GANTI FONT BLOG INI!

Kholqu Al-Qur’an; Fitnah yang Kejam

Memahami Fitnah Ini dari Sisi Pemikiran Muktazilah

“Perbedaan umatku adalah rahmat”
(Nabi Muhammad)

Prolog
Al-Qur’an adalah kitab suci yang harus disakralkan oleh seluruh umat Muslim. Sakral karena ia adalah kalam Allah. Pada era Nabi, fitnah besar yang muncul seputar Al-Qur’an hanya sebuah isu dari musuh-musuh Islam saja; bahwa Al-Quran adalah karya Muhammad, bukan Allah. Fitnah seperti ini ¬--yang juga lahir dari luar Islam-- adalah fitnah yang masih relatif wajar dan sangat mudah disanggah oleh sarjana-sarjana muslim secara ideologi maupun secara kajian ilmiah.

Kadangkala, fitnah yang lahir dari luar Islam tidak berakibat besar di dalam dinamika Islam sendiri, tetapi akan terlihat berbeda jika fitnah seputar Al-Qur’an itu lahir dari seorang muslim sendiri. Banyak sekali, dinamika perdebatan antar golongan Islam berujung kepada kekerasan, saling mengkafirkan dan akhirnya saling adu pedang. Dan fitnah kholqu Al-Qur’an adalah salah satu fitnah kejam itu. Fitnah yang sangat kejam karena memakan korban sarjana-sarjana muslim terkemuka.
Fitnah yang sangat kejam karena memakan korban sarjana-sarjana muslim terkemuka. Fitnah yang sudah tidak hanya berlatar ideologi, tetapi juga sudah masuk dalam ranah politik dan berlatar kekuasaan. Penulis berusaha memaparkan tulisan seputar fitnah ini --Kholqu Al-Qur’an-- insyaAllah, lebih banyak dari perspektif Muktazilah. Karena memang konflik ini bermula dan lebih banyak bersinggungan dengan golongan Muktazilah itu.

Awalmula Fitnah Muncul
Di suatu pagi, di hari raya Idul Adha, sesaat setelah khutbah Id, mendadak jama’ah sholat terkaget-kaget. Sang khatib menyuruh jama’ah untuk segera membubarkan diri masing-masing dan menyembelih kurbannya.

“Segeralah pulang dan sembelih kurban kalian. Di Idul Adha ini aku akan berkurban dengan menyembelih al-Ja’ad bin Dirham. Semoga kurban kita diterima oleh yang Maha Kuasa” ucap sang khatib itu.

Ucapan khatib ini terkesan aneh dan sadis sekali karena dia akan berkurban dengan manusia, bukan hewan seperti yang diperintahkan Tuhan dan Nabinya. Khalid bin Abdullah al-Qirsy, nama sang khatib itu, akan menyembelih al-Ja’ad bin Dirham sebagai kurbannya karena a-Ja’ad layak dibunuh dengan berkata bahwa Al-Qur’an adalah makhluq.

Memang, fitnah kholqu Al-Qur’an ini dimunculkan pertama kali oleh al-Ja’ad bin Dirham. Yang kemudian dibunuh secara sadis oleh Khalid bin Abdullah al-Qirsy . Pembunuhan ini tepat dilaksanakan di hari Idul Adha. Hari besar kurban. Seperti perkataan Khalid sendiri sesaat setelah khutbah sholat Idul Adha itu, bahwa membunuh al-Ja’ad di hari Idul Adha adalah layaknya al-Ja’ad sebagai hewan kurban.

Inilah awalmula konflik seputar fitnah kholqu Al-Qur’an ini muncul dan kemudian menjadi semacam ‘gejala penyakit’ yang mudah menyebar di kalangan muslim kala itu, hingga berlanjut lebih besar di era sesudahnya. Atau lebih tepatnya di era Khalifah al-Ma’mun.

Jika dilacak sanad munculnya asalmuasal pemikiran al-Ja’ad ini, sesuai apa yang ditulis Ibnu Astir di kitab tarikhnya, ialah sebagai berikut: di tahun 240, telat wafat Abu Abdullah Ahmad bin Duad. Dia termasuk dari golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq. Pemikiran ini diadopsi dari Bisyr al-Marisy. Kemudian Bisyr mengadopsi dari Jahm bin Shufyan. Dan Shufyan mengadopsi dari al-Ja’ad bin Dirham. Jika dirunut ke atas lagi, pemikiran ini muncul dari seorang yahudi bernama Lubaid bin al-A’shom yang, konon, diceritakan pernah menyihir Nabi Muhammad. Kemungkinan yang paling mendasar, pemikiran ini terinspirasi dari kitab Taurat. Jika Taurat adalah makhluq maka tidak ada bedanya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an juga tentu makhluq. Lubaid adalah termasuk salah seorang yang getol mengatakan bahwa Taurat adalah makhluq . Sampai di sini, jelas lah bahwa pemikiran kholqu Al-Qur’an diadopsi dari pemikiran-pemikiran yahudi yang mengatakan bahwa Taurat adalah makhluq dan hadist (baru).

Sebenarnya, di kala Harun al-Rasyid berkuasa sebagai khalifah, isu kholqu Al-Qur’an sudah dihembuskan oleh Bisyr al-Marisy secara diam-diam. Sebab pemahaman keagamaan di era ini masih didominasi oleh ulama-ulama hadist. Seperti jamak diketahui, bahwa ulama-ulama hadist lah yang sangat fundamental dan radikal menolak pemikiran ini. Menurut mereka, pemikiran ini sudah tidak bisa ditolerir lagi karena sudah merusak akidah dan layak dibunuh karena sudah kafir. Hingga khalifah Harun wafat, kemudian di masa penggantinya, khalifah al-Amin, isu ini tidak berkembang besar. Tetapi seperti tersebut di atas, isu ini menjadi besar dan berkembang liar di tampuk kekuasaan khalifah al-Ma’mun. Pemikiran ini berkembang besar, karena ditopang oleh Muktazilah. Muktazilah membuat pemikiran yang berbeda dengan ulama hadist dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq dan mukhdast dengan didasari dalil-dalil agama yang susah dibantah dan masuk akal. Rupanya, al-Makmun, khalifah yang sangat progesif pemikirannya ini, menjadi backing yang kuat atas pemikiran rasional Muktazilah ini. Hingga, konon, akibat pemikiran ini, al-Makmun juga dituduh telah membunuh ulama-ulama terkemuka yang berseberangan dengan pemikirannya. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu korban pemanggilan al-Makmun ke istana sang khalifah untuk dieksekusi. Berkat takdir Tuhan saja Ahmad bin Hanbal selamat dari eksekusi sang khalifah karena al-Makmun meninggal sebelum Ahmad bin Hanbal masih di tengah perjalanan menuju istana. Inilah sejarah sekilas kholqu Al-Qur’an kemudian menjadi fitnah yang sangat kejam.

Kholqu Al-Qur’an di Era Khalifah al-Ma’mun (218)
Di masa kekhalifahan al-Makmun, paham-paham keagamaan Muktazilah menemukan momentumnya. Di era ini lah masa keemasan pemikiran Muktazilah. Tentu, keaadaan ini tidak terlepas dari sosok sang khalifah itu sendiri. Al-Makmun mempunyai pemikiran-pemikiran yang sudah progessif sekali. Di zaman ini, al-Makmun mempunyai banyak proyek besar-besaran dengan menerjemahkan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab. Buku-buku filsafat Yunani, kedokteran dari India dan masih banyak lagi buku berbagai bidang keilmuan dari Negara lain diterjemahkan ke bahasa Arab. Dengan fenomena ini, akulturasi pemikiran ini menyebabkan pemahaman keagamaan ulama hadist dinilai cenderung texstual dan terbelakang, sehingga pemikiran-pemikiran mereka mulai terpinggirkan.

Selain itu, memang, di kala al-Makmun berkuasa, banyak sekali ulama hadist yang meriwayatkan hadist Nabi dengan serampangan; tanpa memperhatikan makna yang dikandungnya. Sehingga banyak hadist palsu yang bermunculan di zaman ini. Semisal hadist ghoroniq atau hadist bahwa Nabi pernah disihir oleh seorang Yahudi Madinah. Fitnah kholqu Al-Qur’an ini pun disinyalir lahir dari hadist Nabi dengan martabat hadist ahad . Untuk itulah sang khalifah al-Makmun menyerukan kepada ulama-ulama hadist agar tidak berdalil ria dengan hadist ahad atas masalah-masalah ushulu al-din (akidah) .

Karena masalah kholqu Al-Qur’an muncul atas dasar hadist ahad itulah, sehingga al-Makmun mengikuti paham pemikiran Muktazilah yang lebih rasional dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluq. Menurut al-Makmun, sudah saatnya orang Islam tidak disibukkan dengan hadist-hadist ahad untuk dijadikan pijakan sebuah akidah. Al-Makmun mengikuti pemahaman ini dengan menggunakan kekuasaannya sebagai khalifah untuk memaksa siapa saja mengikuti pemahaman ini. Ini dibuktikan al-Makmun dengan mengutus wakil khalifah, Ishaq bin Ibrahim, ke Baghdad untuk menyerukan kepada siapa saja yang berseberangan agar mengikuti dan menerima pemikiran ini. Tidak hanya mengikuti dan menerima, tetapi orang itu juga harus menunjukkan pengakuannya dengan jelas bahwa pemikiran ini adalah yang benar. Dan siapa saja yang menolak dan tetap bersikukuh mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah qodim, maka, jika ia pejabat Negara, harus dicopot dari jabatannya. Dan jika orang itu dari kalangan ulama, orang itu segera dibawa ke istana untuk diadili dan dieksekusi .

Imam Ahmad bin Hanbal, pembesar ulama hadist kala itu, salah satu orang yang dengan lantang menolak perintah sang khalifah . Ada tiga ulama terkemuka lain selain Imam Ahmad yang menolak perintah ini. Yaitu: Muhammad bin Nuh, Hasan bin Hammad dan Ubaidillah bin Amru al-Qowariri. Tetapi pada akhirnya Hasan bin Hammad dan Ubaidillah bin Amru menyerah dan menerima ‘pemaksaan intelektual’ ini dari sang khalifah itu. Akhirnya hanya Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Nuh saja yang dibawa ke istana. Tetapi ternyata, sang khalifah al-Makmun meninggal dunia sebelum kedua ‘tersangka’ ini sampai ke istana .

Ketika tampuk kekhalifahan beralih kepada al-Mu’tashim, mereka kembali lagi ke Baghdad. Di tengah perjalanan kembali ini, Muhammad bin Nuh menjumpai ajalnya. Imam Ahmad bin Hanbal ikut mensholati jenazah itu. Sesampainya di Baghdad, rupanya Imam Ahmad tidak juga lolos dari jerat tuduhan atas fitnah kholqu Al-Qur’an ini. Beliau dimasukkan di terali besi kurang lebih selama dua setengah tahun .

Sejak masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, sudah banyak sekali ulama-ulama hadist yang menggunakan hadist secara serampangan. Menggunakan dalil-dalil hadist ahad sebagai pijakan masalah akidah. Memang, khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mudah memperkenankan pengumpulan dan penulisan hadist-hadist Nabi. Barangkali karena terlalu mudah dan kurang pengawasan ini, hingga banyak bermunculan hadist-hadist palsu. Tetapi, sejak kepemimpinan khalifah al-Makmun, keadaan begitu berbeda karena sang khalifah telah dengan tegas melarang mempergunakan hadist dengan sembarangan tanpa mememperhatikan makna yang dikandungnya; apakah bertentangan dengan Al-Qur’an ataukah tidak. Sang khalifah juga dengan tegas melarang siapa saja yang menggunakan hadist ahad untuk permasalahan-permasalahan akidah seperti yang sudah disebut di atas.

Hal ini terbukti dengan permasalahan kholqu Al-Qur’an. Khalifah al-Makmun dengan terang-terangan mengaku mengikuti pemikiran Muktazilah dalam hal ini. Sebab, menurut sang khalifah itu, dalil yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah qodim didasari pada hadist ahad yang jelas-jelas ia tolak peggunaannya untuk dalil masalah-masalah akidah.

Hadist ahad itu ialah: "من قال ان القرأن مخلوق فقد كفر". Khalifah al-Makmun berpendapat bahwa; sangat tidak mungkin nabi berkata seperti itu, karena bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi sendiri. Sebab Allah berfirman: "انا انزلناه في ليلة القدر" dan"انا انزلناه قرأنا عربيا". Sesuai kaidah bahasa Arab, lafadz انزلنا digunakan dengan bermakna: “Menciptakan” (بمعني الخلق والايجاد). Makna ini juga sudah dipergunakan oleh Al-Qur’an sendiri, semisal dalam ayat: "وانزلنا الحديد". Ketika melihat analogi dari ayat ini, maka jelas bahwa besi adalah hadist (baru), tidak qodim karena ia keluar dan berasal dari bumi . Begitu juga dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah ciptaan Allah sesuai apa yang telah Allah dawuhkan sendiri. Diksi pencipataan Al-Qur’an itu, menurut al-Makmun, akan berimplikasi terhadap hadistnya Al-Qur’an. Dan hadistnya Al-Qur’an menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq.

Sejak pelarangan khalifah al-Makmun dan perintah untuk tidak menggunakan hadist ahad sebagai dalil akidah agama itu, maka lahirlah fitnah kejam ini. Banyak ulama hadist yang menolak perintah sang khalifah. Dan mereka sadar bahwa perintah itu datang dari pemimpin Negara. Pemimpin Negara yang harus ditaati dan dihormati sesuai perintah agama. Sesuai ayat Al-Qur’an surat an-Nisa’: "أطيعوا الله وأطبعوا الرسول وأولي الامر منكم". Ayat ini dengan jelas menjelaskan bahwa mentaati pemimpin Negara adalah wajib. Selain itu, perintah dari khalifah al-Makmun itu bukanlah termasuk perintah kepada kemaksiatan atau hal yang dilarang agama . Sehingga, dengan melihat ayat Al-Qur’an ini, ulama-ulama hadist yang tidak mengindahkan perintah khalifah itu terkesan ‘salah dan layak dihukum’ karena membangkang perintah sang khalifah.

Masih banyak lagi dalil-dalil yang bisa membenarkan khalifah al-Makmun dan bisa membebaskannya dari stigma negatif bahwa al-Makmun adalah khalifah yang lalim. Ironisnya, justeru dalil-dalil itu banyak ditemukan dan dijumpai di kitab-kitab ulama hadist itu sendiri. Yang jadi misteri adalah pertanyaan apakah sang khalifah memperlakukan ulama hadist itu didasari karena mereka berani berpendapat berbeda tentang masalah kholqu Al-Qur’an; dengan berkata bahwa Al-Qur’an adalah qodim? ataukan karena hal lain? Hal lain ini semisal; al-Makmun memperlakukan mereka itu dengan alasan agar periwayatan hadist nabi tidak serampangan dan agar tidak menggunakan hadist ahad sebagai dalil atas permasalahan ushulu al-din.

Di sisi lain juga dikisahkan bahwa, al-Makmun memperlakukan ulama-ulama hadist itu berdasarkan alasan yang terakhir di atas. Yakni agar dalam periwayatan hadist itu hendaknya melihat kandungan maknanya. Dan agar hadist ahad tidak digunakan sebagai dalil permasalahan akidah. Jika melihat alasan ini, tentu akan terlihat wajar dan mudah dimengerti dengan melihat sejarah; bahwa khalifah ke dua Islam, Umar bin Khattab, pun pernah melakukan hal yang sama; dengan melarang pembukuan hadist-hadist Nabi.

Setelah kepemimpinan al-Makmun berakhir dan di masa khalifah al-Mutawakkil ‘ala Allah berkuasa, muncul Imam Asy’ari sebagai madzhab ilmu kalam baru yang, konon, moderat. Karena Asy’ari adalah ‘mantan’ murid Imam Aly al-Juba’i, pembesar Muktazilah. Dan Asy’ari juga banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Tetapi dalam hal kholqu Al-Qur’an ini, tampaknya Imam Asy’ari lebih cenderung untuk mengikuti dan mengembangkan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Yakni bahwa Al-Qur’an adalah qodim.

Perdebatan Seputar Kholqu Al-Qur’an
Pertentangan-pertentangan masalah kholqu Al-Qur’an lebih didasari karena Al-Qur’an adalah kalam Allah. Jadi, perdebatan itu berpusat kepada pemaknaan dan pendefinisian arti kalam itu sendiri. Setiap pemaknaan dan pendefinisian golongan yang berbeda terhadap makna kalam, maka akan menghasilkan natijah yang berbeda pula. Selama ini, perbedaan masalah kholqu Al-Qur’an hanya menghasilkan dua pendapat saja; antara Al-Qur’an makhluq dan hadist atau bahwa Al-Qur’an adalah qodim. Masing-masing golongan itu mempunyai pendapat dan dalil-dalil yang tentu dianggap paling benar menurut mereka. Pendapat bahwa Al-Qur’an qodim ditegaskan oleh ulama-ulama hadist dan golongan Asy’ari. Sedangkan Muktazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluq dan hadist. Sebenarnya, bahwa Allah mempunyai sifat kalam, setiap golongan dalam Islam menyutujui dan mengamininya. Tetapi berbeda pendapat tentang bagaimana proses Allah berbicara (mutakalliman).

Menurut Ahlu hadist dan Asy’ari , kalam Allah adalah termasuk sifat nafsy dan azaly. Kalam Allah menunjukkan dalil atas madlulnya. Berarti, kalam Allah pun termasuk bagian dari Allah itu sendiri. Dan diri Allah mustahil hadist (baru). Jika melihat pendapat ini, maka memang akan terlihat fundamental dan akan radikal sekali terhadap golongan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah hadist. Menurut mereka, Al-Qur’an harus qodim. Karena memang, efek jika Allah hadist sangat berbahaya dan akan menyebabkan hilangnya iman seseorang, alias kafir. Hadisnya Allah akan berakibat butuhnya Allah terhadap pencipta yang lain. Dan ini akan menghilangkan konsistensi Allah sebagai tuhan pencipta atas segala sesuatu yang ada. Makna sebagai tuhan akan hilang jika Allah hadist. Maka tidak heran, jika sampai terjadi pembunuhan akibat statement bahwa Al-Qur’an adalah makhluq dan hadist. Karena orang itu sudah dianggap murtad. Dalam agama, memang murtad layak dibunuh.

Pendapat ini sebenarnya dipopulerkan oleh Abdullah bin Sa’id bin Kullab yang kemudian diadopsi oleh Asy’ari. Implikasi dari pendapat ini adalah, jika kalam Allah adalah sifat nafsy maka kalam Allah tidak mengandung huruf-huruf, bahkan kalam Allah tidak akan bisa didengar. Maka dalam menafsiri ayat Allah; "يسمعون كلام الله" mereka menta’wil; bahwa yang dimaksud “mendengarkan” dalam ayat itu adalah: “Memahami”. Jadi, jika melihat pendapat Asy’ary ini, kalam Allah hanya berupa makna-makna saja, tidak mengandung lafadz-lafadz. Keterkandungan kalam Allah dengan lafadz-lafadz hanya metafora (majaz) belaka. Lalu, jika demikian, bagaimana Allah memahamkan manusia dengan kalam-kalamnya? Dengan pertanyaan ini, maka pendapat Asy’ari akan terlihat kelemahannya. Memang, al-Baqilani sudah menjawab pertanyaan itu; bahwa untuk memahamkan manusia terhadap kalam-kalam Allah, Allah menciptakan ilmu linuwih (ilmu dhoruri) kepada hambanya itu. Semisal; Allah memerintahkan (dengan berbicara) kepada malaikat Jibril untuk menjalankan tugas tertentu, maka Allah menciptakan ‘intuisi’ kepada Jibril bahwa apa yang diperintahkan itu memang dari Allah . Agar Jibril paham bahwa perintah itu memang benar-benar datang dari Allah. Kelemahan pendapat Asy’ari itu ialah; bahwa akhirnya Allah pun menciptakan sesuatu yang baru (hadist) agar hambanya memahami kalam Allah tersebut. Yaitu, Allah menciptakan ilmu dharuri kepada hambanya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Muktazilah.

Seiring berjalannya waktu, pendapat Asy’ari ini memang terlihat banyak kelemahan-kelemahannya, bahkan menurut penganut Asy’ari sendiri (Asy’ariyyin) . Menurut Asy’ariyyin, kalam Allah mengandung makna dan juga lafadz-lafadz, tentu kalam Allah juga bisa didengar. Selain mempunyai kalam nafsy, kalam Allah juga bisa berupa lafadz yang juga bisa didengar. Pendapat ini yang kemudian dipilih oleh Imam al-Juwaini dan Fakhruddin al-Razi. Dan tentu, pendapat ini tidak langsung berkesimpulan bahwa kalam Allah adalah makhluq. Al-Qur’an tetap qodim menurut mereka.

Sedangkan menurut Muktazilah, Al-Qur’an adalah makhluq dan hadist (baru). Muktzilah memberikan pendapat yang sangat indah dan rasional. Pendapat Muktazilah ini tentu menambah hazanah keilmuan pemahaman tentang Islam. Lebih tepatnya pemahaman akidah tentang sifat-sifat Allah. Dan pendapat berbeda Muktazilah ini, didasari oleh definisi dari kalam Allah yang juga berbeda.

Kalam, menurut Muktazilah adalah; redaksi tertentu yang timbul dari susunan huruf-huruf, dan bisa dipahami serta bisa didengar. Untuk itu, suara burung, misalnya, tidak bisa disebut kalam karena meskipun, mungkin, kicauan burung itu tersusun dari huruf-huruf, tetapi tidak bisa dipahami .

Logika berpikir Muktazilah tentang hadistnya kalam Allah ini sangat ilmiah dan rasional sekali; Jika seseorang bilang, misalnya; “berilah aku air, karena aku haus”, sebelum orang mengucapkan lafadz itu, di dalam hatinya sudah ada ‘kehendak’. Dan kehendak ini lah yang tidak berubah seiring berbedanya tempat dan berjalannya waktu. Berbeda dengan lafadz ucapan orang tersebut; akan berubah-rubah menurut berbedanya tempat dan bergulirnya waktu . Dalil lafadz itu berbeda dengan madlul kehendak seseorang tersebut. ‘Kehendak’ tersebut lalu kemudian dianalogikan dengan kalam nafsynya Allah.

Sebenarnya, Muktazilah mengamini juga bahwa Allah mempunyai kalam nafsy. Dan kalam nafsy ini juga tidak mengandung lafadz-lafadz dan tidak bisa didengar. Kalam nafsynya Allah juga qodim. Tetapi, manusia adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan manusia lain. Manusia selamanya akan selalu membutuhkan satu sama lain. Karena saling membutuhkan satu sama lain itu, manusia membutuhkan media untuk berkomunikasi untuk saling memahami dan berinteraksi. Sebernarnya ada media lain untuk komunikasi itu, seperti bahasa isyarat atau tulis menulis, misalnya. Tetapi, mungkin, media itu cukup rumit untuk manusia agar saling memahami. Maka dibutuhkan media lain untuk menunjang komunikasi itu. Dan media itu disebut; Kalam. Manusia butuh pembicaraan untuk mengexpresikan dan mengungkapkan ‘kehendak’ dalam hatinya itu.

Allah pun juga begitu, butuh media untuk memahamkan manusia atas kehendak-kehendaknya. Allah harus berbicara agar manusia paham perintah dan larangannya. Allah berbicara dengan bahasa manusia pula. Tidak mungkin manusia akan paham kalam Allah itu, jika Allah hanya mempunyai kalam nafsy saja. Dan lagi, kalam Allah tidak selamanya azaly. Jika kalam Allah selamanya azaly, maka Allah sewaktu berbicara, dulu, tidak disertai lawan bicara. Ini tentu tidak mungkin dan irasional, karena Allah layaknya orang gila yang berbicara sendiri. Karena di zaman azaly itu, lawan bicara Allah yang sudah disebut dalam Al-Qur’an, Musa misalnya, belum tercipta . Lalu, karena Allah harus berbicara itu, Allah menciptakan media berupa jism yang mampu berbicara dan bisa didengar agar pembicaraan Allah --baik cerita-cerita, perintah-perintah dan larangan-larangannya-- bisa dipahami dan dimengerti manusia. Tentu, Allah sangat mampu untuk menciptakan media tersebut. Allah maha kuasa. Pembicaraan yang diciptakan Allah itu tentu berupa suara yang tersusun dari huruf-huruf sehingga mudah dipaham manusia. Buktinya adalah, jika Allah berkehendak menciptakan sesuatu, Allah akan berbicara "كن" , lalu terciptalah sesuatu tersebut. Dari "كن" tersebut, terlihat jelas bahwa kalam Allah tersusun dari huruf-huruf; kaf dan nun. Inilah, menurut Muktazilah, yang dimaksud dengan Allah berbicara (mutakalliman). Jadi Al-Quran, menurut Muktazilah, adalah makhluq dan hadist (baru) karena kalam Allah juga hadist tanpa menjadikan Allah juga hadist. Allah adalah qodim, maha pencipta dan tidak diciptakan.

Epilog
Melihat perdebatan-perdebatan antara Ahlu hadist dan Asy’ari dengan Muktazilah di atas, pertentangan masalah kholqu Al-Qur’an ini semestinya tidak berujung kepada kekerasan dengan tumpahnya darah seseorang atau pemaksaan intelektual. Dalil-dalil keduanya pun bisa dipertanggungjawabkan --baik secara ilmiah dan rasionalitas--. Kecuali pendapat golongan Karomiyah yang memang mengatakan bahwa dzat Allah tersusun dari sesuatu yang hadist yaitu kalam Allah itu. Tetapi, saat ini, kaum muslim harus menghindari adu pedang sesama muslim lainnya meski berbeda pemikiran dan argumentasi. Sesama muslim hendaknya hidup damai saling berdampingan. Sejarah sudah membuktikan bahwa pertumpahan darah antara sesama muslim sendiri adalah penyebab dominan Islam mengalami degradasi segala lini saat ini.
Allahu A’lam

Oleh: H. Abdullah Mubarok
Share this article :
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger