GANTI FONT BLOG INI!

Qadla dan Qadar

Cairo, FAS Mesir 23/10/2010 - Qadla dan qadar merupakan persoalan pelik dan menjadi perdebatan panjang di antara para theolog dan filsuf. Untuk memetakan keduanya terjadi "perang dingin" hingga hal itu tampak tidak sehat lagi. Sebab, perdebatan itu tidak murni menjadi perdebatan intelektual, tapi merambah pada sektor politik.

Kedua tema itu pada sore kali ini dipaparkan secara lugas oleh dua presentator M. Nur Ihsan Mabrur dan Zainal Mustaqin, pada diskusi dwi mingguan FAS Mesir, dengan tema "qadla dan qadar" yang dimoderatori oleh rekan Yono Firmansyah. Karena agenda ini mengalami benturan dengan acara Bahsul Masail Waqi'iyyah PCI NU Mesir, maka agenda yang seharusnya dilaksanakan pada hari rabu (20/10) harus rela di undur beberapa hari setelahnya.

Pada kesempatan pertama rekan Nur Ihsan Mabrur memaparkan klasifikasi qadla dan qadar menjadi dua; mubram dan mu'allaq, sekaligus memberikan contoh riil. Menurutnya --sesuai referensi yang ada-- kematian merupakan realita qadla-qadar kategori mubram, dimana terjadinya tidak dapat ditawar, sedangkan rizqi masuk katerogi mu'allaq, dimana keberadaannya mampu diupayakan manusia.

Pada kesempatan lain rekan Zainal Mustaqim mendeskripsikan qadla-qadar dengan menghadirkan banyak tendensi dari al-Qur'an dan al-Hadis. Menurutnya, mempercayai (baca; iman) qadla-qadar merupakan salahsatu dari rukun iman, dan keduanya terklasifikasi menjadi empat bagian. Pertama; al-ilm (pengetahuan), kedua; al-kitabah (penulisan), ketiga; al-masyiah (kehendak) dan ke empat; al-khalq (penciptaan).

Sesaat setelah elaborasi keduanya terpaparkan, rekan Agus Salim melemparkan pertanyaan pada sesi dialog. Di antara pertanyaannya adalah; bagaimana memetakan mana qadla-qadar mu'allaq dan mana yang mubram?. hal itu mengemuka disebabkan para pakar teologi terjadi perbedaan signifikan.

Setelah beberapa pertanyaan dijawab secara lugas oleh kedua presentator, rekan Nurul Ahsan melemparkan pertanyaan mengenai korelasi qadla-qadar dan teori kausalitas (hukum sebab akibat) dikaitkan dengan kondisi dekadensi peradaban Islam sekian abad lamanya. Sepontan, wacana yang diberikan rekan Nurul Ahsan ini mendapat kritik tajam dari beberapa peserta semisal Agus Salim, Muhammad Shafi, Anik Munir sekaligus presentatornya.

Menurut Agus Salim, Lc., tidak tepat jika dekadensi peradaban Islam selalu mengkambinghitamkan teologi sedangkan persoalan umat Islam bukan hanya berkutat pada aspek teologisnya saja. "Jepang yang tidak mengenal teologi saja tetap bisa membangun peradaban" celetuknya.

Muhammad Shafi mempunyai kritik lain. Menurutnya yang bertanggungjawab terjadinya dekadensi peradaban Islam bukan hanya para teolog, tapi banyak faktor lain, salahsatunya para pakar hukum Islam (fuqaha). Kemudian rekan Anik Munir, Lc. memberikan kritik lebih spesifik lagi dengan mengacu pada historikalnya, bahwa dekadensi timbul justru disebabkan kekalahan perang dan intregitas umat Islam telah terkikis di mana-mana.

Meskipun kesempatan diskusi hampir mencapai batas akhir, rekan Nurul Ahsan masih diberi kesempatan moderator untuk memberikan counter pada beberapa kritik yang masuk. Ia sepakat bahwa teologi bukan satu-satunya problem terjadinya dekadensi, namun lebih tepatnya problem itu mendominasi. Kemudia ia menambahkan ketidaksepakatannya dengan apa yang dipaparkan rekan Anik Munir, Lc. "Jika menggunakan pendekatan mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) seakan-akan semua persoalan selesai dengan adanya persatuan dan kemenangan strategi perang. Uni Soviet juga mengalami hal sama, namun disana tetap dapat membangun peradaban maju" tambahnya.

Pada dasarnya, antusias audien masih terlihat begitu jelas. Namun, karena waktu saat itu menunjukkan pukul 15.30 maka diskusi terpaksa dihentikan moderator dan waktu diserahkan kepada Pembina I, Ust. Mahmudi Muhshon, MA. "Berbicara qadla-qadar merupakan persoalan pelik berabad-abad lamanya. Analogi diskursus teologi adalah manusia melihat matahari dengan mata telanjang. Boleh jadi awalnya mata mampu melihat tapi tidak untuk selanjutnya. Demikian juga diskursus teologi, semakin kita berdebat tentangnya maka persoalan yang ada akan semakin rumit dan njelimet" terangnya, dengan mengacu pada cerita Imam Abu Hanifah dengan salahseorang muridnya.

Reporter: Nurul Ahsan
Share this article :
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger