sedangkan Islam selalu mencoba mengakomodir segala persoalan kehidupan untuk dipelajari, agar nantinya mampu menghadirkan sebuah solusi yang tepat. Barangkali itulah tema kongkow Ramadlan yang diagendakan FAS Mesir malam ini, bersama Sdr. Irhas Darojat dan Sdr. Sholehan Labib.

Hanya 15 menit yang digunakan penceramah pertama, Sdr. Irhas Darojat, dari total waktu 20 menit yang diberikan moderator, Sdr. Nur Ihsan Mabrur. Meskipun elaborasi yang disampaikan hanya 15 menit tapi materi yang disampaikan cukup memuaskan.

Materi yang disampaikan penceramah berkutat pada persoalan-persoalan klasik, sebagaimana yang telah banyak diuraikan dalam buku-buku tradisional pesantren. Menurutnya, ada 4 kriteria orang mendapatkan keringanan untuk tidak melakukan puasa di bulan Ramadlan. Pertama, musafir atau orang bepergian dengan memenuhi syarat-syaratnya. Kedua, orang sakit. Ketiga, usia lanjut. Keempat, wanita hamil atau sedang menyusui.

Sebelum masuk pada dialog interaktif, pembicara juga menyinggung hukum bolehnya mengambil rukhshah seorang atlit sepak bola maupun olah dan atlit-atlit lain, dengan mengacu pada fatwa Majma' Buhuts al-Islamiyyah, Mesir, dan ulama-ulama Eropa. "Namun fatwa ini ditentang oleh Syeikh Utsaimin, Saudi Arabia. Seharusnya para atlit mencari pekerjaan lain yang lebih layak. Tidak boleh melakukan rukhshah" kutipnya, dengan mengacu pada fatwa ulama wahabi, Saudi Arabia.

Pembicara kedua, Sdr. Sholehan Labib membicarakan seputar lailatul qadar. Karena menurutnya dalam ceramah kali ini tidak mempunyai persiapan samasekali, maka beliau hanya berharap, malam ini, dimana FAS Mesir tengah melakukan agendanya adalah malam lailatul qadar. "Inilah malam yang yang kita tunggu-tunggu" tuturnya.

Banyaknya pertanyaan persoalan-persoalan baru dari Agus Salim Lc. Nurul Ahsan, Nasir Abdillah dan Sholeh taufik menunjukkan bahwa audient begitu antusias mengikuti agenda ini. Kemudian, disamping pertanyaan dijawab oleh pembicara, dua Pembina FAS, Ust. Machmudi Muhshon MA. dan Ust. Aniq Munir Lc. juga memberikan beberapa tambahan mengenai problematika kontemporer yang dihadapi umat Islam saat ini. Acara berakhir khidmat dan ditutup dengan do'a.

Reporter: Nurul Ahsan.
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger