Semenjak petama kali turun AL-Qur`an berbicara kepada manusia dengan bahasa yang langsung terhubung ke dalam wawasan naluri (fithroh), “iqro` bismi robbik”. Ini sebuah potret jelas, bahwa pengenalan terhadap Allah swt adalah sebuah wawasan yang sangat mendasar yang terdapat dalam diri setiap insan, bahkan sebelum datangnya informasi wahyu verbal (kitab suci) dari Allah swt, ketika Allah ta`ala mempersaksikan: “alastu bi robbikum?”, jawaban setiap bani adam adalah’’ bala syahidna’’. Dan lebih dari itu Al –Qur`an juga menegaskan bahwa kandungan fithrah manusia ini bukan hanya terbatas pada pengenalan akan tuhannya, tetapi juga mencakup naluri untuk tulus mengabdi kepadanya:’’ fa Aqim wajhaka li al-dini hanifan fithrata lladzi fathara al-nasa alayha la tabdila li khalqillah dzalika dinul qoyyim (QS arum). Oleh karena itulah Allah kemudian mengutus seorang Rasul dan membekalinya sebuah kitab suci guna mengarahkan manusia untuk kembali kepada fithrah tauhid dalam pengabdian kepada Allah swt serta melengkapinya dengan panduan syariat sebagai pedoman teknis dalam menjalani kehidupan dunia.
Aqidah tauhid dalam pengabdian (tauhid uluhiyyah) ini merupakan seruan yang pertamakali di tekankan oleh islam dalam setiap dakwahnya, yang kemudian di iringi dengan Aqidah kerasulan Nabi Muhammad saw. serta keimanan akan kebangkitan dan kehidupan kembali di hari akhir dan juga Qadha` Qadar. Tauhid dalam mengabdi berarti menempatkan puncak kecintaan dan penghambaan kepada Allah swt semata. Sedangkan syirik pengabdian adalah mensekutakan Allah swt dengan pihak lainnya yang tentu saja sangat tidak layak dalam kecintaan dan pengabdian inilah subtansi paling esensial yang membedakan manusia beriman dengan orang dzalim. dan di samping itu parameter utama yang akan menentukan kesejatian seorang hamba dalam mencintai dan mengabdi kepada Allah swt (sekaligus penentu batasan iman dan kufur) adalah tingkat ketaan terhadap segala aturan agama Allah swt yang di sampaikan melalui lisan utusanya. Dua hal ini (tauhid dan ketaatan) yang merupakan isi dari kalimah syahadah dalam islam. Sebelum mendefinisikan Qadha` Qadar pemakalah akan menyingung sedikit akar permasalahan dalam konsep- konsep kalam.
Akar Permasalahan Dalam Konsep-Konsep Kalam
Permasalahan-permasalahan ilmu kalam (khususnya di kalangan mu`tazilah dan Asy`ariyyah) yang nantinya banyak pengaruh dalam masalah tentang shifat wa af`al (sifat dan perbuatan Allah), taqdir dan af’al al ibad hakikat keimanan, serta tentang kriteria baik buruk , juga datangnya wahyu atau rasul. Dalam masalah takdir, teologi Asy ariyyah secara subtansial tidak begitu berbeda dengan teologi jabariyah yang menafikan kemampuan hamba untuk berbuat sebelum ia berbuat. Asy` ariyyah mengajukan konsep ‘kasb’ yang memberikan arti ‘’keinginan’’ pada hamba. Akan tetapi itu adalah keinginan yang tidak punya pengaruh (ta`tsir). Lalu mengenai keimanan , teologi pada intinya Asy ariyyah tidak berbeda dengan teologi murjiah yang hanya membatasi pengertian iman sebagai kepercayaan dalam hati meskipun Asy’ariyyah juga mendukung pandangan jumhur ahlul hadist dalam persoalan istisna’ mengatakan ”saya insya Allah beriman”. sementara itu , mu`tazilah dalam persoalan takdir adalah Qodariyyah lantaran menafikan adanya ketentuan takdir Allah swt dengan alasan Allah swt tidak mungkin menginginkan dan menciptakan hal-hal yang buruk kalau pendapat Ahlus sunnah wal- jamaah ada pokok –pokok agama yang sudah di sepakati termasuk menetapkan kenyataan atau ilmu-ilmu, baik ilmu umum atau khusus, mengetahui pencipta alam (shoniul alam), mengetahui asma - asma` Allah atau sifat-sifat nya, mengetahui adilnya Allah, mengetahui para rasul atau para nabi, mengetahui mu`jizat para nabi atau karomah para wali, mengetahui perkara yang sudah di sepakati umat dalam syariat islam, mengetahui perintah Allah atau larangan Allah, mengetahui tentang khilafah atau imamah, mengetahui hukm-hukum iman atau islam secara mujmal. sedangkan mu`tazilah bersebrangan dengan Ahlu sunnah waljamaah yaitu menafikan shifat-shifat azali termasuk sifat Qudrah,ilmu, hayah,dan ru`yah. selanjut nya pemakalah kan mendefinisikan Qodho` dan Qodar di bawah ini.
Definisi
Qodho` dalam bahasa adalah: hukum atau keputusan, kekuatan, kemampuan. Adapun Kata Qadar berati ukuran (miqdar), dan tadir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau mencipatakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha’ berarti memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib. Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah Swt telah mencipatakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat terealisasi di dalam rangkaian sebab-sebab. dan Qodho` menurut abu Qosim al-hakim Al-tirmizdi yaitu: jelasnya rahasia Allah yang ada di lauh Al mahfudz sedangkan Qodar adalah rahasia Allah. Sedangkan yang dimaksud Qadha’ Ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu.
Berdasarkan maksud ini, tahap taqdir itu lebih dahulu dari tahap Qadha’, karena takdir terdapat beberapa syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Takdir ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya. Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai membentuk janin yang sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau gugurnya janin apada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada takdir itu. Adapaun Qodha’ bersifat seketika (dafi`) Qadha’ ini berhubungan dengan tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan mengalami perubahan. Allah Swt berfirman, “Apabila Allah menetapkam suatu perkara, Ia akan mengatakan, ‘Jadilah’ maka terjadilah.” (QS. Ali Imran: 47) Namun, sebagaimana telah kami jelaskan, Qadha’ dan Qodar ini juga bisa digunakan sebagai kata yang sinonim .
Dari sinilah Qadha’ dan Qadar dapat dibagi menjadi dua bagian;Qodho` dan Qodar yang pasti (hatmi) dan Qodha’ dan Qodar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan tersebut. Diantaranya, bahwa sedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah Qodha’. Qadha’ Qodar Ilmi dan ‘Aini Terkadang takdir dan Qodha’ Ilahi pun digunakan dengan arti ilmu Allah, yakni ketika sebab-sebab serta syarat-syarat telah terpenuhi. Atau ketika telah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat yang mempunyai pengaruh dalam mewujudkan fenomena-fenomena. Qadha’, Qodar juga digunakan untuk ilmu Tuhan terhadap kejadian fenomena-fenomena yang bersifat pasti. Arti Qodha’ Qodar ini dinamakan sebagai Qodha’ Qodar ilmi.
Kerapkali kedua kata ini digunakan pula untuk penisbahan proses pencitaan yang bertahap kepada makhluk-makhluk di alam ini. Sebagaimana pula terjadinya hal itu dalam wujud luar dinisbahkan kepada Allah Swt. Hal itu dinamakan Qodha’ Qodar ‘aini. Sesuai dengan ayat dan riwayat yang menyinggung hal ini, ilmu Allah dipercayakan kepada lauh al-mahfuzh, yaitu makhluk iIlahi yang tinggi dan mulia yang darinya terefleksi seluruh fenomena objektif (tahaqquq) di dunia luar (khariji). Setiap orang dapat bersentuhan dengan mencapai lauh al-mahfuzh itu dengan izin Allah Swt. Ketika seseorang dapat mencapai peringkat tersebut, ia akan menjadi alim dan mengetahui segala peristiwa yang telah lalu dan akan datang.
Ada lauh-lauh yang lainnya juga yang peringkat dan derajatnya lebih rendah dibanding lauh al-mahfuzh, yang padanya tercatat fenomena-fenomena dan makhluk-makhluk dalam bentuk yang bersyarat, tidak sempurna. Setiap orang yang dapat mengenal lauh tersebut akan mempunyai pengetahuan yang terbatas dan tidak sempurna, bersyarat dan dapat berubah. Barangkali ayat Al-Qur’an ini menjelaskan ikhwal kedua lauh tersebut, “Sesungguhnya Allah swt akan menghapus apa-apa yang Ia kehendaki dan juga akan menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul kitab (kitab induk).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Adanya perubahan pada takdir yang bersyarat dan tak pasti semacam ini diistilahkan dengan bada’. Dengan ini, iman kepada Qadha’ dan Qodar ilmi tidak melazimkan kesulitan-kesulitan logis yang lebih banyak sebagaimana kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan ilmu Ilahi yang azali, seperti yang telah kita pelajari keraguan Jabariyah di dalam masalah ilmu Ilahi. Telah jelas bagi kita bagaimana kelemahan pandangan tersebut. Akan tetapi, yang lebih sulit lagi terdapat dalam hal keyakinan terhadap Qadha’ dan Qodar ‘aini, khususnya dalam hal keimanan terhadap nasib yang pasti. Kami akan berusaha untuk mengatasi dan manjawab masalah ini dengan baik, meskipun jawaban dari masalah tersebut yang secara global telah diungkapkan dalam persoalan tauhid dengan pengertian pengaruh yang mandiri.
Antara Qodha’, Qodar, dan Kehendak Bebas Manusia Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap Qodha’ dan Qodar ‘Aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sampai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk pada takdir dan pengaturan Ilahi Yang Maha bijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah Swt. Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada izin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah Swt, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak mungkin akan mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan kepada Qodha’ dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan sampai pada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya merupakan pengajaran secara bertahap tentang tauhid dalam arti pengaruh mandiri’ sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan. Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman.
Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada Qodha’ Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topic perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap Qodha’ Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang apada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya. Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy’ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha’ Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka pada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teologi lainnya, yaitu kaum Mu’tazilah. Mahzab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu’tazilah mengingkari Qadha’ Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas. Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang saling berlawanan, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu kalam dan dalam risakah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu bersandar kepada kehendanya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan Qadha’ Allah Swt. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada Qadha’ Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu sendiri. Untuk menjawab persoalan semacam ini dan mengkompromikan perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya kepada Qadha’ Ilahi, kita pasti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbauatn sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah swt. Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:
Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pemgaruh atas sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan. Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi sesuai jumlah sebab-sebab itu yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa mesin yang bekerja secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah pesawat. Ketiga, masing-masing sebab memengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bila itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya memengaruhi dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat perhatikan pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan menulis.
Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertical, dimana wujud setiap sebab itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana wujud pena tidak mempenyai hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak mempunyai hubungan dengan kehendak manusia. Pada seluruh keadaan ini, bisa jadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah Swt. Adapun gambaran yang tidak mungkin terjadi, yaitu berkumpulnya beberapa sebab pada satu akibat, ialah berkumpulnya dua sebab pengada (dengan pengertian yang telah lalu), atau berkumpulnya dua sebab dalam memberikan pengaruh yang sama secara sejajar atau bergantian, pada satu akibat. Seperti dalam asumsi satu kehendak yang muncul dari dua subjek (pelaku) yang sama-sama berkehendak, atau satu fenomena yang bersandar kepada dua kelompok sebab yang kedua-duanya merupakan sebab lengkap (illah tammah).
Jawaban atas Keraguan Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa penyandaran kejadian perbuatan-perbuatan sengaja manusia kepada Allah Swt tidak bertentangan dengan penyandarannya kepada manusia itu sendiri, karena dua penyandaran ini berada pada kepanjangan yang lainnya, dan tidak ada benturan di antara keduanya. Dengan kata lain, penyandaran suatau perbuatan kepada manusia sebagai pelaku berada apada satu tahap. Sedangkan penyandaran perbauatan yang sama kepada Allah Swt berada pada tahap yang lebih tinggi. Pada tahap kedua inilah keberadaan manusia itu sendiri, keberadaan materi yang terlibat dalam kejadian perbuatannya dan juga keberadaan sarana-sarana yang digunakan untuk menuntaskan perbuatan tersebut, semua itu bersandar kepada Allah Swt. Dengan demikian, pengaruh kehendak manusia yang merupakan bagian akhir dari sebab sempurna terhadap perbuatannya itu tidaklah menegasikan penyandaran seluruh bagian-bagian sebab sempurna kepada Allah Swt. Karena Dialah Zat yang memiliki seluruh kekuatan. Pada-Nyalah kekuatan untuk mewujudkan alam, manusia dan berbagai macam kondisi wujudnya. Dialah Zat yang menganugerahkan wujud kepada manusia secara terus-menerus, dan seluruh makhluk itu tidak terlepas dari-Nya sekejap pun, dalam keadaan dan kondisi apapun. Karena, makhluk-makhluk ciptaan-Nya itu tidak mandiri.
Atas dasar ini, perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu senantiasa membutuhkan dan bergantung kepada Allah Swt, dan tidak mungkin keluar dari kehendak iIlahi. Seluruh sifat makhluk. Cirri-ciri khusus dan berbagai kelebihannya serta batasan-batasannya selalu berhubungan dan bergantung kepada takdir dan Qodha’ Allah Swt. Tidaklah seperti apa yang telah disebutkan di atas, bahwa seluruh perbuatan ini ada kalanya hanya bersandar kepada kehendak manusia, ada kalanya pula ia hanya bersandar kepada kehendak Allah saja. Sebab, dua kehendak ini tidak berada apada satu tahap, sehingga yang tidak mungkin lagi bertemu kedua-duanya. Dua kehendak ini pun tidak mempunyai pengaruh dalam mewujudkan berbagai perbuatan secara bergantian. Sesungguhnya kehendak manusia, sebagaimana asal keberadaan wujud dirinya sendiri, senantias berhubung dan bergantung kepada kehendak Allah, dan sesungguhnya kehendak Allah Swt itu niscaya untuk terwujudnya kehendak manusia tersebut.
Allah Swt berfirman, “Dan kalian tidaklah berkehendak melainkan Allah, pengatur alam semesta inilah yag berkehendak.” (QS. At-Takwir: 29) Manfaat Keyakinan pada Qadha’ dan Qodar Keyakinan pada Qadha’ dan Qodar, di samping merupakan peringkat yang tinggi makrifatullah dalam dimensi penalaran dan mendorong manusia menuju kesempurnaan insaninya, secara praktikal menyimpan manfaat yang melimpah. Sebagian manfaat ini telah kami kemukakan dan berikut ini akan kami jelaskan sebagian lainnya. Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa lepas dari kehendak Allah Yang Bijak dan semua kejadian itu bersumber dari takdir dan qodha’ Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang menyakitkan. Ia tidak akan pernah putus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak, pasti akan terwujud sesuai dengan kemashalatan dan kebijaksanaan, maka ia akan menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan lain sebagainya.
Demikian pula hati seorang mukmin akan terkait dan tidak akan tertipu oleh dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia tidak akan tertimpa penyakit sombong. Ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi sebagai sarana untuk mencapai status sosial. Allah Swt menyinggung manfaat-manfaat besar ini melalui ayat-Nya, Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula bagi dirimu sendiri melainkan tertulis dalam kitab lauh al-mahfuzh, sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23) Hendaknya kita berusaha menghidari pengaruh-pengaruh yang berlipat ganda dari penafsiran yang menyimpang terhadap masalah Qadha’, Qodar dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Karena penafsiran yang keliru atas masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan kejemuan, kemalasan, kepasrahan di hadapan tindak kezaliman dan kejahatan penguasa zalim, dan lari dari tanggung jawab. Kiranya perku kita ketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan kesengsaraan abadi manusia hanyalah dapat diusahakan melalui perbuatan bebas dan sengaja manusia itu sendiri. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya ia akan mendapat pahala dari perbuatan baik yang ia lakukan dan ia akan mendapat siksa dari perbuatan buruk yang ia kerjakan pula.” (QS. Al-Baqarah: 286); dan juga, “Dan manusia tidak akan mendapat balasan melainkan apa yang telah ia usahakan sendiri.” (QS. An-Najm: 39).
Pendapat-Pendapat Aliran Islam Yang Sangat Berkaitan Dengan Qadha` Dan Qadar.
Yaitu dari Jabariah dari golongan Jabariah adalah : 1. Tuhan menciptakan segala sesuatu perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. 2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat nanti, tetapi Tuhan bisa saja memindahkan hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan. Namun secara garis besarnya Ajaran faham mereka adalah; a. Iman dan taat, serta kufur dan maksiat semata-mata dari Allah. Tiada manusia berbuat, bercita-cita dan berdoa. b. Gugur taklif syara` daripada hamba. c. Berbuat baik tidak dapat kebajikan atau pahala, berbuat maksiat tidak dapat balasan dan putus asa daripada rahmat Allah. d. Berbuat baik tidak dapat pahala, berbuat jahat tidak dapat siksa. e. Tafakur itu lebih baik daripada segala ibadah fardhu atau sunah. f. Siapa yang menjadi kekasih Allah dan bersih daripada hawa nafsu yang jahat dan berilmu tidak perlu lagi berbuat amal ibadah. g. Bahwa orang-orang kafir dan ahli-ahli maksiat tidak akan ditanya di akhirat kelak karena segala-galanya itu Allah yang melakukannya. h. Bahwa Allah tidak menyiksa semua hamba-hambanya, kalau Allah menyiksa juga maka Allah itu zalim. i. Allah meghidupkan semua yang kafir dan segala orang yang bersalah di dalam neraka, setelah itu dimatikan pula dan tidak hidup lagi selama-lamanya. j. Apabila Allah selesai menciptakan makhluk maka beristirahatlah Ia. Setiap suatu yang dzahir pada waktunya yang ditetapkan itu, dengan sendirinya putus hubungan dengan Allah. k. Apabila sampai kepada derajat kekasih Allah (wali Allah) yang tinggi gugurlah taklif syara’ hanya tafakkur semata-mata. l. Harta dunia bersyarikat di antara semua keturunan Adam dan Hawa, halal mengambilnya tidak hak tagihan ahlinya. m. Apabila terasa dalam hati hendak melaksanakan sesuatu kebajikan atau kejahatan hendaklah segera mengerjakannya karena itu wahyu Allah yang dimasukkan di dalam hati. n. Barangsiapa belajar ilmu jadilah ia berada dalam syirik dan meneguhkan daripadanya jadilah ia kafir. o. Bahwa semua yang difardhukan oleh Allah boleh dikerjakan jika rajin dan boleh ditinggalkan jika malas. p. Segala perintah Allah itu hanya sekali saja tidak berulang-ulang. q. Hamba tiada mukallaf selain daripada iman dan kufur . Disebut mukmin hanya mengucap dua kalimah syahadat, menghilangkan dua kalimah syahadat jadi kafir. Tidak perlu lagi melaksanakan lebih daripada itu.
2. Ajaran-ajaran(doktrin) Qodariah Golongan ini menyatakan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan, dan secara garis besar Ajaran faham mereka adalah; a. Segala usaha ikhtiar, semata-mata dari Manusia. Tiada campur tangan Allah dalam perbuatan itu. b. Syaitan itu serupa dengan Allah kerana tidak mempunyai wujud yang nyata. c. Berbuat kejahatan itu seperti syaitan dan berbuat kebaikan itu seperti Allah. d. Qodha’ dan Qodar itu bukan daripada Allah. e. Beramal ibadah itu sia-sia karena tiap-tiap baik dan jahat itu azali. f. Tidak ada syurga, neraka, hisab, mizan dan belum dijadikan Allah. g. Bahwa segala amal ibadah daripada hamba semata-mata tidak diketahui memperoleh pahala atau siksa jika melaksanakan atau meninggalkannya. h. Bahwa Allah tiada menjadikan syaitan karena jika Allah menjadikan syaitan maka Allah juga menjadikan kekufuran maka sesungguhnya Allah itu berkehendak wujud kekufuran. i. Bahwa segala amal ibadah Allah semata-mata iman dan kufur. j. Benci kepada shalat fardhu dan suka kepada shalat sunah. Maka shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. k. Segala kitab-kitab Allah yang turun dari langit tidak mansuh, wajib beramal dengan semua isi kandungannya.
Telaah Pemikiran Antara Paham Qodariah dan Jabariah Perbuatan Tuhan dan Manusia Dari gambaran diatas penulis memberikan analisa bahwa Perbuatan manusia, siapakah yang melakukan, manusia atau Tuhan? Pertanyaan tersebut telah diperdebatkan di dalam sejarah teologi Islam. Perdebatan itulah yang melahirkan dua faham ini. Menurut faham Jabariah, perbuatan Jabariah pada dasarnya bukan manusia yang melakukannya, tetapi Tuhan. Manusia tidak berdaya atas perbuatannya. Kalaupun ada daya di dalam diri manusia untuk berbuat, maka daya tersebut tidak efektif. Yang efektif adalah daya tuhan yang menentukan perbuatan manusia. Jadi menurut faham ini bisa dikatakan posisi manusia jabariah dengan perbuatannya, digambarkan bagai kapas yang melayang menurut arah mata angin saja. Atau, Adapun dalam faham Qodariah, perbuatan manusia dilakukan oleh manusia, bukan Tuhan. Daya yang diberikan Tuhan ke dalam diri manusia, dipakai sepenuhnya oleh manusia untuk melakukan perbuatannya. Dalam hal ini, faham Jabariah melahirkan manusia fatalistik. Sedang, faham Qodariah melahirkan manusia optimistik. Karena bebas melakukan perbuatannya, maka menjadi logis dalam teologi Qodariah, jika manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Akan tetapi, logiskah untuk meminta tanggung jawab serupa, teologi Jabariah, di mana manusia terpaksa dengan perbuatannya karena Tuhan yang menentukan? Bagaimana dengan nasib hidup manusia?
Lantas bagaimana kita selaku manusia mensikapi akan kedua konsep faham tersebut? Seperti juga makhluk ciptaan Tuhan lainnya tanpa terkecuali, garis kehidupan manusia telah di polakan oleh Tuhan. Hanya makhluk berakal seperti manusia yang mampu melakukan “improvisasi” atas pola hidupnya dan juga bisa jadi mempengaruhi pola hidup makhluk lainnya. Diluar makhluk yang berakal, semua mengikuti fitrahnya hanyut ke dalam pola kehidupan yang telah final digariskan Tuhan mengikuti evolusi yang dirancang Tuhan dengan keseimbangan kosmos, keseimbangan lingkungan sebagai motor kompas[13] gerakannya.
Proses “improvisasi” atas pola kehidupan pemberian Tuhan bukan tidak terbatas. Kemampuan manusia berimprovisasi telah ditakar oleh Tuhan dalam bentuk Qodar baik dalam bentuk potensi bakat (14] kehidupan tertentu. Proses “improvisasi” manusia atas pola kehidupannya sendiri yang telah digariskan oleh Tuhan dibatasi oleh qadar tuhan atas masing-masing manusia itu sendiri yaitu oleh potensi yang dianugerahkan Tuhan Akan tetapi untuk mendapatkan “input” itu sendiri sudah ada pula takarannya, takaran dari Tuhan, sehubungan potensi lahir dan batin manusia yang telah ditakar pula oleh-Nya. Oleh karenanya, perolehan nasib kehidupannya tertakar pula kisarannya dari nilai minimum ke maksimum.
Memang manusia berusaha, tetapi tidak lepas dari ketentuan manusia yang telah terukir kisarannya. Hanya perlu dicamkan bahwa bentuk “improvisasi” dapat berdampak mengurangi nilai akumulasi keseluruhan usaha manusia yang bersangkutan. Maka bisa dikatakan, manusia bebas melakukan apapun sesuai apa yang dikehendakinya. Namun pada dasarnya ia tidak sepenuhnya bebas. Manusia sebenarnya telah terikat kepada setiap apa yang ia lakukan dalam artian antara lain menanggung seluruh akibat atas apa yang ia lakukan. Keterikatan kepada akibat atas apa yang ia lakukan tidak mungkin di hindarkan karena keberadaan manusia sebagai unsur alam yang harus patuh kepada aturan-aturan Tuhan berupa hukum alam atau sunnatullah. Seperti telah berkali-kali disebutkan bahwa bunyi sunnatullah perihal ini antara lain tercantum dalam (QS. 52: 21)[15] tersebut bahwa setiap orang terikat dari apa yang ia usahakan. Contoh, umpamanya kasus manusia dapat membunuh semut dengan kesengajaannya sehingga manusia mengaku mampu menentuan umur semut tersebut adalah seperti Fir’aun yang dapat menentukan hidup dan matinya manusia di bawah kekuasaannya. Dalam kasus ini, manusia di bawah kekuasaannya. Dalam kasus ini, manusia dan Fir’aun tersebut memiliki kekuasaan atau kekuatan pemberian Tuhan untuk melaksanakan kehendak mereka.
Manusia dan Fir’aun tersebut dapat menguasai sebab-sebab kejadian yang dikehendakinya untuk terjadi. Kehendak Tuhan melewati kehendak manusia dan Far’aun tersebut. Dalam kondisi seperti inilah manusia dapat mengatakan bahwa ia dapat menentukan nasib kehidupan berkat anugerah limpahan kehendak dan kekuasaan Tuhan kepadanya. Bahwa apa yang ia dapatkan tergantung dari apa yang ia usahakan baik lahir maupun batin atau dunia maupun akhirat. Pada posisi seperti inilah ayat-ayat suci al-Qur’an yang mendukung paham Qodariah dimaknakan. Kondisi atau posisi seperti inilah kondisi atau posisi Qodariah. Akan tetapi, tidak semua kejadian terjadi dengan kondisi Qodariah, dimana manusia mampu menguasai atau mengendalikan sebab-sebab terjadinya suatu kejadian bahkan sangat banyak kejadian mulai dari musibah hingga keberuntungan di mana manusia sama sekali tidak berdaya atas suatu kejadian yang menimpa diri atau masyarakatnya. Sebagai missal, orang yang terkena musibah kecelakaan pesawat terbang seperti juga musibah tenggelamnya Fir’aun dan pasukannya di laut Merah pada zaman Nabi Musa as. Terjadi diluar kehendak mereka yang terkena musibah. Mereka sama sekali tidak berdaya mengendalikan sebab-sebab terjadinya musibah, mereka terpaksa atau dipaksa oleh kehendak kompleks, yaitu kehendak alam lingkungan yang unsurnya kompleks untuk menerima musibah tersebut.
Kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak kompleks. Ini bukan hanya dalam peristiwa musibah saja, banyak juga peristiwa keberuntungan kejadiannya sama sekali diluar kesengajaannya. Inilah posisi atau kondisi Jabariah. Pada posisi seperti inilah ayat-ayat suci al-Qur’an yang mendukung paham Jabariah dimaknakan. Benar yang mana, Jabariah atau Qodariah? Kalau memang demikian adanya .. lantas pertanyaan timbul dalam benak kita, mana yang lebih baik ? Jabariah ataukah Qodariah? Allah Maha kuasa atas segala sesuatu .. Allah Juga menentukan segala sesuatu tapi baik buruk amal perbuatan manusia adalah tergantung dari pribadi manusia itu sendiri toh?… Segala puji bagi Allah yang dengan kuasa-Nya kita diciptakan berbeda satu dengan yang lainnya .. “Al-ikhtilaafuRrahmah” begitu kata rasul dan sebaik-baik permasalahan solusinya adalah apa yang diantara keduanya alias yang ditengah-tengah . “Khoirul-Umuri Ausaatuha” begitu sabda rasul .. intinya semua tergantung iman kita masing-masing , ya toh?
Paham Jabariah dan Qodariah yang kedua-duanya dilandasi ayat-ayat suci Al-Qur’an, tidak diragukan mengandung kebenaran. Adapun kedua paham teologi tersebut menjadi berseberangan dan konon pernah saling mengkafirkan[16] adalah suatu hal yang sangat wajar, manusiawi, sehubungan manusia mempunyai banyak keterbatasan dan terutama belum berkembangnya ilmu baru yang mampu mendukung penggabungannya. Untuk itu, kita perlu selalu mempertahankan sifat rendah hati, tawadhu’, karena manusia memang rentan dengan kelemahan serta keterbatasan. Sesuatu yang dianggap benar oleh sebagian orang menjadi kurang benar oleh sebagian orang lain di hari kemudian, karena berkembangnya ilmu pengetahuan. Dalam praktek kehidupan manusia sehari-hari, tidak seluruh keinginan manusia dapat dicapai oleh jerih payah usahanya seperti yang dikehendakinya. Kadang-kadang dapat tercapai dan kadang-kadang tidak. Banyak pula perolehan manusia yang di dapat diluar kesengajaan usahanya. Dalam kesehariannya, kehidupan manusia diperoleh melewati kondisi atau posisi Qodariah dan posisi Jabariah atau berkisar dari kondisi Qodariah hingga Jabariah. Dan sementara akan saya sebutkan pendapat aqidah Asy` ariyyah yaitu Qadha` bermaksud pelaksanaan.
Adapun Qodho` Terbaagi menjadi dua bahagian yaitu: Qodha` Mubram dan Qodha` Muallaq. Qodha` Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku dan tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. (Contoh: Mati pasti akan berlaku). Firman Allah Taala bermaksud: Dan pada sisi Allah Ta’ala juga kunci-kunci semua yang ghaib. (Surah al-Anaam: ayat 59). Qadha Muallaq: Adalah ketentuan yang tidak semestinya berlaku bahkan bergantung kepada sesuatu perkara. (Contoh: Panjang umur bergantung kepada menghubungkan silaturrahim dan amal kebajikan yang lain). Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud: “Tidak boleh ditolak Qodar Allah Ta’ala melainkan doa. Dan tiada yang boleh memanjangkan umur melainkan membuat baik kepada ibu bapak.” (Riwayat Hakim, Ibnu Hibban dan Tarmizi). Semua perkara di dalam pngetahuan Allah. Kedua-dua jenis qodho` di atas ini adalah di dalam pengetahuan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala bermaksud: Dan pada sisi Allah Taala Juga kunci-kunci semua yang ghaib. (Surah al-Anaam: ayat 59).
Hukum Mengimani Qodho` Dan Qodar
Definisi Iman secara kharfiyah (etimologis) adalah:percaya dan yakin. dan Iman secara ma`nawi (terminologis) Adalah: percaya dan yakin akan adanya Allah malaikatnya,kitab-kitab nya, para rasulnya,hari akhir,serta Qodho` Qodar.dan hukum mengimana Qodho Qodar adalah wajib hukum nya.
Ihtitam
Alhamudulillah dengan pertolongan Allah makalah ini bisa selesai walaupun banyak kesalahan semoga dengan kesalahan kita bisa terus semangat untuk memperbaiki kekurangan. Segala perbuatan hamba adalah diketahui oleh Allah Ta’ala melalui ilmu-ilmu-Nya. Hanya ianya terlindung dan tidak diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang lemah. Kerana itulah kita disuruh untuk sentiasa berusaha dan taat kepada-Nya kerana kita tidak mengetahui apa yang akan berlaku kepada kita nanti. Di antara bentuk ketaatan adalah dengan berdoa kepada Allah Ta’ala. Dengan berdoalah seseorang hamba itu akan merasakan dirinya lemah dan berhajat atau memerlukan kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang aku maka (jawablah) bahawasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Aku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Surah al-Baqarah: ayat 186). Sabda Rasulullah S.A.W.: “Doa merupakan otak kepada ibadat.” (Riwayat at-Tarmizi). senantiasalah berusaha dan berdo`a. Telah diketahui bahawa segala usaha dan doa dari hamba akan didengar oleh Allah Ta’ala maka dengan sebab itulah perlunya seseoarang hamba itu untuk sentiasa berusaha dan berdoa. Namun segala usaha dan doa ini sudah tentutukan di dalam kuasa dan ilmu Allah Ta’ala. Kerana itulah ada dinyatakan bahawa manusia hanya berusaha dan berdoa tetapi Allah yang menentukannya, sebab manusia tidak mengetahui qodha` dan qadar-Nya. Firman Allah Ta’ala: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Surah ar-Rad: ayat 11). Wallahu a`lam bi al-shawab.
Oleh: M. Nur Ihsan Mabrur
Referensi:
1. Fathul baary.
2. Al-farqu Baina al-Firaq. Maktabah Dar al-turas.
3 . Al Qadru, Al-hafiz al-Kabir Abu Bakar Abu Jakfar bin Muhammad bin Husain. Maktabah ashriyah Bairut.
4. Al-Qodho` wal Qodar karangan syekh ibnu Taimiyah .cetakan darul kitab Al Arabiy.
5. Al-Musamarah Fi Syarhi Al-Musayarah Fi Ilmi al-Kalam, Kamal bin Syarif, Maktabah Dar al-bashair.
6.Tarikh Al-Madzahib.7. Mausu`ah al-Firaq wa al-Madzahib. Majlis a`la.8. Aqidah Asyairah, Shalahuddin bin Ahmad Al-Id-libii. Dar al-Salam.
Akar Permasalahan Dalam Konsep-Konsep Kalam
Permasalahan-permasalahan ilmu kalam (khususnya di kalangan mu`tazilah dan Asy`ariyyah) yang nantinya banyak pengaruh dalam masalah tentang shifat wa af`al (sifat dan perbuatan Allah), taqdir dan af’al al ibad hakikat keimanan, serta tentang kriteria baik buruk , juga datangnya wahyu atau rasul. Dalam masalah takdir, teologi Asy ariyyah secara subtansial tidak begitu berbeda dengan teologi jabariyah yang menafikan kemampuan hamba untuk berbuat sebelum ia berbuat. Asy` ariyyah mengajukan konsep ‘kasb’ yang memberikan arti ‘’keinginan’’ pada hamba. Akan tetapi itu adalah keinginan yang tidak punya pengaruh (ta`tsir). Lalu mengenai keimanan , teologi pada intinya Asy ariyyah tidak berbeda dengan teologi murjiah yang hanya membatasi pengertian iman sebagai kepercayaan dalam hati meskipun Asy’ariyyah juga mendukung pandangan jumhur ahlul hadist dalam persoalan istisna’ mengatakan ”saya insya Allah beriman”. sementara itu , mu`tazilah dalam persoalan takdir adalah Qodariyyah lantaran menafikan adanya ketentuan takdir Allah swt dengan alasan Allah swt tidak mungkin menginginkan dan menciptakan hal-hal yang buruk kalau pendapat Ahlus sunnah wal- jamaah ada pokok –pokok agama yang sudah di sepakati termasuk menetapkan kenyataan atau ilmu-ilmu, baik ilmu umum atau khusus, mengetahui pencipta alam (shoniul alam), mengetahui asma - asma` Allah atau sifat-sifat nya, mengetahui adilnya Allah, mengetahui para rasul atau para nabi, mengetahui mu`jizat para nabi atau karomah para wali, mengetahui perkara yang sudah di sepakati umat dalam syariat islam, mengetahui perintah Allah atau larangan Allah, mengetahui tentang khilafah atau imamah, mengetahui hukm-hukum iman atau islam secara mujmal. sedangkan mu`tazilah bersebrangan dengan Ahlu sunnah waljamaah yaitu menafikan shifat-shifat azali termasuk sifat Qudrah,ilmu, hayah,dan ru`yah. selanjut nya pemakalah kan mendefinisikan Qodho` dan Qodar di bawah ini.
Definisi
Qodho` dalam bahasa adalah: hukum atau keputusan, kekuatan, kemampuan. Adapun Kata Qadar berati ukuran (miqdar), dan tadir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau mencipatakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha’ berarti memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib. Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah Swt telah mencipatakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat terealisasi di dalam rangkaian sebab-sebab. dan Qodho` menurut abu Qosim al-hakim Al-tirmizdi yaitu: jelasnya rahasia Allah yang ada di lauh Al mahfudz sedangkan Qodar adalah rahasia Allah. Sedangkan yang dimaksud Qadha’ Ilahi adalah menyampaikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu.
Berdasarkan maksud ini, tahap taqdir itu lebih dahulu dari tahap Qadha’, karena takdir terdapat beberapa syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Takdir ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya. Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai membentuk janin yang sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau gugurnya janin apada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada takdir itu. Adapaun Qodha’ bersifat seketika (dafi`) Qadha’ ini berhubungan dengan tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan mengalami perubahan. Allah Swt berfirman, “Apabila Allah menetapkam suatu perkara, Ia akan mengatakan, ‘Jadilah’ maka terjadilah.” (QS. Ali Imran: 47) Namun, sebagaimana telah kami jelaskan, Qadha’ dan Qodar ini juga bisa digunakan sebagai kata yang sinonim .
Dari sinilah Qadha’ dan Qadar dapat dibagi menjadi dua bagian;Qodho` dan Qodar yang pasti (hatmi) dan Qodha’ dan Qodar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan tersebut. Diantaranya, bahwa sedekah, patuh kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah Qodha’. Qadha’ Qodar Ilmi dan ‘Aini Terkadang takdir dan Qodha’ Ilahi pun digunakan dengan arti ilmu Allah, yakni ketika sebab-sebab serta syarat-syarat telah terpenuhi. Atau ketika telah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat yang mempunyai pengaruh dalam mewujudkan fenomena-fenomena. Qadha’, Qodar juga digunakan untuk ilmu Tuhan terhadap kejadian fenomena-fenomena yang bersifat pasti. Arti Qodha’ Qodar ini dinamakan sebagai Qodha’ Qodar ilmi.
Kerapkali kedua kata ini digunakan pula untuk penisbahan proses pencitaan yang bertahap kepada makhluk-makhluk di alam ini. Sebagaimana pula terjadinya hal itu dalam wujud luar dinisbahkan kepada Allah Swt. Hal itu dinamakan Qodha’ Qodar ‘aini. Sesuai dengan ayat dan riwayat yang menyinggung hal ini, ilmu Allah dipercayakan kepada lauh al-mahfuzh, yaitu makhluk iIlahi yang tinggi dan mulia yang darinya terefleksi seluruh fenomena objektif (tahaqquq) di dunia luar (khariji). Setiap orang dapat bersentuhan dengan mencapai lauh al-mahfuzh itu dengan izin Allah Swt. Ketika seseorang dapat mencapai peringkat tersebut, ia akan menjadi alim dan mengetahui segala peristiwa yang telah lalu dan akan datang.
Ada lauh-lauh yang lainnya juga yang peringkat dan derajatnya lebih rendah dibanding lauh al-mahfuzh, yang padanya tercatat fenomena-fenomena dan makhluk-makhluk dalam bentuk yang bersyarat, tidak sempurna. Setiap orang yang dapat mengenal lauh tersebut akan mempunyai pengetahuan yang terbatas dan tidak sempurna, bersyarat dan dapat berubah. Barangkali ayat Al-Qur’an ini menjelaskan ikhwal kedua lauh tersebut, “Sesungguhnya Allah swt akan menghapus apa-apa yang Ia kehendaki dan juga akan menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul kitab (kitab induk).” (QS. Ar-Ra’ad: 39) Adanya perubahan pada takdir yang bersyarat dan tak pasti semacam ini diistilahkan dengan bada’. Dengan ini, iman kepada Qadha’ dan Qodar ilmi tidak melazimkan kesulitan-kesulitan logis yang lebih banyak sebagaimana kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan ilmu Ilahi yang azali, seperti yang telah kita pelajari keraguan Jabariyah di dalam masalah ilmu Ilahi. Telah jelas bagi kita bagaimana kelemahan pandangan tersebut. Akan tetapi, yang lebih sulit lagi terdapat dalam hal keyakinan terhadap Qadha’ dan Qodar ‘aini, khususnya dalam hal keimanan terhadap nasib yang pasti. Kami akan berusaha untuk mengatasi dan manjawab masalah ini dengan baik, meskipun jawaban dari masalah tersebut yang secara global telah diungkapkan dalam persoalan tauhid dengan pengertian pengaruh yang mandiri.
Antara Qodha’, Qodar, dan Kehendak Bebas Manusia Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap Qodha’ dan Qodar ‘Aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya sampai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh, seluruhnya tunduk pada takdir dan pengaturan Ilahi Yang Maha bijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah Swt. Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada izin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah Swt, dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak mungkin akan mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan kepada Qodha’ dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan sampai pada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya merupakan pengajaran secara bertahap tentang tauhid dalam arti pengaruh mandiri’ sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan. Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman.
Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada Qodha’ Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topic perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap Qodha’ Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang apada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya. Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy’ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha’ Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka pada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teologi lainnya, yaitu kaum Mu’tazilah. Mahzab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu’tazilah mengingkari Qadha’ Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas. Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang saling berlawanan, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu kalam dan dalam risakah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa perbuatannya itu bersandar kepada kehendanya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan Qadha’ Allah Swt. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada Qadha’ Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu sendiri. Untuk menjawab persoalan semacam ini dan mengkompromikan perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya kepada Qadha’ Ilahi, kita pasti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbauatn sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah swt. Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:
Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pemgaruh atas sesuatu. Misalnya, berkumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan. Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi sesuai jumlah sebab-sebab itu yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa mesin yang bekerja secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah pesawat. Ketiga, masing-masing sebab memengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bila itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya memengaruhi dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat perhatikan pengaruh kehendak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan menulis.
Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertical, dimana wujud setiap sebab itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana wujud pena tidak mempenyai hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak mempunyai hubungan dengan kehendak manusia. Pada seluruh keadaan ini, bisa jadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah Swt. Adapun gambaran yang tidak mungkin terjadi, yaitu berkumpulnya beberapa sebab pada satu akibat, ialah berkumpulnya dua sebab pengada (dengan pengertian yang telah lalu), atau berkumpulnya dua sebab dalam memberikan pengaruh yang sama secara sejajar atau bergantian, pada satu akibat. Seperti dalam asumsi satu kehendak yang muncul dari dua subjek (pelaku) yang sama-sama berkehendak, atau satu fenomena yang bersandar kepada dua kelompok sebab yang kedua-duanya merupakan sebab lengkap (illah tammah).
Jawaban atas Keraguan Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa penyandaran kejadian perbuatan-perbuatan sengaja manusia kepada Allah Swt tidak bertentangan dengan penyandarannya kepada manusia itu sendiri, karena dua penyandaran ini berada pada kepanjangan yang lainnya, dan tidak ada benturan di antara keduanya. Dengan kata lain, penyandaran suatau perbuatan kepada manusia sebagai pelaku berada apada satu tahap. Sedangkan penyandaran perbauatan yang sama kepada Allah Swt berada pada tahap yang lebih tinggi. Pada tahap kedua inilah keberadaan manusia itu sendiri, keberadaan materi yang terlibat dalam kejadian perbuatannya dan juga keberadaan sarana-sarana yang digunakan untuk menuntaskan perbuatan tersebut, semua itu bersandar kepada Allah Swt. Dengan demikian, pengaruh kehendak manusia yang merupakan bagian akhir dari sebab sempurna terhadap perbuatannya itu tidaklah menegasikan penyandaran seluruh bagian-bagian sebab sempurna kepada Allah Swt. Karena Dialah Zat yang memiliki seluruh kekuatan. Pada-Nyalah kekuatan untuk mewujudkan alam, manusia dan berbagai macam kondisi wujudnya. Dialah Zat yang menganugerahkan wujud kepada manusia secara terus-menerus, dan seluruh makhluk itu tidak terlepas dari-Nya sekejap pun, dalam keadaan dan kondisi apapun. Karena, makhluk-makhluk ciptaan-Nya itu tidak mandiri.
Atas dasar ini, perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu senantiasa membutuhkan dan bergantung kepada Allah Swt, dan tidak mungkin keluar dari kehendak iIlahi. Seluruh sifat makhluk. Cirri-ciri khusus dan berbagai kelebihannya serta batasan-batasannya selalu berhubungan dan bergantung kepada takdir dan Qodha’ Allah Swt. Tidaklah seperti apa yang telah disebutkan di atas, bahwa seluruh perbuatan ini ada kalanya hanya bersandar kepada kehendak manusia, ada kalanya pula ia hanya bersandar kepada kehendak Allah saja. Sebab, dua kehendak ini tidak berada apada satu tahap, sehingga yang tidak mungkin lagi bertemu kedua-duanya. Dua kehendak ini pun tidak mempunyai pengaruh dalam mewujudkan berbagai perbuatan secara bergantian. Sesungguhnya kehendak manusia, sebagaimana asal keberadaan wujud dirinya sendiri, senantias berhubung dan bergantung kepada kehendak Allah, dan sesungguhnya kehendak Allah Swt itu niscaya untuk terwujudnya kehendak manusia tersebut.
Allah Swt berfirman, “Dan kalian tidaklah berkehendak melainkan Allah, pengatur alam semesta inilah yag berkehendak.” (QS. At-Takwir: 29) Manfaat Keyakinan pada Qadha’ dan Qodar Keyakinan pada Qadha’ dan Qodar, di samping merupakan peringkat yang tinggi makrifatullah dalam dimensi penalaran dan mendorong manusia menuju kesempurnaan insaninya, secara praktikal menyimpan manfaat yang melimpah. Sebagian manfaat ini telah kami kemukakan dan berikut ini akan kami jelaskan sebagian lainnya. Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa lepas dari kehendak Allah Yang Bijak dan semua kejadian itu bersumber dari takdir dan qodha’ Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang menyakitkan. Ia tidak akan pernah putus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak, pasti akan terwujud sesuai dengan kemashalatan dan kebijaksanaan, maka ia akan menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan lain sebagainya.
Demikian pula hati seorang mukmin akan terkait dan tidak akan tertipu oleh dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia tidak akan tertimpa penyakit sombong. Ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi sebagai sarana untuk mencapai status sosial. Allah Swt menyinggung manfaat-manfaat besar ini melalui ayat-Nya, Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula bagi dirimu sendiri melainkan tertulis dalam kitab lauh al-mahfuzh, sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23) Hendaknya kita berusaha menghidari pengaruh-pengaruh yang berlipat ganda dari penafsiran yang menyimpang terhadap masalah Qadha’, Qodar dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Karena penafsiran yang keliru atas masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan kejemuan, kemalasan, kepasrahan di hadapan tindak kezaliman dan kejahatan penguasa zalim, dan lari dari tanggung jawab. Kiranya perku kita ketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan kesengsaraan abadi manusia hanyalah dapat diusahakan melalui perbuatan bebas dan sengaja manusia itu sendiri. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya ia akan mendapat pahala dari perbuatan baik yang ia lakukan dan ia akan mendapat siksa dari perbuatan buruk yang ia kerjakan pula.” (QS. Al-Baqarah: 286); dan juga, “Dan manusia tidak akan mendapat balasan melainkan apa yang telah ia usahakan sendiri.” (QS. An-Najm: 39).
Pendapat-Pendapat Aliran Islam Yang Sangat Berkaitan Dengan Qadha` Dan Qadar.
Yaitu dari Jabariah dari golongan Jabariah adalah : 1. Tuhan menciptakan segala sesuatu perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. 2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat nanti, tetapi Tuhan bisa saja memindahkan hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan. Namun secara garis besarnya Ajaran faham mereka adalah; a. Iman dan taat, serta kufur dan maksiat semata-mata dari Allah. Tiada manusia berbuat, bercita-cita dan berdoa. b. Gugur taklif syara` daripada hamba. c. Berbuat baik tidak dapat kebajikan atau pahala, berbuat maksiat tidak dapat balasan dan putus asa daripada rahmat Allah. d. Berbuat baik tidak dapat pahala, berbuat jahat tidak dapat siksa. e. Tafakur itu lebih baik daripada segala ibadah fardhu atau sunah. f. Siapa yang menjadi kekasih Allah dan bersih daripada hawa nafsu yang jahat dan berilmu tidak perlu lagi berbuat amal ibadah. g. Bahwa orang-orang kafir dan ahli-ahli maksiat tidak akan ditanya di akhirat kelak karena segala-galanya itu Allah yang melakukannya. h. Bahwa Allah tidak menyiksa semua hamba-hambanya, kalau Allah menyiksa juga maka Allah itu zalim. i. Allah meghidupkan semua yang kafir dan segala orang yang bersalah di dalam neraka, setelah itu dimatikan pula dan tidak hidup lagi selama-lamanya. j. Apabila Allah selesai menciptakan makhluk maka beristirahatlah Ia. Setiap suatu yang dzahir pada waktunya yang ditetapkan itu, dengan sendirinya putus hubungan dengan Allah. k. Apabila sampai kepada derajat kekasih Allah (wali Allah) yang tinggi gugurlah taklif syara’ hanya tafakkur semata-mata. l. Harta dunia bersyarikat di antara semua keturunan Adam dan Hawa, halal mengambilnya tidak hak tagihan ahlinya. m. Apabila terasa dalam hati hendak melaksanakan sesuatu kebajikan atau kejahatan hendaklah segera mengerjakannya karena itu wahyu Allah yang dimasukkan di dalam hati. n. Barangsiapa belajar ilmu jadilah ia berada dalam syirik dan meneguhkan daripadanya jadilah ia kafir. o. Bahwa semua yang difardhukan oleh Allah boleh dikerjakan jika rajin dan boleh ditinggalkan jika malas. p. Segala perintah Allah itu hanya sekali saja tidak berulang-ulang. q. Hamba tiada mukallaf selain daripada iman dan kufur . Disebut mukmin hanya mengucap dua kalimah syahadat, menghilangkan dua kalimah syahadat jadi kafir. Tidak perlu lagi melaksanakan lebih daripada itu.
2. Ajaran-ajaran(doktrin) Qodariah Golongan ini menyatakan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan, dan secara garis besar Ajaran faham mereka adalah; a. Segala usaha ikhtiar, semata-mata dari Manusia. Tiada campur tangan Allah dalam perbuatan itu. b. Syaitan itu serupa dengan Allah kerana tidak mempunyai wujud yang nyata. c. Berbuat kejahatan itu seperti syaitan dan berbuat kebaikan itu seperti Allah. d. Qodha’ dan Qodar itu bukan daripada Allah. e. Beramal ibadah itu sia-sia karena tiap-tiap baik dan jahat itu azali. f. Tidak ada syurga, neraka, hisab, mizan dan belum dijadikan Allah. g. Bahwa segala amal ibadah daripada hamba semata-mata tidak diketahui memperoleh pahala atau siksa jika melaksanakan atau meninggalkannya. h. Bahwa Allah tiada menjadikan syaitan karena jika Allah menjadikan syaitan maka Allah juga menjadikan kekufuran maka sesungguhnya Allah itu berkehendak wujud kekufuran. i. Bahwa segala amal ibadah Allah semata-mata iman dan kufur. j. Benci kepada shalat fardhu dan suka kepada shalat sunah. Maka shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. k. Segala kitab-kitab Allah yang turun dari langit tidak mansuh, wajib beramal dengan semua isi kandungannya.
Telaah Pemikiran Antara Paham Qodariah dan Jabariah Perbuatan Tuhan dan Manusia Dari gambaran diatas penulis memberikan analisa bahwa Perbuatan manusia, siapakah yang melakukan, manusia atau Tuhan? Pertanyaan tersebut telah diperdebatkan di dalam sejarah teologi Islam. Perdebatan itulah yang melahirkan dua faham ini. Menurut faham Jabariah, perbuatan Jabariah pada dasarnya bukan manusia yang melakukannya, tetapi Tuhan. Manusia tidak berdaya atas perbuatannya. Kalaupun ada daya di dalam diri manusia untuk berbuat, maka daya tersebut tidak efektif. Yang efektif adalah daya tuhan yang menentukan perbuatan manusia. Jadi menurut faham ini bisa dikatakan posisi manusia jabariah dengan perbuatannya, digambarkan bagai kapas yang melayang menurut arah mata angin saja. Atau, Adapun dalam faham Qodariah, perbuatan manusia dilakukan oleh manusia, bukan Tuhan. Daya yang diberikan Tuhan ke dalam diri manusia, dipakai sepenuhnya oleh manusia untuk melakukan perbuatannya. Dalam hal ini, faham Jabariah melahirkan manusia fatalistik. Sedang, faham Qodariah melahirkan manusia optimistik. Karena bebas melakukan perbuatannya, maka menjadi logis dalam teologi Qodariah, jika manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Akan tetapi, logiskah untuk meminta tanggung jawab serupa, teologi Jabariah, di mana manusia terpaksa dengan perbuatannya karena Tuhan yang menentukan? Bagaimana dengan nasib hidup manusia?
Lantas bagaimana kita selaku manusia mensikapi akan kedua konsep faham tersebut? Seperti juga makhluk ciptaan Tuhan lainnya tanpa terkecuali, garis kehidupan manusia telah di polakan oleh Tuhan. Hanya makhluk berakal seperti manusia yang mampu melakukan “improvisasi” atas pola hidupnya dan juga bisa jadi mempengaruhi pola hidup makhluk lainnya. Diluar makhluk yang berakal, semua mengikuti fitrahnya hanyut ke dalam pola kehidupan yang telah final digariskan Tuhan mengikuti evolusi yang dirancang Tuhan dengan keseimbangan kosmos, keseimbangan lingkungan sebagai motor kompas[13] gerakannya.
Proses “improvisasi” atas pola kehidupan pemberian Tuhan bukan tidak terbatas. Kemampuan manusia berimprovisasi telah ditakar oleh Tuhan dalam bentuk Qodar baik dalam bentuk potensi bakat (14] kehidupan tertentu. Proses “improvisasi” manusia atas pola kehidupannya sendiri yang telah digariskan oleh Tuhan dibatasi oleh qadar tuhan atas masing-masing manusia itu sendiri yaitu oleh potensi yang dianugerahkan Tuhan Akan tetapi untuk mendapatkan “input” itu sendiri sudah ada pula takarannya, takaran dari Tuhan, sehubungan potensi lahir dan batin manusia yang telah ditakar pula oleh-Nya. Oleh karenanya, perolehan nasib kehidupannya tertakar pula kisarannya dari nilai minimum ke maksimum.
Memang manusia berusaha, tetapi tidak lepas dari ketentuan manusia yang telah terukir kisarannya. Hanya perlu dicamkan bahwa bentuk “improvisasi” dapat berdampak mengurangi nilai akumulasi keseluruhan usaha manusia yang bersangkutan. Maka bisa dikatakan, manusia bebas melakukan apapun sesuai apa yang dikehendakinya. Namun pada dasarnya ia tidak sepenuhnya bebas. Manusia sebenarnya telah terikat kepada setiap apa yang ia lakukan dalam artian antara lain menanggung seluruh akibat atas apa yang ia lakukan. Keterikatan kepada akibat atas apa yang ia lakukan tidak mungkin di hindarkan karena keberadaan manusia sebagai unsur alam yang harus patuh kepada aturan-aturan Tuhan berupa hukum alam atau sunnatullah. Seperti telah berkali-kali disebutkan bahwa bunyi sunnatullah perihal ini antara lain tercantum dalam (QS. 52: 21)[15] tersebut bahwa setiap orang terikat dari apa yang ia usahakan. Contoh, umpamanya kasus manusia dapat membunuh semut dengan kesengajaannya sehingga manusia mengaku mampu menentuan umur semut tersebut adalah seperti Fir’aun yang dapat menentukan hidup dan matinya manusia di bawah kekuasaannya. Dalam kasus ini, manusia di bawah kekuasaannya. Dalam kasus ini, manusia dan Fir’aun tersebut memiliki kekuasaan atau kekuatan pemberian Tuhan untuk melaksanakan kehendak mereka.
Manusia dan Fir’aun tersebut dapat menguasai sebab-sebab kejadian yang dikehendakinya untuk terjadi. Kehendak Tuhan melewati kehendak manusia dan Far’aun tersebut. Dalam kondisi seperti inilah manusia dapat mengatakan bahwa ia dapat menentukan nasib kehidupan berkat anugerah limpahan kehendak dan kekuasaan Tuhan kepadanya. Bahwa apa yang ia dapatkan tergantung dari apa yang ia usahakan baik lahir maupun batin atau dunia maupun akhirat. Pada posisi seperti inilah ayat-ayat suci al-Qur’an yang mendukung paham Qodariah dimaknakan. Kondisi atau posisi seperti inilah kondisi atau posisi Qodariah. Akan tetapi, tidak semua kejadian terjadi dengan kondisi Qodariah, dimana manusia mampu menguasai atau mengendalikan sebab-sebab terjadinya suatu kejadian bahkan sangat banyak kejadian mulai dari musibah hingga keberuntungan di mana manusia sama sekali tidak berdaya atas suatu kejadian yang menimpa diri atau masyarakatnya. Sebagai missal, orang yang terkena musibah kecelakaan pesawat terbang seperti juga musibah tenggelamnya Fir’aun dan pasukannya di laut Merah pada zaman Nabi Musa as. Terjadi diluar kehendak mereka yang terkena musibah. Mereka sama sekali tidak berdaya mengendalikan sebab-sebab terjadinya musibah, mereka terpaksa atau dipaksa oleh kehendak kompleks, yaitu kehendak alam lingkungan yang unsurnya kompleks untuk menerima musibah tersebut.
Kehendak Tuhan terlaksana melewati kehendak kompleks. Ini bukan hanya dalam peristiwa musibah saja, banyak juga peristiwa keberuntungan kejadiannya sama sekali diluar kesengajaannya. Inilah posisi atau kondisi Jabariah. Pada posisi seperti inilah ayat-ayat suci al-Qur’an yang mendukung paham Jabariah dimaknakan. Benar yang mana, Jabariah atau Qodariah? Kalau memang demikian adanya .. lantas pertanyaan timbul dalam benak kita, mana yang lebih baik ? Jabariah ataukah Qodariah? Allah Maha kuasa atas segala sesuatu .. Allah Juga menentukan segala sesuatu tapi baik buruk amal perbuatan manusia adalah tergantung dari pribadi manusia itu sendiri toh?… Segala puji bagi Allah yang dengan kuasa-Nya kita diciptakan berbeda satu dengan yang lainnya .. “Al-ikhtilaafuRrahmah” begitu kata rasul dan sebaik-baik permasalahan solusinya adalah apa yang diantara keduanya alias yang ditengah-tengah . “Khoirul-Umuri Ausaatuha” begitu sabda rasul .. intinya semua tergantung iman kita masing-masing , ya toh?
Paham Jabariah dan Qodariah yang kedua-duanya dilandasi ayat-ayat suci Al-Qur’an, tidak diragukan mengandung kebenaran. Adapun kedua paham teologi tersebut menjadi berseberangan dan konon pernah saling mengkafirkan[16] adalah suatu hal yang sangat wajar, manusiawi, sehubungan manusia mempunyai banyak keterbatasan dan terutama belum berkembangnya ilmu baru yang mampu mendukung penggabungannya. Untuk itu, kita perlu selalu mempertahankan sifat rendah hati, tawadhu’, karena manusia memang rentan dengan kelemahan serta keterbatasan. Sesuatu yang dianggap benar oleh sebagian orang menjadi kurang benar oleh sebagian orang lain di hari kemudian, karena berkembangnya ilmu pengetahuan. Dalam praktek kehidupan manusia sehari-hari, tidak seluruh keinginan manusia dapat dicapai oleh jerih payah usahanya seperti yang dikehendakinya. Kadang-kadang dapat tercapai dan kadang-kadang tidak. Banyak pula perolehan manusia yang di dapat diluar kesengajaan usahanya. Dalam kesehariannya, kehidupan manusia diperoleh melewati kondisi atau posisi Qodariah dan posisi Jabariah atau berkisar dari kondisi Qodariah hingga Jabariah. Dan sementara akan saya sebutkan pendapat aqidah Asy` ariyyah yaitu Qadha` bermaksud pelaksanaan.
Adapun Qodho` Terbaagi menjadi dua bahagian yaitu: Qodha` Mubram dan Qodha` Muallaq. Qodha` Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku dan tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. (Contoh: Mati pasti akan berlaku). Firman Allah Taala bermaksud: Dan pada sisi Allah Ta’ala juga kunci-kunci semua yang ghaib. (Surah al-Anaam: ayat 59). Qadha Muallaq: Adalah ketentuan yang tidak semestinya berlaku bahkan bergantung kepada sesuatu perkara. (Contoh: Panjang umur bergantung kepada menghubungkan silaturrahim dan amal kebajikan yang lain). Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud: “Tidak boleh ditolak Qodar Allah Ta’ala melainkan doa. Dan tiada yang boleh memanjangkan umur melainkan membuat baik kepada ibu bapak.” (Riwayat Hakim, Ibnu Hibban dan Tarmizi). Semua perkara di dalam pngetahuan Allah. Kedua-dua jenis qodho` di atas ini adalah di dalam pengetahuan Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala bermaksud: Dan pada sisi Allah Taala Juga kunci-kunci semua yang ghaib. (Surah al-Anaam: ayat 59).
Hukum Mengimani Qodho` Dan Qodar
Definisi Iman secara kharfiyah (etimologis) adalah:percaya dan yakin. dan Iman secara ma`nawi (terminologis) Adalah: percaya dan yakin akan adanya Allah malaikatnya,kitab-kitab nya, para rasulnya,hari akhir,serta Qodho` Qodar.dan hukum mengimana Qodho Qodar adalah wajib hukum nya.
Ihtitam
Alhamudulillah dengan pertolongan Allah makalah ini bisa selesai walaupun banyak kesalahan semoga dengan kesalahan kita bisa terus semangat untuk memperbaiki kekurangan. Segala perbuatan hamba adalah diketahui oleh Allah Ta’ala melalui ilmu-ilmu-Nya. Hanya ianya terlindung dan tidak diketahui oleh hamba-hamba-Nya yang lemah. Kerana itulah kita disuruh untuk sentiasa berusaha dan taat kepada-Nya kerana kita tidak mengetahui apa yang akan berlaku kepada kita nanti. Di antara bentuk ketaatan adalah dengan berdoa kepada Allah Ta’ala. Dengan berdoalah seseorang hamba itu akan merasakan dirinya lemah dan berhajat atau memerlukan kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang aku maka (jawablah) bahawasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Aku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Surah al-Baqarah: ayat 186). Sabda Rasulullah S.A.W.: “Doa merupakan otak kepada ibadat.” (Riwayat at-Tarmizi). senantiasalah berusaha dan berdo`a. Telah diketahui bahawa segala usaha dan doa dari hamba akan didengar oleh Allah Ta’ala maka dengan sebab itulah perlunya seseoarang hamba itu untuk sentiasa berusaha dan berdoa. Namun segala usaha dan doa ini sudah tentutukan di dalam kuasa dan ilmu Allah Ta’ala. Kerana itulah ada dinyatakan bahawa manusia hanya berusaha dan berdoa tetapi Allah yang menentukannya, sebab manusia tidak mengetahui qodha` dan qadar-Nya. Firman Allah Ta’ala: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Surah ar-Rad: ayat 11). Wallahu a`lam bi al-shawab.
Oleh: M. Nur Ihsan Mabrur
Referensi:
1. Fathul baary.
2. Al-farqu Baina al-Firaq. Maktabah Dar al-turas.
3 . Al Qadru, Al-hafiz al-Kabir Abu Bakar Abu Jakfar bin Muhammad bin Husain. Maktabah ashriyah Bairut.
4. Al-Qodho` wal Qodar karangan syekh ibnu Taimiyah .cetakan darul kitab Al Arabiy.
5. Al-Musamarah Fi Syarhi Al-Musayarah Fi Ilmi al-Kalam, Kamal bin Syarif, Maktabah Dar al-bashair.
6.Tarikh Al-Madzahib.7. Mausu`ah al-Firaq wa al-Madzahib. Majlis a`la.8. Aqidah Asyairah, Shalahuddin bin Ahmad Al-Id-libii. Dar al-Salam.