GANTI FONT BLOG INI!

IMPLEMENTASI ZAKAT DI ERA URBANISASI[*]

PROLOG
Puji syukur kita haturkan kepada Allah, yang telah memberikan kenikmatan berupa ilmu, yang dapat memberikan kita manfaat besar, melalui Al qur’an yang menjadi pegangan para pencari ilmu untuk memberi secercah pencerahan tentang perubahan pola hidup kita sebagai manusia untuk menemukan kemaslahatan melalui teks-teks-Nya sebagai rujukan yang bersifat universal.

Tak lupa pula kita haturkan sholawat beserta salam, ke hadirat Nabi Muhammad SAW, yang begitu arifnya telah membimbing kita, dalam memecahkan berbagai masalah yang berhubungan dengan umatnya melalui ucapan, dan juga berupa tindakan, hingga dapat di aplikasikan untuk kita sebagai umatnya tanpa dipenuhi berbagai keraguan.


Pada kesempatan ini saya sebagai pemakalah dalam kajian ilmiah FAS mencoba memberikan kontribusi, melalui sebuah karya ilmiah yang berupa tulisan mengenai permasalahan Zakat yang muncul di era urbanisasi, yang di penuhi permasalahan-permasalahan pelik kekinian yang tengah menimpa ummat Nabi Muhammad saat ini, dalam menghadapi pelbagai masalah ekonomi yang senantiasa dengan mesra mengiringi kehidupan manusia, zakat. Dengan analisa jitu dan cemerlang system ini mampu meringankan beban yang menghinggap di pundak umat manusia secara arif. Dalam hal ini penulis akan uraikan bagaimanakah peran syariat menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut. Dan bagaimanakah para ulama’ kontemporer merumuskan problem keumatan tersebut dengan studi komparasi para ulama konvensional dalam cuplikan-cuplikan fatwa sederhana mereka mengenai Zakat di era urbanisasi ini.

DEFINISI ZAKAT
Sebelum membahas lebih jauh tentang substansi permasalahan zakat di era urbanisasi, agar lebih mempermudah, ada baiknya jika kita telaah terlabih dahulu zakat menurut literatur bahasa arab dan definisinya menurut ulama fikih.

Secara etimologi, zakat mempunyai beberapa makna:[1]
1. Kesucian, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an:
أقتلت نفسا زكية[2]
لأهب لك غلاما زكيا[3]
2. Berkembang bertambah banyak. seperti dalam ungkapan berikut:
زكا الزرع إذا نما
زكا المال إذا كثر
3. Mendekatkan diri, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :
قد أفلح من تزكى [4]
يؤتى ماله يتزكى [5]
4. Amal yang baik, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :
فأردنا أن يبدلهما ربهما أجرا منه زكاة [6]
5. Pujian, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :
فلا تزكوا أنفسكم [7]
6. Halal, seperti yang di contohkan dalam Al-Qur’an :
فلينظر أيها أزكى طعاما [8]
7. Berpasangan, seperti dalam ungkapan berikut :
خسا أو زكا : فرد أو زوج
8. Menyerahkan diri, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :
وما عليك ألا يزكى [9]
9. Sedekah, seperti yang telah di contohkan dalam Al-Qur’an :

Definisi Zakat, berbeda-beda dalam setiap madzhabnya. Berikut perinciannya :
Malikiyyah: sebagian ulama’ fikih madzhab Mlikiyyah berpendapat bahwa: Zakat adalah hak/kewajiban dalam harta yang khusus, di ambil dari harta yang khusus, telah mencapai kadar yang khusus. Serta di keluarkan pada waktu yang khusus, dan di tasarrufkan untuk tujuan-tunuan yang khusus pula.[10]Hanafiyyah: menurut ulama fikih madzhab Hanafiyyah Zakat adalah memberikan kepemilikan sebagian harta yang di tentukan syara’, kepada pihak-pihak yang mempunyai hak (mustahiq), yang beragama islam, selain Bani Hasyîm. Tanpa mengharap manfaat dari pihak yang menerima zakat dan hanya bertujuan karena Allah SWT semata.[11]Syafi’iyyah: menurut ulama fikih madzhab Syafi’iyyah zakat adalah: sebuah nama yang khusus, yang di ambil dari harta yang yang tertentu, serta meliputi komponen bergerak ataupun tidak bergerak, dengan menggunakan cara yang khusus, di serahkan untuk golongan yang khusus pula.[12]Hanbaliyyah: ulama madzhab Hanbaliyyah berpendapat, Zakat adalah: hak-hak yang wajib dalam harta.[13]ZAKAT, KONTRIBUSI ISLAM UNTUK UMMATNYA

Sudah menjadi fitrah kita sebagai manusia, problem financial selalu mengiringi perjalanan hidup kita. Dalam menghadapi kenyataan masalah ini dengan arif islam --baik melalui Al-Qur’an, Sunnah Rosul, Ijma’ maupun Qiyas-- mencoba meringankan beban masalah yang dihadapi manusia di setiap jaman melalui di tetapkannya zakat sebagai ibadah yang di wajibkan sekaligus menjadi rukun agama. Layaknya ibadah-ibadah lain seperti sholat, puasa dan haji yang juga termasuk rukun agama.

Bukti perhatian besar islam terhadap problematika ummat dalam masalah finansialnya tercermin pada zaman awal kemunculan agama Islam di Makkah. Dengan kondisi umat Islam pada saat itu baru beberapa orang saja, keadaan mereka pada waktu itu mendapat intervensi keras dari kaum kafir Quraisy, begitu juga wajah dakwah di kalangan umat islam pada saat itu mendapatkan perlawanan yang begitu keras, di tambah islam pada waktu itu belum mempunyai kedaulatan dan juga belum di akui eksistensinya dalam ranah politk. Dalam keadaan pelik inilah Al-Qur’an berperan besar dalam memberikan perhatianya sebagai wujud solusi untuk meringankan beban krisis yang melanda ummat islam pada waktu itu dengan di perundang-undangkanya zakat. Dalam satu kesempatan Al-qur’an memberikan solusi tersebut dengan mewjibkan zakat.

وآتوا الزكاة [14]
[15]يا أيها الذين آمنوا أنفقوا مما رزقناكم من قبل أن يأتي يوم لا بيع فيه ولا خلة ولا شفاعة والكافرون هم الظالمون
Akan tetapi ada perbedaan yang kentara antara zakat dan ibadah lain yang juga menjadi rukun agama. Karena zakat telah ditetapkan sebagai ibadah sosial, terbukti, zakat melibatkan manusia sebagai subyek dan obyeknya. Dalam satu riwayat hadits, Nabi Muhammad saw. mengutus Mu’adz ra. ke Yaman seraya berkata “beritahulah mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka, atas harta mereka sebagai sedekah, yang di ambil dari harta orang-orang kaya mereka dan diperuntukkan bagi orang-orang fakir mereka”. [16]

Dari hadits ini dapat di ketahui bahwa subyek (orang-orang kaya) dan obyeknya (orang-orang fakir) adalah manusia. Kesimpulanya, zakat dapat di kategorikan sebagai ibadah sosial.
Dan zakat sendiri, sebenarnya telah juga di wajibkan kepada umat agama samawi lainya, sebelum munculnya agama islam di akhir-akhir abad ke tujuh. Ini membuktikan, betapa zakat sangat di butuhkan oleh manusia di semua zaman dan tempat. [17]

Dalam ayat Al-Qur’an di sebutkan:

[18]واذكر في الكتاب إسماعيل إنه كان صادق الوعد وكان رسولا نبيا. وكان يأمر أهله بالصلاة والزكاة وكان عند ربه مرضيا

FLEKSIBILITAS ZAKAT FITRAH

Zakat fitrah atau biasa juga di sebut sedekah fitrah menurut kebanyakan ulama’ zakat di perundangkan dalam syariat islam pada tahun 2 Hijriyyah, sebelum di wajibkanya puasa pada bulan ramadlan pada tahun itu. [19]

Fitrah dalam etimologi bermakna ashlul hilqah (asal penciptaan/perwujudan). Seperti dalam ayat Al-qur’an :

فطرة الله التى فطر الناس عليها [20]

Penamaan zakat fitrah sendiri di sebabkan kewajiban tersebut di tetapkan ketika memasuki hari raya idul fitri. [21]

Pada setiap datangnya akhir bulan Ramadlan selalu saja bergulir masalah tentang keruwetan zakat fitrah. Muncullah berbagai pertanyaan seperti: bagaimana cara mengeluarkanya? Apakah harus mengeluarkan makanan pokok yang lumrah? Apakah sah bila diganti dengan mengeluarkan uang sepadanya? Mengingat kebutuhan urban bukan sekedar makanan saja, dan mendesaknya kebutuhan akan alat pembayaran yang sah di era urbanisasi seperti ini. Muncullah fenomena pro kontra zakat fitrah dengan mengeluarkan harga sepadan atau yang lebih akrab di sebut zakat fitrah bi al-qimah ini.

Sebenarnya fenomena permasalahan zakat fitrah model ini telah mencuat sejak lama dan bukan merupakan hal yang baru. Para ulama fikih konvensional sendiri sudah membahasnya dengan panjang lebar perihal zakat fitrah bi al-qimah ini.

Di riwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.: Rasulullah SAW mewajibkan zakat ketika memasuki hari raya idul fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas semua golongan baik yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita dari golongan orang-orang muslim. [22]

Di riwayatkan juga, Abu sa’id berkata: kami mengeluarkan zakat fitrah pada masa kami bersama Rasulullah SAW, satu sha’ makanan, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju. Dan aku pun ,engeluarkan zakat fitrahku (setelah wafatnya Rosulullah saw.) sebagaimana biasanya aku mengeluarkanya (sebelum wafatnya Rasulullah). [23]

Pada hadits-hadits di atas menyebutkan bahwa kewajiban zakat fitrah adalah mengeluarkan harta berupa makanan pokok. Dengan dalih tersebut kebanyakan dari ulama (Malikiyyah, Syafiiyah, dan Hanabilah) berpendapat bahwa zakat fitrah tidak di perbolehkan dengan cara menggantinya dengan harta sepadan dari apa yang telah wajibkan, itu berarti zakat fitrah bi al-qimah berbeda dengan ajaran Rosulullah saw. [24]

Mengutip pada pendapat Syihabuddin Al-Haytami yang juga tidak menetapkan diperbolehkanya zakat fitrah bil qimah, dengan mewajibkan zakat fitrah melalui makanan pokok yang lumrah saja.[25] Dalam pandangan madzhab lain juga ditemukan pendapat yang mengharamkan zakat fitrah bi al-qimah, seperti pendapat Ibnu Hazm yang mengatakan: “zakat fitrah bi al-qimah tidak di perbolehkan sama sekali. Karena zakat model itu bukanlah yang diwajibkan oleh nabi Muhammad saw.”. [26]

Namun madzhab Hanafiyyah memperbolehkan zakat fitrah bi al-qimah, karena menurut mereka, yang paling penting di dalam menunaikan zakat adalah menegakkan kewajiban dengan mengeluarkan harta sepadan dari apa yang telah di wajibkan dalam zakat fitrah, baik itu berupa uang, harta dagangan atau apapun. Karena bagi madzhab ini sebenarnya yang wajib adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir, pemberian kecukupan kepada golongan fakir dapat di hasilkan dengan pemberian qimah, bahkan zakat fitrah bi al-qimah lebih paripurna, lebih dapat memenuhi, dan juga lebih efektif. Karena zakat fitrah bil qimah lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan mereka.[27] Imam Ahmad Al Ghumarî juga memperbolehkan zakat fitrah model ini[28] dengan dalil nabi Muhammad bersabda tepat di hari idul fitri kepada kaum perempuan: “Bersedekahlah kalian (wanita) walaupun dari perhiasan kalian”. Maka pada hari itu, perempuan-perempuan memberikan anting-anting, cincin, dan perhiasan-perhiasan mereka sebagai zakat. [29]

Pada satu kesempatan Imam Al-Aini berucap: “ketahuilah bahwa zakat bi al-qimah menurut kami diperbolehkan, begitu juga dalam masalah kaffarah, zakat fitrah, dan juga nadzar. Ini juga sependapat dengan Umar ra., Abdullah bin Umar ra., Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Abbas ra., Mu’adz ra. dan Thawus. Dan ini juga menjadi pendapat imam Al-Bukhari yang notabene sangat berbeda pendapat dengan madzhab Hanafiyyah. [30]

Menilik pendapat yang memperbolehkan zakat fitrah bi al-qimah tersebut. betapa sebenarnya hukum fikih islam lebih fleksibel, mengingat di era urbanisasi ini qimah memang lebih efektif untuk meringankan beban financial kaum fakir.

ZAKAT PROFESI, SOLUSI DI ERA URBANISASI

Seiring berkembangnya zaman dan pesatnya laju urbanisasi, muncul problem baru pada sebagian kalangan mengenai zakat. Berkenaan tentang profesi-profesi yang sebelumnya belum pernah ada pada zaman nabi hingga beberapa kurun setelahnya. Problem tersebut lebih di kenal dengan sebutan “zakat profesi”.

Profesi sendiri mempunyai dua jenis :
  1. Profesi yang di emban oleh sebagian kalangan, akan tetapi tidak terkait dengan instansi tertentu. Profesi ini telah menjadi pekerjaan tetap bagi sebagian kalangan seperti dokter, arsitek, seniman, pengacara dan lain sebagainya. Profesi ini tak asing lagi bagi kita dengan sebutan wiraswasta.
  2. Profesi yang terkait dengan instansi, baik pemerintahan ataupun swasta, dengan memakai system kontrak kerja, seperti anggota legislatif maupun eksekutif, atau instansi-instansi terkait lainya seperti TNI, POLRI atau karyawan di sebuah perusahaan.
Pertanyaanya, apakah ada kewijban zakat untuk profesi-profesi tersebut? Dan bagaimana prakteknya menurut fikih dalam permasalahan ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seringkali muncul di era urbanisasi ini di karenakan masalah ini belum ada pada zaman ulama-ulama konvensional juga tidak adanya hukum yang mereka tetapkan pada problem zakat baru tersebut. Dalam hal ini ulama’-ulama’ kontemporer memberikan pandangan tentang zakat profesi yang tak pernah lepas dari menimbang sisi-sisi kekinian. Salah satunya sebagaimana ceramah yang di sampaikan oleh Abdul Rahman Hasan dan Muhammad Abu Zahrah, di Damaskus, pada tahun 1952 M, bahwa zakat wajib atas penghasilan dari profesi-profesi tersebut jika telah mencapai masa satu tahun dan mencapai nishabnya. Pandangan tersebut menilik pada madzhab Hanafiyyah dan Abu Yusuf yang berpendapat bahwa nishab tidak disyaratkan harus tidak kurang dalam satu tahun penuh, akan tetapi inti dari syaratnya adalah sempurnanya penghasilan mulai dari awal hingga akhirnya. Maka dari kutipan ini, bisa di ambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan diwajibkanya zakat atas profesi pada tiap tahunya.

Zakat profesi hukumnya wajib dengan mengikuti kerangka pemikiran al-mâl al-mustafad menurut madzhab Hanafiyyah. Pengertian al-mâl al-mustafad menurut pendapat madzhab Hanafiyyah adalah harta yang diperoleh atau dihasilkan dari cara-cara atau usaha-usaha yang diperbolehkan menurut syariat. [32]

Menurut ulama Madzhab Hanafiyyah, al-mâl al-mustafad terkena kewajiban zakat jika sudah mencapai nishabnya. Hukum wajib tersebut disamakan dengan nishab zakat emas dan perak[33] pun sudah mencapai masa satu tahun. Di ambil dari hadits riwayat Ibnu Umar: Nabi bersabda: “Tidak di wajibkan zakat atas harta, kecuali jika telah mencapai masa satu tahun”. [34]

Demikian juga menurut Yusuf Qardlawi. Berbeda dengan madzhab Hanafiyyah, beliau tidak mensyaratkan telah mencapai masa satu tahun akan tetapi zakat profesi tersebut di keluarkan pada saat penghasilan diperoleh.[35] Karena menurut beliau hadits-hadits yang mewajibkan zakat jika telah mencapai masa satu tahun penuh adalah dlaif ataupun mauquf. Juga karena ada perbedaan pendapat beberapa sahabat Nabi, tabi’in dan setelahnya, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah, Al-Shadiq, Al-Baqir, Al-Nashir dan Dawud. Riwayat serupa juga kita temukan dari Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, Al-Zuhri dan Al Awzai, sebagian dari mereka ada yang mensyaratkan dan juga ada yang tidak mensyaratkan telah mencapai masa satu tahun penuh (nishab).[36] Kemudian dari pendapat yang mewajibkan zakat profesi ini kita bisa menemukan solusi untuk meringankan beban finansial yang di hadapi sebagian umat islam di era urbanisasi ini.
EPILOG
Permasalahan zakat di era urbanisasi ini memang menjadi begitu pelik, karena munculnya pola hidup baru disemua lapisan masarakat, sehingga membutuhkan kreasi-kreasi fresh yang dapat menjadi problem solving untuk menghadapi tantangan zaman tersebut. Karena agama islam adalah agama rahmat, maka zakat akan selalu jadi tiang penyangga keharmonisan umat dalam menjalani kehidupan ini. Adanya zakat profesi dan zakat fitrah bi al-qimah adalah angin segar yang menjawab akan kebutuhan umat di era urbanisasi ini dan menjadi pelecut semangat kita untuk menemukan komposisi yang tepat untuk menjawab semua masalah yang akan selalu muncul di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.

By: Muhammad Shofy
 

Dinamika Otentitas Nasikh-Mansukh Dalam Syari`at Islam

Oleh: Moch. Noor Yusuf el-Ba'alawy

Prolog

Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa keberadaan al-Quran bukan hanya sebagai kitab keagamaan, sejarah atau budaya saja, selain sebagai mukjizat Islam ia juga memiliki kedudukan primer, sakaligus sentral bagi inspirator tasyri' samawi dalam menata kehidupan, pemikiran dan kebudayaan umat islam tentunya, mukjizatnya selalu di perkuat oleh modernisasi, semakin maju ilmu pengetahuan, maka akan semakin tampak pula validitas kemu'jizatannya. Keberadaannya juga sebagai manba' dan konsep dalam pengetahuan isi kandungan al-Quran. Sedangkan tasyri' samawi diturunkan pada rasul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan muamalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan, karena ditegakkan atas tauhid ulûhiyyah dan rubûbiyyah, maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu semuanya sama.
Mengenai bidang ibadah dan muamalah, maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama persaudaraan. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri' pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri' pada periode yang lain. Tetapi tidak di ragukan lagi bahwa pembuat syariat (Musyarri'), yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang hanya milik-Nya.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri' dengan tasyri' lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.


Pengertian Nasikh dan Mansukh

Dalam etimologi lafadz nâsikh mempunyai beberapa arti, antara lain: penghapusan, (al-izâlah), pemindahan (al-naql), penggantian (al-tabdîl), dan penyalinan (al-tahwîl) . Sesuatu yang menghapus, memindah, mengganti dan menyalin, dinamai nasikh. Sedangkan yang dihapus, dipindah, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Sedangkan nasikh menurut terminologi terdapat definisi yang berbeda-beda, walaupun demikian, keberadaannya dapat di kompromikan pada sebuah definisi yang tidak jauh dari perbedaan itu. Yaitu: "Terangkatnya (terhapusnya) hukum suatu dalil dengan dalil syariat".
Sedangkan menurut Muhammad Shabih, naskh dalam terminologi mempunyai dua definisi:
1. Pembatalan hukum syara' yang di ambil dari teks lama dengan dalil hukum (nash) syara' yang kemudian:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, ألافزورها. (رواه الحاكم)
Maka dalil yang pertama menunjukkan larangan ziarah, sedangkan dalil yang ke dua menunjukkan terangkatnya hukum larangan tersebut, dan dalil kedua setatusnya menempati hukum ibâhah dan sunat.
2. Menghapuskan keumuman nash yang dahulu atau menjelaskan nash yang masih samar;
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء. ( البقرة : 228)
اذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها ( الأحزاب : 49)
Maka dalil yang pertama menunjukkan keumuman nash, (sebelum dan setelah di setubuhi). Sedangkan dalil yang ke dua menunjukkan husus, (hanya tertuju pada istri yang belum di setubuhi).
Sedangkan kata nasikh (yang menghapus) dapat di artikan dengan "Allah",
seperti pada ayat: او ننسها......(البقرة : 106) اية من ماننسخ
Dan juga dapat di artikan pula dengan "hukum yang menghapuskan hukum lain".
Dan mansûkh adalah hukum yang di angkat atau di hapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansûkh).
Bahkan diantara mereka ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain pula, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.
Dari perbedaan pengertian naskh di atas dapat di simpulkan bahwa para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat al-Quran yag ditetapkan terakhir. Karena telah disepakati bahwa syarat kontradiksi antara lain adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau bahkan menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu: (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.


Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketepatannya

Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan :
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh mengandung konsep al-badâ', yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka adalah naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah, dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak, ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan, dan ini juga mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah di ketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah terebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hukum menuju hukum lain adalah karena suatu maslahat yang telah di ketahui-Nya jauh sebelumnya itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolute terhadap segala milik-Nya.
padahal orang yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan syariat sebelumnya, dan didalam nash-nash taurat juga terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil yang semula di halalkan.
Dalam hal ini, Ibn Katsir juga membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan berdalih, -- tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat,-- menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.”
2. Orang Syiah Râfidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya, dengan memandang konsep al-badâ' sebagai sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. secara dusta dan palsu. Dan juga dengan firman Allah:يمح الله ما يشاء ويثبت (الرعد : 39) "Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki)". (al-Ra'd:13) , oleh mereka diartikan “Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan”.
Pemahaman demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap al-Quran, sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Hal demikian ini tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Ia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
3. Abu Muslim al-Asfihani. Menurutnya, secara logika naskh memang dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara'. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Quran untuk menghindari distorsi pemahaman mengenai kemurnian al-Quran, maka makna nasikh perlu ditinjau ulang. Dia memberikan definisi, bahwa nasikh-mansukh tiada lain hanyalah persoalan “am dan khas”, atau bisa diartikan sebagai proses meng ”update” pemaknanaan, sehinga sebenarnya tidak ada yang hilang komponennya, yg ada hanyalah peningkatan (upgrade) atau kualitas makna, berdasarkan:
لا يأ تيه الباطل من بين يد يه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد (فصلت : 42)
"yang tidak datang kepadanya (Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang di turunkan dari sisi Tuhan yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji." (Fussilat; 41), dengan pengertian bahwa hukum-hukum Quran tidak akan di batalkan untuk selamanya, dan mengenai ayat-ayat tentang naskh semuanya ia takhsiskan. Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat di terima, karena makna ayat tersebut adalah, bahwa Quran tidak di dahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4. Jumhur ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah sesuatu hal yang dapat diterima akal dan juga terjadi dalam hukum-hukum syara', berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.

Pembagian Naskh

Naskh terbagi atas empat bagian:
Pertama, naskh Quran dengan Quran, bagian ini di sepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh, seperti ayat yang menjelaskan tentag iddah empat bulan sepuluh hari.
Kedua, naskh Quran dengan Sunnah, dan naskh ini juga terbagi atas dua macam:
1. Naskh Quran dengan hadis âhâd. Ulama jumhur berpendapat, Quran tidak boleh di naskh oleh hadist ahad, sebab Quran adalah mutawâtir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zannî bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma'lum (jelas di ketahui) dengan yang maznûn (di duga).
2. Naskh Quran dengan hadis mutawatir. Naskh demikian di bolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
Ketiga, naskh Sunnah dengan Quran, seperti yang di sepakati oleh jumhur ulama. Sebagai contoh yaitu tentang masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan dengan sunnah, seruan puasa pada hari 'Asyura, yang keduanya ini di tetapkan berdasarkan sunnah dan di naskh oleh Quran.
Keempat, naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: (a) naskh mutawatir dengan mutawatir; (b) naskh âhâd dengan âhâd; (c) naskh âhâd dengan mutawatir; (d) naskh mutawatir dengan âhâd. Tiga bentuk pertama di bolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Quran dengan hadits ahad yang tidak di perbolehkan oleh jumhur ulama.
Dari sisi lain, sebagian ulama membagi naskh menjadi tiga bagian:
a. Naskh tentang seruan sebelum terlaksanakan, dan bagian ini termasuk arti sebenanrnya tentang naskh, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. menyembelih anaknya. Dan juga seperti firman Allah:
اذا ناجيتم الرسول فقدموابين يدي نجواكم صدقة. (المجادلة : 12)
kemudian di naskh dengan ayat: أأشفقتم ان تقدموابين يدي نجواكم صدقات. (المجادلة : 13 )
b. Naskh tajawwuz, "syariat yang telah di wajibkan pada umat terdahulu", seperti kewajiban qishas, dan diyat, begitu juga seruan pada perkara yang bersifat umum, yang kemudian di naskh, seperti naskh perintah menghadap Baitil Maqdis dengan perintah menghadap Ka'bah, dan seperti naskh puasa 'Asyura dengan puasa Ramadhan.
c. Seruan karena ada sebab yang kemudian sebab itu hilang. Seperti perintah sabar dan berpaling dari peperangan, yang kemudian di naskh dengan seruan perang.

Macam-macam Naskh

Naskh dalam al-Quran ada tiga macam:
Pertama, naskh tilâwah dan hukum. Maka karena itu tidak boleh membaca dan mengamalkannya, karena telah dinaskh secara keseluruhan, seperti ayat penyebab muhrim dengan sepuluh susuan.
Kedua, naskh tilawah, sedang hukumnya tetap. Untuk kedua macam naskh ini keberadaannya sangat sedikit, karena Allah menurunkan al-Quran agar manusia mendapat pahala dengan membacanya dan dengan menselerasikan hukum-hukumnya.
Ketiga, naskh hukum, sedang bacaannya masih.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat dikalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam al-Quran.
Para pendukung naskh juga mengemukakan beberapa argumennya, yang di antaranya keberadaan bukti-bukti yang menunjukkan tentang kenabian Muhammad, secara otomatis kenabiannya telah menaskh syariat-ayariat sebelumnya. Bagaimana mungkin kita menetapkan syariatnya tanpa menghapus syariat sebelumnya. Argumen lain berupa ayat al-Baqarah: 106,
Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Hikmah Naskh

1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

Epilog

Nasikh adalah perbuatan Allah yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti Dia sewenang-wenang dan menganiaya, akan tetapi semua hukum dan perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan pengetahuan, terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib untuk menguji loyalitas seorang hamba. Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi Muhammad saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan. Dan pemahaman semacam ini tentunya akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Apakah mustahil jika Dia memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Suatu maslahat dan hikmah akan berbeda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba lain, dan terkadang hukum yang lain pada waktu dan kondisi yang lain pula adalah lebih bermaslahat, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
 

Dilematisasi Pemikir Islam Atas Tarjamah Al-Qur’an

Prolog
Al-Qur’an sebagai sumber utama umat Islam mempunyai kronologi historis yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Perdebatan itu berangkat dari sebagain orang yang skeptis akan otentitas al-Qur’an; apakah benar keberadaannya dari Tuhan atau hanya sebatas political-religion yang diusung oleh Muhammad. Berbagai opinion yang bersifat subyektif maupun obyektif banyak mewarnai eksistensi al-Qur’an. Memang pada mulanya yang banyak memberikan konstribusi dalam permasalahan ini adalah Orientalis, yaitu komunitas barat yang melakukan diskursus bahasa dan sastra ketimuran. 

Dipandang dari sosio-historis berbicara terjemah al-Qur’an --diakui atau tidak-- akan berkaitan erat dengan ide cemerlang yang diprakarsai oleh orang-orang orientalis, meskipun realita kritis tersebut telah disinyalir keberadaannya sejak awal turunnya al-Qur’an, 21 abad yang lalu. Memang berbagai upaya memutarbalikkan fakta historitas dan orisilitas narasi telah dilakukan oleh berbagai oknum --salahsatunya ialah dengan melakukan penerjemahan al-Qur’an— namun upaya tersebut secara general masih menunjukkan gerakan yang stagnan. Kemudian gerakan tersebut dapat dijadikan bukti validitas al-Qur’an, sebagai kitab suci yang benar-benar turun dari Allah swt; “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. al-Hijr: 9).

Kali ini penulis akan menguraikan sedikit tentang sejarah terjemah, korelasi, dilemasi dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Namun tulisan ini tepatnya hanya sebatas introduction saja yang masih membutuhkan diskursus yang lebih intensif, karena masih ada banyak hal yang berhubungan dengan terjemah dan tafsir, yang belum terwakili dan teruraikan dalam tulisan ini. 

Sekilas Tentang Tarjamah Al-Qur’an
Eksistensi al-Qur’an menuai perjalanan panjang didalam berinteraksi dengan komunitas social arab dan non-arab. Pada mulanya Alihbahasa menimbulkan problem pelik dalam komunitas pemikir Islam, meskipun keberadaan terjemah sebagai suatu keniscayaan, agar supaya al-Qur’an dapat dipahami secara esensial oleh komunitas tertentu, dimana mereka tidak mampu menangkap pesan Tuhan dengan menggunakan bahasa aslinya. 

Memang alihbahasa ini menuai dilematis dikalangan ulama klasik. Berbeda sekali dengan apa yang terjadi pada Injil, yang dari pertama telah mengalami alihbahasa kedalam bahasa asing. Itulah salahsatu diantara yang membedakan kitab suci al-Qur'an dan Injil, kitab suci umat kristiani.

Al-Qur'an baru diterjemahkan pada pertengahan abad 12, oleh orang-orang eropa. Motif pengalihbahasaan al-Qur'an pada mulanya memang sebagai bentuk intectual agression yang berkembang dikalangan orang-orang non-muslim eropa terhadap eksistensi al-Qur'an. Inisiatif ini bermula dari "Petrus Yang Mulian" ketua gereja "Dir Cluny" kepada Robert of Ketton, seorang pakar berkebangsaan inggris, dibantu oleh orang jerman bernama “Hermanus” dan seorang muslim yang disebut "Muhammad". Motif mereka bukan untuk memahami kandungan al-Qur'an sebagaimana lazimnya namun untuk mencari celah dari arah mana mereka dapat membangun sebuah opini destruktif atas keimanan yang selama itu telah diyakini oleh umat Islam itu sendiri.

Larangan Penerjemahan
Pada masa itu dari kalangan ulama Islam tidak pernah menganjurkan untuk menterjemahkan al-Qur'an. Justru sebagian dari mereka melarang dan bahkan meng-haramkannya kendati kaum muslimin Arab telah ber-interaksi dengan non-Muslim. Alasan yang paling dominan ialah hampir semua Ulama sepakat bahwa terjemahan al-Qur'an sesungguhnya bukanlah al-Qur'an. Al-Qur'an menurut mereka bersifat untranslatable, tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa apapun kecuali hanya dengan menggunakan bahasa arab saja. 

Menurut mereka narasi al-Qur'an dalam bentuk bahasa arab adalah sesuatu yang sakral dan tidak dapat terwakili oleh bahasa non-arab, sehingga hambatan alihbahasa pada al-Qur'an oleh para pemikir islam ini sangatlah logis dan argumentatif, mengingat berbagai pertimbangan yang dikemukakan. Selanjutnya alasan lain sebagai bentuk larangan alihbahasa pada al-Qur’an ialah sebgai tindakan antisipasif terhadap upaya perubahan atas narasi al-Qur’an. 

Doktrin pelarangan semacam ini pada akhirnya mampu terkikis seiring berjalannya waktu. Tarjamah dalam tataran praktis justru menjadi sebuah urgent requirement (kebutuhan mendesak) agar supaya hal itu dapat menciptakan situasi balance dan dapat membendung missionaris yang kian gencar melempar pisau analisisnya, mengenalkan al-Qur'an dengan bahasa-bahasa lokal. Oleh karena itu pada akhirnya ulama membolehkan adanya alihbahasa terhadap al-Qur'an.

Pengertian Terjemah
Secara etimologi definisi terjemah ialah menguak atau menjelaskan hakikat tulisan. Adapun secara terminologi ialah transformasi suatu bahasa kepada bahasa lain secara general dengan metode gradasi. Definisi ini meliputi dua unsure sekaligus:
  1. Ungkapan sebuah bahasa kepada bahasa lain.
  2. Kesempurnaan terjemah dengan Metode gradasi dari sebuah bahasa spesifik kepada bahasa general. 
Dari sini dapat disimpulkan bahwa terjemah harus bersifat transformative dari bahasa tertentu ke dalam bahasa yang lain, dengan memperhatikan sepenuhnya tujuan redaksi yang diterjemahkan. Jadi dua unsure tersebut di atas dapat dijadikan syarat bagaimana seharusnya malakukan penerjemahan. 

Pengertian Tafsir
Pada diskusi yang lalu telah dibahasa tentang tafsir dan takwil, jadi kali ini akan dijelaskan tafsir secara simplistik. 

Etimolog berpendapat bahwasannya tafsir ialah penjelasan. Sedangkan pandangan terminolog, tafsir ialah disiplin yang mengkaji opstretikal al-Qur’an, dengan kapasitas manusia, menangkap pesan-pesan Allah swt. 

Terjemah sendiri secara generalisir terbagi menjadi dua bagian:
  1. Terjemah Literalis (Harâfiyyah), yaitu transformasi secara gradual dengan tanpa memperhatikan kandungan makna. Artinya penerjemahan yang dilakukan dari kata perkata tanpa mamandang makna tujuan yang tersirat dalam redaksi pertama. Terjemah semacam ini sangat mustahil dipandang dari komparasi suatu bahasa terhadap bahasa lain dari sisi gramatikal dan jenis literaturnya. Kalaupun ada kesamaan, tentunya mempunyai teory susunan yang berbeda. 
  2. Terjemah Substansialis (Tafsîriyyah), yaitu transformasi secara gradual tanpa melupakan dan sangat memperhatikan kandungan makna yang tersirat didalam redaksi pertama. 
Pada dasarnya kedua model terjemahan ini mempunyai kesamaan didalam menuangkan sebuah kalimat kedalam kalimat lain secara gradual, namun adanya defferensi terletak pada perhatian seorang penerjemah akan kandungan makna pada redaksi pertama dan tidaknya. 

Korelasi Terjemah dan Tafsir
Agar tidak menuai pemahaman yang salah, di sini akan memeberikan uraian secara deskriptif menyangkut terjemah dan tafsir. Memang ditinjauan dari terminolog keduanya mempunyai kesamaan; sama-sama mempunyai makna penjelasan. Namun hal itu akan berbeda jika didalam memahaminya menggunakan kacamata etimolog. 

Menurut hemat al-Zarqani, dalam karya Manâhil-nya, ada 4 hal yang membedakan disiplin ilmu tafsir dan terjemah. Perbedaan itu dirangkum sebagaimana berikut:
  1. Bentuk terjemah bersifat independent, dalam arti tidak mamandang bentuk singular maupun susunannya, secara gramatik. Sedangkan tafsir tidak demikian. 
  2. Larangan memperluas topic pembahasan yang ada pada redaksi pertama. Tuntutan terjemah ialah kesesuaian dengan apa yang diterjemahkan, tidak lebih dan tidak kurang. Sehingga jika ternyata terjadi kesalahan pada redaksi pertama (yang diterjemahkan) maka seharusnya bentuk terjemahan-nya juga dalam keadaan salah. Dalam Tafsir tidak demikian. Penafsiran justru dituntut memberikan penjelasan sekaligus memperluas opstretikal al-Qur’an dengan berbagai argumentasi. 
  3. Tarjamah harus mencakup semua makna asal dan tujuan yang terkandung dalam redaksi pertama, sedangkan tafsir statusnya sebagai penjelas, seperti yang telah diuraikan di atas. 
  4. Secara common practice (‘urf) tarjamah seharusnya meyakinkan bahwa semua yang dialihbahasakan seorang penerjemah adalah arti yang dikehendaki redaksi pertama. Sedangkan yang terjadi pada tafsir ialah sesekali terdapat tulisan: “Empunya redaksi yang lebih tau arti sebenarnya”. 
Sekarang tampak jelas bahwasannya terjemah bukanlah tafsir. Keduanya sama-sama mempunyai medan tersendiri meskipun keduanya bersifat interpenetrate (tadâkhul) satu sama lain. 

Ephilog
Pada dasarnya problem riil yang menjadi Tarikulur diantara para Ulama ialah terletak pada hukum terjemah al-Qur’an itu sendiri. Rasanya terjemah adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dipungkiri urgenitasnya. Untuk lebih realistis alangkah baiknya bersikap apresiatif terhadap ulama yang menganjurkan penerjemahan dengan mengutip rumus fiqh: “memilih yang lebih ringan diantara dua dlarâr”. Apalagi unsur I’jâz menurut hemat penulis bukan hanya pada sisi gramatikal-nya saja. Namun banyak sekali unsure lain seperti sastra, bilangan dan lain sebagainya yang tetap sarat nilai I’jâz-nya, meskipun dipahami dengan menggunakan redaksi non-arab. 

Tampaknya larangan terhadap penerjemahan adalah sebagai salahsatu bentuk isolasi dan diskriminasi atas pemahaman sesuatu. Apalagi tendensi larangan tersebut tidak berargumentasi dengan al-Qur’an maupun al-Hadist secara implisit, namun tendensi yang ada hanya terletak pada kasuistik dan estimetik yang bersifat temporal. Wallahua’lam.

Written by: M. Nurul Ahsan el-Balury


Daftar Pustaka:
  1. Al-Qur’an al-Karîm
  2. Kamus Oxford
  3. Sirah Nabâwiyyah
  4. Tahrim Kitabah al-Qur’an al-Karim Bi Hurufi Ghairi Arabiyyah, Shalih Ali Al-Ud
  5. Tafsir al-Râzi
  6. Al Maushû’ah al-Qur’âniyyah al-Mutakhashshishah, Isyrâf wa al-Taqdîm Prop. DR. Mahmud Hamdi Zaqzuq
  7. Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Muhammad Abd al-Adzim al-Zarqani

 

Terjemah Al-Qur'an Antara IYA! dan TIDAK!

Iftitah
Adalah menjadi keinginan bagi tiap-tiap Muslim bahkan Non-Muslim sekalipun, untuk dapat membaca dan memahami Al-Quran, sementara Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab (Qur’anan ‘Arabiyya), dan tidak setiap orang mampu berbahasa Arab, apalagi bahasa Arab fusha yaitu bahasa Al-Quran. Berangkat dari sini lah, maka, Al-Quran diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, baik Barat maupun Timur.

Sebelum berkembangnya bahasa Eropa modern, maka yang berkembang di Eropa adalah bahasa Latin. Oleh karena itu, terjemahan AL-Quran dimulai kedalam bahasa Latin. terjemahan itu dilakukan untuk keperluan biara Clugny kira-kira tahun 1135.

Prof. W. Montgomery Watt dalam bukunya bell’s Introduction to the Quran (Islamic Surveys 8), menyebutkan bahwa pertanda dimulainya perhatian Barat terhadap study Islam adalah dengan kunjungan Peter the Venerable, Abbot of Clugny ke Toledo, pada abad kedua belas, diantara usahanya adalah menerbitkan serial keilmuan untuk menandingi kegiatan intelektual Islam saat itu, terutama di Andalus. Sebagai bagian dari kegiatan tersebut adalah menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Latin yang dilakukan oleh Robert of Ketton (Robertus Retanensis), dan selesai pada juli 1143.

Abad Renaissance di Barat memberi dorongan lebih besar untuk menerbitkan buku-buku Islam, pada awal abad keenam belas buku-buku Islam banyak diterbitkan, termasuk penerbitan Al-Quran pada tahun 1530 di Venica dan terjemah Al-Quran kedalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton tahun 1543 di Basle, dengan penerbitnya Bibliander. dari terjemahan bahasa latin inilah, kemudian Al-Quran diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.

Al-Quran juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa selain Eropa, seperti Afrika, Persia, Turki, Urdu, Tamil, Pastho, Benggali, Jepang dan berbagai bahasa di kepulauan Timur, tidak ketinggalan pula Al-Quran juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, pada pertengahan abad ketujuh belas, Abdul Ra’uf fansuri, seorang ulama dari Singkel, Aceh, menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Melayu, walau mungkin terjemahan itu ditinjau dari sudut ilmu bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun, pekerjaan itu adalah berjasa besar sebagai pekerjaan perintis jalan; hingga pada saat ini, kita bisa mendapatkan berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia dengan sangat mudah dan bermacam-macam versi.

Pengertian Dan Pembagiannya
Kata Tarjamah, yang dalam bahasa Indonesianya biasa kita sebut dengan Terjemah, secara etimologi mempunyai beberapa arti : 
  • Menyampaikan suatu ungkapan pada orang yang tidak tahu.
  • Menafsirkan sebuah ucapan dengan ungkapan dari bahasa yang sama.
  • Menafsirkan ungkapan dengan bahasa lain.
  • Memindah atau mengganti suatu ungkapan dalam suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain, dan pengertian yang keempat ini, yang akan kita bahas lebih lanjut, mengingat pengertian inilah yang biasa dipahami oleh banyak orang (‘Urf), dari kata Tarjamah.
Sedangkan Tarjamah sendiri terbagi menjadi dua macam:
  1. Tarjamah Harfiyah atau Tarjamah Lafdhiyah.
  2. Tarjamah Tafsiriyah atau Tarjamah Ma’nawiyah.
Pengertian Tarjamah Harfiyah adalah memindahkan (suatu isi ungkapan) dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dengan mempertahankan bentuk atau urutan kata-kata dan susunan kalimat aslinya. 

Sedangkan Tarjamah Tafsiriyah adalah menerangkan sebuah kalimat dan menjelaskan artinya dengan bahasa yang berbeda, tanpa memepertahankan susunan dan urutan teks aslinya, dan juga tidak mempertahankan semua Ma’na yang terkandung dalam kalimat aslinya yang diterjemah. 

Sebagai contoh adalah Zaidun Yuqoddimu Rijlan wa Yu’akhiru Ukhro, bila kita artikan dengan Tarjamah Harfiyah, maka, artinya adalah Zaid mendahulukan satu kakinya dan mengakhirkan kaki yang satunya lagi, sedangkan bila kita mengartikan dengan Tarjamah Tafsiriyah, maka, artinya adalah Zaid ragu-ragu (Yataroddad) dalam mengambil keputusan, misalnya; dalam istilah bahasa Arab, kata mendahulukan satu kaki dan mengakhirkan kaki yang lainya, sebagai bentuk Kinayah (Metafora) dari perasaan ragu-ragu dalam mengambil keputusan.


Perbedaan Antara Tarjamah Tafsiriyah Dan Tafsir
Ada beberapa titik perbedaan antara Tarjamah Tafsiriyah dan Tafsir dari dua segi:
  1. Perbedaan bahasa, bahasa Tafsir terkadang atau kebanyakan memakai bahasa yang sama, sementara bahasa Tarjamah Tafsiriyah harus dengan bahasa yang berbeda.
  2. Bagi pembaca Tafsir, bisa memperhatikan rangkaian dan susunan teks asli beserta arti yang di tunjukan, di samping teks terjemahanya; sehingga dia bisa menemukan kesalahan-kesalahan yang ada, sekaligus meluruskanya. Andaikan dia tidak menangkap kesalahan itu, maka, pembaca yang lain akan menemukanya. Sedangkan pembaca terjemah, tidak sampai ke situ, karena dia tidak tahu susunan Al-Quran dan arti yang ditunjukanya, bahkan kesan yang ada, bahwa apa yang ia baca, dan ia pahami dari terjemah tersebut, adalah Tafsir atau arti yang benar terhadap Al-Quran, sedangkan pengecekan terhadap teks aslinya dan membandingkan dengan teks terjemahan, itu sudah di luar batas kemampuanya, selama dia tidak tahu bahasa Al-Quran. 

Hukum Terjemah Al-Quran
mengingat bahwa terjemah Al-Quran terbagi menjadi dua, Harfiyah dan Tafsiriyah; maka, untuk membahas hukum terjemah Al-Quran, harus membahas satu persatu dari dua macam Tarjamah Al-Quran tersebut.

Tarjamah Harfiyah
Tarjamah Harfiyah terhadap Al-Quran, adakalanya berupa Tarjamah yang menyerupainya (Bil Mitsli), dan adakalanya tidak menyerupainya (Bi Ghoiril Mitsli).

Tarjamah Harfiayah bil Mitsli artinya, menterjemahkan susunan Al-Quran ke dalam bahasa lain, dengan menjelaskan kata perkata, menyamakan gaya bahasanya (uslub-nya), sehingga bahasa terjemah mampu memuat apa yang terkandung dalam susunan naskah aslinya, yaitu Ma’na atau pesan-pesan yang tersampaikan dari gaya bahasa aslinya yang sangat Baligh , sekaligus hukum-hukum syariatnya.

Terjemahan model seperti ini mustahil alias tidak mungkin, bila obyek terjemahanya adalah Al-Quran; karena, diturunkanya Al-Quran mempunyai dua tujuan (El-Ghorodl), yaitu:
  • Untuk menunjukan kebenaran Nabi SAW dalam risalah-nya yang beliau sampaikan dari tuhannya, ini semua terjadi, karena Al-Quran adalah Mu’jizat, yang mana andaikan Manusia dan Jin bersatu-padu, bahu membahu untuk membuat atau menandingi satu surat sekalipun, yang menyerupainya; niscaya mereka tidak akan mampu untuk selamanya.
  • Untuk memberikan petunjuk pada Manusia, kepada kemaslahatan dan keselamatannya, baik di Dunia maupun di Akhirat.
Tujuan (El-Ghorod) yang pertama, tidak mungkin bisa tercapai dengan bahasa terjemah, dan itu pasti; karena, setiap bahasa mempunyai Kaidah dan spesifikasi masing-masing, sehingga Al-Quran bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain; maka, akan hilanglah spesifikasi Al-Quran yang berbahasa Arab itu, dari segi ilmu Balaghoh .

Sedangkan tujuan (El-Ghorod) yang kedua; maka, bisa berhasil dengan ber-Istimbat atau mengambil beberapa hukum dan petunjuk-petunjuk darinya; sedangkan istimbat tersebut, sebagian kembali kepada Ma’na Asli (Makna Umum) yang bisa dipahami oleh setiap akal manusia, dan terjangkau oleh semua macam bahasa. Makna Umum inilah yang mampu dijangkau oleh bahasa terjemah; sedangkan sebagian yang lain, diambil dari Ma’na yang kedua (Makna husus) dari model bahasa Al-Quran. Ma’na Khusus ini bisa kita rasakan, bila kita menghayati langsung kepada Al-Quran yang berbahasa Arab itu. Dari uraian di atas, bisa kita ketahui, bahwa Tajamah Harfiyah model ini, tidak mungkin adanya, alias Mustahil ‘Adatan.

Sedangkan Tarjamah Harfiyah bi Ghoiril Mitsli adalah menterjemahkan susunan Al-Quran dari kata perkata, sebatas kemampuan si-penerjemah, dan sebatas jangkauan bahasa terjemah. Model terjemahan seperti ini mungkin-mungkin saja secara adat, dan hukumnya boleh, bila obyek sasaranya adalah perkataan manusia, dan tidak boleh, apabila sasaranya adalah Kitabulloh Al-Quran al-Karim, karena akan merusak Ma’na-nya, disamping pekerjaan seperti ini, hanya akan membuang-buang waktu untuk melakukan suatu yang tidak diperlukan. 

Tarjamah Tafsiriyah
Sebagaimana tersebut di atas, bahwa pengertian Tarjamah Tafsiriyah adalah menerangkan sebuah kalimat dan menjelaskan artinya dengan bahasa yang berbeda, tanpa mempertahankan susunan dan urutan teks aslinya, dan juga tidak mempertahankan semua Ma’na yang terkandung dan dikehendaki dari naskah aslinya. Cara praktek terjemahan semacam ini, pertama-tama dengan memahami Ma’na yang dikehendaki dari naskah aslinya, kemudian kita ungkapkan pemahaman tersebut, dengan gaya bahasa terjemah yang kita pakai, sesuai dengan tujuan dari makna tersebut.

Setelah kita ketahui apa itu Tarjamah Tafsiriyah?, dan di mana letak perbedaanya dengan Tarjamah Harfiyah?; maka, bisa kita simpulkan, bahwa terjemah Al-Quran dengan Tarjamah Tafsiriyah hukumnya boleh; karena, sebenarnya terjemahan model ini, bisa dikatagorikan Tafsir dengan bahasa selain bahasa diturunkanya Al-Quran, yaitu bahasa Arab.

Para Ulama telah menemukan kata sepakat (Ijma’) terhadap bolehnya menafsirkan Al-Quran bagi pakar atau ahlinya, sesuai dengan kemampuan basyariyah-nya, tanpa harus tahu semua apa yang dikehendaki alloh SWT dari firmanya tersebut; sementara Tarjamah Tafsiriyah telah masuk dalam koridor Tafsir, karena ungkapan-ungkapan terjemah model ini, sama seperti ungkapan Tafsir, tidak sama dengan ungkapan naskah asli Al-Quran yang berbahasa Arab itu. Di saat Tafsir mengandung pada penjelasan terhadap teks asli dengan mengupas kalimat-kalimatnya yang diperlukan, menjelaskan maksudnya, memerinci Ma’na-nya yang perlu, meluruskan persoalan-persoalanya, menetapkan dalil-dalilnya, dan lain sebagainya; maka, Tarjamah Tafsiriyah pun juga mengandung hal itu; karena terjemah model ini, seakan-akan terjemah terhadap Tafsir Al-Quran, bukan kepada Al-Quran secara langsung.

Mempelajari Tafsir Al-Quran adalah wajib hukumnya; maka, Tarjamah Tafsiriyah pun juga sama, mengingat banyaknya kemaslahatan yang banyak sekali di balik Tarjamah Tafsiriyah tersebut, seperti menyampaikan pesan-pesan Al-Quran, menyalurkan hidayahnya terhadap orang-orang yang tidak paham dan tidak tahu bahasa Arab, menjaga Akidah Islamiyah dari serangan luar, meluruskan persepsi yang keliru terhadap Al-Quran, mengungkap penyesatan-penyesatan yang dilakukan oleh para misionaris barat yang dengan sengaja menterjemahkan Al-Quran dengan terjemah yang disisipi akidah dan ajaran yang melenceng dari ajaran Islam, tentu dengan tujuan agar orang-orang yang tidak tahu bahasa Arab tersebut akan mempersepsikan Al-Quran sebagai suatu momok yang perlu dijauhi dan dimusuhi; efeknya, banyak sekali suara sumbang yang timbul dari terjemahan yang sembrono ini. 

Berikut kami petikkan beberapa alasan yang melatar belakangi Tarjamah Tafsiriyah terhadap Al-Quran oleh Lajnah Tafsir Al-Quran al-Karim (Team Tafsir) dari Majlis A’la li as-Syuun al-Islamiyah, Mesir. 

Ada beberapa alasan mengapa perlu diterjemahkanya Ma’na Al-Quran ke dalam berbagai bahasa, yaitu:
  • Membersihkan akidah dasar Islam, dari kesesatan para pen-ta’wil gadungan.
  • Menyelamatkan hati manusia dari dongeng, tahayul, omong-kosong yang menghasut dari orang-orang tidak bertanggung jawab yang menguasainya.
  • Menegakan kekuasaan akal sehat, mendengungkan kebebasan berpikir, serta menghancurkan berhala Taklid buta .
  • Menghilangkan pemisah antara Alloh SWT dan mahluknya, serta meneriakkan persamaan secara umum antara manusia seluruhnya.
  • Persatuan semua golongan manusia dengan berpegang teguh terhadap Kalimatulloh al’Ulya.
  • Masuknya semua umat manusia ke dalam ajaran Islam dan perdamaian, membantu mewujudkan kegiatan keagamaan dengan menyebar luaskan ajaran Al-Quran.
  • Ikut serta dalam memberikan peringatan terhadap orang-orang dari berbagai golongan yang tidak ikut membantu dalam keberhasilan program Ishlah ini, dengan siksa di Dunia dan sengsaranya kehidupan di Akhirat kelak. 
Point-point inilah yang mendorong orang-orang Muslim untuk menyebar-luaskan agama dan risalah-nya kepada seluruh umat manusia, yang diantaranya adalah dengan menterjemahkan Al-Quran.

Maka, perlu ada syarat-syarat husus terhadap pekerjaan yang mulia ini, agar Tarjamah Tafsiriyah bisa menjadi terjemahan Al-Quran yang benar dan layak untuk diterima semua golongan; Syarat-syarat itu adalah:
  1. Terjemah tersebut harus memenuhi syarat Tafsir; terjemah harus bersandar pada Hadis Nabi, kaidah ilmu bahasa Arab, dasar-dasar /pokok-pokok yang ditetapkan dalam syariat Islam. Jadi, seorang penerjemah Al-Quran harus berpegang pada buku-buku Tafsir, dalam menterjemahkan kalimat-kalimat Al-Quran.
  2. Penerjemah harus steril dari kecenderungan untuk mengamini akidah-akidah yang sesat dan keluar dari ajaran-ajaran Islam, sehingga ia tidak menterjemahkan Al-Quran sesuai dengan keinginan hawa nafsunya (sak karepe wudele dewe).
  3. Penerjemah harus menguasai dua bahasa, bahasa naskah asli yang dalam hal ini adalah bahasa Arab, dan bahasa terjemah yang dikehendaki, serta menguasai spesifikasi dua bahasa tersebut sekaligus dasar, gaya bahasa dan arti yang ditunjukkanya. 

Wa’l Haashil
Setelah memandang bahwa Tarjamah Tafsiriyah lah yang dianggap boleh dan perlu untuk dijadikan sebagai piranti dalam menterjemahkan teks-teks Al-Quran, bukan Tarjamah Harfiyah; dan mengingat banyaknya kemaslahatan di balik terjemah Al-Quran dengan terjemahan yang benar; maka, penulis ikut memberanikan diri untuk mengatakan bahwa Tarjamah Tafsiriyah terhadap Al-Quran boleh, dan sangat perlu, demi kemaslahatan umat manusia secara umum, baik Muslim maupun Non Muslim.

Boleh dan perlunya untuk meterjemahkan Al-Quran tadi, tentunya harus diimbangi dengan profesionalitas penerjemah, serta tidak keluar dari syarat-syarat yang diperlukan, sehingga produk terjemahanya bisa diterima masyarakat luas yang tercerahkan darinya. Wallohu A’lamu bi as-Showaab.

Oleh: Ali Haidar.
 

Jadwal Kajian Kampus FAS








untuk melihat gambar klik gambar!
 

Qira'ah; me-Review Perjalanan Cabang Ilmu AL-Qur'an

Oleh: Ahmad Aniq Munir


Pendahuluan

Membincang Al-Qur’an menjadi kehangatan yang tak pernah usai. Sesuai perjalanan zaman ada warna-warna tersendiri yang turut menghiasi kajian ini. Terkadang ayat Al-Qur’an sangat menarik jika dikaji segi bahasa, lahirlah Ilmu Nahwu. Ada ayat yang berisi perintah maupun larangan, muncullah Ilmu Fiqh. Bahkan sampai saat ini kandungan tersebut sering menguatkan hasil penelitian para ilmuwan di berbagai bidang, semisal Fisika, Kimia, Biologi dan mungkin ruang lingkup lain yang belum sempat terjamah. Tidak salah Allah Swt berfirman pada salah satu Ayat: “maa farratna fil kitab min syai'in”.

Pada era Salafus Salih salah satu kajian yang lahir dari kalam Ilahi adalah cara pembacaan sebuah Ayat. Antara satu orang dengan orang lain menjadi keniscayaan untuk tidak menafikan perbedaan. Terkait hal ini, Rasulullah S.A.W. sendiri bersabda: “Unzila Al-Qur’an ‘ala sab’aty ahruf”. Sebuah metode jitu dalam melebarkan syari'at agama ke seluruh penjuru dunia.


Membaca adalah sebuah budaya masyarakat modern. Kunci kemajuan peradaban bangsa terletak pada hobi para penduduk masing-masing dalam membaca. Tidak ketinggalan Indonesia. Program wajib belajar sembilan tahun sejak zaman Soeharto berimbas ke banyaknya Perguruan Tinggi di berbagai penjuru negeri. Allah SWT sendiri pada saat pertama kali wahyu turun langsung memberi perintah membaca kepada Muhammad S.A.W. Stimulasi penting yang yang terpupuk di hati sanubari para Sahabat. Mungkin salah satu kehebatan kaum Muslimin zaman dulu terinspirasi Surat Al-'alaq. Bahkan tidak jarang gagasan mereka lahir karena keteguhan mereka saat membaca maupun memahami Al-Qur’an.

Dakwah Rasulullah S.A.W. ke masyarakat ramai tersusun secara jitu dan rapi. Saat pertama kali Syari'at turun, penyebaran agama dilakukan dengan diam-diam. Setelah pengikut bertambah banyak seruan beralih secara terang-terangan. Saat pondasi menjadi kuat maka mulailah pembentukan wajah dan karakter masyarakat madani. Terlalu banyaknya suku-suku di berbagai tempat menjadi problematika tersendiri dalam penyampaian Al-Qur’an. Disini fungsi central Hadist di atas berjalan. Aplikasi tersebut membawa hasil. Menjelang Rasul wafat,Islam hampir tersebar di seluruh Jazirah Arab. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dari sini ternyata membawa kerangka ilmu pengetahuan. Hasil penalaran Hadist di atas saja mampu melahirkan satu bidang studi. Salah satu konsentrasi khusus yang menjadi bukti kehebatan islam.

Namun kenyataannya, pada saat ini mungkin yang sering dipakai kaum muslimin di seluruh dunia dalam membaca Al-Qur’an hanyalah riwayat Hafs dari riwayat 'Ashim, salah satu riwayat dari ribuan macam thoriqoh membaca Al-Qur’an. Terkecuali di beberapa kawasan semisal Libya dan Maroko. Dalalah sikap regresif di antara kita plus kemunduran umat islam saat ini. Sebuah fenomena dengan rentetan pertanyaan yang perlu kita cermati. Apakah sejak dulu memang keadaan seperti ini?, apakah betul Islam benar-benar telah mundur dalam dunia study Al -Quran?, apakah sah Barat menganggap kita taqlid buta dalam belajar Al-Qur’an? ataukah muncul sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan kecocokan kaum muslimin dalam membaca Al qur’an?.

Banyak sekali penelitian-penelitian para Sarjana Timur dan Barat seputar Al-Qur’an. Apresiasi yang timbul pun berbeda-beda. Deskripsi ini saja sudah mampu menjadi bagian lain dari sisi kehebatan Al-Qur’an. Sebagian kalangan mungkin akan merasa takjub melihat sisi isi maupun corak pembawaan Al-Qur’an. Untaian kalimatnya tak tertandingi. Bahkan struktur katanya sering kali mencakup makna-makna atau maklumat baru yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab lain. Namun tidak sedikit orang yang mengkritik orisinalitas tersebut dengan pisau analisis dan perangkat-perangkat lain sehingga natijah (kesimpulan) akhirnya pun berbeda-beda. Kita tidak tahu maksud dan tujuan mereka secara pasti. Yang paling penting ilustrasi tersebut justru harus menjadi cambukan bagi kita dalam bersungguh mempelajari kalam Allah.

Seputar Sejarah Qira'ah

Kapasitas tiap sarjana tak ada bedanya dengan kualitas HP. Semakin bagus merek tersebut pasti akan muncul kekurangan manakala kita bandingkan dengan produk lain. Begitu juga dengan tokoh cendekiawan. Ketika sebuah keilmuan mencapai puncaknya justru yang tampak adalah kekurangan. Tidak jarang sering kita temukan kontroversi diantara mereka, melihat asal muara pemikiran yang berbeda. Satu contoh semisal tokoh Tasawuf dengan Fuqaha’. Orang-orang tasawuf seringkali menitikberatkan konsentrasinya ke ilmu hakikat. Berbeda dengan para Fuqaha' yang lebih suka memecahkan permasalahan dengan jalur pemahaman dhohir teks. Sama juga kontroversi antara Nahwiyyin dengan Qurra’. Saat ini banyak sekali tokoh-tokoh orientalis mencoba mengkritik Al-Qur’an melalui disiplin ilmu ini. Tidak hanya orientalis, kalangan cendekiawan muslim pun banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan miris seputar qiraat. Namun, Al-Qur’an adalah kalam Ilahi yang turun serta diajarkan secara mutawatir. Kedudukan periwayatannya melalui jalur bil hifdzi menjadi garansi paten tanpa mungkin diotak-atik. Kenyataaan ini sangat berbeda dengan agama-agama lain semisal Yahudi atau Kristen. Kekosongan kunci tesebut menjadi bukti kongkret satu kelemahan mendasar atas kitab suci dalam agama mereka.

Sejak zaman Sahabat sudah muncul beberapa tokoh dengan predikat tertinggi. Satu pencapaian atas mereka yang tidak mungkin terpenuhi tanpa semangat dan kecintaan mendalam. Semua tokoh tersebut tentu memiliki mahabbah maupun suhbah kepada Nabi di atas segala-galanya. Al-zurqoni memilih nama Utsman bin Affan, Ali bin Aby Thalib, Ubay bin ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Masud, Abu Darda’ , Abu Musa al-Asy’ari sebagai murid Nabi yang berhak duduk di jajaran ini. Semua Sahabat ini di kemudian hari memiliki murid sebagai generasi penerus perjuangan. Tongkat estafet kemudian beralih di pundak para tabi`in,anak-anak hasil didikan mereka. Meski pada akhirnya para Sahabat Rasul harus rela meninggalkan tanah kelahiran mereka. Sebuah perjalanan pahit tiap-tiap perjuangan. Namun menjadi solusi kongkrit demi mengibarkan panji-panji suci kalimat Tuhan. Mulai dari sini pada dasarnya sudah banyak wajah-wajah baru yang menghiasi belantika akademi Al-Qur’an.

Seiring berjalannya waktu kita bisa menemukan tiap kota terdapat sekolahan baru sebagai regenerasi ajaran Rasul. Said Ibn Musayyab, Urwah, salim, Umar bin Abdu al-Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atho' bin Yasar, Zaid bin Aslam, Muslim bin Jundub, al-Zuhry, Abdurrahman bin Hurmuz, Muadz bin al-Harits sebagai jebolan sekolah Madinah. Sebuah kota tempat Nabi menanamkan pundi-pundi Syari’at. Mekkah sebagai tempat kelahiran Nabi juga melahirkan generasi-generasi baru. Para pemuda di sini pun turut meramaikan kancah belantika disiplin ilmu qira’at. Sebut saja Atho’, Mujahid, Thawus, Ibn Abi Mulaikah, Ubaid bin Umair. Tidak ketinggalan kota Bashrah. Di sini lahir sosok semisal Amir bin Abd Al Qais, Abu al-Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin Asim, Yahya bin Ya’mur, Jabir bin Zaid, Al Hasan, Ibn Sirin, Qatadah. Tidak jauh dari Bashrah adalah Kufah. Nama-nama semisal Alqamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Rabi’ bin Khaitsam, al-Haris bin Qais, Umar bin Syurajil, Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Wazir bin Habisy, Ubaidah bin Nadhlah, Abu Zurah bin Amr, Said bin Jubair, al-Nakha’i, al-Sya’by. Sejak dulu dua kota ini memiliki sejarah kebudayaan maju, bahkan saat Islam masuk di sana meski terkenal dengan ilmu Nahwu namun dua kota tersebut mampu menunjukkan eksistensinya dalam bidang qira’at. Tempat study paling jauh di era ini adalah Syam. Salah satu Sahabat Nabi yang sempat menjadi dosen disini adalah Abu Darda’. Pun terdapat murid-muridnya yang siap mengangkat panji-panji suci kalam Ilahi semisal Mughirah bin Syihab al-Makhzumi, Khulaid bin Said.

Seiring berjalannya waktu penerus-penerus baru pun bermunculan. Beberapa tahun kemudian sudah tidak terhitung debutan-debutan baru. Layaknya pohon, makin besar makin banyak ranting dan buahnya. Debutan tesebut memiliki anak didik dengan perkembangan yang pesat. Namun, ada juga anak didik yang tidak memiliki kualitas seperti gurunya, ibarat pepatah "makin banyak jumlah buah makin banyak busuknya". Riwayat-riwayat yang tidak kuat sangat mungkin keluar dari mereka. Entah karena kurang kuatnya hafalan atau mungkin mungkin faktor-faktor lain. Bahkan sangat mungkin sesekali terjadi campur aduk antara shohih dan dho`if, mutawatir dan ahad, meskipun tidak menafikan kemungkinan yang sama pada dekade sebelumnya.

Tidak salah jika pada masa sesudahnya lahirlah unifikasi qira’at. Terlalu banyaknya pembebasan dalam membaca Al-Qur’an serta merebaknya bacaan-bacaan syadz menyulut ruang kontroversi sangat tajam bahkan sangat mungkin tidak menafikan adu fisik antara berbagai macam aliran. Upaya meredam pertumbahan darah harus menjadi solusi atas perpecahan umat Islam. Namun yang terjadi justru adalah pemahaman orang tentang terbatasnya bacaan hanya kepada tujuh Imam. Theodore Noeldeke mengasumsi munculnya pembebekan membaca pada masa sekarang dimulai pada saat itu. Uraian analisanya membuahkan dua kesimpulan periodesasi keberlangsungan kajian qira'at.

Pertama, periode taqlid. Ibn Mujahid sebagai tokoh negara serta salah satu pakar agama memiliki pengaruh besar atas berlangsungnya varian bacaan. Dengan didukung kekuasaan, Ibn Mujahid mencoba menetapkan standarisasi baku di sahkannya sebuah qira’at. Kemudian lahirlah tujuh qiraat yang terbagi menjadi tujuh Imam plus dua rawi diantara satu Imam. Satu klaim bahwa bacaan sah adalah ajaran dari riwayat yang bersumber dari guru dengan persetujuan Ulama-ulama lain serta memiiki kredibilitas (tsiqah) diakui. Konsep ini pada dasarnya menguatkan tiga syarat utama tentang penerimaan qira'ah, yakni: 1) bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah. 2) berlaku dalam bahasa Arab. 3) terdapat kesamaan dengan mushaf Utsmani. Secara otomatis perundangan qira’ah ini menentang pemahaman-pemahaman lain seperti yang yang digaungkan Ibn Muqsim. Efek aturan ini terbukti pada kisah popular yang terjadi atas diri Ibn Syanabudz. Salah satu tokoh qira'at terkemuka. Dengan pengetahuannya yang mumpuni suatu hari Ibn Syanabudz sholat dengan menggunakan bacaan selain qira’ah sab’ah. Karena pengetahuan secara umum bahwa ahruf sab’ah terbatas pada qira’ah sab`ah maka tindakan tersebut dianggap Syadz hingga pada akhirnya Ibn Syanabudz harus rela menerima hukuman sebagai pelajaran.

Kedua, periode pengukuhan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa terbingkainya pola pikir secara umum harus mendapat pembenaran, supaya kuat. Ibarat membangun rumah, semakin tebal kadar tembok maka semakin kuat bangunannya. Upaya membangun sebuah opini agar diterima masyarakat umum perlu mendapat pendapat yang sejalan dari tokoh-tokoh lain. Noeldeke menganggap maraknya taqlid dalam mengenal qira’ah pada saat itu didukung sebagian cendekiawan seperti Abu Abid dan Abu Hatim Al-sijistani. Meski agak sedikit beda dalam penyampaian masyarakat, tapi pendapat tersebut memiliki kesamaan secara umum di mata masyarakat. Sesaat kemudian opini yang terbentuk pada masa mereka berdua mungkin sudah meluas. Sampai masa Ibn Mujahid secara otomatis deskripsi ahruf sab’ah di mata kaum awam langsung diarahkan ke qira’ah sab’ah.

Noeldeke mengakui kaidah umum qira’ah adalah sunnah muttaba’ah. Namun dia menganggap kebebasan yang diangkat Ibn Muqsim atau Ibn Syanabudz layak mendapat apresiasi. Hasil kreatifitas tersebut pada saatnya mungkin bisa menjadi sumbangsih di dunia intelektual. Sebuah slogan menuju wacana lebih maju. Tapi sayang, Noeldeke lupa bahwa salah satu kehancuran Yahudi atau Kristiani terletak pada sumber penyambung diantara Nabi dan generasi setelah Nabi mereka wafat. Adalah sanad sebagai kunci pokok keaslian kitab suci Al-Qur’an. Kita mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana rupa agama ini lantaran tidak ada sanad. Akibatnya mungkin sama dengan agama Yahudi dan Nasrani atau bahkan mungkin lebih hebat lagi. Saat ini banyak sekali pengikut agama Kristen murtad dari agama mereka karena masih sangsi akan keaslian tuntunan pedoman yang menjadi pegangan mereka.

Mengenal Sedikit Tentang Qira’ah

Di atas telah disebutkan kondisi sosial masyarakat Islam sampai pada masa Ibn Mujahid. Kemudian timbul inisiatif dalam dirinya untuk mengumpulkan karakteristik bacaan dari kota-kota tempat berkembangnya pengajaran Al-Qur’an; Mekkah, Madinah, Kufah, Bashrah, serta Syam. Lima kota tersebut menjadi titik awal lahirnya sab’ah Ibn Mujahid. Dari sanalah tujuh Imam berada. Pengesahan mereka sebagai top leader berefek pada ter-marginal-nya riwayat-riwayat lain. Kasus tersebut membuat jurang pemisah antara satu bacaan dengan yang lain.
Secara umum kita tidak bisa menafikan perwujudan taqlid seperti analisa Noeldeke yang kemudian memaksa pemilahan berbagai macam qira’at di mata mereka. Ada banyak sekali versi pembagian qira’at di mata cendekiawan Muslim. Al-Zurqoni mengklasifikasi qira’at ke dalam enam bagian:

Pertama, Mutawatir. Adalah riwayat jumhur Ulama’ yang bersumber dari kebanyakan orang. Karakteristik bagian ini adalah kedudukannya bersumber dari mayoritas pemikir muslim sehingga mustahil bagi mereka untuk bersekutu dalam membohongi ayat-ayat Al-Qur’an. Contoh bagian ini adalah qira’ah sab’ah atau asyrah.

Kedua, Masyhur. Sebuah riwayat dengan mata rantai shahih. Perwujudannya tergambar dengan jalan diriwayatkan dari seorang rawi yang adil dan dhobith, yang berasal dari perawi tsiqoh pula sampai kepada Rasulullah. Jalinan ayatnya harus sama dengan konsep bahasa arab serta mushaf Utsmani. Riwayat ini kemudian menjadi terkenal di tempat tertentu bahkan dibaca dalam sholat. Di antara karangan yang popular tentang pembahasan ini adalah Syathibiyah, Durrah, Thoyyibah al nasyr.

Ketiga, Bacaan yang memiilki sanad shahih, namun tidak memenuhi dua kriteria di atas. Adakalanya tidak sama dengan kaidah bahasa arab atau tidak sama dengan rasm Utsmani. Bagian ini tidak sampai pada tingkatan kedua. Salah satu contoh sebagaimana lafal "rofaarifa". Menurut bacaan secara umum adalah "rofrofin".

Keempat. Syadz. Melirik lafadznya kita bisa membayangkan bahwa gambarannya adalah riwayat yang tidak memiliki sanad shahih. Seperti bacaan Ibn Samayqo’ pada ayat "nunajjika" dengan mengganti kha’ (huruf keenam dari huruf hijaiyyah).

Kelima, Maudlu’. Sebuah riwayat tidak memiliki pegangan pada perawinya. Salah satu contoh adalah varian yang dikumpulkan Muhammad bin Ja’far al-Khaza’i. Tanpa mengacu dari dalil yang kuat al-Khaza’i menisbatkan bagian ini ke Abu Hanifah.

Keenam, riwayat yang memiliki kemiripan dengan Hadist Mudroj. Mayoritas peneliti menganggap bagian ini menjadi tafsir atas sebuah kata atau kalimat. Seperti bacaan Ibn Zubair: "Wa lahuu akhun au ukhtun min ummin", dengan penambahan kata "min ummin". Banyak Cendekiawan-cendekiawan yang ragu melihat contoh bagian ini. Bahkan Umar bin Khattab Ra. sendiri merasa sangsi pada salah satu contoh bagian ayat. Tidak heran jika kebanyakan Ulama banyak yang tidak berani menaruh ke posisi Mudroj.

Al-zurqoni mengutip al-Suyuthi secara detail merinci pembagian di atas. Bahkan membuat sistematika tingkatan-tingkatan melihat kuat maupun lemahnya sebuah riwayat. Sebuah klasifikasi dengan ketepatan cukup akurat saat membidik sasaran. Namun sayang ada satu bagian yang sempat terlewatkan. Yaitu riwayat Ahad dengan perawi-perawi tsiqoh sampai kepada Rasul tapi tidak sempat masyhur di kalangan kaum muslimin. Salah satu contoh sebagaimana bacaan Sayyidina Umar Ra. dalam surat al-Fatihah saat sholat ialah: "Sirotho man an’amta ‘alaihim" yang mengganti kalimat "alladzina". Banyak sekali riwayat-riwayat shahih seputar kasus ini. Berhubung kadar kekuatannya tidak sampai masyhur para Ulama’ pada akhirnya tidak berani mengangkat derajat kekuatan bacaan ini. Namun kasus ini menjadi problematika tersendiri mengingat cerita Umar bin Khathab hampir didapatkan dalam kitab-kitab hadis.

Meski tidak sempat tercakup namun al-Zurqoni sempat menulis bagian ini di paragrap setelahnya. Sambil mengutip pendapat Ghazali dan tokoh cendekiawan lain hampir semuanya sepakat untuk tidak memasukkan bagian ini ke dalam substansi Al-Qur’an.

Mendalami ilmu harus mengenal mabadi’ al-asyr. Ibarat pepatah "tak kenal maka tak sayang". Sama halnya dengan qiraat. Banyak sekali definisi-definisi seputar kajian ini, salah satunya sebagaimana ungkapan Syekh Abdul Fattah Abdul Qodli: "adalah ilmu yang mendalami tata cara pengucapan kalimat Al-Qur’an dan metode penyampaiannya (thoriq al-ada’) baik dari segi persamaan maupun perbedaan serta mengarahkan setiap bentuk bacaan kepada Imamnya".

Pengertian tersebut dapat kita pahami secara gamblang intisari disiplin study qira'at adalah mengetahui corak persamaan atau perbedaan dari kata maupun kalimat. Adapun sasaran kajian ini lebih dititikberatkan kepada kalimat-kalimat Al-Qur’an, baik dari segi pengucapan kalimat maupun metode penyampaiannya. Pemahaman keduanya akan membawa kita lebih mengerti faidah serta hasil (tsamrah) telaah ini; Menjaga kesalahan dalam mengucapkan kalimat Al-Qur’an, menjaga tindakan preventif dari tahrif atau taghyir, mengetahui bacaan tiap Imam-Imam qira’at serta membedakan bagian mana yang boleh atau tidak boleh digunakan. Sebuah nilai positif untuk kemajuan islam manakala timbul kesadaran diantara kita.

Benang merah diantara sudut keilmuan hampir pasti ditemukan. Sering kita dapati penisbatan atau hubungan erat kelindan dalam ranah epistemologi pengetahuan. Maka, penisbatan antara Ilmu Qira’at dengan cabang kajian lain adalah tabayun. Obyek ini juga mendorong kita harus mengetahui tokoh peletak pertama sebagai sumber inspirasi kemajuan. Sosok Abu ‘Amr Hafs bin Umar al-Dury, salah satu Imam plus Qori' yang terkenal dengan idghom kabir. Namun ada lagi tokoh lain yang dianggap suksesor. Karena dalam bukunya berhasil merumuskan qira'at untuk pertama kali. Beliau tidak lain bernama Abu ‘Abid al-Qosim bin Salam. Tokoh panutan yang tidak asing di mata para Ulama’ pada saat itu. Gerakannya dalam membukukan Ilmu qira’at terealisasi dalam bukunya. Banyak kalangan mengira-ngira Abu Abid menulis buku qira’at dua puluh lima Imam. Di kemudian hari gebrakannya diikuti banyak kalangan dalam mencurahkan hasil jerih payah mereka. Seperti al-Dani dalam bukunya al-Taysir dan Jami’ al-bayan, Abi Abdillah Muhammad bin Sufyan Al-qoyriwani al-Maliki dengan karyanya al-Hadi, atau Abi Abdillah Muhammad bin Syuraih al-Ra’ini al-Asybily melalui kitabnya al-Kafi. Sampai abad ke 9 proses kreatifitas pun masih terus berlanjut. Namun mulai masa Abu Abid al-Qosim pada dasarnya menjadi waktu spesialisasi qira’at. Kenyataan itu kita dapati dengan mulai nampaknya antusias masyarakat yang semakin meluas. Terbukti dengan pemakaian konsep qira’at, riwayat serta thoriqoh yang berbeda dengan kajian lain.

Qira’ah adalah sebuah perbedaan yang dinisbatkan kepada Imam-imam. Satu contoh semisal bacaan basmalah diantara surah. Permasalahan ini menjadi perbedaan diantara para Qori’. Kebanyakan di antara mereka menetapkan bentuk basmalah disela-sela surah. Lain halnya tokoh lslam lain semisal Imam Hamzah yang memilih tidak membaca basmalah. Kita tidak bisa mengatakan ini adalah riwayat Hamzah karena posisi Hamzah adalah Imam. Sedangkan riwayat adalah pendapat yang muncul dari murid pengambil bacaan Imam. Seperti contoh tidak adanya ghunnah pada tanwin atau nun mati ketika bertemu huruf wawu atau ya’. Diantara semua pakar kenamaan bacaan tujuh hanya riwayat Kholaf dari Hamzah yang memakai kaidah ini. Menjadi kesalahan kalau seandainya kita menisbatkan kaidah ke Hamzah. Adapun thoriqoh merupakan rangkuman bacaan yang diambil seseorang dari perawi sebuah bacaan. Satu contoh adalah bacaan "dlo’fin" dalam surah al-Rum. Varian ini merupakan thoriqoh ‘Abid bin Sobbah dari Hafs. Sering kali orang melakukan kesalahan dalam menisbatkan Hafs sebagai Qori’ atau tokoh pembawa thoriqoh.

Perbedaan di atas menjadi keharusan bagi tiap orang-orang yang mendalami kajian qira’at secara intensif. Karena akan sangat lucu manakala seorang Tholib ternyata buta dalam memahami konsep ini secara matang. Selain itu, pada tataran praksis konsep di atas menjadi sangat urgen tatkala seseorang memahami perbedaan sebuah kalimat saat membaca. Pada saat itu nalar pikir seseorang diuji. Seberapa manakah perbedaan diantara Qurro’ di pahami.

Kemudian muncullah Aby Muhammad bin Vierra bin Aby al-Qosim bin Khalaf bin Ahmad al-Ra’iny al-Andalusy al-Syathiby. Tak terhitung lagi jumlah orang-orang yang ngangsu kaweruh dihadapannya. Tiap orang waktu belajar qiraat satu imam diharuskan menghatamkan tiga kali. Dua kali hataman untuk Perawi qiraat sedangkan ketiga adalah jama’ antara keduanya. Syathibi juga menulis syair-syair tentang qiraat yang terangkum dalam judul Hirz al-amany wa wajh al-tihany. Sebuah buku yang berisi syair dengan jumlah seribu seratus tujuh puluh tiga. Meliputi empat belas thoriqoh bacaan atas empat belas riwayat yang berasal dari tujuh Imam. Isinya menjelaskan tentang kaidah bacaan Imam secara umum seperti panjang mad, dua hamzah dalam satu kalimat, dua hamzah dalam dua kalimat, plus perbedaan kalimat di dalam ayat seperti "yakhda’un" dan "yukhodi’un", "yakdzibun" dan "yukadzdzibun".

Selang dua ratus tahun setelah al-Syathibi wafat sampailah masa kelahiran Aby al-Khoir Muhammad bin Muhammad Al-dimasyqi dengan panggilan ngetop:Ibn al-Jazari. Sebagai tokoh kenamaan di bidang ini, hampir kebanyakan orang menjuluki Khotimatul muhaqqiqin. Puluhan tahun malang-melintang di dunia akademik mencari guru dan mengajarkan Al-Qur’an tidak sia-sia jikalau akhirnya julukan di atas bersemat di dadanya. Mulai dari negeri Islam paling Timur Andalusia sampai sebelah Barat hampir tidak satu pun tokoh senior kenamaan luput di hadapannya. Ibn al-Jazari merupakan tokoh kritis di bidang qira’at. Sebagai maestro kenamaan tindakan Ibn Mujahid menurutnya adalah proses pembodohan kepada semua lapisan masyarakat terkhusus kaum Muslimin. Banyak sekali Ulama’-ulama' selain Ibn Mujahid tidak memasukkan para Qori’ selain Imam tujuh. Abu Hatim dalam bukunya menyebut Qori’-qori’ selain Hamzah dan Kisa’i. Bahkan terdapat sekitar dua puluh orang dengan kualitas di atas lebih tinggi dari mereka berdua. Al-Thobary di salah satu tulisannya menyebut sekitar lima belas Qori’ selain tujuh Qori’ yang masyhur. Hal serupa juga dilakukan Abu Abid dan Ismail al-Qodli. Abu Muhammad Makki berkata: "Bagaimana mungkin seseorang menyangka tujuh Qori’-qori’ masyhur yang ada adalah ahruf al-sab’ah? Apakah penyebutan tersebut sebagaimana sabda Nabi? Bagaimana mungkin penyebutan tersebut timbul toh padahal al-Kisa’i baru saja masuk sejak masa al-Makmun?". Sebuah ungkapan perspektif yang timbul akibat kegelisahan mendalam melihat dilema peradaban Islam.

Ibn al-Jazari kemudian merangkum semua kitab-kitab qira’at pada masa itu. Lebih dari lima puluh kitab qira’at berhasil disatukan. Hampir tiap perbedaan yang membingungkan diantara Qurra’ dapat diselesaikan dalam kitab tersebut. Semua permasalahan yang menyesakkan dada dengan efisien dapat terobati. Adalah Al-nasyr yang mencakup lebih dari lima puluh kitab dengan ribuan metode di dalamnya. Kitab tersebut meliputi:

1. Al-Taysir, karya Abu Amr Utsman bin Sa’id bin Utsman bin Sa’id al-Dani (444 H). Beliau wafat di Andalusia. Kitab ini menjadi salah satu rujukan dikalangan para Qori’. Bahkan Ibn Mujahid pun pada dasarnya mengambil langsung dari buku ini.

2. Mufradat Ya’qub. Ditulis tiga orang yaitu: Abu Umar al-Dani pengarang kitab al-Taysir, Abdurrahman bin Abi Bakr ‘Atiq bin Khalaf atau dengan panggilan Ibn al-Viham (516 H), serta Aby Abdul Bary bin Abdurrahman bin Abdul Karim al-So’idy (650 H).

3. Jami’ al-bayan. Juga ditulis al-Dani. Penulis dua kitab di atas. Ibarat film, tulisan ini menjadi box office di kalangan pemerhati Al-Qur'an. Di dalamnya mencakup lebih dari lima ratus riwayat dan metode dari tujuh Imam kenamaan.

4. Matan Syathibiyyah. Kumpulan lantunan syair. Kitab tersebut bernama Hirz al-amany wa wajh al-tihany. Ditulis Imam Syathiby.

5. Al-Unwan. Ciptaan Abi Thohir Ismail bin Khalaf bin Sa’id bin Imron al-Ansory al-Andalusy (455 H).

6. Al-Hadi. Karangan Aby Abdillah Muhammad bin Sufyan al-Qoyruwani al-Maliki (415 H).

7. Al-Kafi. Karya salah satu Ulama' Andalusia, Abi Abdillah Muhammad bin syuraih bin Ahmad bin Muhammad bin Syuraih Al Ra’ini. (476 H).

8. Al-Hidayah. Ditulis oleh Mufassir kenamaan Abi al-Abbas Ahmad bin Ammar bin Abi al-Abbas al-Mahdawy (430 H).

9. Al-Tabshiroh. Andalusia lagi-lagi melahirkan salah satu sarjana intelektual Muslim. Adalah Abi Muhammad Makki bin Abi Tholib bin Muhammad bin Mukhtar al-Qoiruwani (437 H), Penulis buku ini.

10. Al-Qosid. Dikarang Abi al-Qosim Abdurrahman bin Hasan bin Said Al-khazrajy (446 H).

11. Al-Raudloh oleh Abi Umar Ahmad bin Abdillah al-Tholamanky (429 H).

12. Al-Mujtaba oleh Abi Qosim Abd al-Jabbar bin Ahmad bin Umar al-Thorosusy (420 H).

13. Talkhis al-Ibarat oleh Abi Ali Hasan bin Khalaf al-Qoyruwany (514 H).

14. Al-Tadzkiroh oleh Abi Hasan Thohir bin Abdul Mun’im bin Ubaidillah bin Gholbun (399 H).

15. Al-Raudloh oleh Abi Ali Hasan bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady al-Maliki (438 H).

Selain nama-nama di atas masih ada lagi puluhan buku-buku kenamaan hasil karya para sarjana muslim. Mulai dari Imam tujuh, sepuluh bahkan di atasnya. Malah tidak sedikit sarjana muslim seperti Abu Bakar Ibn al-Araby, Abi Ali Hasan bin Muhammad bin Al-Baghdady al-Maliki, Abi Muhammad Abdillah bin Ali bin Ahmad atau yang lebih dikenal dengan Sabth al-Khayyath yang menganggap bacan al-A’masy (salah satu Imam qiraah empat belas) termasuk qira'ah masyhur, versi penting sebagai rujukan dinamika keislaman. Berbeda dengan kebanyakan Qori' muta'akhirin yang memberi penilaian qira'ah ini sebagai qira'ah syadz.

Namun jerih payah Ibn Al-Jazari ternyata dikalahkan maestro-maestro lain. Terbukti dengan munculnya nama seperti Abu Qosim Yusuf bin Ali Jabaroh al-Hudzali. Setelah malang melintang di dunia qira'ah, al-Hudzali mampu mengumpulkan seribu empat ratus lima puluh sembilan (1459) riwayat dan thoriqoh. Selain itu ada lagi nama Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abdu al-Samad, penulis kitab al-Talkhis fi al-qira'at al-tsaman. Di dalamnya penulis mencantumkan seribu lima ratus lima puluh (1550) riwayat dan thoriqoh. Adalah sebuah pencapaian yang fantastis dalam dinamika kemajuan Islam, karena mengimbagi hasil Ibn al-Jazari mungkin kedua-duanya layak mendapatkan titel sebagaimana perolehan Ibn al-Jazari. Bahkan Ibn al-Jazari mengakui memori keduanya lebih hebat dari pada pencapaiannya sendiri. Mungkin karena tidak ada klasifikasi ketat dari mereka menjadi faktor keengganan Ulama untuk memilih. Penulis mengira deskripsi ini menjadi salah satu kemajuan intelektual di bidang study qira'at. Hampir tidak ada konklusi kritis sejak dimulainya kajian qira'at. Di atas telah disebutkan kritik pedas yang dialamatkan ke Ibn Mujahid namun komitmen di lapangan justru adalah pembudayaan qira'ah tujuh versi Ibn Mujahid. Toh, di sana masih banyak tokoh-tokoh yang lebih berkompetensi. Abu Ja’far (salah satu Imam sepuluh) sebagai guru Imam Nafi’ (salah satu qira’ah tujuh) memiliki sanad yang lebih ‘ali (tinggi) tapi justru malah termarginalkan, begitu juga sebaliknya. Sebelum periode Ibn Mujahid banyak sekali pakar yang lebih mengangkat Ya’qub al-Hadramy (Imam sepuluh) dari pada al-Kisa’i (Imam tujuh). Bentuk penting yang menjadi bukti bahwa Islam tidak kolot dalam sistem pendidikannya.

Dua tokoh tersebut adalah legenda pada masa itu. Ibarat sepak bola keduanya adalah Pele dan Maradona. Dua pemain terbaik dalam legenda sepak bola. Namun ternyata masih ada Abu Qosim Isa bin Abdu al-Aziz al-Iskandary. Seorang tokoh yang mengumpulkan tujuh ribu riwayat maupun thoriqoh. Sebuah pencapaian yang sangat cemerlang dibidangnya. Pada kurun itu sampai sekarang mungkin belum pernah muncul seseorang dengan intelegensi seperti ini. Namun sangat sayang sekali seleksi intelektual tidak berpihak kepadanya. Salah satu alasan mungkin adalah kurangnya studi kritis dalam proses telaah yang di jalaninya.

Kilas Balik Imam-Imam Qira'ah

Di atas telah di sebutkan cuplikan sejarah perkembangan Qira'ah. Transformasi standarisasi terbaru dalam telaah historis sebagaimana keputusan Ibn Mujahid, dengan diikuti wewenang pemerintah, lahirlah Qira'ah tujuh dengan dua Rawi pada tiap Imam. Pada dasarnya titel Imam Qira'at yang dialamatkan kepada mereka adalah hasil pilihan atas berbagai macam sumber yang mereka peroleh.

Pertama, Nafi’ bin Abi Na’im (169 H). Memiliki panggilan kinayah Abu Ruwaim. Beliau adalah Imam di Madinah. Berasal dari Asbihan. Semasa hidup sempat belajar kepada tujuh puluh Tabi`in. Diantaranya adalah Yazid bin Qo`qo`, Syaibah bin Nassah, Abdurrahman bin Hurmuz. Dua perawinya adalah Abu Musa Isa bin Mina dengan panggilan akrab Qolun (205 H) serta Abu Said Utsman bin Said al-Misry dengan panggilan ngetrend Warsy (197 H).

Kedua, Abu Ma`bad Abdullah bin Katsir (120H). Tokoh Tabi’in yang memiliki darah Persia. Dia belajar Al-Qur’an kepada salah seorang sahabat Abdullah bin Sa’ib al-Makhzumi, Ubay bin Ka`ab, dan Mujahid bin Jubair. Adapun dua perawinya bernama Abu Hasan Ahmad bin Muhammad bin Abdullah al-Bazzi(205 H), serta Abu Umar Muhammad dengan laqab Qunbul(291 H).

Ketiga, Abu Amr bin Ala’ (154 H). Versi lain Zaban, Zayyan dan Royyan. Dilahirkan di Mekkah kemudian hijrah ke Bashrah. Memiliki murid bernama Yahya bin Mubarok al-Yazidi. Orang ini kemudian memiliki dua murid yang notabene perawi Abu Amr. Pertama adalah Abu Umar Hafs bin Umar al-Dury (246 H). Kedua adalah Abu Syuaib Sholeh bin Ziyad al-Susy (261 H).

Keempat, Abdullah Bin Amir al-Dimasyqi (118 H). Dua perawinya adalah Abu Walid Hisyam bin Ammar (245 H) serta Abu Amr Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan (242 H).

Kelima, Asim bin Abi Najwad (128 H). Dua perawinya adalah Su`bah (193 H) serta Hafs bin Sulaiman al-Kufy (180 H).

Keenam, Hamzah bin Habib al-Zayyat al-Kufi. Dua perawinya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam al-Bazzar (229 H) serta Abu Isa Khallad bin Khalid al-Kufi (220 H).

Ketujuh, Abu Hasan Ali bin Hamzah al-Kisa’i. Dua perawinya bernama Abu Harits al-Laits bin Kholid (240 H) serta Abu Umar Hafs al-Dury salah satu perawi Abu Amr, Imam ketiga (246 H).

Pilihan nama-nama di atas bukan tanpa sebab. Dr Syauqi Dhif menilai semuanya memiliki keistimewaan tersendiri dalam diri mereka. Keistimewaan tersebut menjadi alasan Ibn Mujahid untuk menetapkan madzhab tersendiri bagi mereka tanpa terikat dengan tokoh-tokoh lain. Bahkan kepada tiga Ulama’ Kufah sekalipun (‘Asim, Hamzah dan Kisai’). Masih ada lagi aspek-aspek lain dibalik pilihan tersebut yang diterima kalangan cendekiawan Arab secara umum. Baik dari segi geografis semisal satu kota Kufah dan Bashrah atau diterima secara umum. Sebuah syarat logis mengingat adanya beberapa nama-nama Ulama’ yang ditolak seputar syarat ini seperti Ibn Muhaishin(salah satu Ulama empat belas dalam satu versi, w 123 H), dan Isa bin Umar al-Tsaqafi (149 H). Selain itu kecocokan antara bacaan dan Mushaf Utsmani harus menjadi satu-kesatuan secara utuh. Implikasi aturan ini berujung pada syadznya sebuah bacaan saat tidak memenuhi standarisasi teks Utsmani. Satu contoh adalah varian ala Ibn Syanabudz.

Semenjak tujuh Imam tersebut hidup sudah banyak tokoh-tokoh cendekiawan yang nge-fans terhadap mereka. Imam Malik bin Anas menjadi tokoh diantaranya. Beliau mengklaim bahwa bacaan Nafi’ menjadi bacaan yang paling mirip dengan Ulama'-ulama' Ahli Madinah. Hal senada juga keluar dari Ahmad bin Hambal. Dengan kapasitasnya yang tidak diragukan, beliau lebih memilih bacaan Nafi’ dan Asim daripada yang lain. Selain itu hampir semua bentuk-bentuk bacaan yang digaungkan tujuh Imam di atas pada dasarnya adalah pilihan yang mereka kembangkan sendiri. Maka tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolak mereka. Sebuah kesimpulan akhir atas banyaknya suara-suara kritis yang dialamatkan kepada mereka.

Tujuh Imam di atas pada dasarnya bukan hasil akhir dari sebuah pengajian. Ibn al-Jazari menilai ada tiga Imam lagi yang berhak disandingkan disamping tujuh Imam di atas. Ketiga-tiganya memenuhi kriteria syarat diterimanya sebuah qira’at.

Pertama, Yazid bin qo`qo` al-Yazidi(120-130 H). Beliau adalah guru Imam Nafi’ (salah satu imam tujuh). Adapun dua perawinya bernama Abu Harits Isa bin Wardan (160 H) serta Abu Rabi’ Sulaiman bin Muslim bin Jammaz (170 H). Sepertinya sangat aneh sekali jika Ibn Mujahid lebih suka mengambil varian Nafi’ daripada Abu Ja’far. Sebagian kalangan memprediksi prosentase persamaan Nafi’ dengan Abu Ja’far mencapai 90 %. Karena sumber periwayatan dengan Ulama’ Kufah berbeda maka tidak heran jika terdapat perbedaan disebagian besar Usul maupun Farsy. Terkecuali Hafs dari `Asim dengan prosentase persamaan sekitar 59%-65%.

Kedua, Ya’qub bin Ishak bin Zaid bin Abdillah bin Abi Ishak al-Hadlromy (208 H). Tokoh di bidang Qira'at sepeninggal Abu ‘Amr. Tugasnya sebagai Imam masjid Jami` di Bashrah pun digantikannya. Kaidah-kaidah yang dikumandangkan terkesan lebih moderat. Hampir tidak ada kontradiksi keras antara Ya’qub dengan Ulama’ Kufah maupun Madaniyyan. Meskipun Ya’qub adalah murid Abu Amr bukan berarti semua konsepnya menjadi keharusan untuk diikuti dan dijalankan. Maka tidak salah kalau Abu Amr al-Dani melihat sikap selektif dalam membaca Al-Qur’an. Kesamaannya dengan sang guru lebih banyak dari sisi Farsy daripada Usul. Dua perawi Ya’qub bernama Abu Muhamad bin Mutawakkil (238 H) dengan panggilan tenar Ruwais. Sedangkan lainnya bernama Abu Hasan Ruh bin Abdul Mukmin (235 H).

Ketiga, Khalaf bin Hisyam bin Tsa`lab al-Bazar (229 H). Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan antara golongan Kufiyyun (Asim, Hamzah, Kisa'i) dengan Khalaf. Penyebab utamanya mungkin karena sumber guru mereka berasal dari satu jalan. Sebagaimana kita tahu konfrontasi yang nampak lebih menonjol diantara Imam-Imam qira'ah justru lebih antara Madaniyyan dengan kufiyyun. Kentara sekali perbedaanya terletak pada bagian-bagian Usul. Ibn al-Jazari memandang Khalaf memiliki ikhtiyar sendiri dalam membangun pondasi qira'ahnya. Konsekuensi tersebut mengakibatkan lahirnya kaidah-kaidah maupun Farsy baru hasil transformasi independen dari beberapa gurunya. Dua perawinya adalah Abu Ya’qub Ishak bin Ibrahim (286 H) serta Abu Hasan Idris bin Abdul karim (292 H). Sepuluh Imam di atas menjadi tokoh-tokoh qira'ah yang disepakati ke-mutawatiran-nya. Bahkan sebagian Ulama Muta'akhirin menganggap jumlah mereka menjadi nominal terakhir yang tidak mungkin bertambah.

Fakta tersebut didukung dengan berputarnya proses belajar mengajar ke Imam-Imam tujuh. Menjadi fenomena penurunan intensitas intelektual yang menjadi momok bagi seluruh umat islam. Proses belajar yang semula hanya berkutat pada ifrod dengan gaya standar turats melangkah lebih jauh lagi ke proses pembacaan transformasi (jama`). Ada beberapa corak seorang murid membaca secara jama`. Al-Shofaqisi membagi tiga model yang saat ini sedang berlaku:
Pertama, pembacaan harfiyah. Penggambaran ini diandaikan seorang Tholib memulai bacaan pada sebuah kalimat dan mengulang lagi tiap-tiap perbedaan sebuah lafadz. Praktek ini menjadi madzhab Ulama' Mesir dan Maghrib.

Kedua, pembacaan ala wakaf. Deskripsinya diawali dengan seseorang membaca sebuah ayat. Ketika muncul ikhtilaf pada sebuah ayat maka harus ada pengulangan ayat kecuali terdapat kesamaan dengan Imam lain. Metode ini banyak digunakan Ulama’-Ulama’Syam.

Ketiga, asimilasi keduanya. Pertama kali seorang murid membaca sebuah ayat. Setelah menemukan perbedaan kalimat dalam ayat diteruskan dengan mengulang perbedaan kalimat. Satu metode yang sering dipakai saat ini.
Dua pembagian pertama telah berlaku sejak wafatnya al-Syatibi. Lain halnya dengan bagian ketiga yang lebih dikenalkan mulai masa Ibn al-Jazari.

Penutup

Ilmu pengetahuan menjadi sumber kemajuan umat manusia. Dalam agama Islam Al-Qur’an adalah sebagai kitab Allah penunjuk para umatnya. Pola penyebarannya dengan memakai dialek Arab, memaksa turunnya bentuk bacaan-bacaan lain. Problematika baru muncul tatkala kekhawatiran perubahan teks-teks Al-Qur’an menjadi resiko besar dalam ranah masyarakat Islam. Namun masalah tersebut justru menjadi pemicu lahirnya kajian baru yang mungkin belum pernah dibayangkan sebelumnya. Setelah melewati beberapa kurun setelahnya kita bisa melihat betapa gagahnya sebuah Ilmu jika bersandar kepada Al-Qur’an. Saat ini kita mungkin terasa sinis melihat fenomena menipisnya gairah intelektual belajar qira'at. Salah satu nilai negatif era globalisasi saat ini yang sedang mendunia. Namun ternyata ada juga beberapa nilai plus sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.

Sebagian kalangan kontemporer mencoba meracik bacaan transfigurasi baru dengan mengedepankan nilai-nilai kemaslahatan. Disadari dari keresahan umat Islam yang terbelenggu dalam satu bentuk bacaan. Mereka melihat standar pemahaman Al-Qur’an justru menjadi bumerang umat Islam sendiri, sebuah rantai yang justru mengkungkung kreatifitas-kreatifitas sebagai sumber kemajuan Islam. Mereka mencoba melepaskan aturan-aturan sebagai wujud kesadaran berilmu dan beramal. Kemudian lahirlah wacana Al-Qur’an edisi kritis. Salah satu wacana kontemporer sebagai obat perangsang lahirnya kesadaran berilmu dan beragama.

Wa Allahu A`lam bi al-shawab
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger