BAB: I
PENDAHULUAN
Di tengah terpuruknya ekonomi kapitalis, konsep ekonomi Islam
seakan menjadi wacana yang akrab akhir-akhir ini. Wacana itu bukan hanya
berkembang di dunia Islam saja, akan tetapi telah menyentuh di berbagai belahan
dunia, tak terkecuali dunia Barat. Oleh sebagian orang, ekonomi Islam dianggap
sebagai ekonomi alternatif untuk menyelamatkan perekonomian dunia yang saat ini
tengah berada pada titik menghawatirkan. Dari sekian banyak konsep ekonomi Islam
itu adalah Gadai Syariah.
Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu
barang bergerak maupun tidak bergerak untuk dijadikan jaminan pelunasan atas utang
yang diambilnya. Pegadaian sendiri merupakan “trademark” dari Lembaga
Keuangan milik pemerintah yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai.
Berikut ini akan sedikit dijelaskan mengenai konsep gadai berbasis syariah dan
hal-hal yang berkaitan dengannya.
BAB: II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Gadai, dalam bahasa Arab dikenal dengan nama rahn. Secara
etimologi, rahn berarti konstan (ats-tsubût), permanen (ad-dawâm),
seperti contoh, ماء راهن yang berarti “tsâbit”.[1] Menurut
sebagian ulama, rahn diartikan menahan (al-habs), seperti
contoh firman Allah Swt. dalam Alquran: كل
نفس بما كسبت رهينة.
Yang dikehendaki rahînah di sini adalah mahbûsah.[2]
Dipandang dari syariah, rahn adalah menjadikan suatu benda
yang bernilai ekonomis –dalam pandangan syariah-- untuk jaminan suatu utang,
sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda tersebut.[3]
Gadai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: 1)
Meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi
hak yg memberi pinjaman; 2) Barang yg diserahkan sebagai tanggungan utang; 3) Kredit
jangka pendek dengan jaminan yang berlaku tiga bulan dan setiap kali dapat
diperpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah satu pihak yg bersangkutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 dijelaskan bahwa
gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas
utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan
piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain. Dari sini mulai
teridentifikasi adanya perbedaan antara konsep gadai syariah dan gadai
konvensional melalui redaksi “barang bergerak”.
2.2. Legalitas Gadai
Sebelum mengupas lebih jauh konsep rahn, alangkah baiknya
menjelaskan aspek legalitasnya terlebih dahulu. Para ulama berpendapat bahwa
praktik rahn legal perspektif hukum Islam berdasarkan Alquran, hadis dan
konsensus. Berikut ini penjelasannya:
1.
Allah
berfirman dalam Alquran:
﴿ وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ﴾
Artinya, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang”. (QS. 2:283).
Ulama sepakat atas legalnya praktik rahn. Hanya saja Mujahid
dan Dzahiriyyah berpendapat bahwa praktik rahn hanya dapat dilakukan
ketika dalam kondisi perjalanan. Ketentuan ini berlandaskan pada ayat di atas
yang secara eksplisit menggunakan redaksi “safar”, berarti perjalanan.
Mayoritas ulama berpendapat praktik rahn dapat dilakukan
dalam kondisi apapun, entah itu dalam kondisi perjalanan maupun bukan. Pendapat
ini mengacu pada sebuah hadis nabi dalam melakukan gadai, sementara beliau
tidak dalam kondisi perjalanan. Redaksi dalam ayat di atas hanya disebabkan
mekanisme dokumentasi sebuah transaksi dalam kondisi perjalanan masa itu belum ditemukan.[4]
2.
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas Ra. menceritakan tentang nabi pernah menggadaikan
pakaian perangnya kepada salah seorang Yahudi di Madinah untuk mendapatkan
gandum bagi keluarganya.[5] Nabi
saat itu juga tidak dalam kondisi perjalanan sehingga hadis ini menjadi
ilustrasi bahwa melakukan praktik rahn tidak harus dalam kondisi
perjalanan.
3.
Umat
Islam telah mencapai titik konsensus tentang legalnya praktik rahn.
Fakta itu telah berjalan berabad-abad lamanya, mulai periode nabi hingga
sekarang. Belum pernah ditemukan satupun penolakan.[6]
2.3. Rukun dan Syarat
Dalam praktik Rahn harus ada empat unsur: 1) Râhin
(pemberi jaminan); 2) Murtahin (penerima jaminan); 3) Marhûn
(barang jaminan), dan; 4) Marhûn bih (utang). Rukun rahn menurut
kalangan Hanafiah hanya ijab dan kabul –antara pihak rahin dan murtahin. Pendapat
ini juga terjadi dalam transaksi-transasi lain selain rahn. Kemudian, menurut
kalangan ulama selain Hanafiah, rukun rahn adalah shîghat, âqid
(râhin dan murtahin), marhûn, dan marhûn bih. Jika
salah satu dari rukun ini tidak dipenuhi, maka secara otomatis rahn tidak
dapat berjalan.
Dalam melakukan praktik rahn, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi agar rahn dapat berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:[7]
Pertama, syarat âqid. Masing-masing râhin dan murtahin
harus memenuhi kriteria ahliyyah. Ahliyyah sesuai pendapat Hanafiah dan
Malikiah adalah orang yang mempunyai kemampuan transaksi, karena rahn
–menurut mereka—diidentifikasi mempunyai kesamaan dengan jual-beli, sehingga âqid
harus berakal dan mumayyiz. Berbeda dengan kalangan Syafiiah dan
Hanabilah yang mengidentifikasi rahn mempunyai kesamaan dengan jual-beli
dan tabarru’ (sukarela). Oleh karenya, dalam melakukan praktik rahn
masing-masing râhin dan murtahin harus telah mencapai usia balig,
sehat rohani, tidak safîh (idiot), tidak muflis (pailit) dan tidak
mustakrah (dalam tekanan orang lain).
Kedua, syarat shîghat. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa sîghat
dalam praktik rahn tidak boleh menyertakan syarat maupun disandarkan pada
masa yang akan datang. Rahn dalam konsepnya menyerupai jual-beli. Jika dalam
praktiknya masih disertai syarat atau disandarkan pada masa yang akan datang,
maka rahn dinyatakan tidak sah sebagaimana jual-beli. Akan tetapi jika
syarat yang diajukan ternyata menyalahi syariah, maka yang tidak sah hanya sebatas
syaratnya saja, sedangkan hukum rahn tetap sah. Akan tetapi, menurut
Alauddin al-Kasani –salah satu ulama Hanafiah—syarat dan rahn-nya sama-sama
tidak sah.
Para ulama selain Hanafiah mempunyai pandangan lain. Syarat dalam
rahn diklasifikasi menjadi tiga bagian menurut Syafiiah: syarat benar, syarat
salah, dan syarat yang dapat merusak akad. Dari tiga syarat tersebut hanya
terakhir yang mampu membatalkan praktik rahn. Mengenai syarat ini, Malikiah dah
Hanabilah mempunyai pandangan lain. Bagi mereka syarat dalam praktik rahn hanya
ada dua macam: syarat benar dan syarat rusak.
Ketiga, syarat marhûn (barang jaminan). Ulama Hanafiah berpandangan
marhûn harus berupa benda yang dapat diperjualbelikan, bermanfaat,
bernilai, diketahui, dimiliki rahin secara penuh, tidak sedang digunakan râhin,
tidak berkumpul dengan harta lain atau harta orang lain. Menurut jumhur fukaha,
kecuali Malikiah, tidak sah menggadaikan manfaat suatu barang.
Keempat, syarat marhûn bih. Syarat marhûn bih menurut ulama
Hanafiah adalah berupa hak yang harus diserahkan, penyerahannya layak sebagai
timbal balik dari marhûn, dan ma’lum atau diketahui kedua
belah pihak. Sedangkan menurut kalangan Syafiiah dan Hanabilah, marhûn bih
harus bersifat konstan (tsabit), mengikat (lazim) atau mengarah ke sana,
diketahui jumlah dan sifatnya oleh kedua belah pihak.
2.4. Benda yang Timbul dari Barang Jaminan
Di dalam mekanisme rahn, terdapat beberapa ketentuan berkaitan
dengan pemanfaatan marhûn, batas kewenangan râhin sekaligus murtahin,
biaya perawatan dan beberapa benda yang timbul darinya. Para ulama sepakat
berkenaan dengan benda lain yang yang menyatu secara langsung (az-ziyâdah
al-muttashilah) dengan marhûn statusnya dianggap sebagaimana marhûn
itu sendiri. Akan tetapi perbedaan ulama itu terjadi ketika benda yang ada menyatu
tidak secara langsung dengan marhûn (az-ziyâdah al-munfashilah).
Menurut kalangan Syafiiah, benda lain yang menyatu secara tidak
langsung dengan marhûn, semisal buah, anak hewan, susu dan sejenisnya, secara
otomatis ikut serta menjadi marhûn, kecuali sesuatu yang dianggap ganti
dari manfaat, semisal upah, sedekah atau hibah. Sedangkan kalangan Malikiah
berpendapat bahwa sesuatu yang keluar dari marhûn, semisal anak, secara
otomatis statusnya menjadi marhûn. Berbeda dengan susu, bulu domba atau
buah-buahan statusnya tidak menjadi marhûn.
Dalam persoalan ini pendapat Hanabilah lebih general. Menurutnya,
apapun benda yang secara tidak langsung timbul dari marhûn otomatis
statusnya menjadi marhûn. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara anak
dengan induknya, dan seterusnya..[8]
2.5. Memanfaatkan Barang Gadai
Selain persoalan di atas, ulama juga berbeda pandangan mengenai pemanfaatan
marhûn oleh râhin. Terdapat dua pendapat mengenai persoalan ini,
antara Syafiiah dan mayoritass ulama. Pemanfaatan barang jaminan oleh râhin
diperbolehkan menurut ulama Syafiiah selama tidak mengakibatkan kerusakan. Menurut
mayoritas ulama, pemanfaatan ini tidak diperbolehkan. Menurut Hanafiah dan
Hanabilah pemanfaatan diperbolehkan selama mendapatkan izin dari pihak murtahin.
Sedangkan enurut Malikiah pihak râhin sama sekali tidak diperkenankan
memanfaatkan. Jika ternyata râhin memanfaatkan barang jaminannya, maka konsekuensinya
rahn menjadi batal.
Berdasarkan pendapat jumhur, pihak murtahin tidak
diperkenankan memanfaatkan marhûn. Pemanfaatan itu boleh dilakukan terbatas
jumlah kebutuhan perawatannya ketika pihak râhin enggan menanggungnya. Hanabilah
mempunyai pendapat berbeda. Menurutnya, pihak râhin dapat memanfaatkan
benda jaminan, selama jaminan yang ada berupa hewan, bukan yang lain. Durasi
pemanfaatannya juga harus sebatas jumlah kebutuhan perawatan barang jaminan. Untuk
lebih rincinya dapat dilihat dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh karya
Dr. Wahbah Zuhaily. [9]
2.6. Berakhirnya Perjanjian
Rahn dapat
dikatakan selesai ketika marhûn telah diserahkannya kepada pemiliknya, utang
dinyatakan lunas, marhûn dijual sesuai intruksi yang berwenang, marhûn
dijual atas iniatif râhin yang disepakati murtahin, pembebasan
tanggung jawab pembayaran utang entah menggunakan metode hawalah maupun
lainnya, pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh murtahin meskipun
tidak disepakati râhin. Pembatalan secara sepihak ini dinyatakan sah karena
perjanjian rahn adalah hak murtahin. Murtahin tidak ada keharusan
untuk menerima (ghaira lâzim), ia mempunyai hak menerima atau menolak (jâiz).[10]
2.7. Penjualan Barang Jaminan
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) nomor: 25/DSN-MUI/III/2002
terkait penjualan barang jaminan dalam praktik rahn adalah sebagai
berikut: a) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan râhin
untuk segera melunasi utangnya; b) Apabila râhin tetap tidak dapat
melunasi utangnya, maka Marhûn dijual paksa/dieksekusi melalui lelang
sesuai syariah; c) Hasil penjualan Marhûn digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan; d) Kelebihan
hasil penjualan menjadi milik râhin dan kekurangannya menjadi kewajiban râhin.
2.8. Jenis-Jenis Gadai
Dalam Al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah, Wahbah Zuhaily
menjelaskan gadai ada dua macam: Rahn Hiyazy dan Rahn Ta`miny/Rasmy.
Rahn Hiyazy merupakan praktik gadai yang telah dikenal banyak orang dari
dulu hingga sekarang. Dalam prosedur pelaksanaannya, marhûn berada dalam
kekuasaan murtahin. Berbeda
dengan Rahn Ta`miny/Rasmy, dimana pihak murtahin hanya mempunyai kewenangan memegang surat bukti
kepemilikan saja –semisal BPKB, sedangkan marhûn tetap berada di tangan rahin.[11]
Praktik gadai semacam ini jamak terjadi di berbagai tempat pada periode
sekarang. Dari dua model gadai di atas, hanya Rahn Ta`miny/Rasmy yang
menyisakan pertanyaan terkait kebolehannya.
Dalam memberi pandangan hukum terkait Rahn Ta`miny/Rasmy,
ulama kontemporer terjadi perbedaan. Dr. Hassan Wahdan mengatakan bahwa rahn
dalam bentuk ini bertentangan dengan syariah karena pihak murtahin tidak
menerima marhûn. Menurutnya, bentuk transaksi semacam ini telah
terkontaminasi produk transaksi Barat. Akan tetapi, pendapat ini dibantah oleh
sebagian ulama. Mereka mengatakan bahwa penerimaan (qabd) pihak murtahin
atas marhûn tidak terbilang rukun menurut pendapat sebagian ulama. Lagipula
pemindahan kepemilikan melalui penyerahan surat bukti kepemilikan juga dapat
masuk kategori qabd.[12]
2.9. Perbandingan
Pada prinsipnya, ada aspek pembeda antara gadai syariah dengan gadai
konvensional. Berikut ini beberapa di antaranya:
a.
Pegadaian
syariah sistem operasionalnya menggunakan metode fee based income dan mudhârabah,
tergantung tujuan pihak râhin dalam mengalokasikan dananya. Karena
masing-masing râhin mempunyai tujuan bermacam-macam, tergantung
kebutuhannya, semisal pembiayaan pendidikan, tambah modal dan lain-lain. Fee
based income lebih diutamakan daripada mudhârabah.
b.
Pegadaian
konvensional hanya melakukan satu perjanjian, yaitu utang-piutang, sedangkan
status barang jaminan bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian
pokoknya, yakni perjanjian utang-piutang. Berbeda dengan pegadaian syariah,
yang mana barang jaminan mutlak disyaratkan guna penarikan jasa simpanan.
c.
Dana
yang salurkan pegadaian syariah kepada nasabah (râhin) tidak ada unsur
riba, karena biaya berasal dari dana pribadi atau menjadikan Bank Muamalat
sebagai fundernya, sementara sumber pegadaian konvensional dari bunga
para râhin.
d.
Dalam
pegadaian konvensional sangat menekankan bunga berdasarkan jumlah pinjaman,
berlipat ganda, serta berakumulasi, sedangkan dalam pegadaian syariah tidak
mengenal riba. Di sana menggunakan prosedur jasa penyewaan.[13]
BAB: III
PENUTUP
Hadirnya pegadaian syariah di Indonesia sebagai lembaga keuangan
formal yang bertugas menyalurkan pembiayaan dalam bentuk pemberian uang
pinjaman kepada masyarakat berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang
perlu diapresiasi. Secara praktis, gadai syariah masih ditemui berbagai unsur
yang berindikasi menabrak prinsip-prinsip syariah, semisal adanya unsur riba,
perjudian (spekulasi), dan seterusnya. Untuk mencapai pegadaian syariah yang
sempurna, tentu dibutuhkan pembenahan di mana-mana. Pada akhirnya penulis
mengakui, tulisan ini hanya mengupas sedikit tentang sekian banyak persoalan
dalam praktik gadai. Pada dasarnya, masih banyak persoalan penting untuk
dikemukakan dan dirumuskan. Tapi karena keterbatasan penulis, semua itu tidak
dapat terlaksana. Wallâhu a’lam.
* Dipresentasikan
dalam kajian dwi mingguan FAS (Forum Alumni Sarang) Mesir, pada hari Jum’at, 9
Maret 2013.
[1] Prof. Dr.
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, vol. 6 (cet. 4;
Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.), h. 4207.
[2] Abdurrahman
bin Muhammad ‘Audh Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, vol.
II (Maktabah Syamilah) h. 212; Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Al-Mu’âmalât
al-Mâliyyah al-Mu’âshirah (cet. 1; Damaskus: Dar al-Fikr, th. 2011), h. 82;
Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiyata Qalyûby wa Umairah, vol. 2 (t.c.; Dar
at-Taufiqiyyah at-Turats, th. 2010), h. 429.
[3] Terdapat
banyak redaksi perihal definisi rahn dalam perspektif syariah. Akan
tetapi, masing-masing definisi tidak terlalu jauh perbedaannya sehingga tidak
terlalu banyak mempengaruhi substansi dari rahn itu sendiri. Lihat, Dr.
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, loc. cit.
[4] Ibit.,
h. 4209.
[5] Hadis
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa`i dan Ibnu Majah.
[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughny
fî Fiqh al-Imâm Ahmad ibn Hambal al-Syaibâni, vol. 4 (cet. 1; Bairut: Dar
al-Fikr, t.t.), h. 397.
[7] Rukun dan syarat
ini secara terperinci dijelaskan oleh, Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy
wa Adillatuh, op. cit., h. 4212- 4236.
[8] Wizarat
al-Auqaf wa al-Syu`un al-Islamiyyah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, vol.
23 (t.c.; Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa
asy-Syu`un al-Islamiyyah, th. 2008), h. 183.
[9] Prof. Dr.
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, op. cit., h. 4287-4289.
[10] Prof. Dr.
Wahbah Zuhaily, Al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah, op. cit., h. 87.
[11] Ibit.,
h. 88.
[12] Markaz
ad-Dirasat al-Fiqhiyyah al-Iqtishadiyyah, Mausû’ah Fatâwy al-Mu’âmalât al-Mâliyyah,
vol. 13 (t.c.; Kairo: Dar as-Salam, t.t.), h. 352.
[13] Prof. Dr.
Abdul Ghafur Anshori, S.H., M.H., Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga
Keuangan Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiyaan (cet. 1; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, th. 2008), h. 58.