GANTI FONT BLOG INI!

Qira'ah; me-Review Perjalanan Cabang Ilmu AL-Qur'an

Oleh: Ahmad Aniq Munir


Pendahuluan

Membincang Al-Qur’an menjadi kehangatan yang tak pernah usai. Sesuai perjalanan zaman ada warna-warna tersendiri yang turut menghiasi kajian ini. Terkadang ayat Al-Qur’an sangat menarik jika dikaji segi bahasa, lahirlah Ilmu Nahwu. Ada ayat yang berisi perintah maupun larangan, muncullah Ilmu Fiqh. Bahkan sampai saat ini kandungan tersebut sering menguatkan hasil penelitian para ilmuwan di berbagai bidang, semisal Fisika, Kimia, Biologi dan mungkin ruang lingkup lain yang belum sempat terjamah. Tidak salah Allah Swt berfirman pada salah satu Ayat: “maa farratna fil kitab min syai'in”.

Pada era Salafus Salih salah satu kajian yang lahir dari kalam Ilahi adalah cara pembacaan sebuah Ayat. Antara satu orang dengan orang lain menjadi keniscayaan untuk tidak menafikan perbedaan. Terkait hal ini, Rasulullah S.A.W. sendiri bersabda: “Unzila Al-Qur’an ‘ala sab’aty ahruf”. Sebuah metode jitu dalam melebarkan syari'at agama ke seluruh penjuru dunia.


Membaca adalah sebuah budaya masyarakat modern. Kunci kemajuan peradaban bangsa terletak pada hobi para penduduk masing-masing dalam membaca. Tidak ketinggalan Indonesia. Program wajib belajar sembilan tahun sejak zaman Soeharto berimbas ke banyaknya Perguruan Tinggi di berbagai penjuru negeri. Allah SWT sendiri pada saat pertama kali wahyu turun langsung memberi perintah membaca kepada Muhammad S.A.W. Stimulasi penting yang yang terpupuk di hati sanubari para Sahabat. Mungkin salah satu kehebatan kaum Muslimin zaman dulu terinspirasi Surat Al-'alaq. Bahkan tidak jarang gagasan mereka lahir karena keteguhan mereka saat membaca maupun memahami Al-Qur’an.

Dakwah Rasulullah S.A.W. ke masyarakat ramai tersusun secara jitu dan rapi. Saat pertama kali Syari'at turun, penyebaran agama dilakukan dengan diam-diam. Setelah pengikut bertambah banyak seruan beralih secara terang-terangan. Saat pondasi menjadi kuat maka mulailah pembentukan wajah dan karakter masyarakat madani. Terlalu banyaknya suku-suku di berbagai tempat menjadi problematika tersendiri dalam penyampaian Al-Qur’an. Disini fungsi central Hadist di atas berjalan. Aplikasi tersebut membawa hasil. Menjelang Rasul wafat,Islam hampir tersebar di seluruh Jazirah Arab. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dari sini ternyata membawa kerangka ilmu pengetahuan. Hasil penalaran Hadist di atas saja mampu melahirkan satu bidang studi. Salah satu konsentrasi khusus yang menjadi bukti kehebatan islam.

Namun kenyataannya, pada saat ini mungkin yang sering dipakai kaum muslimin di seluruh dunia dalam membaca Al-Qur’an hanyalah riwayat Hafs dari riwayat 'Ashim, salah satu riwayat dari ribuan macam thoriqoh membaca Al-Qur’an. Terkecuali di beberapa kawasan semisal Libya dan Maroko. Dalalah sikap regresif di antara kita plus kemunduran umat islam saat ini. Sebuah fenomena dengan rentetan pertanyaan yang perlu kita cermati. Apakah sejak dulu memang keadaan seperti ini?, apakah betul Islam benar-benar telah mundur dalam dunia study Al -Quran?, apakah sah Barat menganggap kita taqlid buta dalam belajar Al-Qur’an? ataukah muncul sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan kecocokan kaum muslimin dalam membaca Al qur’an?.

Banyak sekali penelitian-penelitian para Sarjana Timur dan Barat seputar Al-Qur’an. Apresiasi yang timbul pun berbeda-beda. Deskripsi ini saja sudah mampu menjadi bagian lain dari sisi kehebatan Al-Qur’an. Sebagian kalangan mungkin akan merasa takjub melihat sisi isi maupun corak pembawaan Al-Qur’an. Untaian kalimatnya tak tertandingi. Bahkan struktur katanya sering kali mencakup makna-makna atau maklumat baru yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab lain. Namun tidak sedikit orang yang mengkritik orisinalitas tersebut dengan pisau analisis dan perangkat-perangkat lain sehingga natijah (kesimpulan) akhirnya pun berbeda-beda. Kita tidak tahu maksud dan tujuan mereka secara pasti. Yang paling penting ilustrasi tersebut justru harus menjadi cambukan bagi kita dalam bersungguh mempelajari kalam Allah.

Seputar Sejarah Qira'ah

Kapasitas tiap sarjana tak ada bedanya dengan kualitas HP. Semakin bagus merek tersebut pasti akan muncul kekurangan manakala kita bandingkan dengan produk lain. Begitu juga dengan tokoh cendekiawan. Ketika sebuah keilmuan mencapai puncaknya justru yang tampak adalah kekurangan. Tidak jarang sering kita temukan kontroversi diantara mereka, melihat asal muara pemikiran yang berbeda. Satu contoh semisal tokoh Tasawuf dengan Fuqaha’. Orang-orang tasawuf seringkali menitikberatkan konsentrasinya ke ilmu hakikat. Berbeda dengan para Fuqaha' yang lebih suka memecahkan permasalahan dengan jalur pemahaman dhohir teks. Sama juga kontroversi antara Nahwiyyin dengan Qurra’. Saat ini banyak sekali tokoh-tokoh orientalis mencoba mengkritik Al-Qur’an melalui disiplin ilmu ini. Tidak hanya orientalis, kalangan cendekiawan muslim pun banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan miris seputar qiraat. Namun, Al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang turun serta diajarkan secara mutawatir. Kedudukan periwayatannya melalui jalur bil hifdzi menjadi garansi paten tanpa mungkin diotak-atik. Kenyataaan ini sangat berbeda dengan agama-agama lain semisal Yahudi atau Kristen. Kekosongan kunci tesebut menjadi bukti kongkret satu kelemahan mendasar atas kitab suci dalam agama mereka.

Sejak zaman Sahabat sudah muncul beberapa tokoh dengan predikat tertinggi. Satu pencapaian atas mereka yang tidak mungkin terpenuhi tanpa semangat dan kecintaan mendalam. Semua tokoh tersebut tentu memiliki mahabbah maupun suhbah kepada Nabi di atas segala-galanya. Al-zurqoni memilih nama Utsman bin Affan, Ali bin Aby Thalib, Ubay bin ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Masud, Abu Darda’ , Abu Musa al-Asy’ari sebagai murid Nabi yang berhak duduk di jajaran ini. Semua Sahabat ini di kemudian hari memiliki murid sebagai generasi penerus perjuangan. Tongkat estafet kemudian beralih di pundak para tabi`in,anak-anak hasil didikan mereka. Meski pada akhirnya para Sahabat Rasul harus rela meninggalkan tanah kelahiran mereka. Sebuah perjalanan pahit tiap-tiap perjuangan. Namun menjadi solusi kongkrit demi mengibarkan panji-panji suci kalimat Tuhan. Mulai dari sini pada dasarnya sudah banyak wajah-wajah baru yang menghiasi belantika akademi Al-Qur’an.

Seiring berjalannya waktu kita bisa menemukan tiap kota terdapat sekolahan baru sebagai regenerasi ajaran Rasul. Said Ibn Musayyab, Urwah, salim, Umar bin Abdu al-Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atho' bin Yasar, Zaid bin Aslam, Muslim bin Jundub, al-Zuhry, Abdurrahman bin Hurmuz, Muadz bin al-Harits sebagai jebolan sekolah Madinah. Sebuah kota tempat Nabi menanamkan pundi-pundi Syari’at. Mekkah sebagai tempat kelahiran Nabi juga melahirkan generasi-generasi baru. Para pemuda di sini pun turut meramaikan kancah belantika disiplin ilmu qira’at. Sebut saja Atho’, Mujahid, Thawus, Ibn Abi Mulaikah, Ubaid bin Umair. Tidak ketinggalan kota Bashrah. Di sini lahir sosok semisal Amir bin Abd Al Qais, Abu al-Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin Asim, Yahya bin Ya’mur, Jabir bin Zaid, Al Hasan, Ibn Sirin, Qatadah. Tidak jauh dari Bashrah adalah Kufah. Nama-nama semisal Alqamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Rabi’ bin Khaitsam, al-Haris bin Qais, Umar bin Syurajil, Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Wazir bin Habisy, Ubaidah bin Nadhlah, Abu Zurah bin Amr, Said bin Jubair, al-Nakha’i, al-Sya’by. Sejak dulu dua kota ini memiliki sejarah kebudayaan maju, bahkan saat Islam masuk di sana meski terkenal dengan ilmu Nahwu namun dua kota tersebut mampu menunjukkan eksistensinya dalam bidang qira’at. Tempat study paling jauh di era ini adalah Syam. Salah satu Sahabat Nabi yang sempat menjadi dosen disini adalah Abu Darda’. Pun terdapat murid-muridnya yang siap mengangkat panji-panji suci kalam Ilahi semisal Mughirah bin Syihab al-Makhzumi, Khulaid bin Said.

Seiring berjalannya waktu penerus-penerus baru pun bermunculan. Beberapa tahun kemudian sudah tidak terhitung debutan-debutan baru. Layaknya pohon, makin besar makin banyak ranting dan buahnya. Debutan tesebut memiliki anak didik dengan perkembangan yang pesat. Namun, ada juga anak didik yang tidak memiliki kualitas seperti gurunya, ibarat pepatah "makin banyak jumlah buah makin banyak busuknya". Riwayat-riwayat yang tidak kuat sangat mungkin keluar dari mereka. Entah karena kurang kuatnya hafalan atau mungkin mungkin faktor-faktor lain. Bahkan sangat mungkin sesekali terjadi campur aduk antara shohih dan dho`if, mutawatir dan ahad, meskipun tidak menafikan kemungkinan yang sama pada dekade sebelumnya.

Tidak salah jika pada masa sesudahnya lahirlah unifikasi qira’at. Terlalu banyaknya pembebasan dalam membaca Al-Qur’an serta merebaknya bacaan-bacaan syadz menyulut ruang kontroversi sangat tajam bahkan sangat mungkin tidak menafikan adu fisik antara berbagai macam aliran. Upaya meredam pertumbahan darah harus menjadi solusi atas perpecahan umat Islam. Namun yang terjadi justru adalah pemahaman orang tentang terbatasnya bacaan hanya kepada tujuh Imam. Theodore Noeldeke mengasumsi munculnya pembebekan membaca pada masa sekarang dimulai pada saat itu. Uraian analisanya membuahkan dua kesimpulan periodesasi keberlangsungan kajian qira'at.

Pertama, periode taqlid. Ibn Mujahid sebagai tokoh negara serta salah satu pakar agama memiliki pengaruh besar atas berlangsungnya varian bacaan. Dengan didukung kekuasaan, Ibn Mujahid mencoba menetapkan standarisasi baku di sahkannya sebuah qira’at. Kemudian lahirlah tujuh qiraat yang terbagi menjadi tujuh Imam plus dua rawi diantara satu Imam. Satu klaim bahwa bacaan sah adalah ajaran dari riwayat yang bersumber dari guru dengan persetujuan Ulama-ulama lain serta memiiki kredibilitas (tsiqah) diakui. Konsep ini pada dasarnya menguatkan tiga syarat utama tentang penerimaan qira'ah, yakni: 1) bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah. 2) berlaku dalam bahasa Arab. 3) terdapat kesamaan dengan mushaf Utsmani. Secara otomatis perundangan qira’ah ini menentang pemahaman-pemahaman lain seperti yang yang digaungkan Ibn Muqsim. Efek aturan ini terbukti pada kisah popular yang terjadi atas diri Ibn Syanabudz. Salah satu tokoh qira'at terkemuka. Dengan pengetahuannya yang mumpuni suatu hari Ibn Syanabudz sholat dengan menggunakan bacaan selain qira’ah sab’ah. Karena pengetahuan secara umum bahwa ahruf sab’ah terbatas pada qira’ah sab`ah maka tindakan tersebut dianggap Syadz hingga pada akhirnya Ibn Syanabudz harus rela menerima hukuman sebagai pelajaran.

Kedua, periode pengukuhan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa terbingkainya pola pikir secara umum harus mendapat pembenaran, supaya kuat. Ibarat membangun rumah, semakin tebal kadar tembok maka semakin kuat bangunannya. Upaya membangun sebuah opini agar diterima masyarakat umum perlu mendapat pendapat yang sejalan dari tokoh-tokoh lain. Noeldeke menganggap maraknya taqlid dalam mengenal qira’ah pada saat itu didukung sebagian cendekiawan seperti Abu Abid dan Abu Hatim Al-sijistani. Meski agak sedikit beda dalam penyampaian masyarakat, tapi pendapat tersebut memiliki kesamaan secara umum di mata masyarakat. Sesaat kemudian opini yang terbentuk pada masa mereka berdua mungkin sudah meluas. Sampai masa Ibn Mujahid secara otomatis deskripsi ahruf sab’ah di mata kaum awam langsung diarahkan ke qira’ah sab’ah.

Noeldeke mengakui kaidah umum qira’ah adalah sunnah muttaba’ah. Namun dia menganggap kebebasan yang diangkat Ibn Muqsim atau Ibn Syanabudz layak mendapat apresiasi. Hasil kreatifitas tersebut pada saatnya mungkin bisa menjadi sumbangsih di dunia intelektual. Sebuah slogan menuju wacana lebih maju. Tapi sayang, Noeldeke lupa bahwa salah satu kehancuran Yahudi atau Kristiani terletak pada sumber penyambung diantara Nabi dan generasi setelah Nabi mereka wafat. Adalah sanad sebagai kunci pokok keaslian kitab suci Al-Qur’an. Kita mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana rupa agama ini lantaran tidak ada sanad. Akibatnya mungkin sama dengan agama Yahudi dan Nasrani atau bahkan mungkin lebih hebat lagi. Saat ini banyak sekali pengikut agama Kristen murtad dari agama mereka karena masih sangsi akan keaslian tuntunan pedoman yang menjadi pegangan mereka.

Mengenal Sedikit Tentang Qira’ah

Di atas telah disebutkan kondisi sosial masyarakat Islam sampai pada masa Ibn Mujahid. Kemudian timbul inisiatif dalam dirinya untuk mengumpulkan karakteristik bacaan dari kota-kota tempat berkembangnya pengajaran Al-Qur’an; Mekkah, Madinah, Kufah, Bashrah, serta Syam. Lima kota tersebut menjadi titik awal lahirnya sab’ah Ibn Mujahid. Dari sanalah tujuh Imam berada. Pengesahan mereka sebagai top leader berefek pada ter-marginal-nya riwayat-riwayat lain. Kasus tersebut membuat jurang pemisah antara satu bacaan dengan yang lain.
Secara umum kita tidak bisa menafikan perwujudan taqlid seperti analisa Noeldeke yang kemudian memaksa pemilahan berbagai macam qira’at di mata mereka. Ada banyak sekali versi pembagian qira’at di mata cendekiawan Muslim. Al-Zurqoni mengklasifikasi qira’at ke dalam enam bagian:

Pertama, Mutawatir. Adalah riwayat jumhur Ulama’ yang bersumber dari kebanyakan orang. Karakteristik bagian ini adalah kedudukannya bersumber dari mayoritas pemikir muslim sehingga mustahil bagi mereka untuk bersekutu dalam membohongi ayat-ayat Al-Qur’an. Contoh bagian ini adalah qira’ah sab’ah atau asyrah.

Kedua, Masyhur. Sebuah riwayat dengan mata rantai shahih. Perwujudannya tergambar dengan jalan diriwayatkan dari seorang rawi yang adil dan dhobith, yang berasal dari perawi tsiqoh pula sampai kepada Rasulullah. Jalinan ayatnya harus sama dengan konsep bahasa arab serta mushaf Utsmani. Riwayat ini kemudian menjadi terkenal di tempat tertentu bahkan dibaca dalam sholat. Di antara karangan yang popular tentang pembahasan ini adalah Syathibiyah, Durrah, Thoyyibah al nasyr.

Ketiga, Bacaan yang memiilki sanad shahih, namun tidak memenuhi dua kriteria di atas. Adakalanya tidak sama dengan kaidah bahasa arab atau tidak sama dengan rasm Utsmani. Bagian ini tidak sampai pada tingkatan kedua. Salah satu contoh sebagaimana lafal "rofaarifa". Menurut bacaan secara umum adalah "rofrofin".

Keempat. Syadz. Melirik lafadznya kita bisa membayangkan bahwa gambarannya adalah riwayat yang tidak memiliki sanad shahih. Seperti bacaan Ibn Samayqo’ pada ayat "nunajjika" dengan mengganti kha’ (huruf keenam dari huruf hijaiyyah).

Kelima, Maudlu’. Sebuah riwayat tidak memiliki pegangan pada perawinya. Salah satu contoh adalah varian yang dikumpulkan Muhammad bin Ja’far al-Khaza’i. Tanpa mengacu dari dalil yang kuat al-Khaza’i menisbatkan bagian ini ke Abu Hanifah.

Keenam, riwayat yang memiliki kemiripan dengan Hadist Mudroj. Mayoritas peneliti menganggap bagian ini menjadi tafsir atas sebuah kata atau kalimat. Seperti bacaan Ibn Zubair: "Wa lahuu akhun au ukhtun min ummin", dengan penambahan kata "min ummin". Banyak Cendekiawan-cendekiawan yang ragu melihat contoh bagian ini. Bahkan Umar bin Khattab Ra. sendiri merasa sangsi pada salah satu contoh bagian ayat. Tidak heran jika kebanyakan Ulama banyak yang tidak berani menaruh ke posisi Mudroj.

Al-zurqoni mengutip al-Suyuthi secara detail merinci pembagian di atas. Bahkan membuat sistematika tingkatan-tingkatan melihat kuat maupun lemahnya sebuah riwayat. Sebuah klasifikasi dengan ketepatan cukup akurat saat membidik sasaran. Namun sayang ada satu bagian yang sempat terlewatkan. Yaitu riwayat Ahad dengan perawi-perawi tsiqoh sampai kepada Rasul tapi tidak sempat masyhur di kalangan kaum muslimin. Salah satu contoh sebagaimana bacaan Sayyidina Umar Ra. dalam surat al-Fatihah saat sholat ialah: "Sirotho man an’amta ‘alaihim" yang mengganti kalimat "alladzina". Banyak sekali riwayat-riwayat shahih seputar kasus ini. Berhubung kadar kekuatannya tidak sampai masyhur para Ulama’ pada akhirnya tidak berani mengangkat derajat kekuatan bacaan ini. Namun kasus ini menjadi problematika tersendiri mengingat cerita Umar bin Khathab hampir didapatkan dalam kitab-kitab hadis.

Meski tidak sempat tercakup namun al-Zurqoni sempat menulis bagian ini di paragrap setelahnya. Sambil mengutip pendapat Ghazali dan tokoh cendekiawan lain hampir semuanya sepakat untuk tidak memasukkan bagian ini ke dalam substansi Al-Qur’an.

Mendalami ilmu harus mengenal mabadi’ al-asyr. Ibarat pepatah "tak kenal maka tak sayang". Sama halnya dengan qiraat. Banyak sekali definisi-definisi seputar kajian ini, salah satunya sebagaimana ungkapan Syekh Abdul Fattah Abdul Qodli: "adalah ilmu yang mendalami tata cara pengucapan kalimat Al-Qur’an dan metode penyampaiannya (thoriq al-ada’) baik dari segi persamaan maupun perbedaan serta mengarahkan setiap bentuk bacaan kepada Imamnya".

Pengertian tersebut dapat kita pahami secara gamblang intisari disiplin study qira'at adalah mengetahui corak persamaan atau perbedaan dari kata maupun kalimat. Adapun sasaran kajian ini lebih dititikberatkan kepada kalimat-kalimat Al-Qur’an, baik dari segi pengucapan kalimat maupun metode penyampaiannya. Pemahaman keduanya akan membawa kita lebih mengerti faidah serta hasil (tsamrah) telaah ini; Menjaga kesalahan dalam mengucapkan kalimat Al-Qur’an, menjaga tindakan preventif dari tahrif atau taghyir, mengetahui bacaan tiap Imam-Imam qira’at serta membedakan bagian mana yang boleh atau tidak boleh digunakan. Sebuah nilai positif untuk kemajuan islam manakala timbul kesadaran diantara kita.

Benang merah diantara sudut keilmuan hampir pasti ditemukan. Sering kita dapati penisbatan atau hubungan erat kelindan dalam ranah epistemologi pengetahuan. Maka, penisbatan antara Ilmu Qira’at dengan cabang kajian lain adalah tabayun. Obyek ini juga mendorong kita harus mengetahui tokoh peletak pertama sebagai sumber inspirasi kemajuan. Sosok Abu ‘Amr Hafs bin Umar al-Dury, salah satu Imam plus Qori' yang terkenal dengan idghom kabir. Namun ada lagi tokoh lain yang dianggap suksesor. Karena dalam bukunya berhasil merumuskan qira'at untuk pertama kali. Beliau tidak lain bernama Abu ‘Abid al-Qosim bin Salam. Tokoh panutan yang tidak asing di mata para Ulama’ pada saat itu. Gerakannya dalam membukukan Ilmu qira’at terealisasi dalam bukunya. Banyak kalangan mengira-ngira Abu Abid menulis buku qira’at dua puluh lima Imam. Di kemudian hari gebrakannya diikuti banyak kalangan dalam mencurahkan hasil jerih payah mereka. Seperti al-Dani dalam bukunya al-Taysir dan Jami’ al-bayan, Abi Abdillah Muhammad bin Sufyan Al-qoyriwani al-Maliki dengan karyanya al-Hadi, atau Abi Abdillah Muhammad bin Syuraih al-Ra’ini al-Asybily melalui kitabnya al-Kafi. Sampai abad ke 9 proses kreatifitas pun masih terus berlanjut. Namun mulai masa Abu Abid al-Qosim pada dasarnya menjadi waktu spesialisasi qira’at. Kenyataan itu kita dapati dengan mulai nampaknya antusias masyarakat yang semakin meluas. Terbukti dengan pemakaian konsep qira’at, riwayat serta thoriqoh yang berbeda dengan kajian lain.

Qira’ah adalah sebuah perbedaan yang dinisbatkan kepada Imam-imam. Satu contoh semisal bacaan basmalah diantara surah. Permasalahan ini menjadi perbedaan diantara para Qori’. Kebanyakan di antara mereka menetapkan bentuk basmalah disela-sela surah. Lain halnya tokoh lslam lain semisal Imam Hamzah yang memilih tidak membaca basmalah. Kita tidak bisa mengatakan ini adalah riwayat Hamzah karena posisi Hamzah adalah Imam. Sedangkan riwayat adalah pendapat yang muncul dari murid pengambil bacaan Imam. Seperti contoh tidak adanya ghunnah pada tanwin atau nun mati ketika bertemu huruf wawu atau ya’. Diantara semua pakar kenamaan bacaan tujuh hanya riwayat Kholaf dari Hamzah yang memakai kaidah ini. Menjadi kesalahan kalau seandainya kita menisbatkan kaidah ke Hamzah. Adapun thoriqoh merupakan rangkuman bacaan yang diambil seseorang dari perawi sebuah bacaan. Satu contoh adalah bacaan "dlo’fin" dalam surah al-Rum. Varian ini merupakan thoriqoh ‘Abid bin Sobbah dari Hafs. Sering kali orang melakukan kesalahan dalam menisbatkan Hafs sebagai Qori’ atau tokoh pembawa thoriqoh.

Perbedaan di atas menjadi keharusan bagi tiap orang-orang yang mendalami kajian qira’at secara intensif. Karena akan sangat lucu manakala seorang Tholib ternyata buta dalam memahami konsep ini secara matang. Selain itu, pada tataran praksis konsep di atas menjadi sangat urgen tatkala seseorang memahami perbedaan sebuah kalimat saat membaca. Pada saat itu nalar pikir seseorang diuji. Seberapa manakah perbedaan diantara Qurro’ di pahami.

Kemudian muncullah Aby Muhammad bin Vierra bin Aby al-Qosim bin Khalaf bin Ahmad al-Ra’iny al-Andalusy al-Syathiby. Tak terhitung lagi jumlah orang-orang yang ngangsu kaweruh dihadapannya. Tiap orang waktu belajar qiraat satu imam diharuskan menghatamkan tiga kali. Dua kali hataman untuk Perawi qiraat sedangkan ketiga adalah jama’ antara keduanya. Syathibi juga menulis syair-syair tentang qiraat yang terangkum dalam judul Hirz al-amany wa wajh al-tihany. Sebuah buku yang berisi syair dengan jumlah seribu seratus tujuh puluh tiga. Meliputi empat belas thoriqoh bacaan atas empat belas riwayat yang berasal dari tujuh Imam. Isinya menjelaskan tentang kaidah bacaan Imam secara umum seperti panjang mad, dua hamzah dalam satu kalimat, dua hamzah dalam dua kalimat, plus perbedaan kalimat di dalam ayat seperti "yakhda’un" dan "yukhodi’un", "yakdzibun" dan "yukadzdzibun".

Selang dua ratus tahun setelah al-Syathibi wafat sampailah masa kelahiran Aby al-Khoir Muhammad bin Muhammad Al-dimasyqi dengan panggilan ngetop:Ibn al-Jazari. Sebagai tokoh kenamaan di bidang ini, hampir kebanyakan orang menjuluki Khotimatul muhaqqiqin. Puluhan tahun malang-melintang di dunia akademik mencari guru dan mengajarkan Al-Qur’an tidak sia-sia jikalau akhirnya julukan di atas bersemat di dadanya. Mulai dari negeri Islam paling Timur Andalusia sampai sebelah Barat hampir tidak satu pun tokoh senior kenamaan luput di hadapannya. Ibn al-Jazari merupakan tokoh kritis di bidang qira’at. Sebagai maestro kenamaan tindakan Ibn Mujahid menurutnya adalah proses pembodohan kepada semua lapisan masyarakat terkhusus kaum Muslimin. Banyak sekali Ulama’-ulama' selain Ibn Mujahid tidak memasukkan para Qori’ selain Imam tujuh. Abu Hatim dalam bukunya menyebut Qori’-qori’ selain Hamzah dan Kisa’i. Bahkan terdapat sekitar dua puluh orang dengan kualitas di atas lebih tinggi dari mereka berdua. Al-Thobary di salah satu tulisannya menyebut sekitar lima belas Qori’ selain tujuh Qori’ yang masyhur. Hal serupa juga dilakukan Abu Abid dan Ismail al-Qodli. Abu Muhammad Makki berkata: "Bagaimana mungkin seseorang menyangka tujuh Qori’-qori’ masyhur yang ada adalah ahruf al-sab’ah? Apakah penyebutan tersebut sebagaimana sabda Nabi? Bagaimana mungkin penyebutan tersebut timbul toh padahal al-Kisa’i baru saja masuk sejak masa al-Makmun?". Sebuah ungkapan perspektif yang timbul akibat kegelisahan mendalam melihat dilema peradaban Islam.

Ibn al-Jazari kemudian merangkum semua kitab-kitab qira’at pada masa itu. Lebih dari lima puluh kitab qira’at berhasil disatukan. Hampir tiap perbedaan yang membingungkan diantara Qurra’ dapat diselesaikan dalam kitab tersebut. Semua permasalahan yang menyesakkan dada dengan efisien dapat terobati. Adalah Al-nasyr yang mencakup lebih dari lima puluh kitab dengan ribuan metode di dalamnya. Kitab tersebut meliputi:

1. Al-Taysir, karya Abu Amr Utsman bin Sa’id bin Utsman bin Sa’id al-Dani (444 H). Beliau wafat di Andalusia. Kitab ini menjadi salah satu rujukan dikalangan para Qori’. Bahkan Ibn Mujahid pun pada dasarnya mengambil langsung dari buku ini.

2. Mufradat Ya’qub. Ditulis tiga orang yaitu: Abu Umar al-Dani pengarang kitab al-Taysir, Abdurrahman bin Abi Bakr ‘Atiq bin Khalaf atau dengan panggilan Ibn al-Viham (516 H), serta Aby Abdul Bary bin Abdurrahman bin Abdul Karim al-So’idy (650 H).

3. Jami’ al-bayan. Juga ditulis al-Dani. Penulis dua kitab di atas. Ibarat film, tulisan ini menjadi box office di kalangan pemerhati Al-Qur'an. Di dalamnya mencakup lebih dari lima ratus riwayat dan metode dari tujuh Imam kenamaan.

4. Matan Syathibiyyah. Kumpulan lantunan syair. Kitab tersebut bernama Hirz al-amany wa wajh al-tihany. Ditulis Imam Syathiby.

5. Al-Unwan. Ciptaan Abi Thohir Ismail bin Khalaf bin Sa’id bin Imron al-Ansory al-Andalusy (455 H).

6. Al-Hadi. Karangan Aby Abdillah Muhammad bin Sufyan al-Qoyruwani al-Maliki (415 H).

7. Al-Kafi. Karya salah satu Ulama' Andalusia, Abi Abdillah Muhammad bin syuraih bin Ahmad bin Muhammad bin Syuraih Al Ra’ini. (476 H).

8. Al-Hidayah. Ditulis oleh Mufassir kenamaan Abi al-Abbas Ahmad bin Ammar bin Abi al-Abbas al-Mahdawy (430 H).

9. Al-Tabshiroh. Andalusia lagi-lagi melahirkan salah satu sarjana intelektual Muslim. Adalah Abi Muhammad Makki bin Abi Tholib bin Muhammad bin Mukhtar al-Qoiruwani (437 H), Penulis buku ini.

10. Al-Qosid. Dikarang Abi al-Qosim Abdurrahman bin Hasan bin Said Al-khazrajy (446 H).

11. Al-Raudloh oleh Abi Umar Ahmad bin Abdillah al-Tholamanky (429 H).

12. Al-Mujtaba oleh Abi Qosim Abd al-Jabbar bin Ahmad bin Umar al-Thorosusy (420 H).

13. Talkhis al-Ibarat oleh Abi Ali Hasan bin Khalaf al-Qoyruwany (514 H).

14. Al-Tadzkiroh oleh Abi Hasan Thohir bin Abdul Mun’im bin Ubaidillah bin Gholbun (399 H).

15. Al-Raudloh oleh Abi Ali Hasan bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady al-Maliki (438 H).

Selain nama-nama di atas masih ada lagi puluhan buku-buku kenamaan hasil karya para sarjana muslim. Mulai dari Imam tujuh, sepuluh bahkan di atasnya. Malah tidak sedikit sarjana muslim seperti Abu Bakar Ibn al-Araby, Abi Ali Hasan bin Muhammad bin Al-Baghdady al-Maliki, Abi Muhammad Abdillah bin Ali bin Ahmad atau yang lebih dikenal dengan Sabth al-Khayyath yang menganggap bacan al-A’masy (salah satu Imam qiraah empat belas) termasuk qira'ah masyhur, versi penting sebagai rujukan dinamika keislaman. Berbeda dengan kebanyakan Qori' muta'akhirin yang memberi penilaian qira'ah ini sebagai qira'ah syadz.

Namun jerih payah Ibn Al-Jazari ternyata dikalahkan maestro-maestro lain. Terbukti dengan munculnya nama seperti Abu Qosim Yusuf bin Ali Jabaroh al-Hudzali. Setelah malang melintang di dunia qira'ah, al-Hudzali mampu mengumpulkan seribu empat ratus lima puluh sembilan (1459) riwayat dan thoriqoh. Selain itu ada lagi nama Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abdu al-Samad, penulis kitab al-Talkhis fi al-qira'at al-tsaman. Di dalamnya penulis mencantumkan seribu lima ratus lima puluh (1550) riwayat dan thoriqoh. Adalah sebuah pencapaian yang fantastis dalam dinamika kemajuan Islam, karena mengimbagi hasil Ibn al-Jazari mungkin kedua-duanya layak mendapatkan titel sebagaimana perolehan Ibn al-Jazari. Bahkan Ibn al-Jazari mengakui memori keduanya lebih hebat dari pada pencapaiannya sendiri. Mungkin karena tidak ada klasifikasi ketat dari mereka menjadi faktor keengganan Ulama untuk memilih. Penulis mengira deskripsi ini menjadi salah satu kemajuan intelektual di bidang study qira'at. Hampir tidak ada konklusi kritis sejak dimulainya kajian qira'at. Di atas telah disebutkan kritik pedas yang dialamatkan ke Ibn Mujahid namun komitmen di lapangan justru adalah pembudayaan qira'ah tujuh versi Ibn Mujahid. Toh, di sana masih banyak tokoh-tokoh yang lebih berkompetensi. Abu Ja’far (salah satu Imam sepuluh) sebagai guru Imam Nafi’ (salah satu qira’ah tujuh) memiliki sanad yang lebih ‘ali (tinggi) tapi justru malah termarginalkan, begitu juga sebaliknya. Sebelum periode Ibn Mujahid banyak sekali pakar yang lebih mengangkat Ya’qub al-Hadramy (Imam sepuluh) dari pada al-Kisa’i (Imam tujuh). Bentuk penting yang menjadi bukti bahwa Islam tidak kolot dalam sistem pendidikannya.

Dua tokoh tersebut adalah legenda pada masa itu. Ibarat sepak bola keduanya adalah Pele dan Maradona. Dua pemain terbaik dalam legenda sepak bola. Namun ternyata masih ada Abu Qosim Isa bin Abdu al-Aziz al-Iskandary. Seorang tokoh yang mengumpulkan tujuh ribu riwayat maupun thoriqoh. Sebuah pencapaian yang sangat cemerlang dibidangnya. Pada kurun itu sampai sekarang mungkin belum pernah muncul seseorang dengan intelegensi seperti ini. Namun sangat sayang sekali seleksi intelektual tidak berpihak kepadanya. Salah satu alasan mungkin adalah kurangnya studi kritis dalam proses telaah yang di jalaninya.

Kilas Balik Imam-Imam Qira'ah

Di atas telah di sebutkan cuplikan sejarah perkembangan Qira'ah. Transformasi standarisasi terbaru dalam telaah historis sebagaimana keputusan Ibn Mujahid, dengan diikuti wewenang pemerintah, lahirlah Qira'ah tujuh dengan dua Rawi pada tiap Imam. Pada dasarnya titel Imam Qira'at yang dialamatkan kepada mereka adalah hasil pilihan atas berbagai macam sumber yang mereka peroleh.

Pertama, Nafi’ bin Abi Na’im (169 H). Memiliki panggilan kinayah Abu Ruwaim. Beliau adalah Imam di Madinah. Berasal dari Asbihan. Semasa hidup sempat belajar kepada tujuh puluh Tabi`in. Diantaranya adalah Yazid bin Qo`qo`, Syaibah bin Nassah, Abdurrahman bin Hurmuz. Dua perawinya adalah Abu Musa Isa bin Mina dengan panggilan akrab Qolun (205 H) serta Abu Said Utsman bin Said al-Misry dengan panggilan ngetrend Warsy (197 H).

Kedua, Abu Ma`bad Abdullah bin Katsir (120H). Tokoh Tabi’in yang memiliki darah Persia. Dia belajar Al-Qur’an kepada salah seorang sahabat Abdullah bin Sa’ib al-Makhzumi, Ubay bin Ka`ab, dan Mujahid bin Jubair. Adapun dua perawinya bernama Abu Hasan Ahmad bin Muhammad bin Abdullah al-Bazzi(205 H), serta Abu Umar Muhammad dengan laqab Qunbul(291 H).

Ketiga, Abu Amr bin Ala’ (154 H). Versi lain Zaban, Zayyan dan Royyan. Dilahirkan di Mekkah kemudian hijrah ke Bashrah. Memiliki murid bernama Yahya bin Mubarok al-Yazidi. Orang ini kemudian memiliki dua murid yang notabene perawi Abu Amr. Pertama adalah Abu Umar Hafs bin Umar al-Dury (246 H). Kedua adalah Abu Syuaib Sholeh bin Ziyad al-Susy (261 H).

Keempat, Abdullah Bin Amir al-Dimasyqi (118 H). Dua perawinya adalah Abu Walid Hisyam bin Ammar (245 H) serta Abu Amr Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan (242 H).

Kelima, Asim bin Abi Najwad (128 H). Dua perawinya adalah Su`bah (193 H) serta Hafs bin Sulaiman al-Kufy (180 H).

Keenam, Hamzah bin Habib al-Zayyat al-Kufi. Dua perawinya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam al-Bazzar (229 H) serta Abu Isa Khallad bin Khalid al-Kufi (220 H).

Ketujuh, Abu Hasan Ali bin Hamzah al-Kisa’i. Dua perawinya bernama Abu Harits al-Laits bin Kholid (240 H) serta Abu Umar Hafs al-Dury salah satu perawi Abu Amr, Imam ketiga (246 H).

Pilihan nama-nama di atas bukan tanpa sebab. Dr Syauqi Dhif menilai semuanya memiliki keistimewaan tersendiri dalam diri mereka. Keistimewaan tersebut menjadi alasan Ibn Mujahid untuk menetapkan madzhab tersendiri bagi mereka tanpa terikat dengan tokoh-tokoh lain. Bahkan kepada tiga Ulama’ Kufah sekalipun (‘Asim, Hamzah dan Kisai’). Masih ada lagi aspek-aspek lain dibalik pilihan tersebut yang diterima kalangan cendekiawan Arab secara umum. Baik dari segi geografis semisal satu kota Kufah dan Bashrah atau diterima secara umum. Sebuah syarat logis mengingat adanya beberapa nama-nama Ulama’ yang ditolak seputar syarat ini seperti Ibn Muhaishin(salah satu Ulama empat belas dalam satu versi, w 123 H), dan Isa bin Umar al-Tsaqafi (149 H). Selain itu kecocokan antara bacaan dan Mushaf Utsmani harus menjadi satu-kesatuan secara utuh. Implikasi aturan ini berujung pada syadznya sebuah bacaan saat tidak memenuhi standarisasi teks Utsmani. Satu contoh adalah varian ala Ibn Syanabudz.

Semenjak tujuh Imam tersebut hidup sudah banyak tokoh-tokoh cendekiawan yang nge-fans terhadap mereka. Imam Malik bin Anas menjadi tokoh diantaranya. Beliau mengklaim bahwa bacaan Nafi’ menjadi bacaan yang paling mirip dengan Ulama'-ulama' Ahli Madinah. Hal senada juga keluar dari Ahmad bin Hambal. Dengan kapasitasnya yang tidak diragukan, beliau lebih memilih bacaan Nafi’ dan Asim daripada yang lain. Selain itu hampir semua bentuk-bentuk bacaan yang digaungkan tujuh Imam di atas pada dasarnya adalah pilihan yang mereka kembangkan sendiri. Maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolak mereka. Sebuah kesimpulan akhir atas banyaknya suara-suara kritis yang dialamatkan kepada mereka.

Tujuh Imam di atas pada dasarnya bukan hasil akhir dari sebuah pengajian. Ibn al-Jazari menilai ada tiga Imam lagi yang berhak disandingkan disamping tujuh Imam di atas. Ketiga-tiganya memenuhi kriteria syarat diterimanya sebuah qira’at.

Pertama, Yazid bin qo`qo` al-Yazidi(120-130 H). Beliau adalah guru Imam Nafi’ (salah satu imam tujuh). Adapun dua perawinya bernama Abu Harits Isa bin Wardan (160 H) serta Abu Rabi’ Sulaiman bin Muslim bin Jammaz (170 H). Sepertinya sangat aneh sekali jika Ibn Mujahid lebih suka mengambil varian Nafi’ daripada Abu Ja’far. Sebagian kalangan memprediksi prosentase persamaan Nafi’ dengan Abu Ja’far mencapai 90 %. Karena sumber periwayatan dengan Ulama’ Kufah berbeda maka tidak heran jika terdapat perbedaan disebagian besar Usul maupun Farsy. Terkecuali Hafs dari `Asim dengan prosentase persamaan sekitar 59%-65%.

Kedua, Ya’qub bin Ishak bin Zaid bin Abdillah bin Abi Ishak al-Hadlromy (208 H). Tokoh di bidang Qira'at sepeninggal Abu ‘Amr. Tugasnya sebagai Imam masjid Jami` di Bashrah pun digantikannya. Kaidah-kaidah yang dikumandangkan terkesan lebih moderat. Hampir tidak ada kontradiksi keras antara Ya’qub dengan Ulama’ Kufah maupun Madaniyyan. Meskipun Ya’qub adalah murid Abu Amr bukan berarti semua konsepnya menjadi keharusan untuk diikuti dan dijalankan. Maka tidak salah kalau Abu Amr al-Dani melihat sikap selektif dalam membaca Al-Qur’an. Kesamaannya dengan sang guru lebih banyak dari sisi Farsy daripada Usul. Dua perawi Ya’qub bernama Abu Muhamad bin Mutawakkil (238 H) dengan panggilan tenar Ruwais. Sedangkan lainnya bernama Abu Hasan Ruh bin Abdul Mukmin (235 H).

Ketiga, Khalaf bin Hisyam bin Tsa`lab al-Bazar (229 H). Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan antara golongan Kufiyyun (Asim, Hamzah, Kisa'i) dengan Khalaf. Penyebab utamanya mungkin karena sumber guru mereka berasal dari satu jalan. Sebagaimana kita tahu konfrontasi yang nampak lebih menonjol diantara Imam-Imam qira'ah justru lebih antara Madaniyyan dengan kufiyyun. Kentara sekali perbedaanya terletak pada bagian-bagian Usul. Ibn al-Jazari memandang Khalaf memiliki ikhtiyar sendiri dalam membangun pondasi qira'ahnya. Konsekuensi tersebut mengakibatkan lahirnya kaidah-kaidah maupun Farsy baru hasil transformasi independen dari beberapa gurunya. Dua perawinya adalah Abu Ya’qub Ishak bin Ibrahim (286 H) serta Abu Hasan Idris bin Abdul karim (292 H). Sepuluh Imam di atas menjadi tokoh-tokoh qira'ah yang disepakati ke-mutawatiran-nya. Bahkan sebagian Ulama Muta'akhirin menganggap jumlah mereka menjadi nominal terakhir yang tidak mungkin bertambah.

Fakta tersebut didukung dengan berputarnya proses belajar mengajar ke Imam-Imam tujuh. Menjadi fenomena penurunan intensitas intelektual yang menjadi momok bagi seluruh umat islam. Proses belajar yang semula hanya berkutat pada ifrod dengan gaya standar turats melangkah lebih jauh lagi ke proses pembacaan transformasi (jama`). Ada beberapa corak seorang murid membaca secara jama`. Al-Shofaqisi membagi tiga model yang saat ini sedang berlaku:
Pertama, pembacaan harfiyah. Penggambaran ini diandaikan seorang Tholib memulai bacaan pada sebuah kalimat dan mengulang lagi tiap-tiap perbedaan sebuah lafadz. Praktek ini menjadi madzhab Ulama' Mesir dan Maghrib.

Kedua, pembacaan ala wakaf. Deskripsinya diawali dengan seseorang membaca sebuah ayat. Ketika muncul ikhtilaf pada sebuah ayat maka harus ada pengulangan ayat kecuali terdapat kesamaan dengan Imam lain. Metode ini banyak digunakan Ulama’-Ulama’Syam.

Ketiga, asimilasi keduanya. Pertama kali seorang murid membaca sebuah ayat. Setelah menemukan perbedaan kalimat dalam ayat diteruskan dengan mengulang perbedaan kalimat. Satu metode yang sering dipakai saat ini.
Dua pembagian pertama telah berlaku sejak wafatnya al-Syatibi. Lain halnya dengan bagian ketiga yang lebih dikenalkan mulai masa Ibn al-Jazari.

Penutup

Ilmu pengetahuan menjadi sumber kemajuan umat manusia. Dalam agama Islam Al-Qur’an adalah sebagai kitab Allah penunjuk para umatnya. Pola penyebarannya dengan memakai dialek Arab, memaksa turunnya bentuk bacaan-bacaan lain. Problematika baru muncul tatkala kekhawatiran perubahan teks-teks Al-Qur’an menjadi resiko besar dalam ranah masyarakat Islam. Namun masalah tersebut justru menjadi pemicu lahirnya kajian baru yang mungkin belum pernah dibayangkan sebelumnya. Setelah melewati beberapa kurun setelahnya kita bisa melihat betapa gagahnya sebuah Ilmu jika bersandar kepada Al-Qur’an. Saat ini kita mungkin terasa sinis melihat fenomena menipisnya gairah intelektual belajar qira'at. Salah satu nilai negatif era globalisasi saat ini yang sedang mendunia. Namun ternyata ada juga beberapa nilai plus sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.

Sebagian kalangan kontemporer mencoba meracik bacaan transfigurasi baru dengan mengedepankan nilai-nilai kemaslahatan. Disadari dari keresahan umat Islam yang terbelenggu dalam satu bentuk bacaan. Mereka melihat standar pemahaman Al-Qur’an justru menjadi bumerang umat Islam sendiri, sebuah rantai yang justru mengkungkung kreatifitas-kreatifitas sebagai sumber kemajuan Islam. Mereka mencoba melepaskan aturan-aturan sebagai wujud kesadaran berilmu dan beramal. Kemudian lahirlah wacana Al-Qur’an edisi kritis. Salah satu wacana kontemporer sebagai obat perangsang lahirnya kesadaran berilmu dan beragama.

Wa Allahu A`lam bi al-shawab
Share this article :
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger