Adalah seorang Hakim di daerah Syam pada masa pemerintahan Utsman Bin Affan. Nama lengkapnya adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais, seorang sahabat perawi hadist dari Anshar, dari kabilah Khajraj. Ia hapal al-Quran dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Dalam perang Uhud Rasulullah bersabda mengenai dirinya: “Prajurit berkuda paling baik adalah Uwaimir”. Beliau ini dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Salman Al-Farisi. Dia mengikuti semua peperangan yang terjadi setelah perang Uhud. Ia meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah dan Zaid bin Tsabit, sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah anaknya sendiri; Bilal, dan istrinya; Ummu Darda’. Hadits yang dia riwayatkan mencapai 179 hadits. Masruq berkata mengenainya: ”Aku mendapatkan ilmu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam pada enam orang, diantaranya dari Abu Darda“.
Uwaimir bin Malik al-Khazraji lebih dikenal dengan nama Abu Darda. Ia merupakan sahabat nabi yang zuhud; meninggalkan gemerlapnya kehidupan dunia. Mengenai zuhud-nya, beliau berkata; “Dulu saya seorang pedagang sebelum Islam datang. Ketika ajaran Islam datang dan (saya masuk Islam), saya mengkalaborasikan antara dagang dan ibadah. Tapi keduanya tidak dapat bersatu. Hingga akhirnya saya tinggalkan profesi dagang untuk intens beribadah.” Karena ucapannya itu, Al-Imam Al-Dahabi berkata; “Alangkah baiknya mengabungkan keduanya secara sungguh-sungguh. Memang kadang tidak semua mampu mensinergikan keduanya. Meskipun demikian hak-hak dalam keluarga juga tidak kalah penting dibandingnya”.
Sesampainya di sana, ia mendapati masyarakat tengah terbuai kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat membuatnya sedih. Maka, diajaknya orang-orang itu untuk pergi ke masjid dan ia berpidato di hadapan mereka: “Wahai penduduk Damaskus! Kalian adalah saudaraku seagama, tetangga senegeri, dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damaskus! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyukai saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balasan apa-apa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan melebihi batas, namun tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai. Bangsa-bangsa sebelum kalian juga pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya beberapa saat harta yang mereka tumpuk habis terkikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan mewah yang mereka bangun runtuh menjadi kuburan. Hai penduduk Damaskus! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.) yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli peninggalan kaum ‘Ad itu dariku dengan harga dua dirham?”
Banyak orang yang menangis mendengarkan pidato itu, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi tempat-tempat berkumpulnya masyarakat Damaskus dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya ia menjawab. Jika bertemu dengan orang bodoh ia mengajarinya, dan jika melihat orang lalai ia pun mengingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan-kesempatan baik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Demikian sekelumit kisah tentang sahabat nabi yang mampu memberikan keteladanan tentang bagaimana menjalani keseimbangan hidup, antara duniawi dan ukhrawy. Dunia bersifat sementara sedangkan akhirat bersifat kekal abadi. Bagaimanapun juga untuk meraih kekekalan itu sudah barangtentu tidak mengorbankan hak-hak keluarga, masyarakat dan sebagainya yang bersifat dunia. Wallahu a’lam.
Disadur oleh; M. Nurul Ahsan, dari berbagai sumber.
Uwaimir bin Malik al-Khazraji lebih dikenal dengan nama Abu Darda. Ia merupakan sahabat nabi yang zuhud; meninggalkan gemerlapnya kehidupan dunia. Mengenai zuhud-nya, beliau berkata; “Dulu saya seorang pedagang sebelum Islam datang. Ketika ajaran Islam datang dan (saya masuk Islam), saya mengkalaborasikan antara dagang dan ibadah. Tapi keduanya tidak dapat bersatu. Hingga akhirnya saya tinggalkan profesi dagang untuk intens beribadah.” Karena ucapannya itu, Al-Imam Al-Dahabi berkata; “Alangkah baiknya mengabungkan keduanya secara sungguh-sungguh. Memang kadang tidak semua mampu mensinergikan keduanya. Meskipun demikian hak-hak dalam keluarga juga tidak kalah penting dibandingnya”.
Sebenarnya Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekedar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya telah cukup sesuap nasi, sebatas untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, ada sekumpulan orang bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, di antara mereka mempertanyakan selimut. Salah seorang dari mereka berkata; “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda". Kata yang lain; “Tidak perlu!” Tetapi orang itu menolak saran yang telah diberikannya untuk tidak menanyakan selimut kepada Abu Darda.
Pada suatu malam yang sangat dingin, ada sekumpulan orang bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, di antara mereka mempertanyakan selimut. Salah seorang dari mereka berkata; “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda". Kata yang lain; “Tidak perlu!” Tetapi orang itu menolak saran yang telah diberikannya untuk tidak menanyakan selimut kepada Abu Darda.
Dia terus menuju kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda sedang berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda; “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa mengenakan selimut. Anda kemanakan kekayaan dan harta benda Anda?”
Abu Darda pun menjawab: “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap mendapatkan harta benda kami langsung antarkan ke sana. Seandainya masih ada yang tersisa di sini (berupa selimut), sudah tentu kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu amat sulit dan mendaki. Apalagi membawa barang-barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang-barang yang berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa". Kemudian Abu Darda bertanya; “Pahamkah Anda?” Orang itu menjawab: “Ya, saya mengerti.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Abu Darda diberi kehormatan menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak jabatan tersebut, sehingga menjadikan Khalifah Umar marah kepadanya. Kemudian Abu Darda berkata: “Jika Anda menghendaki saya pergi ke Syam untuk mengajarkan Al-Quran dan sunah Rasul kepada mereka, serta menegakkan shalat bersama-sama dengan mereka, maka dengan senang hati saya terima.” Rupanya Khalifah Umar menyetujui rencana tersebut, kemudian Abu Darda berangkat ke Damaskus.
Abu Darda pun menjawab: “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Setiap mendapatkan harta benda kami langsung antarkan ke sana. Seandainya masih ada yang tersisa di sini (berupa selimut), sudah tentu kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu amat sulit dan mendaki. Apalagi membawa barang-barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang-barang yang berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa". Kemudian Abu Darda bertanya; “Pahamkah Anda?” Orang itu menjawab: “Ya, saya mengerti.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Abu Darda diberi kehormatan menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak jabatan tersebut, sehingga menjadikan Khalifah Umar marah kepadanya. Kemudian Abu Darda berkata: “Jika Anda menghendaki saya pergi ke Syam untuk mengajarkan Al-Quran dan sunah Rasul kepada mereka, serta menegakkan shalat bersama-sama dengan mereka, maka dengan senang hati saya terima.” Rupanya Khalifah Umar menyetujui rencana tersebut, kemudian Abu Darda berangkat ke Damaskus.
Sesampainya di sana, ia mendapati masyarakat tengah terbuai kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat membuatnya sedih. Maka, diajaknya orang-orang itu untuk pergi ke masjid dan ia berpidato di hadapan mereka: “Wahai penduduk Damaskus! Kalian adalah saudaraku seagama, tetangga senegeri, dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damaskus! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyukai saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balasan apa-apa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan melebihi batas, namun tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai. Bangsa-bangsa sebelum kalian juga pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya beberapa saat harta yang mereka tumpuk habis terkikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan mewah yang mereka bangun runtuh menjadi kuburan. Hai penduduk Damaskus! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.) yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli peninggalan kaum ‘Ad itu dariku dengan harga dua dirham?”
Banyak orang yang menangis mendengarkan pidato itu, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi tempat-tempat berkumpulnya masyarakat Damaskus dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya ia menjawab. Jika bertemu dengan orang bodoh ia mengajarinya, dan jika melihat orang lalai ia pun mengingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan-kesempatan baik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Demikian sekelumit kisah tentang sahabat nabi yang mampu memberikan keteladanan tentang bagaimana menjalani keseimbangan hidup, antara duniawi dan ukhrawy. Dunia bersifat sementara sedangkan akhirat bersifat kekal abadi. Bagaimanapun juga untuk meraih kekekalan itu sudah barangtentu tidak mengorbankan hak-hak keluarga, masyarakat dan sebagainya yang bersifat dunia. Wallahu a’lam.
Disadur oleh; M. Nurul Ahsan, dari berbagai sumber.