GANTI FONT BLOG INI!

IMPLEMENTASI ZAKAT DI ERA URBANISASI[*]

PROLOG
Puji syukur kita haturkan kepada Allah, yang telah memberikan kenikmatan berupa ilmu, yang dapat memberikan kita manfaat besar, melalui Al qur’an yang menjadi pegangan para pencari ilmu untuk memberi secercah pencerahan tentang perubahan pola hidup kita sebagai manusia untuk menemukan kemaslahatan melalui teks-teks-Nya sebagai rujukan yang bersifat universal.

Tak lupa pula kita haturkan sholawat beserta salam, ke hadirat Nabi Muhammad SAW, yang begitu arifnya telah membimbing kita, dalam memecahkan berbagai masalah yang berhubungan dengan umatnya melalui ucapan, dan juga berupa tindakan, hingga dapat di aplikasikan untuk kita sebagai umatnya tanpa dipenuhi berbagai keraguan.


Pada kesempatan ini saya sebagai pemakalah dalam kajian ilmiah FAS mencoba memberikan kontribusi, melalui sebuah karya ilmiah yang berupa tulisan mengenai permasalahan Zakat yang muncul di era urbanisasi, yang di penuhi permasalahan-permasalahan pelik kekinian yang tengah menimpa ummat Nabi Muhammad saat ini, dalam menghadapi pelbagai masalah ekonomi yang senantiasa dengan mesra mengiringi kehidupan manusia, zakat. Dengan analisa jitu dan cemerlang system ini mampu meringankan beban yang menghinggap di pundak umat manusia secara arif. Dalam hal ini penulis akan uraikan bagaimanakah peran syariat menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut. Dan bagaimanakah para ulama’ kontemporer merumuskan problem keumatan tersebut dengan studi komparasi para ulama konvensional dalam cuplikan-cuplikan fatwa sederhana mereka mengenai Zakat di era urbanisasi ini.

DEFINISI ZAKAT
Sebelum membahas lebih jauh tentang substansi permasalahan zakat di era urbanisasi, agar lebih mempermudah, ada baiknya jika kita telaah terlabih dahulu zakat menurut literatur bahasa arab dan definisinya menurut ulama fikih.

Secara etimologi, zakat mempunyai beberapa makna:[1]
1. Kesucian, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an:
أقتلت نفسا زكية[2]
لأهب لك غلاما زكيا[3]
2. Berkembang bertambah banyak. seperti dalam ungkapan berikut:
زكا الزرع إذا نما
زكا المال إذا كثر
3. Mendekatkan diri, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :
قد أفلح من تزكى [4]
يؤتى ماله يتزكى [5]
4. Amal yang baik, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :
فأردنا أن يبدلهما ربهما أجرا منه زكاة [6]
5. Pujian, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :
فلا تزكوا أنفسكم [7]
6. Halal, seperti yang di contohkan dalam Al-Qur’an :
فلينظر أيها أزكى طعاما [8]
7. Berpasangan, seperti dalam ungkapan berikut :
خسا أو زكا : فرد أو زوج
8. Menyerahkan diri, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :
وما عليك ألا يزكى [9]
9. Sedekah, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :

Definisi Zakat, berbeda-beda dalam setiap madzhabnya. Berikut perinciannya :
Malikiyyah: sebagian ulama’ fikih madzhab Mlikiyyah berpendapat bahwa: Zakat adalah hak/kewajiban dalam harta yang khusus, di ambil dari harta yang khusus, telah mencapai kadar yang khusus. Serta di keluarkan pada waktu yang khusus, dan di tasarrufkan untuk tujuan-tunuan yang khusus pula.[10]Hanafiyyah: menurut ulama fikih madzhab Hanafiyyah Zakat adalah memberikan kepemilikan sebagian harta yang di tentukan syara’, kepada pihak-pihak yang mempunyai hak (mustahiq), yang beragama islam, selain Bani Hasyîm. Tanpa mengharap manfaat dari pihak yang menerima zakat dan hanya bertujuan karena Allah SWT semata.[11]Syafi’iyyah: menurut ulama fikih madzhab Syafi’iyyah zakat adalah: sebuah nama yang khusus, yang di ambil dari harta yang yang tertentu, serta meliputi komponen bergerak ataupun tidak bergerak, dengan menggunakan cara yang khusus, di serahkan untuk golongan yang khusus pula.[12]Hanbaliyyah: ulama madzhab Hanbaliyyah berpendapat, Zakat adalah: hak-hak yang wajib dalam harta.[13]ZAKAT, KONTRIBUSI ISLAM UNTUK UMMATNYA

Sudah menjadi fitrah kita sebagai manusia, problem financial selalu mengiringi perjalanan hidup kita. Dalam menghadapi kenyataan masalah ini dengan arif islam --baik melalui Al-Qur’an, Sunnah Rosul, Ijma’ maupun Qiyas-- mencoba meringankan beban masalah yang dihadapi manusia di setiap jaman melalui di tetapkannya zakat sebagai ibadah yang di wajibkan sekaligus menjadi rukun agama. Layaknya ibadah-ibadah lain seperti sholat, puasa dan haji yang juga termasuk rukun agama.

Bukti perhatian besar islam terhadap problematika ummat dalam masalah finansialnya tercermin pada zaman awal kemunculan agama Islam di Makkah. Dengan kondisi umat Islam pada saat itu baru beberapa orang saja, keadaan mereka pada waktu itu mendapat intervensi keras dari kaum kafir Quraisy, begitu juga wajah dakwah di kalangan umat islam pada saat itu mendapatkan perlawanan yang begitu keras, di tambah islam pada waktu itu belum mempunyai kedaulatan dan juga belum di akui eksistensinya dalam ranah politk. Dalam keadaan pelik inilah Al-Qur’an berperan besar dalam memberikan perhatianya sebagai wujud solusi untuk meringankan beban krisis yang melanda ummat islam pada waktu itu dengan di perundang-undangkanya zakat. Dalam satu kesempatan Al-qur’an memberikan solusi tersebut dengan mewjibkan zakat.

وآتوا الزكاة [14]
[15]يا أيها الذين آمنوا أنفقوا مما رزقناكم من قبل أن يأتي يوم لا بيع فيه ولا خلة ولا شفاعة والكافرون هم الظالمون
Akan tetapi ada perbedaan yang kentara antara zakat dan ibadah lain yang juga menjadi rukun agama. Karena zakat telah ditetapkan sebagai ibadah sosial, terbukti, zakat melibatkan manusia sebagai subyek dan obyeknya. Dalam satu riwayat hadits, Nabi Muhammad saw. mengutus Mu’adz ra. ke Yaman seraya berkata “beritahulah mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka, atas harta mereka sebagai sedekah, yang di ambil dari harta orang-orang kaya mereka dan diperuntukkan bagi orang-orang fakir mereka”. [16]

Dari hadits ini dapat di ketahui bahwa subyek (orang-orang kaya) dan obyeknya (orang-orang fakir) adalah manusia. Kesimpulanya, zakat dapat di kategorikan sebagai ibadah sosial.
Dan zakat sendiri, sebenarnya telah juga di wajibkan kepada umat agama samawi lainya, sebelum munculnya agama islam di akhir-akhir abad ke tujuh. Ini membuktikan, betapa zakat sangat di butuhkan oleh manusia di semua zaman dan tempat. [17]

Dalam ayat Al-Qur’an di sebutkan:

[18]واذكر في الكتاب إسماعيل إنه كان صادق الوعد وكان رسولا نبيا. وكان يأمر أهله بالصلاة والزكاة وكان عند ربه مرضيا

FLEKSIBILITAS ZAKAT FITRAH

Zakat fitrah atau biasa juga di sebut sedekah fitrah menurut kebanyakan ulama’ zakat di perundangkan dalam syariat islam pada tahun 2 Hijriyyah, sebelum di wajibkanya puasa pada bulan ramadlan pada tahun itu. [19]

Fitrah dalam etimologi bermakna ashlul hilqah (asal penciptaan/perwujudan). Seperti dalam ayat Al-qur’an :

فطرة الله التى فطر الناس عليها [20]

Penamaan zakat fitrah sendiri di sebabkan kewajiban tersebut di tetapkan ketika memasuki hari raya idul fitri. [21]

Pada setiap datangnya akhir bulan Ramadlan selalu saja bergulir masalah tentang keruwetan zakat fitrah. Muncullah berbagai pertanyaan seperti: bagaimana cara mengeluarkanya? Apakah harus mengeluarkan makanan pokok yang lumrah? Apakah sah bila diganti dengan mengeluarkan uang sepadanya? Mengingat kebutuhan urban bukan sekedar makanan saja, dan mendesaknya kebutuhan akan alat pembayaran yang sah di era urbanisasi seperti ini. Muncullah fenomena pro kontra zakat fitrah dengan mengeluarkan harga sepadan atau yang lebih akrab di sebut zakat fitrah bi al-qimah ini.

Sebenarnya fenomena permasalahan zakat fitrah model ini telah mencuat sejak lama dan bukan merupakan hal yang baru. Para ulama fikih konvensional sendiri sudah membahasnya dengan panjang lebar perihal zakat fitrah bi al-qimah ini.

Di riwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.: Rasulullah SAW mewajibkan zakat ketika memasuki hari raya idul fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas semua golongan baik yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita dari golongan orang-orang muslim. [22]

Di riwayatkan juga, Abu sa’id berkata: kami mengeluarkan zakat fitrah pada masa kami bersama Rasulullah SAW, satu sha’ makanan, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju. Dan aku pun ,engeluarkan zakat fitrahku (setelah wafatnya Rosulullah saw.) sebagaimana biasanya aku mengeluarkanya (sebelum wafatnya Rasulullah). [23]

Pada hadits-hadits di atas menyebutkan bahwa kewajiban zakat fitrah adalah mengeluarkan harta berupa makanan pokok. Dengan dalih tersebut kebanyakan dari ulama (Malikiyyah, Syafiiyah, dan Hanabilah) berpendapat bahwa zakat fitrah tidak di perbolehkan dengan cara menggantinya dengan harta sepadan dari apa yang telah wajibkan, itu berarti zakat fitrah bi al-qimah berbeda dengan ajaran Rosulullah saw. [24]

Mengutip pada pendapat Syihabuddin Al-Haytami yang juga tidak menetapkan diperbolehkanya zakat fitrah bil qimah, dengan mewajibkan zakat fitrah melalui makanan pokok yang lumrah saja.[25] Dalam pandangan madzhab lain juga ditemukan pendapat yang mengharamkan zakat fitrah bi al-qimah, seperti pendapat Ibnu Hazm yang mengatakan: “zakat fitrah bi al-qimah tidak di perbolehkan sama sekali. Karena zakat model itu bukanlah yang diwajibkan oleh nabi Muhammad saw.”. [26]

Namun madzhab Hanafiyyah memperbolehkan zakat fitrah bi al-qimah, karena menurut mereka, yang paling penting di dalam menunaikan zakat adalah menegakkan kewajiban dengan mengeluarkan harta sepadan dari apa yang telah di wajibkan dalam zakat fitrah, baik itu berupa uang, harta dagangan atau apapun. Karena bagi madzhab ini sebenarnya yang wajib adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir, pemberian kecukupan kepada golongan fakir dapat di hasilkan dengan pemberian qimah, bahkan zakat fitrah bi al-qimah lebih paripurna, lebih dapat memenuhi, dan juga lebih efektif. Karena zakat fitrah bil qimah lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan mereka.[27] Imam Ahmad Al Ghumarî juga memperbolehkan zakat fitrah model ini[28] dengan dalil nabi Muhammad bersabda tepat di hari idul fitri kepada kaum perempuan: “Bersedekahlah kalian (wanita) walaupun dari perhiasan kalian”. Maka pada hari itu, perempuan-perempuan memberikan anting-anting, cincin, dan perhiasan-perhiasan mereka sebagai zakat. [29]

Pada satu kesempatan Imam Al-Aini berucap: “ketahuilah bahwa zakat bi al-qimah menurut kami diperbolehkan, begitu juga dalam masalah kaffarah, zakat fitrah, dan juga nadzar. Ini juga sependapat dengan Umar ra., Abdullah bin Umar ra., Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Abbas ra., Mu’adz ra. dan Thawus. Dan ini juga menjadi pendapat imam Al-Bukhari yang notabene sangat berbeda pendapat dengan madzhab Hanafiyyah. [30]

Menilik pendapat yang memperbolehkan zakat fitrah bi al-qimah tersebut. betapa sebenarnya hukum fikih islam lebih fleksibel, mengingat di era urbanisasi ini qimah memang lebih efektif untuk meringankan beban financial kaum fakir.

ZAKAT PROFESI, SOLUSI DI ERA URBANISASI

Seiring berkembangnya zaman dan pesatnya laju urbanisasi, muncul problem baru pada sebagian kalangan mengenai zakat. Berkenaan tentang profesi-profesi yang sebelumnya belum pernah ada pada zaman nabi hingga beberapa kurun setelahnya. Problem tersebut lebih di kenal dengan sebutan “zakat profesi”.

Profesi sendiri mempunyai dua jenis :
  1. Profesi yang di emban oleh sebagian kalangan, akan tetapi tidak terkait dengan instansi tertentu. Profesi ini telah menjadi pekerjaan tetap bagi sebagian kalangan seperti dokter, arsitek, seniman, pengacara dan lain sebagainya. Profesi ini tak asing lagi bagi kita dengan sebutan wiraswasta.
  2. Profesi yang terkait dengan instansi, baik pemerintahan ataupun swasta, dengan memakai system kontrak kerja, seperti anggota legislatif maupun eksekutif, atau instansi-instansi terkait lainya seperti TNI, POLRI atau karyawan di sebuah perusahaan.
Pertanyaanya, apakah ada kewijban zakat untuk profesi-profesi tersebut? Dan bagaimana prakteknya menurut fikih dalam permasalahan ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seringkali muncul di era urbanisasi ini di karenakan masalah ini belum ada pada zaman ulama-ulama konvensional juga tidak adanya hukum yang mereka tetapkan pada problem zakat baru tersebut. Dalam hal ini ulama’-ulama’ kontemporer memberikan pandangan tentang zakat profesi yang tak pernah lepas dari menimbang sisi-sisi kekinian. Salah satunya sebagaimana ceramah yang di sampaikan oleh Abdul Rahman Hasan dan Muhammad Abu Zahrah, di Damaskus, pada tahun 1952 M, bahwa zakat wajib atas penghasilan dari profesi-profesi tersebut jika telah mencapai masa satu tahun dan mencapai nishabnya. Pandangan tersebut menilik pada madzhab Hanafiyyah dan Abu Yusuf yang berpendapat bahwa nishab tidak disyaratkan harus tidak kurang dalam satu tahun penuh, akan tetapi inti dari syaratnya adalah sempurnanya penghasilan mulai dari awal hingga akhirnya. Maka dari kutipan ini, bisa di ambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan diwajibkanya zakat atas profesi pada tiap tahunya.

Zakat profesi hukumnya wajib dengan mengikuti kerangka pemikiran al-mâl al-mustafad menurut madzhab Hanafiyyah. Pengertian al-mâl al-mustafad menurut pendapat madzhab Hanafiyyah adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan dari cara-cara atau usaha-usaha yang diperbolehkan menurut syariat. [32]

Menurut ulama Madzhab Hanafiyyah, al-mâl al-mustafad terkena kewajiban zakat jika sudah mencapai nishabnya. Hukum wajib tersebut disamakan dengan nishab zakat emas dan perak[33] pun sudah mencapai masa satu tahun. Di ambil dari hadits riwayat Ibnu Umar: Nabi bersabda: “Tidak di wajibkan zakat atas harta, kecuali jika telah mencapai masa satu tahun”. [34]

Demikian juga menurut Yusuf Qardlawi. Berbeda dengan madzhab Hanafiyyah, beliau tidak mensyaratkan telah mencapai masa satu tahun akan tetapi zakat profesi tersebut di keluarkan pada saat penghasilan diperoleh.[35] Karena menurut beliau hadits-hadits yang mewajibkan zakat jika telah mencapai masa satu tahun penuh adalah dlaif ataupun mauquf. Juga karena ada perbedaan pendapat beberapa sahabat Nabi, tabi’in dan setelahnya, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah, Al-Shadiq, Al-Baqir, Al-Nashir dan Dawud. Riwayat serupa juga kita temukan dari Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, Al-Zuhri dan Al Awzai, sebagian dari mereka ada yang mensyaratkan dan juga ada yang tidak mensyaratkan telah mencapai masa satu tahun penuh (nishab).[36] Kemudian dari pendapat yang mewajibkan zakat profesi ini kita bisa menemukan solusi untuk meringankan beban finansial yang di hadapi sebagian umat islam di era urbanisasi ini.
EPILOG
Permasalahan zakat di era urbanisasi ini memang menjadi begitu pelik, karena munculnya pola hidup baru disemua lapisan masarakat, sehingga membutuhkan kreasi-kreasi fresh yang dapat menjadi problem solving untuk menghadapi tantangan zaman tersebut. Karena agama islam adalah agama rahmat, maka zakat akan selalu jadi tiang penyangga keharmonisan umat dalam menjalani kehidupan ini. Adanya zakat profesi dan zakat fitrah bi al-qimah adalah angin segar yang menjawab akan kebutuhan umat di era urbanisasi ini dan menjadi pelecut semangat kita untuk menemukan komposisi yang tepat untuk menjawab semua masalah yang akan selalu muncul di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.

By: Muhammad Shofy
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger