Prolog
Al-Qur’an sebagai sumber utama umat Islam mempunyai kronologi historis yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Perdebatan itu berangkat dari sebagain orang yang skeptis akan otentitas al-Qur’an; apakah benar keberadaannya dari Tuhan atau hanya sebatas political-religion yang diusung oleh Muhammad. Berbagai opinion yang bersifat subyektif maupun obyektif banyak mewarnai eksistensi al-Qur’an. Memang pada mulanya yang banyak memberikan konstribusi dalam permasalahan ini adalah Orientalis, yaitu komunitas barat yang melakukan diskursus bahasa dan sastra ketimuran.
Dipandang dari sosio-historis berbicara terjemah al-Qur’an --diakui atau tidak-- akan berkaitan erat dengan ide cemerlang yang diprakarsai oleh orang-orang orientalis, meskipun realita kritis tersebut telah disinyalir keberadaannya sejak awal turunnya al-Qur’an, 21 abad yang lalu. Memang berbagai upaya memutarbalikkan fakta historitas dan orisilitas narasi telah dilakukan oleh berbagai oknum --salahsatunya ialah dengan melakukan penerjemahan al-Qur’an— namun upaya tersebut secara general masih menunjukkan gerakan yang stagnan. Kemudian gerakan tersebut dapat dijadikan bukti validitas al-Qur’an, sebagai kitab suci yang benar-benar turun dari Allah swt; “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Q.S. al-Hijr: 9).
Kali ini penulis akan menguraikan sedikit tentang sejarah terjemah, korelasi, dilemasi dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Namun tulisan ini tepatnya hanya sebatas introduction saja yang masih membutuhkan diskursus yang lebih intensif, karena masih ada banyak hal yang berhubungan dengan terjemah dan tafsir, yang belum terwakili dan teruraikan dalam tulisan ini.
Sekilas Tentang Tarjamah Al-Qur’an
Eksistensi al-Qur’an menuai perjalanan panjang didalam berinteraksi dengan komunitas social arab dan non-arab. Pada mulanya Alihbahasa menimbulkan problem pelik dalam komunitas pemikir Islam, meskipun keberadaan terjemah sebagai suatu keniscayaan, agar supaya al-Qur’an dapat dipahami secara esensial oleh komunitas tertentu, dimana mereka tidak mampu menangkap pesan Tuhan dengan menggunakan bahasa aslinya.
Memang alihbahasa ini menuai dilematis dikalangan ulama klasik. Berbeda sekali dengan apa yang terjadi pada Injil, yang dari pertama telah mengalami alihbahasa kedalam bahasa asing. Itulah salahsatu diantara yang membedakan kitab suci al-Qur'an dan Injil, kitab suci umat kristiani.
Al-Qur'an baru diterjemahkan pada pertengahan abad 12, oleh orang-orang eropa. Motif pengalihbahasaan al-Qur'an pada mulanya memang sebagai bentuk intectual agression yang berkembang dikalangan orang-orang non-muslim eropa terhadap eksistensi al-Qur'an. Inisiatif ini bermula dari "Petrus Yang Mulian" ketua gereja "Dir Cluny" kepada Robert of Ketton, seorang pakar berkebangsaan inggris, dibantu oleh orang jerman bernama “Hermanus” dan seorang muslim yang disebut "Muhammad". Motif mereka bukan untuk memahami kandungan al-Qur'an sebagaimana lazimnya namun untuk mencari celah dari arah mana mereka dapat membangun sebuah opini destruktif atas keimanan yang selama itu telah diyakini oleh umat Islam itu sendiri.
Larangan Penerjemahan
Pada masa itu dari kalangan ulama Islam tidak pernah menganjurkan untuk menterjemahkan al-Qur'an. Justru sebagian dari mereka melarang dan bahkan meng-haramkannya kendati kaum muslimin Arab telah ber-interaksi dengan non-Muslim. Alasan yang paling dominan ialah hampir semua Ulama sepakat bahwa terjemahan al-Qur'an sesungguhnya bukanlah al-Qur'an. Al-Qur'an menurut mereka bersifat untranslatable, tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa apapun kecuali hanya dengan menggunakan bahasa arab saja.
Menurut mereka narasi al-Qur'an dalam bentuk bahasa arab adalah sesuatu yang sakral dan tidak dapat terwakili oleh bahasa non-arab, sehingga hambatan alihbahasa pada al-Qur'an oleh para pemikir islam ini sangatlah logis dan argumentatif, mengingat berbagai pertimbangan yang dikemukakan. Selanjutnya alasan lain sebagai bentuk larangan alihbahasa pada al-Qur’an ialah sebgai tindakan antisipasif terhadap upaya perubahan atas narasi al-Qur’an.
Doktrin pelarangan semacam ini pada akhirnya mampu terkikis seiring berjalannya waktu. Tarjamah dalam tataran praktis justru menjadi sebuah urgent requirement (kebutuhan mendesak) agar supaya hal itu dapat menciptakan situasi balance dan dapat membendung missionaris yang kian gencar melempar pisau analisisnya, mengenalkan al-Qur'an dengan bahasa-bahasa lokal. Oleh karena itu pada akhirnya ulama membolehkan adanya alihbahasa terhadap al-Qur'an.
Pengertian Terjemah
Secara etimologi definisi terjemah ialah menguak atau menjelaskan hakikat tulisan. Adapun secara terminologi ialah transformasi suatu bahasa kepada bahasa lain secara general dengan metode gradasi. Definisi ini meliputi dua unsure sekaligus:
- Ungkapan sebuah bahasa kepada bahasa lain.
- Kesempurnaan terjemah dengan Metode gradasi dari sebuah bahasa spesifik kepada bahasa general.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa terjemah harus bersifat transformative dari bahasa tertentu ke dalam bahasa yang lain, dengan memperhatikan sepenuhnya tujuan redaksi yang diterjemahkan. Jadi dua unsure tersebut di atas dapat dijadikan syarat bagaimana seharusnya malakukan penerjemahan.
Pengertian Tafsir
Pada diskusi yang lalu telah dibahasa tentang tafsir dan takwil, jadi kali ini akan dijelaskan tafsir secara simplistik.
Etimolog berpendapat bahwasannya tafsir ialah penjelasan. Sedangkan pandangan terminolog, tafsir ialah disiplin yang mengkaji opstretikal al-Qur’an, dengan kapasitas manusia, menangkap pesan-pesan Allah swt.
Terjemah sendiri secara generalisir terbagi menjadi dua bagian:
- Terjemah Literalis (Harâfiyyah), yaitu transformasi secara gradual dengan tanpa memperhatikan kandungan makna. Artinya penerjemahan yang dilakukan dari kata perkata tanpa mamandang makna tujuan yang tersirat dalam redaksi pertama. Terjemah semacam ini sangat mustahil dipandang dari komparasi suatu bahasa terhadap bahasa lain dari sisi gramatikal dan jenis literaturnya. Kalaupun ada kesamaan, tentunya mempunyai teory susunan yang berbeda.
- Terjemah Substansialis (Tafsîriyyah), yaitu transformasi secara gradual tanpa melupakan dan sangat memperhatikan kandungan makna yang tersirat didalam redaksi pertama.
Pada dasarnya kedua model terjemahan ini mempunyai kesamaan didalam menuangkan sebuah kalimat kedalam kalimat lain secara gradual, namun adanya defferensi terletak pada perhatian seorang penerjemah akan kandungan makna pada redaksi pertama dan tidaknya.
Korelasi Terjemah dan Tafsir
Agar tidak menuai pemahaman yang salah, di sini akan memeberikan uraian secara deskriptif menyangkut terjemah dan tafsir. Memang ditinjauan dari terminolog keduanya mempunyai kesamaan; sama-sama mempunyai makna penjelasan. Namun hal itu akan berbeda jika didalam memahaminya menggunakan kacamata etimolog.
Menurut hemat al-Zarqani, dalam karya Manâhil-nya, ada 4 hal yang membedakan disiplin ilmu tafsir dan terjemah. Perbedaan itu dirangkum sebagaimana berikut:
- Bentuk terjemah bersifat independent, dalam arti tidak mamandang bentuk singular maupun susunannya, secara gramatik. Sedangkan tafsir tidak demikian.
- Larangan memperluas topic pembahasan yang ada pada redaksi pertama. Tuntutan terjemah ialah kesesuaian dengan apa yang diterjemahkan, tidak lebih dan tidak kurang. Sehingga jika ternyata terjadi kesalahan pada redaksi pertama (yang diterjemahkan) maka seharusnya bentuk terjemahan-nya juga dalam keadaan salah. Dalam Tafsir tidak demikian. Penafsiran justru dituntut memberikan penjelasan sekaligus memperluas opstretikal al-Qur’an dengan berbagai argumentasi.
- Tarjamah harus mencakup semua makna asal dan tujuan yang terkandung dalam redaksi pertama, sedangkan tafsir statusnya sebagai penjelas, seperti yang telah diuraikan di atas.
- Secara common practice (‘urf) tarjamah seharusnya meyakinkan bahwa semua yang dialihbahasakan seorang penerjemah adalah arti yang dikehendaki redaksi pertama. Sedangkan yang terjadi pada tafsir ialah sesekali terdapat tulisan: “Empunya redaksi yang lebih tau arti sebenarnya”.
Sekarang tampak jelas bahwasannya terjemah bukanlah tafsir. Keduanya sama-sama mempunyai medan tersendiri meskipun keduanya bersifat interpenetrate (tadâkhul) satu sama lain.
Ephilog
Pada dasarnya problem riil yang menjadi Tarikulur diantara para Ulama ialah terletak pada hukum terjemah al-Qur’an itu sendiri. Rasanya terjemah adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dipungkiri urgenitasnya. Untuk lebih realistis alangkah baiknya bersikap apresiatif terhadap ulama yang menganjurkan penerjemahan dengan mengutip rumus fiqh: “memilih yang lebih ringan diantara dua dlarâr”. Apalagi unsur I’jâz menurut hemat penulis bukan hanya pada sisi gramatikal-nya saja. Namun banyak sekali unsure lain seperti sastra, bilangan dan lain sebagainya yang tetap sarat nilai I’jâz-nya, meskipun dipahami dengan menggunakan redaksi non-arab.
Tampaknya larangan terhadap penerjemahan adalah sebagai salahsatu bentuk isolasi dan diskriminasi atas pemahaman sesuatu. Apalagi tendensi larangan tersebut tidak berargumentasi dengan al-Qur’an maupun al-Hadist secara implisit, namun tendensi yang ada hanya terletak pada kasuistik dan estimetik yang bersifat temporal. Wallahua’lam.
Written by: M. Nurul Ahsan el-Balury
Daftar Pustaka:
- Al-Qur’an al-Karîm
- Kamus Oxford
- Sirah Nabâwiyyah
- Tahrim Kitabah al-Qur’an al-Karim Bi Hurufi Ghairi Arabiyyah, Shalih Ali Al-Ud
- Tafsir al-Râzi
- Al Maushû’ah al-Qur’âniyyah al-Mutakhashshishah, Isyrâf wa al-Taqdîm Prop. DR. Mahmud Hamdi Zaqzuq
- Manâhil al-Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Muhammad Abd al-Adzim al-Zarqani