GANTI FONT BLOG INI!

Sekilas Biografi Abu Darda

Adalah seorang Hakim di daerah Syam pada masa pemerintahan Utsman Bin Affan. Nama lengkapnya adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais, seorang sahabat perawi hadist dari Anshar, dari kabilah Khajraj. Ia hapal al-Quran dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Dalam perang Uhud Rasulullah bersabda mengenai dirinya: “Prajurit berkuda paling baik adalah Uwaimir”. Beliau ini dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Salman Al-Farisi. Dia mengikuti semua peperangan yang terjadi setelah perang Uhud. Ia meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah dan Zaid bin Tsabit, sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah anaknya sendiri; Bilal, dan istrinya; Ummu Darda’. Hadits yang dia riwayatkan mencapai 179 hadits. Masruq berkata mengenainya: ”Aku mendapatkan ilmu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam pada enam orang, diantaranya dari Abu Darda“.

Uwaimir bin Malik al-Khazraji lebih dikenal dengan nama Abu Darda. Ia merupakan sahabat nabi yang zuhud; meninggalkan gemerlapnya kehidupan dunia. Mengenai zuhud-nya, beliau berkata; “Dulu saya seorang pedagang sebelum Islam datang. Ketika ajaran Islam datang dan (saya masuk Islam), saya mengkalaborasikan antara dagang dan ibadah. Tapi keduanya tidak dapat bersatu. Hingga akhirnya saya tinggalkan profesi dagang untuk intens beribadah.” Karena ucapannya itu, Al-Imam Al-Dahabi berkata; “Alangkah baiknya mengabungkan keduanya secara sungguh-sungguh. Memang kadang tidak semua mampu mensinergikan keduanya. Meskipun demikian hak-hak dalam keluarga juga tidak kalah penting dibandingnya”.

Sebenarnya Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekedar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya telah cukup sesuap nasi, sebatas untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, ada sekumpulan orang bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, di antara mereka mempertanyakan selimut. Salah seorang dari mereka berkata; “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda". Kata yang lain; “Tidak perlu!” Tetapi orang itu menolak saran yang telah diberikannya untuk tidak menanyakan selimut kepada Abu Darda.

Dia terus menuju kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda sedang berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda; “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa mengenakan selimut. Anda kemanakan kekayaan dan harta benda Anda?”

Abu Darda pun menjawab: “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap mendapatkan harta benda kami langsung antarkan ke sana. Seandainya masih ada yang tersisa di sini (berupa selimut), sudah tentu kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu amat sulit dan mendaki. Apalagi membawa barang-barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang-barang yang berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa". Kemudian Abu Darda bertanya; “Pahamkah Anda?” Orang itu menjawab: “Ya, saya mengerti.”

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Abu Darda diberi kehormatan menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak jabatan tersebut, sehingga menjadikan Khalifah Umar marah kepadanya. Kemudian Abu Darda berkata: “Jika Anda menghendaki saya pergi ke Syam untuk mengajarkan Al-Quran dan sunah Rasul kepada mereka, serta menegakkan shalat bersama-sama dengan mereka, maka dengan senang hati saya terima.” Rupanya Khalifah Umar menyetujui rencana tersebut, kemudian Abu Darda berangkat ke Damaskus.

Sesampainya di sana, ia mendapati masyarakat tengah terbuai kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat membuatnya sedih. Maka, diajaknya orang-orang itu untuk pergi ke masjid dan ia berpidato di hadapan mereka: “Wahai penduduk Damaskus! Kalian adalah saudaraku seagama, tetangga senegeri, dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damaskus! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyukai saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balasan apa-apa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan melebihi batas, namun tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai. Bangsa-bangsa sebelum kalian juga pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya beberapa saat harta yang mereka tumpuk habis terkikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan mewah yang mereka bangun runtuh menjadi kuburan. Hai penduduk Damaskus! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.) yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli peninggalan kaum ‘Ad itu dariku dengan harga dua dirham?”

Banyak orang yang menangis mendengarkan pidato itu, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi tempat-tempat berkumpulnya masyarakat Damaskus dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya ia menjawab. Jika bertemu dengan orang bodoh ia mengajarinya, dan jika melihat orang lalai ia pun mengingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan-kesempatan baik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Demikian sekelumit kisah tentang sahabat nabi yang mampu memberikan keteladanan tentang bagaimana menjalani keseimbangan hidup, antara duniawi dan ukhrawy. Dunia bersifat sementara sedangkan akhirat bersifat kekal abadi. Bagaimanapun juga untuk meraih kekekalan itu sudah barangtentu tidak mengorbankan hak-hak keluarga, masyarakat dan sebagainya yang bersifat dunia. Wallahu a’lam.

Disadur oleh; M. Nurul Ahsan, dari berbagai sumber.
 

Karya Ilmiah vs Karya Sastra

Cairo, 07/09/2010 – Meriah dan penuh tawa. Itulah kondisi kongkow asyr al-awakhir bulan Ramadlan yang diadakan FAS Mesir, malam ini. Kongkow yang berlangsung hampir 2 jam itu suasananya tampak begitu hidup. Memang biasanya banyak terdapat joke juga, tapi malam ini nuansanya terasa beda dan istimewa, karena pembicara adalah Ust. Muhammad Shofi, ketua FAS Mesir, pereode 2010 – 2011.

Nurul Ahsan yang bertindak sebagai moderator memberikan prolog dan menyampaikan kebingungannya atas makalah yang ditulis pembicara. Menurutnya, tulisan yang ada justeru identik dengan “cerpen”. “Tulisannya bagus, tapi saya rasa kita akan bingung; harus menggunakan kaca mata apa kita menilainya? Karena, menurut saya ini bukan karya ilmiah tapi karya sastra” tutur moderator dalam memberikan prolog.

Hampir 20 menit pembicara memberikan orasi dan menjelaskan kronologi tulisannya. Sesuai dengan apa yang ia sampaikan, ternyata beliau hanya ingin menyajikan tulisan dengan bentuk yang berbeda. “Ini kisah nyata yang saya kemas dengan bentuk yang berbeda. Tapi tulisan ini tetap karya ilmiah. Apalagi di dalamnya menggunakan Ihya Ulum al-Din karya Al-Ghazali sebagai referensi” kisahnya untuk menepis keraguan pembaca.

Setelah orasi selesai secara otomatis masuk dialog interaktif. Ada lima orang yang bersedia menanggapi, yakni; Abdullah Farid, Sholeh Taufiq, Fathullah Mannan, Shalihan Labib dan Agus Salim. Mereka semua sepakat bahwa tulisan yang ada ditangan mereka bagus, hanya timing yang kurang tepat.

Agus Salim, Pembina FAS Mesir menyarankan: “Seharusnya Pembicara membidik segala pernak-pernik Ramadlan dari aspek sejarahnya, semisal; siapa yang memulai maidat al-rahman (pemberian buka puasa massal) dan bagaimana Fanus (lampu khas hari-hari besar) itu ada, seperti yang ada dalam buku ini” terangnya, serambi menunjukkan sebuah buku lumayan tebal.

Setelah semua bentuk kritik dijawab oleh Pembicara, sebagai penutup Penasehat FAS Mesir Bapak Machmudi Muhsan, MA. memberikan penilaian dengan cara pandang berbeda dari mayoritas audient malam ini. Pasalnya: “Pada dasarnya semua jenis tulisan atau narasi adalah informasi, sedangkan tulisan ini juga masuk kategori tersebut. Jadi, tulisan ini tidak salah. Hanya system penilaian yang kita gunakan yang berbeda, jadi terkesan absurd disampaikan di sini”.

Barangkali semua sependapat bahwa menilai sesuatu itu harus melihat kapasitas obyek sebagai apa agar mampu memberikan penilaian yang tepat. Bagaimanapun juga, semua yang hadir mengapresiasi bahwa tulisan yang disajikan cukup bagus. Apalagi Pembicara kali ini Ketua FAS Mesir, Ustadz Muhammad Shafy, orang pertama yang mampu mengetengahkan tulisan bernuansa baru.

Reporter: Nurul Ahsan
 

Rukhsah Puasa dan Problematika Kontemporer

Cairo, 06/09/2010 – Kehidupan tidak akan lepas dari yang namanya problem sedangkan Islam selalu mencoba mengakomodir segala persoalan kehidupan untuk dipelajari, agar nantinya mampu menghadirkan sebuah solusi yang tepat. Barangkali itulah tema kongkow Ramadlan yang diagendakan FAS Mesir malam ini, bersama Sdr. Irhas Darojat dan Sdr. Sholehan Labib.

Hanya 15 menit yang digunakan penceramah pertama, Sdr. Irhas Darojat, dari total waktu 20 menit yang diberikan moderator, Sdr. Nur Ihsan Mabrur. Meskipun elaborasi yang disampaikan hanya 15 menit tapi materi yang disampaikan cukup memuaskan.

Materi yang disampaikan penceramah berkutat pada persoalan-persoalan klasik, sebagaimana yang telah banyak diuraikan dalam buku-buku tradisional pesantren. Menurutnya, ada 4 kriteria orang mendapatkan keringanan untuk tidak melakukan puasa di bulan Ramadlan. Pertama, musafir atau orang bepergian dengan memenuhi syarat-syaratnya. Kedua, orang sakit. Ketiga, usia lanjut. Keempat, wanita hamil atau sedang menyusui.

Sebelum masuk pada dialog interaktif, pembicara juga menyinggung hukum bolehnya mengambil rukhshah seorang atlit sepak bola maupun olah dan atlit-atlit lain, dengan mengacu pada fatwa Majma' Buhuts al-Islamiyyah, Mesir, dan ulama-ulama Eropa. "Namun fatwa ini ditentang oleh Syeikh Utsaimin, Saudi Arabia. Seharusnya para atlit mencari pekerjaan lain yang lebih layak. Tidak boleh melakukan rukhshah" kutipnya, dengan mengacu pada fatwa ulama wahabi, Saudi Arabia.

Pembicara kedua, Sdr. Sholehan Labib membicarakan seputar lailatul qadar. Karena menurutnya dalam ceramah kali ini tidak mempunyai persiapan samasekali, maka beliau hanya berharap, malam ini, dimana FAS Mesir tengah melakukan agendanya adalah malam lailatul qadar. "Inilah malam yang yang kita tunggu-tunggu" tuturnya.

Banyaknya pertanyaan persoalan-persoalan baru dari Agus Salim Lc. Nurul Ahsan, Nasir Abdillah dan Sholeh taufik menunjukkan bahwa audient begitu antusias mengikuti agenda ini. Kemudian, disamping pertanyaan dijawab oleh pembicara, dua Pembina FAS, Ust. Machmudi Muhshon MA. dan Ust. Aniq Munir Lc. juga memberikan beberapa tambahan mengenai problematika kontemporer yang dihadapi umat Islam saat ini. Acara berakhir khidmat dan ditutup dengan do'a.

Reporter: Nurul Ahsan.
 

Kontroversi Metodologi Rukyat dan Hisab

Fenomena menarik di Indonesia, menjelang bulan puasa maupun lebaran, yang hampir terjadi setiap tahunnya adalah kontroversi penentuan awal bulan Ramdlan dan Syawal. Kontroversi ini terjadi di beberapa organisasi keagamaan dan lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia. Untuk mengetahui masuknya awal bulan, ada beberapa organisasi di antara sekian banyak organisasi keagamaan bersikeras mengaplikasikan secara independen metodologi hisab maupun rukyat. Namun ada juga yang lebih memilih untuk melakukan kalaborasi antara keduanya.

Ternyata, dinamika keagamaan seperti ini sulit dikendalikan. Apalagi masing-masing dari mereka sama-sama merasa telah mengantongi legalitas agama dan merasa sebagai kelompok yang mampu mengimplementasikan firman Allah dan sabda rasul-Nya. Sebuah realita yang patut disayangkan; bagaimana mungkin dalam sebuah negara mempunyai begitu banyak otoritas dalam memberikan rekomendasi masuknya awal bulan Ramadlan maupun Syawal, sebagai tanda umat Islam mempunyai kewajiban berpuasa dan berhari raya.

Memang, sejauh ini, realita sosial masing-masing organisasi keagamaan masih mampu menunjukkan sikap toleransi, meskipun dalam tataran praktis di kalangan tertentu masih tetap terkontaminasi, sehingga perbedaan itu berpotensi menciptakan terjadinya sentimen keagamaan di luar paham kelompoknya. Inilah sebuah problem yang tentunya membutuhkan gagasan solutif agar semua pihak tidak terjebak pada pola berfikir particular dan parsial sehingga mampu menciptakan pola berfikir multidimensional dan komprehensif.

Legalisasi Metodologi Rukyah dan Hisab

Membicarakan metodologi rukyah --dalam konteks Indonesia-- tentunya tidak lepas dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU). Setiap menjelang bulan puasa dan hari raya, organisasi ini secara konsisten menggunakan metode rukyah sebagai skala prioritasnya, daripada metode hisab. Legalitas metodologi rukyah yang digunakan bertendensi pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 dan banyak Hadits yang secara eksplisit menggunakan redaksi “rukyah” dalam menentukan awal bulan awal puasa dan hari raya. Oleh karena itu –menurut mereka, dengan mengacu pada pendapat mayoritas ulama—hadits mengenai rukyah tersebut mempunyai kapasitas sebagai interpretasi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 tersebut di atas. Jika bentuk perintah pada redaksi Hadits sekaligus praktek yang dilakukan pada pereode nabi telah jelas menggunakan rukyah, mengapa harus menggunakan metode hisab?

Pada kesempatan lain, organisasi keagamaan semisal Muhammadiyah bersikeras menggunakan metodologi hisab dan meyakini bahwa metode ini sebagai metode paling relevan yang harus digunakan umat Islam dewasa ini. Argumen ini mengemuka salahsatunya mengacu pada aspek akurasi metodologis-nya. Menurut mereka polusi, pemanasan global dan keterbatasan kemampuan penglihatan manusia juga menyebabkan metode rukyah semakin jauh relevansinya untuk dijadikan acuan penentuan awal bulan.

Semangat al-Qur’an adalah menggunakan hisab, sebagaimana terdapat pada surat al-Rahman ayat 5. Di sana menegaskan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung dan diteliti. Kapasitas ayat ini bukan hanya bersifat informative, namun lebih dari itu, ia sebagai motifasi umat Islam untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan bulan.

Mengenai redaksi “syahida” dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 itu bukanlah “melihat” sebagai interpretasinya, namun ia bermakna “bersaksi”, meskipun dalam tataran praktis pesaksi samasekali tidak melihat visibilitas hilal (penampakan bulan).

Memang, banyak hadits secara eksplisit memerintahkan untuk melakukan rukyah, ketika hendak memasuki bulan Ramadlan maupun Syawal. Namun redaksi itu muncul disebabkan kondisi disiplin ilmu astronomi pereode nabi berbeda dengan pereode sekarang, dimana kajian astronomi sekarang jauh lebih sistematis sekaligus akurasinya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Nabi sendiri dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa: ”innâ ummatun ummiyyatun, lâ naktubu wa lâ nahsubu. Al-Syahru hâkadzâ wa hâkadzâ wa asyâra biyadihi”, Artinya: “Kita adalah umat yang ummi, tidak dapat menulis dan berhitung. Bulan itu seperti ini dan seperti ini, (nabi berisyarat dengan menggunakan tangannya)”. Jadi, mempriotiaskan metode hisab merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada pereode nabi.

Analisa, Solusi dan Penutup

Menurut hemat Penulis, metodologi hisab dan rukyah merupakan dua komponen yang mempunyai korelasi sangat erat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Rasanya tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya murni menggunakan metode rukyah. Sebab, meskipun telah dilengkapi dengan teknologi teleskop, ada banyak problematika yang harus dihadapi, semisal adanya polusi, pemanasan global dan kemampuan mata yang terbatas, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Begitu juga sebaliknya, tidak tepat jika dalam penentuan awal bulan hanya menggunakan metode hisab.

Alasan paling mendasar adalah fakta empiris metodologi ini bermula dari sebuah riset para astronom, sedangkan obyeknya adalah “melihat” peredaran matahari dan bulan. Memang, dipandang dari akurasi metodologisnya, hisab lebih unggul dibanding rukyah. Tingkat kesalahan metodologi hisab jauh lebih kecil dibanding metodologi rukyah. Namun, bagaimanapun juga hasil ilmiah apapun tidak akan pernah dapat dipertanggungjawabkan jika pada akhirnya tidak sesuai dengan fakta.

Telah jelas kontroversi metodologi hisab maupun rukyah --secara aplikatif-- merupakan persoalan furu’iyyat (hukum cabang). Tentunya perbedaan-perbedaan yang ada tidak perlu dibesar-besarkan. Namun, fenomena kontroversial itu tidak dapat dibiarkan bagitu saja, mengingat dampak yang timbul di arus bawah begitu signifikan. Pada dasarnya itsbat (keputusan) penetapan bulan ramadlan maupun syawal adalah hak preogratif pemerintah (Departemen Agama) secara otoritatif. Apalagi telah jelas, pemerintah selama ini mampu mengakomodir semua aspirasi organisasi keagamaan di Indonesia, dengan mengundang masing-masing delegasi untuk melakukan rukyat sekaligus hisab. Jadi, sama sekali tidak salah, jika mulai dari sekarang masing-masing organisasi mencoba untuk menghormati otoritas pemerintahan ini. Wallahu a’lam.

Written by: M. Nurul Ahsan
 

Kontroversi Metodologi Ru'yah dan Hisab

Cairo, 04/09/2010 - Suasana terasa begitu hening laksana padang pasir dimalam hari yang diterpah hembusan angin timur yang lembut. Demikianlah yang dirasakan audient FAS saat mendengarkan dan menghayati ceramah Ust. Nurul Ahsan pada agenda ihya' al asyr al awakhir min ramadlan malam kelima. Tanpa magic ataupun jampe - jampe, ustadz yang notabene merupakan personil dari departemen pendidikan FAS ini, mampu menyihir membuat tertegun diam semua peserta ceramah dan diskusi yang dilaksanakan di Hayy Sadis, Nasr City ini. Seperti biasanya waktu yang diberikan pada Penceramah hanya duapuluh menit. Saking antusiasnya peserta dalam menghayati kata demi kata Penceramah, target waktu yang diberikan seolah berlalu hanya dalam beberapa menit. Atas kebijaksanaan moderator yang pada kesempatan kali ini adalah Ust. Agus Salim yang juga Imam Jama'ah isya' dan tarawih, maka waktu ditambah kira-kira lima menit dari waktu yang biasa ditargetkan.


Memang tidak seperti biasanya, agenda pada malam hari ini dilaksanakan pukul 21.00 Clt. keterlambatan pelaksanaan kegiatan ini disebabkan karena tempat domisili Penceramah dan lokasi kegiatan relatif jauh. Belum lagi bus 3 jim, 24 jim, atau 80 coret yang biasa ia tumpangi tak kunjung datang menghampiri. Namun alhamdulillah dengan pertolongan Allah dan kesemangatan yang menggebu akhirnya Penceramah yang notabene aktifis ini hadir dilokasi pada pukul 20.45.
Dalam orasinya, Penceramah menjelaskan secara gamblang tentang kontroversi penetapan awal ramadlan atau ied al fitr beserta dalil-dalil dari kubu yang sering berseteru dalam pandangan mereka. Dari sisi lain Penceramah begitu prihatin tentang indikasi kontroversi ini pada masyarakat awwam. Akar permasalahan yang menyebabkan perbedaan pendapat menurut Penceramah adalah interpretasi yang berbeda pada hadits " shumu liru'yatihi wa afthiru liru'yatihi, fa in ghumma 'alaikum faqduru lah ", dalam riwayat lain " fa akmilu al 'iddah tsalatsin " , dan ada juga riwayat " fa akmilu 'iddata sya'ban tsalatsina yauman ". Sehingga salah satu kubu bertendensi bahwa penetapan awal ramadlan atau syawwal dengan ru'yah. Sementara kubu yang lain berpendapat bahwa penetapan awal ramadlan yang valid dizaman sekarang dengan menggunakan hisab. Menanggapi sanggahan dimasa nabi tidak ada hisab, kubu ini menjawab karena dimasa nabi belum begitu banyak orang yang bisa hitungan. Sedangkan dizaman sekarang ilmu astronomi begitu maju. Menganalisa argumen kubu yang kedua tentang belum majunya ilmu astronomi beberapa abad silam, Penasehat kedua FAS Ust. Ahmad Aniq Munir, Lc. memberikan pernyataan yang berbeda. Menurut ustadz yang asli dari Jepara ini, sesungguhnya bangsa Arab pada masa itu sudah maju ilmu astronominya.

Selain ceramah, ustadz yang berasal dari Blora ini, menulis makalah yang menarik. Makalah yang diberi judul "Kontroversi Metodologi Ru'yah dan Hisab" ini, mendapat apresiasi dari Penasehat pertama FAS Ust. Machmudi Muhshon, MA. Karena analisa yang ada dalam makalah ini tepat untuk diterapkan dimasa sekarang, kata penasehat yang sedang menyelesaikan program S3 ini. Esensi dari analisa penceramah adalah antara ru'yah dan hisab dalam konteks Indonesia harus seiring sejalan. Kalau memang hisab valid, maka harus dibuktikan kebenarannya dengan ru'yah, begitu pula sebaliknya.

Agenda acara kelihatan semarak walaupun tidak begitu banyak peserta, karena Sdr. Abdullah Farid, Sdr. Fathul Mannan, dan Sdr. M. Irhas Darojat turut memberikan pertanyaan yang menarik. Hadir pula pada kesempatan ini, simpatisan FAS. Sdr. Arief Choiruddin dan Sdr. Umam maba yang berasal dari Mranggen, Jateng. Dan alhamdulillah acara berjalan lancar dan selesai ditutup Sdr. Sholeh Taufiq.

Reporter: Sholeh Taufiq
 

Menelisik Hikmah Zakat Fitrah

Cairo, 03/09/2010 - Rasa peduli terhadap sesama dengan menyisihkan sebagian harta merupakan wujud keimanan kita terhadap Sang Maha Pemberi. Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah SAW. telah memerintahkan umatnya yang mampu dalam setiap tahunnya untuk mengeluarkan satu sho' bahan makanan pokok mereka kepada yang membutuhkannya. Rutinitas ibadah tahunan yang wajib bagi setiap individu ketika menjumpai akhir bulan Ramadan dan awal bulan Syawwal ini disebut zakat fitrah. Tema inilah yang diusung Ust. Afief Budi selaku penceramah pada malam keempat program al asyr al awakhir min ramadlan.


Dengan gaya penyampaian yang khas, sosok ustadz yang berdomisili dikawasan Imam Husain ini mampu membuat audient terkagum-kagum dengan ceramahnya. Point materi yang dipaparkan penceramah cukup simpel dan mengena, namun dikemas dengan apik dan menarik. Walaupun durasi waktu yang diberikan moderator Sdr. Abdullah Farid hanya 20 menit. Keterbatasan waktu yang diberikan moderator, tidak lain karena untuk mengefisienkan agenda ceramah yang dibalut dengan diskusi.


Selain menjelaskan siapa saja yang tertaklif kewajiban membayar zakat, serta ketentuan dan mekanisme pembagiannya, penceramah yang notabene merupakan pembina FAS dan mahasiswa tingkat akhir fakultas ushuluddin, universitas Al Azhar Mesir ini, juga mengulas beberapa hikmah membayar zakat fitrah. Diantara hikmah yang dijelaskan adalah wujud zakat fitrah merupakan pertolongan Allah SWT. pada umat islam. Dan yang tak kalah menarik dari hikmah pembayaran zakat fitrah menurut Penceramah adalah pembersihan noda yang melekat pada puasa yang telah kita lakukan sepanjang ramadan.

Agenda FAS yang dilaksanakan setelah tarawih berjama'ah ini, nampak hangat karena dihadiri dua Penasehat FAS Ust. Machmudi Muhshon, MA. dan Ust. Ahmad Aniq Munir, Lc. yang selalu setia menemani setiap kegiatan FAS. Hadir pula dalam kesempatan ini Ust. Yono Firmansyah, Lc. dan Ust. Agus Salim yang notabene Pembina organisasi yang dibangun para alumni pesantren Sarang yang melanjutkan studi di Mesir ini. Sementara selaku imam sholat isya, tarawih, witr, dan sekaligus imam do'a adalah Ust. Nur Ihsan Mabrur. Tidak ketinggalan pula dalam meramaikan suasana, hadir ditengah-tengah audient, seorang aktifis dari departemen pendidikan FAS. yang selalu kritis dan aktif dalam mengikuti setiap kegiatan FAS yakni Ust. Nurul Ahsan. Dan Insyaallah pada malam kelima dari agenda yang telah diprogramkan atau pada malam hari ini beliau yang bertugas ceramah dengan tema '' relevasi ru'yah dan hisab ''. Sepuluh menit sebelum acara berakhir Sdr. Muhammad Irhas Darojat memberikan pertanyaan tentang fenomena masisir dan kaitannya dengan zakat fitrah. Alhamdulillah acara berjalan lancar meskipun tak seramai pertemuan pertama.

Reporter: Sholeh Taufiq
 

Kriteria Menjalankan Puasa

Cairo, 02/09/2010 – Hari ketiga agenda FAS Mesir di bulan Ramadlan ini (asyr awakhir) berbeda dengan hari pertama. Di samping anggota yang ada relative sedikit, satu dari dua pembicara juga mengalami suatu halangan sehingga tidak dapat hadir sesuai agenda.

Seharusnya malam ini dihadiri dua pembicara handal; Sdr. Agus Salim dan Sdr. Shalihan Labib untuk memaparkan tema "Puasa dan Pengendalian Nafsu”. Meskipun demikian, ketidakhadiran pembicara kedua, Sdr. Shaleh Labib, tidak berdampak signifikan, hal itu terlihat jelas dari sikap antusias audient untuk melemparkan beberapa pertanyaan kepada pembicara.

Waktu 20 menit yang diberikan pihak moderator ternyata digunakan secara baik oleh pembicara untuk memaparkan makalahnya yang berjudul "Renungan Puasa. Kapasitas Puasa Sebagai Management Hati".


Menurutnya ada tiga tipologi dalam menjalankan puasa. Pertama: puasanya orang umum. Artinya; orang puasa yang hanya mampu menahan lapar, dahaga serta tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa dalam kacamata fiqh. Kedua: puasanya orang khusus. Orang yang mempunyai tipologi ini bukan hanya mampu menahan lapar, dahaga dan tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa, namun ia juga mampu mengendalikan mata, telinga, hidung, lisan, tangan, kaki dan birahi untuk melakukan hal-hal yang dilarang agama.

Tipologi ketiga atau bisa disebut sebagai puasa terbaik adalah puasanya orang khusus al-khusus. Artinya; orang yang bukan hanya memenuhi dua criteria di atas, namun di sisi lain ia juga mampu mengendalikan hati dari hasrat-hasrat duniawi yang bersifat negative dan menjerumuskan. "itulah level tertinggi dalam menjalankan puasa dan seharusnya kita masuk kategori ini" tambahnya.

Setelah dialog interaktif antara audient dan pembicara purna, moderator, M. Shaleh Taufik, memberikan kesempatan kepada dua Pembina, Bapak Mahmudi Muhshon MA. dan Bapak Aniq Munir Lc. untuk memberikan tanggapan, kritikan maupun ulasan lebih lanjut tentang tema yang diangkat, agar nantinya mampu memotifasi untuk lebih mampu memanfaatkan sebaik-baiknya moment penting sepuluh hari akhir (asr al-awakhir) bulan Ramadlan kali ini dan selanjutnya.

Reporter: Nurul Ahsan.
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger