GANTI FONT BLOG INI!

Dinamika Otentitas Nasikh-Mansukh Dalam Syari`at Islam

Oleh: Moch. Noor Yusuf el-Ba'alawy

Prolog

Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa keberadaan al-Quran bukan hanya sebagai kitab keagamaan, sejarah atau budaya saja, selain sebagai mukjizat Islam ia juga memiliki kedudukan primer, sakaligus sentral bagi inspirator tasyri' samawi dalam menata kehidupan, pemikiran dan kebudayaan umat islam tentunya, mukjizatnya selalu di perkuat oleh modernisasi, semakin maju ilmu pengetahuan, maka akan semakin tampak pula validitas kemu'jizatannya. Keberadaannya juga sebagai manba' dan konsep dalam pengetahuan isi kandungan al-Quran. Sedangkan tasyri' samawi diturunkan pada rasul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan muamalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan, karena ditegakkan atas tauhid ulûhiyyah dan rubûbiyyah, maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu semuanya sama.
Mengenai bidang ibadah dan muamalah, maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama persaudaraan. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri' pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri' pada periode yang lain. Tetapi tidak di ragukan lagi bahwa pembuat syariat (Musyarri'), yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang hanya milik-Nya.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri' dengan tasyri' lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.


Pengertian Nasikh dan Mansukh

Dalam etimologi lafadz nâsikh mempunyai beberapa arti, antara lain: penghapusan, (al-izâlah), pemindahan (al-naql), penggantian (al-tabdîl), dan penyalinan (al-tahwîl) . Sesuatu yang menghapus, memindah, mengganti dan menyalin, dinamai nasikh. Sedangkan yang dihapus, dipindah, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Sedangkan nasikh menurut terminologi terdapat definisi yang berbeda-beda, walaupun demikian, keberadaannya dapat di kompromikan pada sebuah definisi yang tidak jauh dari perbedaan itu. Yaitu: "Terangkatnya (terhapusnya) hukum suatu dalil dengan dalil syariat".
Sedangkan menurut Muhammad Shabih, naskh dalam terminologi mempunyai dua definisi:
1. Pembatalan hukum syara' yang di ambil dari teks lama dengan dalil hukum (nash) syara' yang kemudian:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, ألافزورها. (رواه الحاكم)
Maka dalil yang pertama menunjukkan larangan ziarah, sedangkan dalil yang ke dua menunjukkan terangkatnya hukum larangan tersebut, dan dalil kedua setatusnya menempati hukum ibâhah dan sunat.
2. Menghapuskan keumuman nash yang dahulu atau menjelaskan nash yang masih samar;
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء. ( البقرة : 228)
اذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها ( الأحزاب : 49)
Maka dalil yang pertama menunjukkan keumuman nash, (sebelum dan setelah di setubuhi). Sedangkan dalil yang ke dua menunjukkan husus, (hanya tertuju pada istri yang belum di setubuhi).
Sedangkan kata nasikh (yang menghapus) dapat di artikan dengan "Allah",
seperti pada ayat: او ننسها......(البقرة : 106) اية من ماننسخ
Dan juga dapat di artikan pula dengan "hukum yang menghapuskan hukum lain".
Dan mansûkh adalah hukum yang di angkat atau di hapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansûkh).
Bahkan diantara mereka ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain pula, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.
Dari perbedaan pengertian naskh di atas dapat di simpulkan bahwa para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat al-Quran yag ditetapkan terakhir. Karena telah disepakati bahwa syarat kontradiksi antara lain adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau bahkan menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu: (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.


Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketepatannya

Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan :
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh mengandung konsep al-badâ', yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka adalah naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah, dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak, ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan, dan ini juga mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah di ketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah terebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hukum menuju hukum lain adalah karena suatu maslahat yang telah di ketahui-Nya jauh sebelumnya itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolute terhadap segala milik-Nya.
padahal orang yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan syariat sebelumnya, dan didalam nash-nash taurat juga terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil yang semula di halalkan.
Dalam hal ini, Ibn Katsir juga membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan berdalih, -- tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat,-- menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.”
2. Orang Syiah Râfidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya, dengan memandang konsep al-badâ' sebagai sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. secara dusta dan palsu. Dan juga dengan firman Allah:يمح الله ما يشاء ويثبت (الرعد : 39) "Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki)". (al-Ra'd:13) , oleh mereka diartikan “Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan”.
Pemahaman demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap al-Quran, sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Hal demikian ini tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Ia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
3. Abu Muslim al-Asfihani. Menurutnya, secara logika naskh memang dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara'. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Quran untuk menghindari distorsi pemahaman mengenai kemurnian al-Quran, maka makna nasikh perlu ditinjau ulang. Dia memberikan definisi, bahwa nasikh-mansukh tiada lain hanyalah persoalan “am dan khas”, atau bisa diartikan sebagai proses meng ”update” pemaknanaan, sehinga sebenarnya tidak ada yang hilang komponennya, yg ada hanyalah peningkatan (upgrade) atau kualitas makna, berdasarkan:
لا يأ تيه الباطل من بين يد يه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد (فصلت : 42)
"yang tidak datang kepadanya (Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang di turunkan dari sisi Tuhan yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji." (Fussilat; 41), dengan pengertian bahwa hukum-hukum Quran tidak akan di batalkan untuk selamanya, dan mengenai ayat-ayat tentang naskh semuanya ia takhsiskan. Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat di terima, karena makna ayat tersebut adalah, bahwa Quran tidak di dahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4. Jumhur ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah sesuatu hal yang dapat diterima akal dan juga terjadi dalam hukum-hukum syara', berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.

Pembagian Naskh

Naskh terbagi atas empat bagian:
Pertama, naskh Quran dengan Quran, bagian ini di sepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh, seperti ayat yang menjelaskan tentag iddah empat bulan sepuluh hari.
Kedua, naskh Quran dengan Sunnah, dan naskh ini juga terbagi atas dua macam:
1. Naskh Quran dengan hadis âhâd. Ulama jumhur berpendapat, Quran tidak boleh di naskh oleh hadist ahad, sebab Quran adalah mutawâtir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zannî bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma'lum (jelas di ketahui) dengan yang maznûn (di duga).
2. Naskh Quran dengan hadis mutawatir. Naskh demikian di bolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
Ketiga, naskh Sunnah dengan Quran, seperti yang di sepakati oleh jumhur ulama. Sebagai contoh yaitu tentang masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan dengan sunnah, seruan puasa pada hari 'Asyura, yang keduanya ini di tetapkan berdasarkan sunnah dan di naskh oleh Quran.
Keempat, naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: (a) naskh mutawatir dengan mutawatir; (b) naskh âhâd dengan âhâd; (c) naskh âhâd dengan mutawatir; (d) naskh mutawatir dengan âhâd. Tiga bentuk pertama di bolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Quran dengan hadits ahad yang tidak di perbolehkan oleh jumhur ulama.
Dari sisi lain, sebagian ulama membagi naskh menjadi tiga bagian:
a. Naskh tentang seruan sebelum terlaksanakan, dan bagian ini termasuk arti sebenanrnya tentang naskh, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. menyembelih anaknya. Dan juga seperti firman Allah:
اذا ناجيتم الرسول فقدموابين يدي نجواكم صدقة. (المجادلة : 12)
kemudian di naskh dengan ayat: أأشفقتم ان تقدموابين يدي نجواكم صدقات. (المجادلة : 13 )
b. Naskh tajawwuz, "syariat yang telah di wajibkan pada umat terdahulu", seperti kewajiban qishas, dan diyat, begitu juga seruan pada perkara yang bersifat umum, yang kemudian di naskh, seperti naskh perintah menghadap Baitil Maqdis dengan perintah menghadap Ka'bah, dan seperti naskh puasa 'Asyura dengan puasa Ramadhan.
c. Seruan karena ada sebab yang kemudian sebab itu hilang. Seperti perintah sabar dan berpaling dari peperangan, yang kemudian di naskh dengan seruan perang.

Macam-macam Naskh

Naskh dalam al-Quran ada tiga macam:
Pertama, naskh tilâwah dan hukum. Maka karena itu tidak boleh membaca dan mengamalkannya, karena telah dinaskh secara keseluruhan, seperti ayat penyebab muhrim dengan sepuluh susuan.
Kedua, naskh tilawah, sedang hukumnya tetap. Untuk kedua macam naskh ini keberadaannya sangat sedikit, karena Allah menurunkan al-Quran agar manusia mendapat pahala dengan membacanya dan dengan menselerasikan hukum-hukumnya.
Ketiga, naskh hukum, sedang bacaannya masih.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat dikalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam al-Quran.
Para pendukung naskh juga mengemukakan beberapa argumennya, yang di antaranya keberadaan bukti-bukti yang menunjukkan tentang kenabian Muhammad, secara otomatis kenabiannya telah menaskh syariat-ayariat sebelumnya. Bagaimana mungkin kita menetapkan syariatnya tanpa menghapus syariat sebelumnya. Argumen lain berupa ayat al-Baqarah: 106,
Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Hikmah Naskh

1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

Epilog

Nasikh adalah perbuatan Allah yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti Dia sewenang-wenang dan menganiaya, akan tetapi semua hukum dan perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan pengetahuan, terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib untuk menguji loyalitas seorang hamba. Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi Muhammad saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan. Dan pemahaman semacam ini tentunya akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Apakah mustahil jika Dia memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Suatu maslahat dan hikmah akan berbeda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba lain, dan terkadang hukum yang lain pada waktu dan kondisi yang lain pula adalah lebih bermaslahat, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Share this article :
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger