Postingan Terbaru

GANTI FONT BLOG INI!

Hadis Shahih dalam Perspektif Ilmu Hadis

1 | P a g e

Hadis Shahih dalam Perspektif Ilmu Hadis1
Oleh: Imam Syafi’i2
Pembukaan

Sesungguhnya segala puji bagi Allah swt. seraya memuji, meminta pertolongan dan beristighfâr
kepada-Nya. Teriring ucapan salam sejahtera kepada al-Musthofâ waHabîbinâ baginda
Rasulullah saw., Keluarganya yang agung dan segenap Sahabat, generasi terbaik umat.
Sudah menjadi kemakluman bahwa al-Quran adalah sumber paling urgen syariat dalam Islam,
yang mana istinbâth al-hukmi harus merever dan bersumber darinya.Tapi tak pelak ke-ijmâl-an
hukum-hukum yang termaktub dalam al-Quran mau tidak mau tentulah memerlukan
penjelasan lebih konkrit, di sinilah salah satu peran penting hadis Rasul saw.sebagai
penerjemah konsep-konsep universal al-Qur’an agar dapat lebih mudah di pahami.
Namun maraknya diskursus seputar hadis masih saja terjadi, sebagimana yang dilakuka
madzhab skepitisisme di barat yang mempertanyakan teori eksitensi seputar hadis. Walaupun
secara fakta sejarah perdebatan-perdebatan semacam itu , sudah dimulai sejak zaman klasik,
sebutlah perdebatan akan keotentikan sebuah hadis, yang terjadi setelah fitnah besar (al-fitnah
al-kubrâ) itu muncul, dengan terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan ra.berlanjut dengan
terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, ketika hadis menjadi mainan sekte-sekte dalam Islam,
semisal Syiah yang berusaha membuat pijakan referensial atas langkah-langkahnya dengan
membuat hadis-hadis palsu.3Atas dasar itulah, para ulama terus berusaha menjaga keaslian
hadis tetap terjaga, sebagaimana kodifikasi yang dilakukan Muhammad bin Muslim bin Syihab
az-Zuhri atas rekomendasi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. dengan melahirkan ilmu hadis
riwayah. Sungguh benar janji Alloh swt.

{ 4{إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

Di antara persoalan krusial dalam ilmu hadis adalah persoalan hadis shahih, yang mana
mempunyai peranan penting dalam penentuan produk hukum.Hadis tersebut, dilihat dari sisi
diterima-tidaknya, dimasukkan dalam kategori hadis maqbûl, karena hadis tersebut telah
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para muhaddisin.Pembahasan hadis shahih
tentu saja mengalami perkembangan dan penjelasan dari masa ke masa. Terlepas dari proses
itu al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani ra.merupakan ulama mutaakhkhirin yang pertama kali
membagi hadis tersebut menjadi shahih li-dzâtihi dan shahih li-ghairihi.
1Makalah ini dipresentasikan dalam kajian dwi-mingguan FAS Mesir pada 17 Februari 2014.
2Mahasiswa amatir yang sedang belajar di Universitas Al-Azhar, Fakultas Syariah Islamiah, tingkat II.
3Lihat Târîkh as-Sunnah an-Nabawiyyah.
4 Para Elit Profesor Hadis, Daf’u asy-Syubuhât ‘an al-Hadîts an-Nabawî,

2 | P a g e

Definisi Hadis Shahih

Ditinjau secara etimologis,‘hadîts shahîh’ terdiri dari dua kata, yaitu ‘hadîts’ dan ‘shahîh’.Hadîts berarti ضد القديم lawan dari yang dahulu. Sedang shahîhضد السقيم والمكسور lawan dari yang sakit atau perkara yang dipecah.
Sedangkan secara termionologis, menurut pendapat jumhur Muhaddisin, definisi hadîts adalah:

Hadis berati sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan atau sifat fisik serta akhlak Nabi saw., juga sesuatu yang disandarkan kepada Sahabat dan Tabi’in.Definisi ini memasukkan hadis marfû’, mauqûf dan maqthû’.
Adapun definisi shahîh ialah:

ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة

Apa yang sanadnya bersambung dengan penukilan dari orang-orang yang adil, yang memiliki kekuatan dhabth (kecerdasaan, tsiqah), tanpa adanya syâdzdz maupun ‘illah di dalamnya.

Analisis Definisi:

Al-‘adladl-dlâbith lebih tepat dibandingkan dengan redaksi ats-tsiqah, walaupun pengguna kata ats-tsiqah pada asalnya bagi orang yang adil lagi dhâbith,namun ada sebagian ulama yang menggunakan lafad tsiqah bukan bermakna dhâbith tapi kadang bermakna dia tsiqah dalam agamanya,walaupun tidak dhâbith dalam hafalannya, sehingga pemilihan redaksial-‘adl adl-dlâbith jauh lebih baik, dari kemungkinan lain dan terjadi kesamaran makna.
Tentang redaksi yang ditawarkan Ibnu ash-Sholah ولا يكون شاذا ولا معللا 5Syeikh Abu Hasan dalam Syarhal-Mandhûmât al-Baiqûniyyah cederung mengamininya dibanding redaksi yang dipakai dalam Tadrîb ar-Râwî.Beliau beralasan adanya sebagian ulama yang terkadang memakai lafad syudzûdz hanya karena ada penyelisihan semata.Sedangkan redaksi ولا معللا tidak lagi membutuhkan tambahan ungkapan wa-lâ ‘illatinqâdihah, karena ‘illah sudah mencakup kemungkinan qâdihah.6

Syarat-syarat Hadis Shahih

Dengan demikian suatu hadis dapat dikatakan shahih ketika telah memenuhi lima syarat yaitu:
5 As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, tahqiq:Syekh Mazin bin Muhammad as-Sirsawi, Saudi Arabia: Dar Ibn al-Jauzi,2013, cet. II, juz I, hlm. 118.
6Ibid.,hlm. 118.

3 | P a g e

1. Sanadnya Bersambung
Yang dimaksud sanad hadis ialah suatu pemberitaan tentang jalur riwayat teks hadis. Sedangkan yang dimaksud bersambung ialah bersambungnya sanad hadis tersebut di mana setiap perawinya bertemu langsung dengan syaikhnya (gurunya).Penyebutan sanad ini menjadi penting terutama setelah timbulnya benih-benih fitnah yang bermula dengan pembunuhan Khalifah Usman ra. dan Ali ra., timbulnya banyak pertentangan,serta lahirnya kaum zindiq, pembuat bid’ah dan khurafat dan sejenisnya yang merongrong,merusak,memalsukan keberadaan hadis Rasul saw. Menurut Abdullah bin al-Mubarak: sanad adalah bagian dari agama Islam itu sendiri, sekaligus pembeda dengan para pembuat bid’ah dan kebohongan, tanpa adanya sanad orang akan cenderung mengatakan menurut kehendak dan hawa nafsunya.7Bagaimana mungkin orang mau menaiki loteng tanpa adanya tangga? Begitu ungkapan al-Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri mengibaratkan kedudukan sebuah sanad dalam hadis, beliau akan selalu menanyakan sanadnya manakala ada orang yang menyampaikan sebuah hadis.8
Dari sini kita akan tahu bahwa keotentikan dan kemurnian suatu agama samawi yang ada saat ini, jika tidak beri’timad pada keberadaan sanad yang bisa dipertanggungjawabkan,maka akan mengalami tahrîf bahkan tabdîl sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan hawa nafsu mereka, sebagaimana yang terjadi pada agama Yahudi dan Nasrani.Keberadaan sanad yang menjadi kharateristik dan hanya dimiliki oleh Islam inilah yang membuktikan bahwa keotentikan dan kemurnian Islam bukanlah agama dogmatis tanpa teori kritis yang bisa dibuktikan secara ilmiah; demikian pernyataan Imam Ibnu Hazm sebagaimana dikutip dalam al-Madkhal ilâ Dirâsati ‘Ilm al-Jarh wa at-Ta’dîl.9Tidak berhenti sampai di sini saja, hasil disiplin suatu ilmu dalam Islampun berpotensi akan menjadi rapuh, kontroversial dan dipertanyakan keberadaannya ketika tidak melibatkan teori sanad di dalamnya.10

Adapun pandangan sebagian orientalis yang menganggap bahwa keberadaan sanad dalam Islam dimulai pada akhir kurun kedua(100-199 H.) atau ketiga(200-299 H.)yakni yang dilakukan oleh para pemuka madzhab bukan pada masa hidupnya Rasul saw. sangatlah kurang argumentatif.

7 Sayyid ‘Abdul Majid al-Ghauri, al-Madkhal ilâ Dirâsati ‘Ilm al-Jarh wa at-Ta’dîl, Beirut: Dar Ibn Katsir, 2007, cet. I, hlm. 17.
8 Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, al-Isnâd minad-Dîn, hlm. 11-26.
9 Lihat Sayyid ‘Abdul Majid al-Ghauri, op. cit., hlm. 15.
10 Lihat Dr. Mahmud Sa’id Mamduh dalam Tanbîh ilâal-Albânî ‘alâShahîhMuslim.

4 | P a g e

Dr. Akram Dhiyaul ‘Umari dan Dr. Muhammad Musthofa al-A’dhami dalam Buhûts fî Târîkh as-Sunnah al-Musyarrafahmenyebut beberapa kesimpulan yang terkait dengan kodifikasi hadis Nabi saw. berikut ini:

1. Analisis sebuah sanad sebenarnya sudah ada pada masa Rasul saw.Salah satu bukti proses penurunan Al-Quran melalui malaikat Jibril as.lalu disampaikan kepada para Sahabat. Pengutusan Sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yaman di samping menunjukkan legalitas akan ijmak juga menunjukan secara implisit bahwa sanad itu adalah suatu keharusan. Berikut contoh keberadaan sanad pada masa sahabat:

جاءت الجدة الى ابى بكر الصديق رضى الله عنه تساله ميراثها مالك في كتاب الله تعالى وما علمت لك في سنة نبي الله صلى
الله عليه وسلم شيأ فارجعي حتى اسال الناس فسال الناس فقال المغيره بن شعبة حضرت رسولالله صلى الله عليه وسلم
اعطاها السدس فقال ابو بكر هل معك غيرك ؟ فقام محمد بن مسلمة فقال مثل ما قال المغيرة بن شعبة فانقذه لها ابو بكر.

2. Terjadi pemalsuan hadis secara umum pada kurun ke-4 H.Dari situlah perhatian muhaddisin akan sebuah hadis itu menjadi lebih mendapat porsi besar dan selektif dalam menerima sebuah riwayat hadis.
3. Oleh karena itu, sebaiknya para orientalis dalam mempelajari sebuah hadis haruslah merefer pada kitab-kitab sanad dan hadis bukan dari kitab tentang sirah maupun kitab fikih.
4. Contoh teori sanad yang disebutkan joseph Schacht, justru menolak pandangan schacht tentang proses terbentuknya sanad dalam Islam, banyaknya perawi dengan domisili tempat tinggal yang berbeda, dan berjauhan, sangat susah untuk memalsukan akan keberadaan suatu sanad.
5. Tidak terjadi perkembangan atau perbaikan dalam sanad. Adapun sanad yang dulu di anggap mursal lalu pada suatu waktu dinyatakan muttasil, dan hadis yang mauquf kemudian menjadi hadis marfu’, itu merupakan hasil investigasi yang penuh ketelitian dari para muhadissin .11
Hal yang perlu dicermati dan juga masih terkait poin ini ialah at-tahammul dan al-adâ`.At-Tahammul berarti proses pengambilan hadis dari sang guru; al-adâ` berarti proses periwayatan hadis yang dimiliki oleh si murid.Syarat yang perlu diperhatikan dalam soal at-tahammul adalah adl-dlabth dan at-tamyiz. Dalam hal ini para muhaddisin ada yang memberikan batasan dapat at-tahammul, paling minim adalah 5 tahun, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Al-Bukhari dalam babmatâ yashihhu simâ’u ash-shahâbî. Sementara orang kafir dibolehkan tahammul, tapi tidak dibolehkan meriwayatkan hadisnya sebelum dia masuk Islam, sebagaimana kisah Abi Sofyan bin Harb bersama Harqala. Adapun syarat al-adâ`yaitu: baligh, berakal, dhâbith.
11Sayyid ‘Abdul Majid al-Ghauri, op. cit., hlm. 17-18.

5 | P a g e

Mengenai cara tahammul, menurut Ibnu as-Shalah dalam muqaddimah-nya, Ibnu Mulqin dalam al-Muqni’, Imam an-Nawawi dalam at-Taqrîb, Imam as-Suyuthi dalam at-Tadrîb, dan Dr. Muhammad ‘Ijaj al-Khatib dalam Ushûl al-Hadîts, ada 8 macam12: 1)As-SimÂ’(mendengarkan dari lafadznya guru); 2) Al-Qirâah(membaca dihadapan guru); 3)al-Ijâzah; 4)Al-Munâwalah(syeikh memberi kitab hadis kepada muridnya,untuk meriwayatkannya); 5)Al-Kitâbah; 6) Al-I’lâm(memberitahu); 7)Al-Washiyyah; 8)Al-Wijâdah(menemukan).
Contoh kata yang menunjukkan bersambungnya sanad antara lain:sami’tu, haddatsanâ, wahaddatsanî. Ini yang paling tinggi derajatnya sebagaimana pendapat Al-Khathib al-Baghdadi.13
2. Dinukilkan dari Orang yang Adil
Pengertian adil dalam hal ini ialah dia yang memiliki ilmu mumpuni yang membawa dirinya untuk tetap konsisten dalam ketakwaan dan murûah (kewibawaan).14
Dengan kata lain adil itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut15:Islam(QS. Al-Baqoroh: 282),baligh, berakal,terbebas dari berbuatan fasiq atau bertaqwa (QS. At-Tholaq: 2), dan terbebas dari perkara yang dapat mencederai dari sifat murûah itu sendiri.
Mengenai perawi diriwayatkan dalam ash-Shahîhain juga masuk kategori perawi yang adil, berdasarkan konsensus umat atas keshahihan ash-Shahîhain tersebut. Persoalaan adil memang erat kaitannya dengan agama, adab dan murûah dari seorang perawi.Bukan berarti sorang perawi tidak pernah berbuat salah ataupun khilaf. Tapi seandainya melakukan suatu kesalahanpun itu hanya sampai derajat sesuatu yang kecil tidak sampai mengurangi ke-murûah-annya, bukan perbuataan-perbuatan semacam fasiq, berbohong, bid’ah mengambil upah karena telah meriwayatkan hadis, tadlîs ataupun sifat bodoh.Imam Asy-Syafi’i pernah mengatakan bahwa seandainya adil itu ialah seorang yang tidak pernah berbuat salah, dosa, niscaya tidak ditemukan orang yang adil di muka bumi ini.16
Adapun metode penetapan sifat adil bisa ditempuh dengan 2 cara17:1)tanshîsh, yakni pengakuan keadilan seorang perawi oleh ulama al-jarhu wa at-ta’dîl, minimal dua ulama;2) metode istifâdlah, yakni popularitas akan keadilan perawi di kalangan para ahli hadis dan yang
12 Prof. Dr. Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulûgh al-Âmâl min Mushthalah al-Hadîts wa ar-Rijâl, Kairo: Dar as-Salam, 2012, cet. I, hlm. 457.
13As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, op. cit., hlm.532.
14 As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, Kairo: Universitas Al-Azhar, hlm. 45.
15 Lihat pada: Tim Elit Profesor Hadis, al-Bahtsu fî‘Ulûm al-Hadîts, Kairo: Universitas Al-Azhar.
16 Tim Profesor Hadis, ‘Ilmu al-Hadîts, Kairo: Universitas Al-Azhar.
17 Prof. Dr. Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulûgh al-Âmâl min Mushthalah al-Hadîts wa ar-Rijâl, op. cit., hlm. 420.

6 | P a g e

lainnya dengan indikasi banyaknya sanjungan kepadanya.Namun untuk kalangan Ulama-ulama Besar, seperti Imam Madzhab Empat, metode tersebut tidak dibutuhkan lagi.
Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu ash-Shalah18 bahwasanya hal tersebut yang adalah yang dibenarkan oleh kalangan madzhab Syafi’i dan diperlakukan pula dalam disiplin ushul fikih dalam bab al-akhbâr.
Hanya saja terjadi khilafdalam metode tanshîsh tersebut.Menurut al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani, tidak disyaratkan adanya jumlah ulama yang mengakui keadilan râwî maupun syâhid.Sedangkan ulama lainnya mensyaratkan jumlah ulama dalam hal syahâdah saja.19

3. Kuat Hafalannya (Tamâm adl-Dlabth)

Perawi hadis harus bukan orang yang lalai, pelupa,bukan orang yang ragu saat membawakan ataupun menyampaikan hadis. Di dalam persoalan dlabth,seorang perawi diharuskan hafal apa yang didengar, didapatkan dari gurunya dan diapun sanggup untuk menyampaikan hadis tersebut kapan saja dibutuhkan tanpa adanya tahrîf dan ziyâdah dalam hadis yang dia sampaikan (dhabthash-shadrî). Jika seorang perawi meriwayatkan hadis bukan dengan hafalan melainkan dengan sebuah catatan maka seorang perawi harus benar-benar mencatat apa yang didengarkan dari syeikhya, catatan tersebut terjaga di tempat yang aman dan terjaga dari tahrîf apalagi taghyîr,untuk kemudian dia sanggup menyampaikan kembalihadis dari catatannya tersebut sama persis dengan yang didapat dari gurunya(dhâbthal-kitâbah).
Untuk mengetahui ke-dhabth-an seorang perawi bisa ditempuh dengan cara-cara berikut:

1) Dengan membandingkan perawi dengan perawi lainnya yang sudah diakui oleh ulama,khususnya ulama al-jarhwa at-ta’dîl semisal dengan Ibnu U’yainah, Imam Malik , Sufyan Ats-Tsauri, dll.
a) Jika perawi tersebut ternyata tidak menyalahi riwayat perawi yang sudah masyhur ia dhâbith kecuali hanya hal sangat kecil, bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali, maka kita hukumi dengan tâm adl-dlabth dan hadisnya kita hukumi dengan hadis shahih
b) jika ditemukan khilaf namun yang sepakat lebih banyak dari pada mukhâlif-nya makahadis itu dihukumi hadis hasan bi-dhabth khafîf;
C) jika ternyata perawinya mukhâlif-nya lebih banyak dari kesepakatannya, maka temasuk sû` al-hifdh dan hadisnya dihukum dengan dlaif.
18 As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, tahqiq:Syekh Mazin bin Muhammad as-Sirsawi, op. cit., hlm. 459.
19 Ar-Razi, Al-Mahshûl fî‘Ilmi Ushûl al-Fiqh, tahqiq: Dr. Thaha Jabir al-‘Ilwani, Kairo: Dar as-Salam,2011, cet. I, juz II, hlm. 1092.

7 | P a g e

2)Dengan imtihân sebagaimana pernah ulama Baghdad lakukan terhadap kapabilitas Imam al-Bukhari dalam bidang periwayatan hadis, yaitu dengan cara membolak-balik 100 matan hadis beserta sanadnya, kemudian Al-Bukhari bisa membenarkan urutannya kembali, sehingga para ulama mengakui kapabilitas beliau.20

4. Tidak Mengandung Syâdzdz (penyelisih)
Syâdzdz ialah seorang perawi hadis tsiqah yang menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.Syâdzdz sebenarnya terjadi ketika periwayatan hadis satu sama lain berbeda dan saling kontradiktif, misal yang satu bilang A dan yang lain tidak. Sebagai gambaran,Abu Dawud dan At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abdul Wahid bin Ziyad dari A’masy dari Abi Shalih dari Abi Hurairah: ‘’ اذا صلى احدكم ركعتي الفجر, فليضطجع عن يمينه ‘’.Dalam hadis ini perawinya, Abdul Wahid, menurut Imam al-Baihaqi, termasuk perawi yang syâdzdz karena perawi-perawi lain meriwayatkannya termasuk fiil Nabi SAW.bukan ucapan beliau.21

5. Tidak Mengandung ‘illah
Kata ‘illah dalam bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari kata ‘illah yang secara etimologis berarti cacat. Sedang secara terminologis, ia berarti ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi atau tidak kelihatan yang menyebabkan suatu hadis cacat. Misal: me-washl yang munqathi’, me-raf’akan yang mauqûf.Cabang ilmu ini merupakan yang tersulit dalam ilmu hadis.Mengutip ungkapan Ibnu Mahdi, bahwa mengetahui ‘illah dalam hadis adalah dengan ilham.Ini mengilustrasikan identifikasi ‘illah adalah wilayah orang yang benar-benar kompeten dalam ilmu hadis. Namun secara ilmiah dapatlah sedikit kita temukan soal ‘illah dengan cara: mengkomparasikan semua hadis dari beragam riwayat, lantas kita cari ikhtilâftiap perawi disamping masalah ke-dhabt-annya dan ke-mutqin-annya, lalu kita lihat manakah yang paling unggul diantara mereka.22
Pada bagian mana saja berpotensi ada ‘illah?Menurut Imam As-Suyuthi:‘illah bisa terjadi pada sanadnya saja atau matannya atau malah kedua-duanya.
Berikut bentuk konkret cara mengidentifikasi ada ‘illah pada sanad:
Dalam hadits yang diriwayatkan Ya’la bin Ubaid At-Thanafisi dari Sufyan Ats-Tsauri dari ‘Amr bin Dinar dari Ibnu Umar dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda “"البيعان بالخيار مالم يتفرقا .Sanad pada hadis ini muttashil, diceritakan oleh orang adil dari orang adil pula, akan tetapi sanadnya tidak shahih karena terdapat ‘illah didalamnya, sedang matannya shahih. Letak ‘illah-nya karena riwayat Ya’la bin Ubaid terdapat kesalahan‘Amr bin Dinar, padahal yang benar adalah Abdullah
20Lihat al-Wajîz fî ‘Ulûm al-Hadîts,hlm. 95.
21 As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, tahqiq:Syekh Mazin bin Muhammad as-Sirsawi, op. cit.,hlm. 357-358.
22Ibid., hlm. 388.

8 | P a g e

bin Dinar, sebagaimana yang diriwayatkan para Imam dan Huffadz dari murid-muridnya Sufyan Ats-Tsauri, seperti Abu Nu’aim al-Fadll bin Dukin, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Mukhlad bin Yazid dan selainnya. Mereka semua meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri dari Abdulloh bin Dinar dari Ibnu Umar, jadi bukan dari ‘Amr bin Dinar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la. Lebih komplitnya bisa dirujuk pada Tadrîb ar-Râwî.23
Praktek Syarat-syarat Hadis Shahih
Contoh hadis shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari di awal kitab shahîh-nya:

حدثنا الحميدى عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحي بن سعيد الانصارى قال اخبرنى محمد بن ا براهيم التميمى
انه سمع علقمة بن وقاص الليثى يقول سمعت عمر بن الخطا ب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول انما الاعمال بالنيا ت وانما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى دنيا يصيبها او الى امراة ينكحها فهجرته
الى ما جاهر اليه

Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi Abdullah binaz-Zubair, beliau berkata:telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim at-Tamimi bahwa beliau telah mendengar Umar bin Khathab ra. berkata: aku telah mendengar Rasulullah saw.bersabda:Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada niatnya dan bagi setiap orang apa yang diniatkan, maka barang siapa berhijrah kepada dunia ia akan raih, atau kepada wanita ia akan nikahi, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia hijrahi.

1. bersambungnya sanad
Hadis ini sanadnya bersambung karena setiap perawi dari hadis ini mendengar hadis ini dari syaikhnya (gurunya) langsung dengan mengatakan ‘’haddatsanâ atau akhbaranâ‘’ sebagai bukti bahwa mereka mendengar hadis itu langsung dari syaikhnya.
2 & 3. para perawinya adil dan kuat hafalannya
Untuk memastikannya, kita harus meneliti satu persatu perawinya.Semisal, kita ambil keterangan biografi mereka dari kitab Taqrîb at-Tahdzîb karya dari Al-Hafidz Ibnu Hajar, akan kita dapati mereka adalah orang yang adil lagi kuat hafalannya.
4. tidak ada syâdzdz (penyelisih) sehingga disebut hadis shahih; dalam hal ini, berdasar pencarian penulis, belum ditemukan hadis yang kontradiktif dengan perawi yang lebih tsiqah dari hadis tersebut.
6. Tidak ada ‘illah (cacat ); dalam hadis tersebut para perawinya adalah orang yang paham, tahu makna hadis tersebut, banyak mendengarkan dan mudzakarah-nya.
23 Lihat As-Suyuthi, ibid.,hlm. 388.

9 | P a g e

Syarat-syarat Hadis Shahih yang Diperselisihkan
Yang kami sebutkan di atas adalah syarat-syarat yang menjadi kesepakatan para ahli hadis (muttafaqun ‘alaihâ) yaitu bersambungnya sanad, dlabth yang sempurna,perawi yang adil, tidak adanya syâdzdz dan ‘illah pada matan atau sanad hadis.Namun sebagian ulama ahli hadis menambahkan syarat tertentu hadis bisa diterima sebagai shahih, namun masih diperselisihkan (al-mukhtalaf fihâ).Di antaranya adalah:

1. Hendaknya hadis tersebut terbebas dari hadis munkar,(hadis yang diriwayatkan perawi dla’îf yang menyelisihi para perawi yang tsiqât)
Dalam hal ini para ulama menyamakan munkar tersebut dengan syâdzdz, sebagaimana pendapat yang dipilih Ibnu ash-Shalah dan Imam as-Suyuti.Bahkan ada juga yang menganggap munkar itu lebih buruk dari syâdzdz; maka kalau syâdzdz saja sudah tidak bisa diterima apalagi munkar?24
2. Seorang perawi tersebut masyhur sebagi seorang pencari hadis,dalam pengertian bukan seorang yang tidak tahu tentang hadis tapi dia mempunyai nilai plus dalam mencari riwayat hadis, mengutip ungkapan Abdullah bin ‘Aun, ‘’Ilmu tidak didapatkan kecuali bagi orang yang benar-benar telah diketahui dalam mencarinya.” Para ulama mengomentari masalah ini dengan mengatakan bahwa syarat tersebut sudah masuk dalam katagori syarat dlabth.Demikian pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar.25
3. Sebagian Ulama Muktazilah dan AhliHadis mensyaratkan bahwa riwayat suatu hadis harus banyak sebagaimana yang berlaku dalam masalah syahâdah, sepertisyahâdah dalam qadzaf zina baru bisa diterima dengan empat orang syâhid; begitu pula seharusnya berlaku pada periwayatan hadis.Menurut jumhur ulama keshahihan suatu riwayat cukup dengan riwayat satu orang perawi saja dan pengqiyasan terhadap masalah syahâdah adalah qiyas yang batil karena termasuk qiyâs ma’a al-fâriq.26
4. Perawinya dikenal memiliki pengetahuan, pemahaman dalam hadis dan sering bertalaqqi serta menelaah hadis. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Hajar,syarat ini sama dengan syarat tidak adanya cacat dalam hadis, sebab bila kita ingin tahu yang hadis memiliki cacat, kita harus memiliki pengetahuan, pemahaan mendalam tentang hadis.27
24Ibid.,hlm. 116.
25Ibid.,hlm. 123.
26 Lihat Al-Wajîz fî ‘Ulûm al-Hadîts, Kairo: Fakultas Syariah-Universitas Al-Azhar, hlm. 103.
27 As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, tahqiq:Syekh Mazin bin Muhammad as-Sirsawi, op. cit., hlm. 124.
10 | P a g e
5.Hendaklah perawi mengerti atau memahami arti dari sebuah hadis apabila perawi itu meriwayatkan hadis berdasarkan makna hadis. Syarat inipun sudah termasuk dalam syarat dlabth.
6.Imam al-Bukhari mensyaratkan hendaklah sang perawi mendengar hadis yang diriwayatkannya langsung dari gurunya,dan tidak cukup dengan kemungkinan bertemu atau sezaman, sebagaimana hal tersebut sudah dianggap mencukupi oleh Imam Muslim dengan catatan tidakterjadi tadlîs.28Tentang syarat itu, tidak ada seorang pun ahli hadis menjadikannya syarat bagi keshahihan sebuah hadis, tapi hanya syarat untuk jadi lebih shahih.29
7. Hendaknya perawinya seorang fakih
Ini syarat yang diajukan oleh Imam Abu Hanifah,yaitu ketika seorang perawi meriwayatkan hadis yang kontradiktif dengan qiyas.Hal ini dilakukan karena memang pada masa itu di Kuffah, tempat tinggal beliau, banyak terjadi konflik antar sekte dalam Islam seperti Syiah, Muktazilah, Jabariyah, dll.,endingnya banyak terjadi pemalsuan hadis untuk mendapatkan legitimasi atas kepercayaan sektenya. Di samping faktor geografis, Kuffah jauh dari Madinah yang saat itu peradaban hadis di sana masih ‘begitu apik’ karena masih banyak ahli hadis dari kalangan Tabi’in yang dalam praktek amaliyahnya persis sebagimana zaman baginda Rasul saw.dan Sahabat. Hal ini pula yang menjadi salah satu pertimbangan ‘amal Ahli al-Madînah sebagai penopang sumber hukum dalam madzhabnya Imam Malik ra.30
Perlu diketahui, sebagaimana pendapat yang dipilih Abu Bakar al-Jashshas, Fakhrul Islam al-Bazdawi, as-Sarkhasi,dan an-Nisafi bahwa manhaj dan kaedah yang dipakai Abu Hanifah ialah tetap mendahulukan khabar ahad dari pada qiyas, selama tidak bertentangan dengan qiyas yang kuat; hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan karena potensi salah pemahaman tentang suatu hadis bisa saja terjadi, jika seorang bukan ahli fikih ataupun dia fakih tapi ada perawi lain yang lebih fakih darinya, dan juga mengingat banyak juga dari kalangan sahabat, tabi’in mengambil semisal hadis dari Abu Hurairah ra. Namun tak jarang hadis riwayat dari Abu Hurairahpun mereka tinggalkan karena bertentangan dengan qiyas.Demikian pendapat Ibrahim an-Nakha’i dan Sufyan ats-Tsauri yang diriwayatkan dari Mansur dari Ibrahim.
Sebagai contoh Abu Hurairah ra. meriwayatkan hadis tentang keharusan wudlu sesudah memakan perkara yang di bakar dengan api walaupun makannya hanya sedikit(semisal hanya sepotong dari susu yang sudah kering). Hadis ini tidak diterima oleh Ibnu Abbas, karna bertentangan dengan qiyas. Begitu juga banyak hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
28Lihat Al-Wajîz fî ‘Ulûm al-Hadîts, op. cit., hlm. 103.
29 As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, tahqiq:Syekh Mazin bin Muhammad as-Sirsawi, op. cit., hlm. 125.
30 Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Beirut: Dar al-Jil, 2005, cet. I, hlm. 382-383.
11 | P a g e
namun tidak diterima peroleh Sayyidah ‘Aisyah ra.31 Periwayatan suatu hadis juga berisiko tidak diterima, jika kontradiktif dengan al-Qur’an, hadis yang telah disepakati, serta pendapat jumhur sahabat.32
Pembagian Hadis Shahih
Terjadi perbedaan antara Ulama Mutaqaddimin dan Mutaakhkhirindalam pembagian hadis. Menurut mutaqaddimin, hadis hanya dibagi dalam dua kelompok yakni maqbûl(shahih dan dhaif)dan mardûd(tidak bisa digunakan sebagai dalil ). Namun menurut mutaakhkhirin hadis maqbûl terbagi menjadi shahih dan hasan, kemudian shahih dibagi lagi menjadi shahih li-dzâtihi dan shahih li-ghairihi, begitu pula hadis hasan menjadi hasan li-dzâtihidan li-ghairihi, sedangkan untuk hadist mardûd dibagi menjadi hadis dlaif, yang kemudian terbagi dalam beragam bentuknya.
Adapun penamaan shahih li-dzâtihi dan li-ghairihi pertama kali dipopulerkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, sedangkan istilah shahîh,dla’îf dan hasan diperkenalkan oleh Al-Imam at-Tirmidzi sementara istilah hasan li-dzâtihi dan ghairihi oleh Ibnu ash-Shalah.33
1. Hadist shahih li-dzâtih
Merupakan hadis yang mencapai derajat tertinggi dalam diterimanya suatu hadis shahih karena hadis ini memiliki sanad yang bersambung dan diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dlâbith yang sempurna serta selamat dari syâdzdz dan ‘illah.
اخرج بخارى فى صحيحه قال حدثنا عبد الله بن يوسف قال اخبرنا مالك عن شهاب
عن محمد بن جبير بن معطم عن ابيه قال سمعت رسول الله صلى الله علىه وسلم قرا فى المغرب بالطور
Pengaplikasian dan pengidentifikasian keshahihan hadis tersebut sebagai berikut:
--Abdullah bin Yusuf yang berkunyah Abu Muhammad al-Kala’i berasal dari Damaskus, terkenal mutqin dan tsiqah sebagaimana telah ditetapkan dalam kitab al-Muwaththa` di Imam al-Bukhori, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai juga meriwayatkan hadis darinya.
--Imam Malik terkenal sebagai Imam hâfidz
--Ibnu Syihab az-Zuhri terkenal akan faqîh, hâfidz dan mutqin.
31 Dr. Kilani Muhammad Khalifah, Manhaj al-Hanafiyyah fî Naqd al-Hadîts, Kairo: Dar as-Salam, 2010, cet.I, hlm. 259-263.
32 Dr. Rif’at Fauzi Abdul Mutholib, al-Madhal illa Manahijîl al-Muhadisîn, kairo : Dar as-Salam,2011,cet.2,hlm 32-37.
33 Prof. Dr. Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulûgh al-Âmâl min Mushthalah al-Hadîts wa ar-Rijâl, op. cit.,hlm. 141.
12 | P a g e
--Muhammad bin Jubair bin Muth’im bin ‘Adhi bin Nufail an-Naufili terkenal tsiqah, baik nasabnya dan banyak ulama meriwayatkan hadis darinya.
--Jubair bin Muth’im bin ‘Adi bin Nufail bin ‘Abdul Manaf al-Quraisyi terkenak banyak ulama meriwayatkan hadis, nasabnya juga luhur.
Maka hadis di atas termasuk hadis shahih karena semua syaratnya telah terpenuhi, yaitu sanad muttashil, setiap perawinya mendengar dari gurunya, semua perawinya adil dan dhâbithtâmm sebagaimana telah disepakati oleh para ulama al-jarhwa at-ta’dîl, tidak ada yang syâdzdz, karena mereka semua terkenal tsiqah dan tidak ada ‘illah.
2. Hadist Shahih li-ghairih
Merupakan hadis yang sebenarnya hadis hasan,akan tetapi disebabkan oleh unsur-unsur tertentu yang telah disepakati para ulama hadis maka hadis ini berubah menjadi hadis shahih li-ghairihi.
Jadi indikasi yang menjadikan keshahihannya berasal dari perkara lain bukan dari keberadaan hadis tersebut. Perbedaan di antara keduanya terletak pada tamâm adl-dhabth dan khiffah adl-dlabth.
Unsur-unsur yang Mejadikan Shahih li-Ghairihi
1.Adanya periwayatan dari perawi lain yang tingkat dhabth-nya sama atau malah lebih tinggi baik itu dengan jalan dua perawi atau lebih. Walaupun keberadaan perawi lebih rendah dari perawi yang pertama,di mana hal tersebut dapat menutupi kekurangan yang terjadi pada sifat dhabth-nya. Semisal yang terjadi pada hadis tentang masalah siwak yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam bab mâ jâa fî as-siwâk yang jalan periwayatannya dari Muhamad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah ra. Dalam hal ini Muhamad bin Amr terkenal orang yang shâdiq,amîn dan tsiqah sebagian hafalannya namun tidak tâmm adl-dlabth sehingga sebagian ulama mendlaifkannya, ternyata kemudian ditemukan lagi periwayatan hadis yang sama dalam kitab al-Bukhari dalam kitâb al-jum’ah dengan perawi bernama ‘Araj yang meriwayatkan dari Abi Hurairah ra. ‘Aroj terkenal tsiqah hafalannya, tâmmadl-dlabth, sehingga hadis tersebut bisa menutupi kekurangan hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr tersebut.34
2. makna hadis tersebut sesuai dengan Al-Quran atau sesuai dengan sebagian ushul syariat.
3.Banyak ulama muhaddisin menganggap bahwa hadis tersebut masuk kategori hadis maqbûl, seperti hadis:
وهو الطهور ماؤه الحل ميتيته
34As-Sakhawi, Alfiyyah al-‘Irâqî wa Syarhuhâ, juz I, hlm. 61.
13 | P a g e
Hadis tersebut tidak sah secara sanadnya akan tetapi Imam al-Bukhari menganggap hadis ini shahih karena para ulama banyak yang menganggap bahwa hadis tersebut masuk kategori hadis maqbûl.
Hukum Hadis Shahih
Para ulama menjadikan keberadaan hadis shahih sebagai hujjah dalam menetapkan suatu produk hukum syar’i, dan wajib diamalkan sebagaimana yang disepakati oleh ulama muhaddisin, ulama ushuliyyin dan fukaha,yang pendapatnya mengambil hujjah dari hadis shahih tersebut,jadi tidak semua hadis shahih dijadikan hujjah oleh para Imam madzhab.
Contoh:Madzhab Syafii, dalam persoalan basmalah dalam al-Fatihah menganggap batal shalatnya orang yang tidak membacanya, padahal dalam hadis shahih yang dikeluarkan oleh Muslim dan Imam Malik dalam Al-Muwatho’ dari riwayat Anas bin Malikra. Bahwa Nabi saw.membaca al-Fatihah dalam shalat tanpa basmalah. Menurut pandangan as-Syafi’i hadis tersebut tidak dijadikan hujjah karena hadis dalam Al-Muwatho’ , terdapat ‘illah pada matannya yaitu pada riwayat Humaid. Bahkan menurut penelitian as-suyuthi dalam hadis riwayat Muslim itu juga terdapat sembilan macam ‘illah. Dari sini as-Syafi’i berkesimpulan basmalah adalah bagian al-Fatihah, dikarenakan juga ditemukan ada hadis lain yang shahih yang mewajibkan membaca basmalah.35
Madzhab Maliki tidak mensyaratkan membasuh najis 7 kali jika terkena jilatan anjing dan ini sekaligus mukholîf dengan pendapat jumhur ‘ulama. Padahal dalam hadis riwayat Muslim, Nabi saw.memerintahkan membasuh 7 kali basuhan jika bejana terkena jilatan anjing.Madzhab Maliki menganggap dalil di atas perintah membasuh hanyalah unsur ta’abudan, mereka juga beralasan menemukan hadis yang mengindikasikan tentang tidak najisnya air ludah anjing, seperti hadis yang di riwayatkan oleh al-Bukhori dari Ibnu Umar ra.36
Hal yang sedikit menarik dari contoh di atas, menurut pengamatan ‘awwam penulis ialah bagaimana sebenarnya standarisasi ilmiah Kibarul ‘ulama, sebelum era al-Bukhari melakukan kodifikasi hadis, membaca akan keberadaan suatu ‘illah dalam hadis, mengingat bahwa ‘illah menempati posisi paling rumit dan sulit dalam ilmu hadis, yang hanya dapat diketahui bagi mereka yang benar-benar mutabahir dalam ilmu hadis, berangkat dari ketokohan Imam Malik dan as-Syafi’i dalam ilmu hadis mengapa keduanya masih khilaf,dalam masalah ini? Lalu bagaimana pandangan mereka akan suatu hadis , semisal terjadi ta’arud, yang lantas mereka jadikan sebagai hujjah?.
35Syeikh ‘Ali Ash-Shabuni,Tafsîr Âyâti’l-Ahkâm, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1971, cet. I, hlm. 47.
36 Tim ahli Hadis , Syarh Shahîh Muslim lil Imam an-Nawawî, Kairo: Fakultas Ushuluddin-Universitas Al-Azhar, hlm.26-43.
14 | P a g e
Sedangkan kalangan Muktazilah dan Rafidlah berpendapat bahwasanya khabar ahad itu tidak shahih walaupunn khabar ahad tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai hadis shahih.Pendapat ini berbeda dengan konsensus para Sahabat, Tabi’in,Tabi’ut Tabi’in, para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin yang berijmak bahwasanya khabar ahad itu apabila telah memenuhi syarat hadis shahih maka dihukumi shahih,karena suatu hadis shahih tidak disyaratkan harus hadis ‘azîz(diriwayatkan minimal oleh 2 orang dan dalam tiap tiap tingkatannya minimal juga memiliki 2 sanad).37
Penutup
Dari sini kita bisa mengambil benang merah, bahwa untuk bisa hidup seiring dan selaras dengan Al-Quran, kita harus melalui baginda Rasulsaw. karena dalam diri beliaulah pengaplikasian Al-Quran benar-benar begitu sempurna, كان خلقه القرآن , demikian jawaban Sayyidah ‘Aisyah ra.ketika ditanya oleh Sahabat tentang bagaimana akhlak Rasulsaw. Hal ini juga mendapatkan lisensi langsung dari Allah ‘azza wajjala, وإنك لعلى خلق عظيم (QS. Al-Qalam: 4).
Dengan mempelajari hadis shahih, misalanya, kita bisa tahu secara utuh bagaimana sosok agung nan sempurna baginda Rasulsaw.,di samping mengetahuiproduk-produkhukumIslam yang bersumber darinya.
Semoga pengetahuan tentang aqwâl, af’âl dan taqrîr baginda Rasul saw. bisa menumbuhkan rasa mahabbah kita yang hakiki dengan beliau, dan selanjutnya kita berusaha untuk bisa mengamalkan.Teiring salam takdzim untuk beliau, keluarganya yang suci dan para sahabatnya yang mulia.[]
Wa’l-hamdulillâh Rabbi’l-‘Âlamîn.
Wa’llâhu A’lam bi’sh-Shawâb.
37Prof. Dr. Muhammad Mahmud Ahmad Bakkar, Bulûgh al-Âmâl min Mushthalah al-Hadîts wa ar-Rijâl, op. cit.,hlm. 142.
 

Telaah Hadis Sahih

Telaah Hadis Sahih
Oleh: M. Nurul Ahsan
I.              Pendahuluan

1.1.      Latar Belakang
Telah jamak diketahui bahwa hadis menjadi sumber primer kedua dalam Islam setelah Alquran. Secara faktual, studi hadis tidak sepopuler studi Alquran. Minat studi hadis relatif lebih rendah dibanding dengan Alquran hingga akhirnya membawa dampak pada studi hadis yang tidak pernah tuntas dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Satu sisi, fenomena seperti ini sangat menguntungkan bagi kaum muslimin dalam membarikan konstribusi khazanah keislaman, akan tetapi pada sisi lain justru membawa dampak signifikan terjadinya konflik internal umat Islam di berbagai kesempatan.
Interval yang cukup panjang antara kodifikasi hadis dengan masa wafatnya nabi berpotensi pada masuknya unsur luar hingga mempengaruhi otentisitas hadis ketika dibukukan. Ulama hadis menetapkan persyaratan relatif ketat dan selektif agar supaya kekhawatiran itu tidak pernah terjadi. Banyak sumber menceritakan, nabi melarang sahabat mencatat hadis kecuali hanya ayat-ayat Alquran semasa hidupnya. Nabi mengancam bagi siapa saja yang berani berbohong atas nama dirinya secara sengaja niscaya tempatnya adalah neraka.[1] Larangan ini terbukti efektif hingga mengakibatkan dinamika studi hadis relatif lebih rendah dibanding studi Alquran.

Alasan larangan nabi terhadap sahabat dalam menuliskan hadis–oleh banyak ulama—diklaim sebagai bentuk kekhawatiran terjadinya bias antara Alquran dan hadis.[2] Nabi bertindak antisipatif bahwa Alquran yang kala itu dicatat oleh sebagian sahabat tidak boleh terkontaminasi oleh catatan lain. Prilaku maupun perkataan nabi praktis hanya diperkenankan sebagai objek cerita verbal, bukan tulisan. Sebagai pemegang otoritas, sudah barang tentu larangan ini dipatuhi oleh sahabat meskipun di akhir-akhir hayatnya ada riwayat nabi memberikan intruksi penulisan. Fakta sejarah ini secara eksplisit terekam dalam hadis yang diriwayatkan dari beberapa sumber.[3]
1.2.      Ruang Lingkup
Dalam disiplin ilmu hadis terdapat beberapa terminologi salah satunya hadis sahih. Dalam memberikan predikat sahih sebuah hadis harus diuji terlebih dahulu melalui mekanisme bertahap yang telah ditentukan oleh ulama pakar hadis. Titik berat yang menjadi objek penelitian secara general terletak pada aspek kualitas sanadnya, bukan matan atau redaksinya. Manakala validitas hadis telah ditetapkan konsekuensi logis bagi masyarakat muslim adalah mematuhinya tanpa harus menggugat bagaimana bentuk redaksi. Hal ini sesuai anggapan sebagian ulama bahwa segala sesuatu yang muncul dari nabi adalah wahyu yang harus ditaati.[4]

Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi hadis sahih dan hal-hal yang berkaitan dengannya perspektif ulama melalui disiplin ilmu hadis. Metode penulisannya menggunakan standard penalaran ulama klasik yang hampir disepakati seluruh umat Islam sembari sedikit menampilkan buah pemikiran tokoh kontroversial umat Islam, Muhammad Syahrur dan Muhammad Albani. Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk menyampaikan sebuah pesan bahwa  selain tokoh klasik populer masih ada tokoh modern yang berusaha merekontruksi tatanan ilmu hadis.

II.           Pembahasan

2.1.      Definisi

Ulama terjadi perbedaan dalam mendefinisikan hadis dan sunah. Al-Hadîst secara etimologi adalah nama dari at-tahdîst yang berarti al-ikhbâr atau pengabaran. Kemudian redaksi itu digunakan dalam sebuah terminologi disiplin ilmu hadis sebagai ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang dihubungkan dengan Nabi Muhammad Saw.[5] Sedangkan as-sunnah dipandang secara etimologi adalah jalan (ath-tharîqah), kemudian kata itu digeneralisir untuk jalan yang ditempuh nabi semasa hidupnya. Jika arti dari redaksi al-hadîst secara etimologi lebih luas menyangkut perkataan, prilaku serta ketetapan, maka arti as-sunnah terbatas pada ruang tertentu, yaitu perbuatan nabi.[6] Meskipun demikian di beberapa negara kedua terminologi itu cenderung tidak dibedakan. Bahkan Wahbah Zuhaili menggunakan definisi hadis di atas ketika  mendefinisikan sunah. Menurutnya al-khabar merupakan bentuk sinonim dari al-hadîst, yang keberadaannya terbatas pada ucapan dan dapat timbul dari nabi, sahabat dan lain-lain.[7]

Dalam mendefinisikan hadis sahih ulama tidak terjadi perbedaan signifikan. Perbedaan yang terjadi di antara mereka hanya pada persoalan persyaratan yang ditawarkan dan barometer yang digunakan untuk menentukan kriteria.[8] Hadis sahih adalah hadis yang rangkaian sanadnya tersambung awal hingga akhir dari orang yang jujur (âdil) serta cakap (dhâbith) tanpa ada indikasi keanehan (syudzûdz) maupun kecacatan (‘illah).[9] Jika salah satu dari perawi terbukti keluar dari kriteria di atas maka secara otomatis sebuah hadis dikatakan tidak sahih.

2.2.      Klasifikasi Hadis

Dalam tradisi ilmu hadis, klasifikasi hadis dari aspek peringkatnya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu sahih, hasan dan dhaif. Klasifikasi ini ditinjau secara historis muncul pada pertengahan abad ke tiga yang dicetuskan pertama kali oleh Abu Isa at-Tirmidzi. Sebelumnya belum pernah ditemukan klasifikasi ini.
Perkembangan hadis pada awal abad ke tiga hanya mengenal terminologi maqbûl (diterima) dan mardûd (ditolak) atau hadis sahih dan dhaif. Artinya, sebuah hadis yang telah mampu memenuhi persyaratan maka hadis tersebut dikatakan sahih/maqbûl, sedangkan yang tidak memenuhi persyaratan dianggap dhaif/mardûd.[10] Akan tetapi, seperti yang dikatakan Suyuthi, tetap ada yang beranggapan bahwa hadis terbagi menjadi dua: sahih dan dhaif, sedangkan hadis hasan masuk kategori sahih.[11]
Selain klasifikasi di atas, ulama juga melakukan kategorisasi berdasarkan sifatnya: 1) Musnad, 2) Marfû’, 3) Mauqûf, 4) Maqtû’, 5) Muttashil, 6) Mursal, 7) Munqathi’, 8) Mu’adhdhal, 9) Mudallas.[12] Dilihat dari sanadnya di sana juga ada kategori mutawâtir dan âhâd,[13] akan tetapi kategori-kategori ini tidak akan dijelaskan dalam kesempatan kali ini.

2.3.      Mengenal Karya Hadis Sahih

Menyentuh dimensi ruang kajian salah satu sumber hukum Islam kedua, yakni hadis atau sunah, dipandang sebagai keniscayaan intelektual di tengah berkembangnya zaman dengan segala problematikanya paska wafatnya nabi. Upaya ulama mempersembahkan sebuah kodifikasi hadis atau sunah sebagai solusi bagi umat Islam menghasilkan banyak karya yang yang tak terhitung jumlahnya yang beberapa di antaranya telah diakui validitasnya. Sudah barang tentu karya-karya itu memberikan nuansa baru bagi khazanah keilmuan Islam yang dalam eksistensinya dituntut selalu mampu berinteraksi dengan perkembangan zaman.

Karya besar yang muncul dari sejumlah ulama dalam upaya melakukan kodifikasi hadis tidak terhitung jumlahnya. Pertama, Sahih Bukhari karya dari ulama besar Imam Muhammad bin Ismail  bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi, Abu Abdillah al-Bukhari, memuat 7075 hadis. Kedua, Sahih Muslim yang disusun oleh Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi yang memuat 8000 atau 12000 hadis sahih.[14] Keduanya dianggap karya paling monumental sepanjang sejarah dan dianggap buku paling ‘suci’ setelah Alquran.

Anggapan itu mengemuka lantaran keduanya secara murni memuat hadis sahih dengan persyaratan ketat sedangkan karya-karya sebelumnya memuat berbagai kategori hadis. Banyak yang mengulas tentang mana yang lebih sahih antara Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, sebagian besar dari mereka mengatakan Bukhari lebih sahih. Pilihan ini didasarkan pada beberapa alasan salah satunya tingkat persyaratkan yang digunakan Bukhari lebih ketat daripada Muslim. Anggapan Imam Syafii terkait karya paling sahih setelah Alquran adalah Al-Muwatha’ lantaran pada periode Syafii Sahih Bukhari dan Sahih Muslim belum ada.[15]

Ketiga, Jami’u at-Tirmidzi karya dari Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahhak as-Sulami, ad-Dharir al-Bughhi, at-Turmudzi. Keempat, Sunan Abi Dawud karya dari Sulaiman bin al-Asy’ab bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin Amr bin Imran al-Azdi as-Sijistani, memuat 500.000 hadis. Kelima, Sunan an-Nasa`i yang diberi nama Al-Mujtaba atau Al-Mujtana, karya Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar, Abu Abdirrahman an-Nasa’i. Keenam, Sunan Ibn Majjah karya Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majjah.[16]

Keenam karya ini dikenal dengan sebutan ash-Shahhah as-Sittah (enam kitab sahih) di kalangan ulama India meskipun mereka mengetahui bahwa empat karya yang terakhir bukan hanya memuat hadis sahih tapi juga memasukkan hadis dhaif. Penamaan ini hanya persoalan generalisasi (min bab at-tahghlib) dari fakta persentase hadis sahih jauh lebih besar dibanding hadis dhaif.[17] Selain itu ada beberapa karya lagi yang dianggap sebagai kodifikasi hadis sahih semisal Sunan Ibnu Khuzaimah, ad-Dar Qurthni, al-Hakim, al-Baihaqi dan lain-lain, akan tetapi tingkat persyaratan dalam menentukan hadis-hadisnya tidak seketat Bukhari dan Muslim.[18]

2.4.      Persyaratan

Di atas telah sedikit menyinggung kriteria yang ditentukan ulama dalam menganalisis sebuah hadis. Kriteria itu ada yang ketat, ada juga yang longgar dan bahkan ada yang mengatakan terlalu mudah. Dalam hal ini kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim terbilang paling ketat dibanding ulama lain. Bagi Bukhari ada tiga syarat yang harus dipenuhi sebuah hadis dapat dikatakan sahih.[19] Pertama, syarat sah secara umum, yaitu rawi yang terpercaya, sambung sanadnya, bebas dari keanehan dan kecacatan. Syarat pertama ini dimiliki semua ulama pakar hadis seperti Muslim dan lain-lain. Akan tetapi dua syarat berikutnya hanya dimiliki oleh Bukhari. Kedua, kualitas rijâl (perawi) mulai dari kecakapan serta intensitas interaksi terhadap gurunya. Syarat ini tidak didapat pada pakar hadis lainnya sehingga sudah sepantasnya karya yang dihasilkan Bukhari menempati urutan pertama tingkat kesahihannya.

Imam al-Hazimi menjelaskan lapisan rawi perspektif Bukhari: a) orang yang mempunyai kecakapan dalam meriwayatkan serta interaksi dengan gurunya sangat intensif; b) orang yang mempunyai kecakapan dalam meriwayatkan hadis namun tidak intensif berinteraksi dengan gurunya; c) orang yang banyak berinteraksi dengan gurunya akan tetapi tidak mempunyai kecakapan. Rawi seperti ini dalam periwayatannya ada dua kemungkinan, antara diterima dan ditolak; d) orang yang tidak tidak intensif berinteraksi dengan seorang guru dan juga tidak mempunyai kecakapan; e) orang lemah dan bodoh.
Ketiga, rangkaian sanadnya mu’an’an, menggunakan redaksi ‘an (dari). Ini juga salah satu alasan mengapan karya Bukhari menjadi karya tersahih lantaran hadis dengan sanad mu’an’an telah disepakati mayoritas ulama harus tersambung sanadnya secara kontinu menggunakan redaksi ‘an dan juga perawinya diharuskan tidak mudallis (menipu/mengaburkan).

Syarat Imam Muslim secara general mempunyai kesamaan dengan Imam Bukhari. Pertama, syarat sah secara umum; kedua, kualitas rawi, dan; ketiga, rangkaian sanadnya mu’an’an. Perbedaannya adalah Bukhari mensyaratkan seorang rawi mempunyai internsitas interaksi antara rawi dengan gurunya sedangkan Muslim tidak demikian.[20] Yang jelas hampir semua ulama sepakat bahwa syarat Bukhari dan Muslim merupakan syarat terkuat dalam menentukan kesahihan hadis.

2.5.      Kritikus Hadis

Beberapa dekade terakhir dinamika keilmuan hadis dikagetkan oleh kehadiran sosok fenomenal Muhammad Nashiruddin al-Albani, yaitu seorang pakar hadis kelahiran Albania yang bernyali melakukan kritik terhadap hadis-hadis sahih. Pada dasarnya Albani bukan orang pertama yang berani melakukan kritik terhadap karya tokoh-tokoh klasik semisal Bukhari dan Muslim. Dalam Tadrîb ar-Râwi karya Imam Suyuthi menjelaskan tentang adanya rijâl lemah yang teridentifikasi pada Sahih Bukhari dan Muslim. Dari 453 rijâl dalam Sahih Bukhari terdapat 80 rijâl dinilai lemah sedangkan dari 620 rijâl dalam Sahih Muslim terdapat 160 rijâl dinilai lemah.[21]

Kritik hadis juga dilakukan oleh Muhammad Syahrur, hanya saja kritik yang dilakukan oleh tokoh kontroversial kelahiran Suriah ini dari aspek metodologisnya. Ia membedakan dua sunah, yaitu Sunnah an-Nubuwwah yang berkaitan dengan keyakinan dan merupakan objek keagamaan, sementara Sunnah ar-Risâlah menyangkut hukum-hukum dan merupakan objek kepatuhan. Model ketaan pertama berlaku bagi sunah yang berisi tentang tradisi kebiasaan nabi sehari-hari ketika masih hidup sedangkan model ketaan kedua adalah ketaan abadi yang berlaku bagi semua perintah nabi yang berkaitan dengan hukum, ibadah dan akhlak.[22] Dari sini dapat dipahami bahwa predikat sahih yang telah ditentukan ulama klasik melalui tradisi ilmu hadis dalam persoalan tertentu sifatnya sudah tidak lagi mengikat hukumnya.

III.         Penutup
3.1.      Kesimpulan

Dalam konteks keilmuan hadis seakan telah terjadi konsensus umat Islam bahwa posisi yang telah diraih Bukhari dan Muslim tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun dalam upaya memberikan penilaian sahih dan tidaknya sebuah hadis. Kajian dan telaan hadis terhenti pada kajian tekstual yang mengacu pada kitab-kitab hadis saja. Masyarakat muslim sebagaian besar terdiri dari kaum yang hanya merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka. Mereka menganggap final terhadap kitab-kitab hadis yang ada, sebagaimana finalnya Alquran.
Oleh beberapa pihak, kondisi statis semacam ini dianggap tidak menguntungkan bagi masa depan umat Islam. Terbukti secara psikologis umat Islam terlihat tidak siap manakala mereka mengetahui sebuah fenomena baru semisal Albani dengan pemikiran konservatifnya dan Syahrur dengan pemikiran liberalnya. Dua tokoh yang meyakini bahwa karya monumental ulama-ulama klasik semisal Bukhari dan Muslim masih layak dikritisi sejauh argumentasi yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan.

3.2.      Saran

Pertama, tak satupun dapat menunjukkan adanya disiplin keilmuan yang tidak berkembang.  Demikian juga disiplin ilmu hadis --sebuah disiplin keilmuan yang hanya dimiliki oleh Islam. Penilaian hadis masih belum mencapai kata final yang berarti generasi sekarang masih dapat berkonstribusi menganalisis sekaligus memberikan penilaian.[23] Jadi sudah selazimnya disiplin ini secara intensif dipelajari. Kedua, tidak ada gading yang tak retak. Berakhirnya tulisan ini berarti munculnya kekurangan-kekurangan sehingga saran dan kritik sangat diharapkan.[]

Daftar Pustaka

Dr. Nu’man Abdul al-Muta’al al-Qadhi, Al-Hadîst asy-Syarîf Riwâyatan wa Dirâyatan (t.c.; Mesir: Maktabah al-Usrah, Al-Hai`ah al-‘Ammah li al-Kitab, th. 2013 M.).
Dr. Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur`ân (cet. 1; Mesir: Sina li an-Nasyr wa al-Ahali, th. 1992 M.)
Dr. Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1 (cet. 19; Damaskus: Dar al-Fikr, th. 2011 M.)
Syabbir Ahmad al-Utsmani al-Hindi, Mabâdi`u Ilmi al-Hadîst wa Ushûluh (cet. 4; Lebonan: Dar al-Basya`ir al-Islamiah, th. 2011 M.)
Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, vol. 1 (t.c.; Kairo: Al-Maktabah at-Taufiqiah, t.t.)
Abi al-Ula Muhammad Abdirrahman al-Mubarakfuri, Fawâid fî Ulûmi al-Hadîst wa Kutubihi wa Ahlihi (cet. 1; Riyad: Maktabah Dar al-Minhaj, th. 1431 H.)
Dr. Ali Naif Baqa’i, Manâhij al-Muhaddistîn al-‘Ammah wa al-Khashshah (cet. 3; Bairut: Dar al-Basya`ir al-Islamiah, th. 1432 H./2012 M.)


* Dipresentasikan pada diskusi reguler FAS Mesir, 22 Februari 2014.
**Mahasiswa tingkat akhir di Universitas Al-Azhar, Kairo, Fakultas Syariah wa al-Qanun.
[1] Telah terjadi perdebatan panjang terkait pembukuan hadis periode nabi. Sebagian ulama mengatakan pembukuan tidak pernah terjadi kala itu dan sebagian lain menentangnya. Masing-masing mengemukakan argumentasi hadis sebagai bahan legalitasnya yang diambil dari berbagai sumber. Bagi penulis, pembukuan dan penulisan merupakan dua terminologi yang berbeda. Lihat, Dr. Nu’man Abdul al-Muta’al al-Qadhi, Al-Hadîst asy-Syarîf Riwâyatan wa Dirâyatan (t.c.; Mesir: Maktabah al-Usrah, Al-Hai`ah al-‘Ammah li al-Kitab, th. 2013 M.), h. 17.
[2] Pendapat ini ditolak oleh Syahrur. Menurutnya, nabi adalah orang pertama yang mengetahui jaminan akan tetap terpeliharanya kemurnian Alquran sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Hijr: 9, sehingga sudah semestinya jaminan tersebut cukup menjauhkan diri dari khawatiran semacam itu. Dapat dikatakan bahwa tidak ada perintah pengumpulan hadis memang tidak perlu terjadi lantaran yang dikehendaki dengan kata ‘sunnah’ dalam hadis tersebut bukanlah redaksi perkataan nabi. Lihat, Dr. Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur`ân (cet. 1; Mesir: Sina li an-Nasyr wa al-Ahali, th. 1992 M.), h. 546-547.
[3] Dr. Nu’man abdul al-Muta’al al-Qadhi, loc. cit.
[4] Syahrur tidak sependapat dengan sebagian ulama hadis yang mempercayai bahwa semua yang muncul dari nabi adalah wahyu berdasarkan pada QS. An-Najm (53): 3-4. Pendapat tersebut menurutnya memiliki dua kesalahan metodologis. Pertama, kata ganti (dhamîr) huwa dalam ayat tersebut tidak kembali pada Muhammad, melainkan pada al-Kitab yang berhubungan dengan kata yantiqu merujuk pada nabi. Kedua, dilihat dari sabab an-nuzûl-nya, ayat ini turun di Makkah berkaitan dengan sebuah peristiwa ketika orang-orang Arab ragu akan kebenaran wahyu (Alquran), bukan meragukan perkataan atau perbuatan nabi. Lihat, Dr. Muhammad Syahrur, op. cit., h. 545.
[5] Menurut penalaran syahrur, atas dasar bahwa tindakan dan segala keputusan nabi Saw. bukan wahyu maka Islam yang dicerminkan nabi dalam aspek di luar yang asli (Alquran) hanyalah salah satu alternatif interaksi Islam, yaitu Islam yang terbentuk sesuai dengan abad ke-7, bukan satu-satunya bentuk final dari Islam. Kemudian ia mendefinisikan sunah sebagai metode (manhaj) untuk menerapkan ketentuan hukum umm al-Kitâb secara mudah tanpa keluar dari batas-batas (hudûd) yang ditetapkan Allah, atau meletakkan batas-batas tradisi periode tertentu sembari memperhatikan realitas. Lihat, Ibid., h. 545-546.
[6] Dr. Nu’man abdul al-Muta’al al-Qadhi, op. cit., h. 79;
[7] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1 (cet. 19; Damaskus: Dar al-Fikr, th. 2011 M.), h. 431.
[8] Syabbir Ahmad al-Utsmani al-Hindi, Mabâdi`u Ilmi al-Hadîst wa Ushûluh (cet. 4; Lebonan: Dar al-Basya`ir al-Islamiah, th. 2011 M.), h. 135.
[9] Ibid., h. 134; Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, vol. 1 (t.c.; Kairo: Al-Maktabah at-Taufiqiah, t.t.), h. 40.
[10] Dr. Nu’man abdul al-Muta’al al-Qadhi, op. cit., h. 121.
[11] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 39.
[12] Dr. Nu’man abdul al-Muta’al al-Qadhi, op. cit., h. 115-119.
[13] Syabbir Ahmad al-Utsmani al-Hindi, op. cit., h. 69.
[14] Abi al-Ula Muhammad Abdirrahman al-Mubarakfuri, Fawâid fî Ulûmi al-Hadîst wa Kutubihi wa Ahlihi (cet. 1; Riyad: Maktabah Dar al-Minhaj, th. 1431 H.), h. 366-380.
[15] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 60-63.
[16] Abi al-Ula Muhammad Abdirrahman al-Mubarakfuri, op. cit., h. 387-440.
[17] Ibid., h. 358.
[18] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 72-73.
[19] Dr. Ali Naif Baqa’i, Manâhij al-Muhaddistîn al-‘Ammah wa al-Khashshah (cet. 3; Bairut: Dar al-Basya`ir al-Islamiah, th. 1432 H./2012 M.), h. 92-95.
[20] Ibid., h. 97.
[21] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 63.
[22] Dr. Muhammad Syahrur, op. cit., h. 549-550.
[23] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 103.
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger