GANTI FONT BLOG INI!

Dinamika Otentitas Nasikh-Mansukh Dalam Syari`at Islam

Oleh: Moch. Noor Yusuf el-Ba'alawy

Prolog

Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa keberadaan al-Quran bukan hanya sebagai kitab keagamaan, sejarah atau budaya saja, selain sebagai mukjizat Islam ia juga memiliki kedudukan primer, sakaligus sentral bagi inspirator tasyri' samawi dalam menata kehidupan, pemikiran dan kebudayaan umat islam tentunya, mukjizatnya selalu di perkuat oleh modernisasi, semakin maju ilmu pengetahuan, maka akan semakin tampak pula validitas kemu'jizatannya. Keberadaannya juga sebagai manba' dan konsep dalam pengetahuan isi kandungan al-Quran. Sedangkan tasyri' samawi diturunkan pada rasul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang akidah, ibadah dan muamalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan, karena ditegakkan atas tauhid ulûhiyyah dan rubûbiyyah, maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu semuanya sama.
Mengenai bidang ibadah dan muamalah, maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama persaudaraan. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri' pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri' pada periode yang lain. Tetapi tidak di ragukan lagi bahwa pembuat syariat (Musyarri'), yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang hanya milik-Nya.
Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri' dengan tasyri' lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.


Pengertian Nasikh dan Mansukh

Dalam etimologi lafadz nâsikh mempunyai beberapa arti, antara lain: penghapusan, (al-izâlah), pemindahan (al-naql), penggantian (al-tabdîl), dan penyalinan (al-tahwîl) . Sesuatu yang menghapus, memindah, mengganti dan menyalin, dinamai nasikh. Sedangkan yang dihapus, dipindah, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Sedangkan nasikh menurut terminologi terdapat definisi yang berbeda-beda, walaupun demikian, keberadaannya dapat di kompromikan pada sebuah definisi yang tidak jauh dari perbedaan itu. Yaitu: "Terangkatnya (terhapusnya) hukum suatu dalil dengan dalil syariat".
Sedangkan menurut Muhammad Shabih, naskh dalam terminologi mempunyai dua definisi:
1. Pembatalan hukum syara' yang di ambil dari teks lama dengan dalil hukum (nash) syara' yang kemudian:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, ألافزورها. (رواه الحاكم)
Maka dalil yang pertama menunjukkan larangan ziarah, sedangkan dalil yang ke dua menunjukkan terangkatnya hukum larangan tersebut, dan dalil kedua setatusnya menempati hukum ibâhah dan sunat.
2. Menghapuskan keumuman nash yang dahulu atau menjelaskan nash yang masih samar;
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء. ( البقرة : 228)
اذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة تعتدونها ( الأحزاب : 49)
Maka dalil yang pertama menunjukkan keumuman nash, (sebelum dan setelah di setubuhi). Sedangkan dalil yang ke dua menunjukkan husus, (hanya tertuju pada istri yang belum di setubuhi).
Sedangkan kata nasikh (yang menghapus) dapat di artikan dengan "Allah",
seperti pada ayat: او ننسها......(البقرة : 106) اية من ماننسخ
Dan juga dapat di artikan pula dengan "hukum yang menghapuskan hukum lain".
Dan mansûkh adalah hukum yang di angkat atau di hapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansûkh).
Bahkan diantara mereka ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain pula, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.
Dari perbedaan pengertian naskh di atas dapat di simpulkan bahwa para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat al-Quran yag ditetapkan terakhir. Karena telah disepakati bahwa syarat kontradiksi antara lain adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau bahkan menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu: (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.


Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketepatannya

Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan :
1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh mengandung konsep al-badâ', yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka adalah naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah, dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak, ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan, dan ini juga mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah di ketahui Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuannya tentang hikmah terebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hukum menuju hukum lain adalah karena suatu maslahat yang telah di ketahui-Nya jauh sebelumnya itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolute terhadap segala milik-Nya.
padahal orang yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan syariat sebelumnya, dan didalam nash-nash taurat juga terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil yang semula di halalkan.
Dalam hal ini, Ibn Katsir juga membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan berdalih, -- tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat,-- menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.”
2. Orang Syiah Râfidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya, dengan memandang konsep al-badâ' sebagai sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali r.a. secara dusta dan palsu. Dan juga dengan firman Allah:يمح الله ما يشاء ويثبت (الرعد : 39) "Allah menghapuskan apa yang Ia kehendaki dan menetapkan (apa yang ia kehendaki)". (al-Ra'd:13) , oleh mereka diartikan “Allah siap untuk menghapuskan dan menetapkan”.
Pemahaman demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap al-Quran, sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Hal demikian ini tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Ia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
3. Abu Muslim al-Asfihani. Menurutnya, secara logika naskh memang dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara'. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Quran untuk menghindari distorsi pemahaman mengenai kemurnian al-Quran, maka makna nasikh perlu ditinjau ulang. Dia memberikan definisi, bahwa nasikh-mansukh tiada lain hanyalah persoalan “am dan khas”, atau bisa diartikan sebagai proses meng ”update” pemaknanaan, sehinga sebenarnya tidak ada yang hilang komponennya, yg ada hanyalah peningkatan (upgrade) atau kualitas makna, berdasarkan:
لا يأ تيه الباطل من بين يد يه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد (فصلت : 42)
"yang tidak datang kepadanya (Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang di turunkan dari sisi Tuhan yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji." (Fussilat; 41), dengan pengertian bahwa hukum-hukum Quran tidak akan di batalkan untuk selamanya, dan mengenai ayat-ayat tentang naskh semuanya ia takhsiskan. Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat di terima, karena makna ayat tersebut adalah, bahwa Quran tidak di dahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4. Jumhur ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah sesuatu hal yang dapat diterima akal dan juga terjadi dalam hukum-hukum syara', berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.

Pembagian Naskh

Naskh terbagi atas empat bagian:
Pertama, naskh Quran dengan Quran, bagian ini di sepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh, seperti ayat yang menjelaskan tentag iddah empat bulan sepuluh hari.
Kedua, naskh Quran dengan Sunnah, dan naskh ini juga terbagi atas dua macam:
1. Naskh Quran dengan hadis âhâd. Ulama jumhur berpendapat, Quran tidak boleh di naskh oleh hadist ahad, sebab Quran adalah mutawâtir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad zannî bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma'lum (jelas di ketahui) dengan yang maznûn (di duga).
2. Naskh Quran dengan hadis mutawatir. Naskh demikian di bolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
Ketiga, naskh Sunnah dengan Quran, seperti yang di sepakati oleh jumhur ulama. Sebagai contoh yaitu tentang masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang di tetapkan dengan sunnah, seruan puasa pada hari 'Asyura, yang keduanya ini di tetapkan berdasarkan sunnah dan di naskh oleh Quran.
Keempat, naskh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: (a) naskh mutawatir dengan mutawatir; (b) naskh âhâd dengan âhâd; (c) naskh âhâd dengan mutawatir; (d) naskh mutawatir dengan âhâd. Tiga bentuk pertama di bolehkan, sedangkan pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Quran dengan hadits ahad yang tidak di perbolehkan oleh jumhur ulama.
Dari sisi lain, sebagian ulama membagi naskh menjadi tiga bagian:
a. Naskh tentang seruan sebelum terlaksanakan, dan bagian ini termasuk arti sebenanrnya tentang naskh, seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. menyembelih anaknya. Dan juga seperti firman Allah:
اذا ناجيتم الرسول فقدموابين يدي نجواكم صدقة. (المجادلة : 12)
kemudian di naskh dengan ayat: أأشفقتم ان تقدموابين يدي نجواكم صدقات. (المجادلة : 13 )
b. Naskh tajawwuz, "syariat yang telah di wajibkan pada umat terdahulu", seperti kewajiban qishas, dan diyat, begitu juga seruan pada perkara yang bersifat umum, yang kemudian di naskh, seperti naskh perintah menghadap Baitil Maqdis dengan perintah menghadap Ka'bah, dan seperti naskh puasa 'Asyura dengan puasa Ramadhan.
c. Seruan karena ada sebab yang kemudian sebab itu hilang. Seperti perintah sabar dan berpaling dari peperangan, yang kemudian di naskh dengan seruan perang.

Macam-macam Naskh

Naskh dalam al-Quran ada tiga macam:
Pertama, naskh tilâwah dan hukum. Maka karena itu tidak boleh membaca dan mengamalkannya, karena telah dinaskh secara keseluruhan, seperti ayat penyebab muhrim dengan sepuluh susuan.
Kedua, naskh tilawah, sedang hukumnya tetap. Untuk kedua macam naskh ini keberadaannya sangat sedikit, karena Allah menurunkan al-Quran agar manusia mendapat pahala dengan membacanya dan dengan menselerasikan hukum-hukumnya.
Ketiga, naskh hukum, sedang bacaannya masih.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat dikalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam al-Quran.
Para pendukung naskh juga mengemukakan beberapa argumennya, yang di antaranya keberadaan bukti-bukti yang menunjukkan tentang kenabian Muhammad, secara otomatis kenabiannya telah menaskh syariat-ayariat sebelumnya. Bagaimana mungkin kita menetapkan syariatnya tanpa menghapus syariat sebelumnya. Argumen lain berupa ayat al-Baqarah: 106,
Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Hikmah Naskh

1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

Epilog

Nasikh adalah perbuatan Allah yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti Dia sewenang-wenang dan menganiaya, akan tetapi semua hukum dan perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan pengetahuan, terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib untuk menguji loyalitas seorang hamba. Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi Muhammad saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan. Dan pemahaman semacam ini tentunya akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Apakah mustahil jika Dia memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Suatu maslahat dan hikmah akan berbeda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba lain, dan terkadang hukum yang lain pada waktu dan kondisi yang lain pula adalah lebih bermaslahat, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
 

Dilematisasi Pemikir Islam Atas Tarjamah Al-Qur’an

Prolog
Al-Qur’an sebagai sumber utama umat Islam mempunyai kronologi historis yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Perdebatan itu berangkat dari sebagain orang yang skeptis akan otentitas al-Qur’an; apakah benar keberadaannya dari Tuhan atau hanya sebatas political-religion yang diusung oleh Muhammad. Berbagai opinion yang bersifat subyektif maupun obyektif banyak mewarnai eksistensi al-Qur’an. Memang pada mulanya yang banyak memberikan konstribusi dalam permasalahan ini adalah Orientalis, yaitu komunitas barat yang melakukan diskursus bahasa dan sastra ketimuran. 

Dipandang dari sosio-historis berbicara terjemah al-Qur’an --diakui atau tidak-- akan berkaitan erat dengan ide cemerlang yang diprakarsai oleh orang-orang orientalis, meskipun realita kritis tersebut telah disinyalir keberadaannya sejak awal turunnya al-Qur’an, 21 abad yang lalu. Memang berbagai upaya memutarbalikkan fakta historitas dan orisilitas narasi telah dilakukan oleh berbagai oknum --salahsatunya ialah dengan melakukan penerjemahan al-Qur’an— namun upaya tersebut secara general masih menunjukkan gerakan yang stagnan. Kemudian gerakan tersebut dapat dijadikan bukti validitas al-Qur’an, sebagai kitab suci yang benar-benar turun dari Allah swt; “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. al-Hijr: 9).

Kali ini penulis akan menguraikan sedikit tentang sejarah terjemah, korelasi, dilemasi dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Namun tulisan ini tepatnya hanya sebatas introduction saja yang masih membutuhkan diskursus yang lebih intensif, karena masih ada banyak hal yang berhubungan dengan terjemah dan tafsir, yang belum terwakili dan teruraikan dalam tulisan ini. 

Sekilas Tentang Tarjamah Al-Qur’an
Eksistensi al-Qur’an menuai perjalanan panjang didalam berinteraksi dengan komunitas social arab dan non-arab. Pada mulanya Alihbahasa menimbulkan problem pelik dalam komunitas pemikir Islam, meskipun keberadaan terjemah sebagai suatu keniscayaan, agar supaya al-Qur’an dapat dipahami secara esensial oleh komunitas tertentu, dimana mereka tidak mampu menangkap pesan Tuhan dengan menggunakan bahasa aslinya. 

Memang alihbahasa ini menuai dilematis dikalangan ulama klasik. Berbeda sekali dengan apa yang terjadi pada Injil, yang dari pertama telah mengalami alihbahasa kedalam bahasa asing. Itulah salahsatu diantara yang membedakan kitab suci al-Qur'an dan Injil, kitab suci umat kristiani.

Al-Qur'an baru diterjemahkan pada pertengahan abad 12, oleh orang-orang eropa. Motif pengalihbahasaan al-Qur'an pada mulanya memang sebagai bentuk intectual agression yang berkembang dikalangan orang-orang non-muslim eropa terhadap eksistensi al-Qur'an. Inisiatif ini bermula dari "Petrus Yang Mulian" ketua gereja "Dir Cluny" kepada Robert of Ketton, seorang pakar berkebangsaan inggris, dibantu oleh orang jerman bernama “Hermanus” dan seorang muslim yang disebut "Muhammad". Motif mereka bukan untuk memahami kandungan al-Qur'an sebagaimana lazimnya namun untuk mencari celah dari arah mana mereka dapat membangun sebuah opini destruktif atas keimanan yang selama itu telah diyakini oleh umat Islam itu sendiri.

Larangan Penerjemahan
Pada masa itu dari kalangan ulama Islam tidak pernah menganjurkan untuk menterjemahkan al-Qur'an. Justru sebagian dari mereka melarang dan bahkan meng-haramkannya kendati kaum muslimin Arab telah ber-interaksi dengan non-Muslim. Alasan yang paling dominan ialah hampir semua Ulama sepakat bahwa terjemahan al-Qur'an sesungguhnya bukanlah al-Qur'an. Al-Qur'an menurut mereka bersifat untranslatable, tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa apapun kecuali hanya dengan menggunakan bahasa arab saja. 

Menurut mereka narasi al-Qur'an dalam bentuk bahasa arab adalah sesuatu yang sakral dan tidak dapat terwakili oleh bahasa non-arab, sehingga hambatan alihbahasa pada al-Qur'an oleh para pemikir islam ini sangatlah logis dan argumentatif, mengingat berbagai pertimbangan yang dikemukakan. Selanjutnya alasan lain sebagai bentuk larangan alihbahasa pada al-Qur’an ialah sebgai tindakan antisipasif terhadap upaya perubahan atas narasi al-Qur’an. 

Doktrin pelarangan semacam ini pada akhirnya mampu terkikis seiring berjalannya waktu. Tarjamah dalam tataran praktis justru menjadi sebuah urgent requirement (kebutuhan mendesak) agar supaya hal itu dapat menciptakan situasi balance dan dapat membendung missionaris yang kian gencar melempar pisau analisisnya, mengenalkan al-Qur'an dengan bahasa-bahasa lokal. Oleh karena itu pada akhirnya ulama membolehkan adanya alihbahasa terhadap al-Qur'an.

Pengertian Terjemah
Secara etimologi definisi terjemah ialah menguak atau menjelaskan hakikat tulisan. Adapun secara terminologi ialah transformasi suatu bahasa kepada bahasa lain secara general dengan metode gradasi. Definisi ini meliputi dua unsure sekaligus:
  1. Ungkapan sebuah bahasa kepada bahasa lain.
  2. Kesempurnaan terjemah dengan Metode gradasi dari sebuah bahasa spesifik kepada bahasa general. 
Dari sini dapat disimpulkan bahwa terjemah harus bersifat transformative dari bahasa tertentu ke dalam bahasa yang lain, dengan memperhatikan sepenuhnya tujuan redaksi yang diterjemahkan. Jadi dua unsure tersebut di atas dapat dijadikan syarat bagaimana seharusnya malakukan penerjemahan. 

Pengertian Tafsir
Pada diskusi yang lalu telah dibahasa tentang tafsir dan takwil, jadi kali ini akan dijelaskan tafsir secara simplistik. 

Etimolog berpendapat bahwasannya tafsir ialah penjelasan. Sedangkan pandangan terminolog, tafsir ialah disiplin yang mengkaji opstretikal al-Qur’an, dengan kapasitas manusia, menangkap pesan-pesan Allah swt. 

Terjemah sendiri secara generalisir terbagi menjadi dua bagian:
  1. Terjemah Literalis (Harâfiyyah), yaitu transformasi secara gradual dengan tanpa memperhatikan kandungan makna. Artinya penerjemahan yang dilakukan dari kata perkata tanpa mamandang makna tujuan yang tersirat dalam redaksi pertama. Terjemah semacam ini sangat mustahil dipandang dari komparasi suatu bahasa terhadap bahasa lain dari sisi gramatikal dan jenis literaturnya. Kalaupun ada kesamaan, tentunya mempunyai teory susunan yang berbeda. 
  2. Terjemah Substansialis (Tafsîriyyah), yaitu transformasi secara gradual tanpa melupakan dan sangat memperhatikan kandungan makna yang tersirat didalam redaksi pertama. 
Pada dasarnya kedua model terjemahan ini mempunyai kesamaan didalam menuangkan sebuah kalimat kedalam kalimat lain secara gradual, namun adanya defferensi terletak pada perhatian seorang penerjemah akan kandungan makna pada redaksi pertama dan tidaknya. 

Korelasi Terjemah dan Tafsir
Agar tidak menuai pemahaman yang salah, di sini akan memeberikan uraian secara deskriptif menyangkut terjemah dan tafsir. Memang ditinjauan dari terminolog keduanya mempunyai kesamaan; sama-sama mempunyai makna penjelasan. Namun hal itu akan berbeda jika didalam memahaminya menggunakan kacamata etimolog. 

Menurut hemat al-Zarqani, dalam karya Manâhil-nya, ada 4 hal yang membedakan disiplin ilmu tafsir dan terjemah. Perbedaan itu dirangkum sebagaimana berikut:
  1. Bentuk terjemah bersifat independent, dalam arti tidak mamandang bentuk singular maupun susunannya, secara gramatik. Sedangkan tafsir tidak demikian. 
  2. Larangan memperluas topic pembahasan yang ada pada redaksi pertama. Tuntutan terjemah ialah kesesuaian dengan apa yang diterjemahkan, tidak lebih dan tidak kurang. Sehingga jika ternyata terjadi kesalahan pada redaksi pertama (yang diterjemahkan) maka seharusnya bentuk terjemahan-nya juga dalam keadaan salah. Dalam Tafsir tidak demikian. Penafsiran justru dituntut memberikan penjelasan sekaligus memperluas opstretikal al-Qur’an dengan berbagai argumentasi. 
  3. Tarjamah harus mencakup semua makna asal dan tujuan yang terkandung dalam redaksi pertama, sedangkan tafsir statusnya sebagai penjelas, seperti yang telah diuraikan di atas. 
  4. Secara common practice (‘urf) tarjamah seharusnya meyakinkan bahwa semua yang dialihbahasakan seorang penerjemah adalah arti yang dikehendaki redaksi pertama. Sedangkan yang terjadi pada tafsir ialah sesekali terdapat tulisan: “Empunya redaksi yang lebih tau arti sebenarnya”. 
Sekarang tampak jelas bahwasannya terjemah bukanlah tafsir. Keduanya sama-sama mempunyai medan tersendiri meskipun keduanya bersifat interpenetrate (tadâkhul) satu sama lain. 

Ephilog
Pada dasarnya problem riil yang menjadi Tarikulur diantara para Ulama ialah terletak pada hukum terjemah al-Qur’an itu sendiri. Rasanya terjemah adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dipungkiri urgenitasnya. Untuk lebih realistis alangkah baiknya bersikap apresiatif terhadap ulama yang menganjurkan penerjemahan dengan mengutip rumus fiqh: “memilih yang lebih ringan diantara dua dlarâr”. Apalagi unsur I’jâz menurut hemat penulis bukan hanya pada sisi gramatikal-nya saja. Namun banyak sekali unsure lain seperti sastra, bilangan dan lain sebagainya yang tetap sarat nilai I’jâz-nya, meskipun dipahami dengan menggunakan redaksi non-arab. 

Tampaknya larangan terhadap penerjemahan adalah sebagai salahsatu bentuk isolasi dan diskriminasi atas pemahaman sesuatu. Apalagi tendensi larangan tersebut tidak berargumentasi dengan al-Qur’an maupun al-Hadist secara implisit, namun tendensi yang ada hanya terletak pada kasuistik dan estimetik yang bersifat temporal. Wallahua’lam.

Written by: M. Nurul Ahsan el-Balury


Daftar Pustaka:
  1. Al-Qur’an al-Karîm
  2. Kamus Oxford
  3. Sirah Nabâwiyyah
  4. Tahrim Kitabah al-Qur’an al-Karim Bi Hurufi Ghairi Arabiyyah, Shalih Ali Al-Ud
  5. Tafsir al-Râzi
  6. Al Maushû’ah al-Qur’âniyyah al-Mutakhashshishah, Isyrâf wa al-Taqdîm Prop. DR. Mahmud Hamdi Zaqzuq
  7. Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Muhammad Abd al-Adzim al-Zarqani

 

Terjemah Al-Qur'an Antara IYA! dan TIDAK!

Iftitah
Adalah menjadi keinginan bagi tiap-tiap Muslim bahkan Non-Muslim sekalipun, untuk dapat membaca dan memahami Al-Quran, sementara Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab (Qur’anan ‘Arabiyya), dan tidak setiap orang mampu berbahasa Arab, apalagi bahasa Arab fusha yaitu bahasa Al-Quran. Berangkat dari sini lah, maka, Al-Quran diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, baik Barat maupun Timur.

Sebelum berkembangnya bahasa Eropa modern, maka yang berkembang di Eropa adalah bahasa Latin. Oleh karena itu, terjemahan AL-Quran dimulai kedalam bahasa Latin. terjemahan itu dilakukan untuk keperluan biara Clugny kira-kira tahun 1135.

Prof. W. Montgomery Watt dalam bukunya bell’s Introduction to the Quran (Islamic Surveys 8), menyebutkan bahwa pertanda dimulainya perhatian Barat terhadap study Islam adalah dengan kunjungan Peter the Venerable, Abbot of Clugny ke Toledo, pada abad kedua belas, diantara usahanya adalah menerbitkan serial keilmuan untuk menandingi kegiatan intelektual Islam saat itu, terutama di Andalus. Sebagai bagian dari kegiatan tersebut adalah menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Latin yang dilakukan oleh Robert of Ketton (Robertus Retanensis), dan selesai pada juli 1143.

Abad Renaissance di Barat memberi dorongan lebih besar untuk menerbitkan buku-buku Islam, pada awal abad keenam belas buku-buku Islam banyak diterbitkan, termasuk penerbitan Al-Quran pada tahun 1530 di Venica dan terjemah Al-Quran kedalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton tahun 1543 di Basle, dengan penerbitnya Bibliander. dari terjemahan bahasa latin inilah, kemudian Al-Quran diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.

Al-Quran juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa selain Eropa, seperti Afrika, Persia, Turki, Urdu, Tamil, Pastho, Benggali, Jepang dan berbagai bahasa di kepulauan Timur, tidak ketinggalan pula Al-Quran juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, pada pertengahan abad ketujuh belas, Abdul Ra’uf fansuri, seorang ulama dari Singkel, Aceh, menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Melayu, walau mungkin terjemahan itu ditinjau dari sudut ilmu bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun, pekerjaan itu adalah berjasa besar sebagai pekerjaan perintis jalan; hingga pada saat ini, kita bisa mendapatkan berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia dengan sangat mudah dan bermacam-macam versi.

Pengertian Dan Pembagiannya
Kata Tarjamah, yang dalam bahasa Indonesianya biasa kita sebut dengan Terjemah, secara etimologi mempunyai beberapa arti : 
  • Menyampaikan suatu ungkapan pada orang yang tidak tahu.
  • Menafsirkan sebuah ucapan dengan ungkapan dari bahasa yang sama.
  • Menafsirkan ungkapan dengan bahasa lain.
  • Memindah atau mengganti suatu ungkapan dalam suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain, dan pengertian yang keempat ini, yang akan kita bahas lebih lanjut, mengingat pengertian inilah yang biasa dipahami oleh banyak orang (‘Urf), dari kata Tarjamah.
Sedangkan Tarjamah sendiri terbagi menjadi dua macam:
  1. Tarjamah Harfiyah atau Tarjamah Lafdhiyah.
  2. Tarjamah Tafsiriyah atau Tarjamah Ma’nawiyah.
Pengertian Tarjamah Harfiyah adalah memindahkan (suatu isi ungkapan) dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dengan mempertahankan bentuk atau urutan kata-kata dan susunan kalimat aslinya. 

Sedangkan Tarjamah Tafsiriyah adalah menerangkan sebuah kalimat dan menjelaskan artinya dengan bahasa yang berbeda, tanpa memepertahankan susunan dan urutan teks aslinya, dan juga tidak mempertahankan semua Ma’na yang terkandung dalam kalimat aslinya yang diterjemah. 

Sebagai contoh adalah Zaidun Yuqoddimu Rijlan wa Yu’akhiru Ukhro, bila kita artikan dengan Tarjamah Harfiyah, maka, artinya adalah Zaid mendahulukan satu kakinya dan mengakhirkan kaki yang satunya lagi, sedangkan bila kita mengartikan dengan Tarjamah Tafsiriyah, maka, artinya adalah Zaid ragu-ragu (Yataroddad) dalam mengambil keputusan, misalnya; dalam istilah bahasa Arab, kata mendahulukan satu kaki dan mengakhirkan kaki yang lainya, sebagai bentuk Kinayah (Metafora) dari perasaan ragu-ragu dalam mengambil keputusan.


Perbedaan Antara Tarjamah Tafsiriyah Dan Tafsir
Ada beberapa titik perbedaan antara Tarjamah Tafsiriyah dan Tafsir dari dua segi:
  1. Perbedaan bahasa, bahasa Tafsir terkadang atau kebanyakan memakai bahasa yang sama, sementara bahasa Tarjamah Tafsiriyah harus dengan bahasa yang berbeda.
  2. Bagi pembaca Tafsir, bisa memperhatikan rangkaian dan susunan teks asli beserta arti yang di tunjukan, di samping teks terjemahanya; sehingga dia bisa menemukan kesalahan-kesalahan yang ada, sekaligus meluruskanya. Andaikan dia tidak menangkap kesalahan itu, maka, pembaca yang lain akan menemukanya. Sedangkan pembaca terjemah, tidak sampai ke situ, karena dia tidak tahu susunan Al-Quran dan arti yang ditunjukanya, bahkan kesan yang ada, bahwa apa yang ia baca, dan ia pahami dari terjemah tersebut, adalah Tafsir atau arti yang benar terhadap Al-Quran, sedangkan pengecekan terhadap teks aslinya dan membandingkan dengan teks terjemahan, itu sudah di luar batas kemampuanya, selama dia tidak tahu bahasa Al-Quran. 

Hukum Terjemah Al-Quran
mengingat bahwa terjemah Al-Quran terbagi menjadi dua, Harfiyah dan Tafsiriyah; maka, untuk membahas hukum terjemah Al-Quran, harus membahas satu persatu dari dua macam Tarjamah Al-Quran tersebut.

Tarjamah Harfiyah
Tarjamah Harfiyah terhadap Al-Quran, adakalanya berupa Tarjamah yang menyerupainya (Bil Mitsli), dan adakalanya tidak menyerupainya (Bi Ghoiril Mitsli).

Tarjamah Harfiayah bil Mitsli artinya, menterjemahkan susunan Al-Quran ke dalam bahasa lain, dengan menjelaskan kata perkata, menyamakan gaya bahasanya (uslub-nya), sehingga bahasa terjemah mampu memuat apa yang terkandung dalam susunan naskah aslinya, yaitu Ma’na atau pesan-pesan yang tersampaikan dari gaya bahasa aslinya yang sangat Baligh , sekaligus hukum-hukum syariatnya.

Terjemahan model seperti ini mustahil alias tidak mungkin, bila obyek terjemahanya adalah Al-Quran; karena, diturunkanya Al-Quran mempunyai dua tujuan (El-Ghorodl), yaitu:
  • Untuk menunjukan kebenaran Nabi SAW dalam risalah-nya yang beliau sampaikan dari tuhannya, ini semua terjadi, karena Al-Quran adalah Mu’jizat, yang mana andaikan Manusia dan Jin bersatu-padu, bahu membahu untuk membuat atau menandingi satu surat sekalipun, yang menyerupainya; niscaya mereka tidak akan mampu untuk selamanya.
  • Untuk memberikan petunjuk pada Manusia, kepada kemaslahatan dan keselamatannya, baik di Dunia maupun di Akhirat.
Tujuan (El-Ghorod) yang pertama, tidak mungkin bisa tercapai dengan bahasa terjemah, dan itu pasti; karena, setiap bahasa mempunyai Kaidah dan spesifikasi masing-masing, sehingga Al-Quran bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain; maka, akan hilanglah spesifikasi Al-Quran yang berbahasa Arab itu, dari segi ilmu Balaghoh .

Sedangkan tujuan (El-Ghorod) yang kedua; maka, bisa berhasil dengan ber-Istimbat atau mengambil beberapa hukum dan petunjuk-petunjuk darinya; sedangkan istimbat tersebut, sebagian kembali kepada Ma’na Asli (Makna Umum) yang bisa dipahami oleh setiap akal manusia, dan terjangkau oleh semua macam bahasa. Makna Umum inilah yang mampu dijangkau oleh bahasa terjemah; sedangkan sebagian yang lain, diambil dari Ma’na yang kedua (Makna husus) dari model bahasa Al-Quran. Ma’na Khusus ini bisa kita rasakan, bila kita menghayati langsung kepada Al-Quran yang berbahasa Arab itu. Dari uraian di atas, bisa kita ketahui, bahwa Tajamah Harfiyah model ini, tidak mungkin adanya, alias Mustahil ‘Adatan.

Sedangkan Tarjamah Harfiyah bi Ghoiril Mitsli adalah menterjemahkan susunan Al-Quran dari kata perkata, sebatas kemampuan si-penerjemah, dan sebatas jangkauan bahasa terjemah. Model terjemahan seperti ini mungkin-mungkin saja secara adat, dan hukumnya boleh, bila obyek sasaranya adalah perkataan manusia, dan tidak boleh, apabila sasaranya adalah Kitabulloh Al-Quran al-Karim, karena akan merusak Ma’na-nya, disamping pekerjaan seperti ini, hanya akan membuang-buang waktu untuk melakukan suatu yang tidak diperlukan. 

Tarjamah Tafsiriyah
Sebagaimana tersebut di atas, bahwa pengertian Tarjamah Tafsiriyah adalah menerangkan sebuah kalimat dan menjelaskan artinya dengan bahasa yang berbeda, tanpa mempertahankan susunan dan urutan teks aslinya, dan juga tidak mempertahankan semua Ma’na yang terkandung dan dikehendaki dari naskah aslinya. Cara praktek terjemahan semacam ini, pertama-tama dengan memahami Ma’na yang dikehendaki dari naskah aslinya, kemudian kita ungkapkan pemahaman tersebut, dengan gaya bahasa terjemah yang kita pakai, sesuai dengan tujuan dari makna tersebut.

Setelah kita ketahui apa itu Tarjamah Tafsiriyah?, dan di mana letak perbedaanya dengan Tarjamah Harfiyah?; maka, bisa kita simpulkan, bahwa terjemah Al-Quran dengan Tarjamah Tafsiriyah hukumnya boleh; karena, sebenarnya terjemahan model ini, bisa dikatagorikan Tafsir dengan bahasa selain bahasa diturunkanya Al-Quran, yaitu bahasa Arab.

Para Ulama telah menemukan kata sepakat (Ijma’) terhadap bolehnya menafsirkan Al-Quran bagi pakar atau ahlinya, sesuai dengan kemampuan basyariyah-nya, tanpa harus tahu semua apa yang dikehendaki alloh SWT dari firmanya tersebut; sementara Tarjamah Tafsiriyah telah masuk dalam koridor Tafsir, karena ungkapan-ungkapan terjemah model ini, sama seperti ungkapan Tafsir, tidak sama dengan ungkapan naskah asli Al-Quran yang berbahasa Arab itu. Di saat Tafsir mengandung pada penjelasan terhadap teks asli dengan mengupas kalimat-kalimatnya yang diperlukan, menjelaskan maksudnya, memerinci Ma’na-nya yang perlu, meluruskan persoalan-persoalanya, menetapkan dalil-dalilnya, dan lain sebagainya; maka, Tarjamah Tafsiriyah pun juga mengandung hal itu; karena terjemah model ini, seakan-akan terjemah terhadap Tafsir Al-Quran, bukan kepada Al-Quran secara langsung.

Mempelajari Tafsir Al-Quran adalah wajib hukumnya; maka, Tarjamah Tafsiriyah pun juga sama, mengingat banyaknya kemaslahatan yang banyak sekali di balik Tarjamah Tafsiriyah tersebut, seperti menyampaikan pesan-pesan Al-Quran, menyalurkan hidayahnya terhadap orang-orang yang tidak paham dan tidak tahu bahasa Arab, menjaga Akidah Islamiyah dari serangan luar, meluruskan persepsi yang keliru terhadap Al-Quran, mengungkap penyesatan-penyesatan yang dilakukan oleh para misionaris barat yang dengan sengaja menterjemahkan Al-Quran dengan terjemah yang disisipi akidah dan ajaran yang melenceng dari ajaran Islam, tentu dengan tujuan agar orang-orang yang tidak tahu bahasa Arab tersebut akan mempersepsikan Al-Quran sebagai suatu momok yang perlu dijauhi dan dimusuhi; efeknya, banyak sekali suara sumbang yang timbul dari terjemahan yang sembrono ini. 

Berikut kami petikkan beberapa alasan yang melatar belakangi Tarjamah Tafsiriyah terhadap Al-Quran oleh Lajnah Tafsir Al-Quran al-Karim (Team Tafsir) dari Majlis A’la li as-Syuun al-Islamiyah, Mesir. 

Ada beberapa alasan mengapa perlu diterjemahkanya Ma’na Al-Quran ke dalam berbagai bahasa, yaitu:
  • Membersihkan akidah dasar Islam, dari kesesatan para pen-ta’wil gadungan.
  • Menyelamatkan hati manusia dari dongeng, tahayul, omong-kosong yang menghasut dari orang-orang tidak bertanggung jawab yang menguasainya.
  • Menegakan kekuasaan akal sehat, mendengungkan kebebasan berpikir, serta menghancurkan berhala Taklid buta .
  • Menghilangkan pemisah antara Alloh SWT dan mahluknya, serta meneriakkan persamaan secara umum antara manusia seluruhnya.
  • Persatuan semua golongan manusia dengan berpegang teguh terhadap Kalimatulloh al’Ulya.
  • Masuknya semua umat manusia ke dalam ajaran Islam dan perdamaian, membantu mewujudkan kegiatan keagamaan dengan menyebar luaskan ajaran Al-Quran.
  • Ikut serta dalam memberikan peringatan terhadap orang-orang dari berbagai golongan yang tidak ikut membantu dalam keberhasilan program Ishlah ini, dengan siksa di Dunia dan sengsaranya kehidupan di Akhirat kelak. 
Point-point inilah yang mendorong orang-orang Muslim untuk menyebar-luaskan agama dan risalah-nya kepada seluruh umat manusia, yang diantaranya adalah dengan menterjemahkan Al-Quran.

Maka, perlu ada syarat-syarat husus terhadap pekerjaan yang mulia ini, agar Tarjamah Tafsiriyah bisa menjadi terjemahan Al-Quran yang benar dan layak untuk diterima semua golongan; Syarat-syarat itu adalah:
  1. Terjemah tersebut harus memenuhi syarat Tafsir; terjemah harus bersandar pada Hadis Nabi, kaidah ilmu bahasa Arab, dasar-dasar /pokok-pokok yang ditetapkan dalam syariat Islam. Jadi, seorang penerjemah Al-Quran harus berpegang pada buku-buku Tafsir, dalam menterjemahkan kalimat-kalimat Al-Quran.
  2. Penerjemah harus steril dari kecenderungan untuk mengamini akidah-akidah yang sesat dan keluar dari ajaran-ajaran Islam, sehingga ia tidak menterjemahkan Al-Quran sesuai dengan keinginan hawa nafsunya (sak karepe wudele dewe).
  3. Penerjemah harus menguasai dua bahasa, bahasa naskah asli yang dalam hal ini adalah bahasa Arab, dan bahasa terjemah yang dikehendaki, serta menguasai spesifikasi dua bahasa tersebut sekaligus dasar, gaya bahasa dan arti yang ditunjukkanya. 

Wa’l Haashil
Setelah memandang bahwa Tarjamah Tafsiriyah lah yang dianggap boleh dan perlu untuk dijadikan sebagai piranti dalam menterjemahkan teks-teks Al-Quran, bukan Tarjamah Harfiyah; dan mengingat banyaknya kemaslahatan di balik terjemah Al-Quran dengan terjemahan yang benar; maka, penulis ikut memberanikan diri untuk mengatakan bahwa Tarjamah Tafsiriyah terhadap Al-Quran boleh, dan sangat perlu, demi kemaslahatan umat manusia secara umum, baik Muslim maupun Non Muslim.

Boleh dan perlunya untuk meterjemahkan Al-Quran tadi, tentunya harus diimbangi dengan profesionalitas penerjemah, serta tidak keluar dari syarat-syarat yang diperlukan, sehingga produk terjemahanya bisa diterima masyarakat luas yang tercerahkan darinya. Wallohu A’lamu bi as-Showaab.

Oleh: Ali Haidar.
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger