Prolog
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak
bisa terlepas dari yang lainnya. Dalam
segi apapun, antara satu sama lain saling membutuhkan. Mungkin ini yang
mendorong Ibnu Khaldun untuk mengatakan: "saya tidak bisa membuat roti
sendiri" saat ditanya kenapa kita harus bersosialisasi?.
Syari'at islam datang
memberikan batasan-batasan terhadap manusia dalam berinteraksi dengan sang
pencipta dan sesama. Karena semua
syari'at islam tidak lain hanya untuk
kemashlahatan manusia.[1] Dalam
koridor interaksi manusia dengan sang pencipta, Islam mensyariatkan beraneka
ragam ibadah (‘ibâdât). Demikian pula
dalam segi interaksi manusia dengan sesamanya, syari’at islam membatasinya
dengan hukum-hukum seputar transaksi (mu’âmalah),
kriminalitas (jinâyât), pernikahan (munâkahât), agar tidak terjadi penindasan
terhadap yang lainnya.
Pada dasarnya syari'at
islam sangat elastis terhadap situasi-kondisi manusia. Taruh saja dalam segi
ibadah, Islam tidak menuntut manusia untuk melakukan sholat berdiri apabila
tidak mampu melaksanakannya. Kemudian berbicara lebih spesifik dalam segi mu’âmalah, hukum yang diterapkan disuatu
negara mungkin tidak cocok diterapkan di negara lain. Pendapat ulama disuatu
masa, mungkin kurang relevan jika
diaplikasikan di zaman yang sarat akan tehnologi ini. Karena disetujui atau
tidak, terkadang suatu fatwa mempunyai masa dan lingkungan tertentu.
Kalau kita pandang
secara kasat mata, tentu masalah ini terkesan sporadis. Pasalnya tidak ada
pemerataan hukum terhadap setiap elemen umat, padahal bersumber dari referensi
yang sama. Lantas bagaimana langkah kita mensikapinya?. Apakah perbedaan ulama’
ini harus kita jadikan sebagai alat pemecah kesatuan umat?. Dan apakah fenomena
ini memaksa kita untuk tidak melirik karya-karya peninggalan mereka (turats). Dengan dalih karena sudah
tidak selaras dengan perkembangan zaman?.
Pada kesempatan kali
ini Penulis mencoba menganalisa peran turats
dimasa sekarang, dengan lebih menspesifikan hukum mu’âmalah. Walaupun Penulis bukan spesialis dibidangnya, tapi tidak
ada salahnya belajar menganalisa pendapat ulama’ dengan maksud pengembangan
ilmiyah. Berangkat dari ketentuan kepengurusan FAS Mesir 2012/2013, tema yang
diusung dalam diskusi dwimingguan adalah mu’âmalah
syar’iyah dengan mengacu kitab “Hasyiyatâ
Al Qalyuby wa ‘Umaerah”, Penulis tidak ingin menterjemah tema yang
diberikan. Karena disetujui atau tidak menterjemah merupakan hal yang mudah dan
tidak banyak membutuhkan pemikiran dan pengalisaan. Penerjemahan lebih banyak
mengajak kita hanya bergelut dengan alih bahasa saja. Dengan mengharap taufiq
Allah SWT., Penulis mencoba membahas sebagian sub-sub tema yang ada dengan
mengkaitkan relevansinya dimasa sekarang atau kemashlahatannya dikalangan umat. Dalam makalah singkat ini penulis
hanya menitik tekankan dua point. Yang pertama seputar polemik shighat, dan yang kedua seputar
penjualan barang najis.
I.
Polemik Seputar Shighat akad
Imam
Nawawi dalam Minhaj
al Thalibinnya mengatakan: “syarat
ba’i adalah ijab dan qabul” dengan menampilkan kedua contohnya. Kemudian Syekh Jalaluddin al Mahaly dalam syarahnya mentafri’ ketidaksahan jual beli tanpa ijab dan qabul. Sedangkan
Al Qalyuby dalam hâsyiyahnya berpandangan bahwa jual beli
tanpa adanya ijab-qabul (ba’i mu’âthâh) merupakan suatu dosa,
setelah Ia menampilkan perbedaan pendapat apakah ini dosa besar atau kecil?.[2]
Tentu hal ini menjadi
polemik tersendiri apabila diaplikasikan dipelbagai kalangan masyarakat.
Pasalnya banyak komunitas yang mempraktekkan transaksi ini (ba’i mu’âthâh). Jika kita tetap mengacu
pendapat Al Qalyuby, kita akan memvonis dosa banyak kalangan. Dari sisi lain,
fiqh merupakan solusi bagi masyarakat.
Pengertian
Shighat Akad
Shighat akad
(shighat al aqd) adalah sesuatu yang
membentuk transaksi, baik berupa ucapan seperti ijab dan qabul, atau
tindakan seperti mu’âthâh untuk
menjelaskan tujuan seseorang yang sedang bertransaksi.[3]
Mu’âthâh
adalah pengambilan barang dari pihak pembeli serta penyerahan harga darinya,
atau pemberian barang dari pihak penjual, dan pembayan pembeli tanpa adanya
perkataan atau isyarat.[4]
Ulama berbeda pendapat
mengenai keabsahan transaksi ini. Perbedaan mereka berporos pada ada dan tidak
adanya ridla dalam transaksi tersebut. Berikut pandangan ulama beserta dalil mereka:
a.
Keabsahan Ba’i Mu’âthâh
Diantara ulama yang berpendapat tentang
sahnya ba’i mu’u’âthâh (jual-beli
tanpa shighat) adalah kalangan Hanafiyyah,
Mâlikiyyah, dan Hanâbilah.[5]
Mereka menggunakan dalil secara manqul
dan ma’qul. Dalil manqul
mereka yang pertama adalah firman Allah dalam surat al Nisa’ ayat 29.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Wajhu al dalâlah:
ayat ini menegaskan tentang diperbolehkannya tijârah (jual-beli). Tijârah
adalah gambaran pemberian suatu barang pada yang lain dengan pemberian
ganti tertentu dari pihak kedua. Definisi tijârah ini merupakan
interpretasi dari mu’âthâh. Perkataan kedua orang yang melakukan
transaksi adalah bukti saling menukar barang yang menunjukkan kerelaan (ridla),
namun itu bukan berarti selain perkataan tidak menunjukkan keridlaan.
Dalil manqul
yang kedua adalah keumuman firman Allah SWT. dalam surat Al BAqarah: 275.
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Wajhu al dalâlah
dalam ayat tersebut adalah kehalalan akad jual-beli. Allah SWT. tidak
menentukan caranya secara pasti. Maka dikembalikan pada kebiasan suatu
lingkungan (urf).
Sedangkan dalil secara ma’qul
adalah adanya ijab-qabul yang dimaksudkan untuk saling ridla
antara keduabelah pihak yang bertransaksi. Ketika ditemukan sesuatu yang
menunjukkan keridlaan selain ijab-qabul, maka sudah mencukupi
dari keduanya.[6]
b.
Keharaman Ba’i Mu’âthâh
Pendapat yang kedua ini diamini kalangan
Syâfi’iyyah, Dzâhiriyyah, dan Zaediyyah[7].
Namun sebagian dari kalangan Syafi’iyyah (Ibn Surej) menganggap sah mu’âthâh
pada barang-barang yang dianggap sepeleh dan suatu komunitas telah
membiasakannya.
Pendapat mereka
berpijak pada firman Allah SWT dalam surat Al Nisa: 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيمًا
Wajhu al dalâlah:
Dalam ayat ini Allah SWT. mengkaitkan kehalalan makanan dengan adanya saling ridla
(rela). Sedangkan ridla merupakan sesuatu yang samar yang tidak dapat
kita ketahui. Sehingga hukum harus dikaitkan dengan sesuatu yang dlahir yaitu shighat (ijab-qabul).
Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa jual-beli mu’âthâh
tidak sah, karena hanya sekedar tindakan tidak cukup sebagai shighat
yang menyatakan keridlaan.
Mengacu pada ayat yang
sama, kalangan Dlâhiriyyah mempunyai pandangan (wajhu al dalâlah)
yang berbeda. Ibnu Hazm mengatakan: Mu’âthâh bukanlah suatu jenis
akad yang disyari’atkan Allah SWT. Karena setiap akad penamaannya secara tauqify
(bersumber dari Allah dan rasulnya). Dengan bukti Allah SWT. berfirman (وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا), dan firman Allah (لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ). Sesungguhnya perkara yang diharamkan Allah, maka jelas keharamannya.
Dan yang dihalalkan Allah, tentu halal. Ketika suatu barang diambil dengan
selain nama yang telah ditentukan Allah, maka tindakan tersebut batil sesuai nash
alqur’an[8]. Dalam
hal ini, mereka bersih keras (mutasyaddid) untuk memberi istilah setiap
akad dengan nama tertentu secara tauqify.
Selain dari ayat
diatas, mereka juga mengambil dalil hadits yang diriwayatkan Ibnu Mâjah:
حَدَّثَنَا
الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ الدِّمَشْقِىُّ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ صَالِحٍ الْمَدَنِىِّ،
عَنْ أَبِيــهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ[9]
Wajhu al dalâlah hadits ini
seperti halnya pandangan Syafi’iyyah dalam menganalisa ayat diatas.
Tarjîh
Dalil dari kedua pendapat secara garis
besar sama, yakni firman Allah dalam surat Al Nisa: 29. Akan tetapi pandangan
teoretis
dalil yang berbeda. Pengarahan yang mengklaim ba’i’ mu’âthâh tidak sah
dapat dapat ditanggapi (munâqasyah) demikian:
* Pendapat Syâfi’iyyah
yang mengklaim mu’âthâh tidak sah menjadi akad jual-beli. Dengan dalih mu’âthâh
tidak bisa menunjukkan keridlaan. Dapat ditanggapi bahwa poros keabsahan
akad adalah adanya keridlaan dari kedua belah pihak. Maka seharusnya
dapat diterima segala sesuatu yang menunjukkan keridlaan. Tentunya, dan
tidak diragukan kalau mu’âthâh juga menunjukkan keridlaan dari
kedua belah pihak. Pemaksaan adanya ridla dari shighat saja,
hanya akan meyisihkan pertanyaan pada kalangan Syâfi’iyyah. Mengapa hanya menganggap
lafadz saja yang menjadikan keabsahan jual-beli?. Dan uniknya, kadang
Syâfi’iyyah menganggap sah akad tanpa adanya lafadz atau shighat,
semisal orang bisu.
* Pendapat Dlâhiriyyah
yang mengklaim nama semua akad merupakan tauqify (dari Allah), dapat
ditanggapi bahwa hal ini dapat memberatkan transaksi jual-beli yang telah
berlaku disuatu kominitas semenjak masa rasul. Dan klaim semacam ini tidak
sesuai fakta, dengan kata lain syariat tidak menentukan nama atau istilah
khusus pada setiap akad. Karena titik tekan dalam setiap akad adalah maknanya
bukan lafadznya. Ketika akad tanpa lafadz sudah membuahkan keridlaan
dari kedua belah pihak yang bertransaksi, maka pendapat yang mengharuskan
berpegang pada lafadz justru tidak sealur sejalan dengan transaksi yang sudah
dipraktekkan pada masa nabi.
Solusi Umat
Ibnu Qadâmah,
Setelah menjelaskan keabsahan mu’âthâh mengatakan: “tidak ada riwayat
dari nabi ataupun sahabatnya praktek ijab-qabul. Memandang banyaknya
transaksi yang ada. Apabila mereka menggunakan ijab-qabul, pasti banyak
sekali periwayatan. Dan apabila ini merupakan syarat, maka wajib untuk diriwayatkan”.
Kemudian Ibnu Qadâmah memberi gambaran adanya transaksi mu’âthâh dari
satu masa kemasa. Bahkan Ia mengklaim adanya ijma’ atas keabsahan akad
ini, hingga akhirnya ada sebagian kalangan yang bertolak belakang dengan hukum
ini.[10]
Dari adanya dalil dan
beberapa pertimbangan diatas, dan tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat dari
ijtihâd ulama, maka pendapat yang mengatakan sahnya akad mu’âthâh
lebih utama untuk diterima dan selaras dengan kebiasan yang terjadi dikalangan
masyarakat dari masa kemasa. Karena lebih mudah untuk diaplikasikan dan tidak
memberatkan masyarakat.
II.
Syarat Mabi’ (barang jualan)
Dalam Minhaj al Thalibin, Imam Nawawi
mengatakan: “terdapat beberapa syarat dalam mabi’. Salah satunya suci.
Maka tida sah menjual anjing dan arak”. Al Mahaly dalam syarahnya memberikan
dalil dari hadits nabi:
نَهَى النَّبِىُّ
صلى الله عليه وسلم عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ[11]
Dan hadits Nabi:
إِنَّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَام[12]
Kemudian Al Mahaly melanjutkan
pensyarahan dan mengatakan: “makna dari ini semua adalah kenajisan mabi’.
Samakanlah masalah ini pada setiap barang yang najis.” Bahkan Syekh Umaerah
dalam hâsyiyahnya mengatakan: larangan penjualan barang najis merupakan ijma’
sebagaimana keterangan dalam syarah Muhadzab.[13]
Kalau kita amati
redaksi dalam kitab tersebut, secara sharih mengharamkan penjualan
barang yang najis. Termasuk dalam kategori barang najis adalah darah. Tentu ini
akan menjadi polemik tersendiri saat kita dihadapkan fakta sekarang ini adanya
pendonoran darah dengan imbalan tertentu, atau saat kita hadapkan pada seseorang
yang menjual darahnya karena himpitan ekonomi. Kemudian bagaimana pandangan dan
solusi syara’?.
Selayang
Pandang Donor Darah
Darah merupakan sarana
kehidupan bagi tubuh manusia dan beragam jenis hewan lainnya. Sehingga dalam
bahasa arab istilah safk al dam (mengalirkan darah) diartikan tindak
kriminal pembunuhan (Al Baqarah: 30). Karena menghilangkan sesuatu yang
berperan penting dalam kehidupan manusia. Dalam khuthbah rasul saat haji wada’,
Beliau menjadikan keharaman darah, sebagai kinayah dari kemulyaan
kehidupan.[14]
Peran darah sangat
urgen dalam tubuh manusia untuk kelangsungan kehidupannya. Darah menyerap
makanan dari lambung, dan usus menuju keseluruh bagian tubuh. Begitupula darah
membawah oksigen dari paru-paru dan menyebarkannya kesel-sel tubuh. Selain itu
darah berperan penting membantu pengeluaran kotoran dari dalam tubuh.[15]
Apabila kadar darah
kurang dari ukuran normal, rentan sekali mengakibatkan penyakit dalam tubuh. Namun
kekurangan darah dapat diantisipasi dengan mengkonsumsi makanan atau vitamin
tertentu. Ironisnya, tidak semua kekurangan darah bisa diantisipasi dengan cara
yang sama. Banyak Kejadian yang mengharuskan seseorang menerima transfer darah
dari yang lainnya, seperti ketika mengalami pendarahan saat kecelakaan atau
melahirkan. Oleh karena itu banyak layanan kesehatan yang mendorong masyarakat
untuk mendonorkan darah guna membantu mereka yang membutuhkan.
Referensi kedokteran
mencatat pada tahun 1829 merupakan awal mula donor darah dilakukan. Eksperimen ini dilakukan pada seorang wanita
yang mengalami pendarahan saat melahirkan. Kemudian pada tahun 1872, pendonoran
dilakukan kembali pada kasus yang sama. Sehingga dengan perjalanan waktu
kedokteran menetapkan dan menklasifikasi darah manusia menjadi empat yaitu: A,
B, AB, dan O.[16]
Secara penelitian, pendonoran darah merupakan cara paling efektif untuk
menangani masalah kekurangan darah seperti pendarahan dan yang lainnya.
Sehingga hal ini merupakan suatu keniscayaan disetiap rumah sakit dan instansi
kesehatan dunia.
Setelah sedikit kita
menyinggung tentang pentingnya donor darah dalam dunia kedokteran, apakah hal
ini dapat melegalkan penjualan darah secara syar’i ?. Sebelum
membahas lebih jauh masalah ini, kita perlu menggaris bawahi beberapa point
penting sebagai acuan pembahasan. Antara lain:
1. Ulama sepakat atas
keharaman pengaliran darah untuk dikonsumsi (Al An’am: 145),
قُلْ لَا أَجِدُ
فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا
أُهِــــــــــــــلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Al Qurthuby dalam tafsirnya mengatakan: "ulama sepakat bahwa darah najis, tidak dapat dimakan dan
dimanfaatkan."[17]
2. Darah tidak bisa diintifa’
kecuali dalam keadaan darurat. Sedangkan dalam keadaan normal merupakan najis
yang diharamkan. Dengan demikian darah bukan merupakan mâl (harta benda).
Karena definisi mâl adalah sesuatu yang bermanfaat diluar dari keadaan
darurat. Sesuatu yang bermanfaat saat darurat tidak bisa menjadikan suatu
barang menjadi mâl. Karena saat darurat, syari’at memperbolehkan hal-hal
yang dilarang (Al Baqarah : 173)
فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
3. Syariat
memperbolehkan manusia untuk mengeluarkan darahnya dengan maksud pengobatan. Oleh
karena itu islam memperbolehkan hijâmah (pengobatan tradisional dengan
mengeluarkan darah). Banyak riwayat yang menjelaskan tentang hijâmah
Nabi Muhammad SAW.[18]
4. Memandang tindakan pengeluaran
darah dan pembuangnya karena faktor pengobatan diperbolehkan syara', maka
berangkat dari sini mengeluarkan darah untuk menyelamatkan nyawa seseorang tentunya
lebih patut dipertimbangkan.
Setelah memperhatikan
beberapa hal diatas, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendonoran
darah dengan uang pengganti tertentu masuk dalam koridor jual-beli syar’i?,
ataukah merupakan jenis hibah?, ataukah hanya sekedar bantuan
kemanusiaan?.
Secara kasat mata,
segala kemungkinan mungkin terjadi. Tentunya untuk menganalisa kita harus
hadapkan dengan disiplin rukun-syarat akad yang akan kita terapkan dalam
praktek ini. Apabila masalah ini kita tarik dalam ranah hukum ba’i (jual-beli),
maka akan tabrakan dengan beberapa hal:
a. Mayoritas Fuqaha'
berpendapat jual-beli dianggap sah, apabila barang yang dijual merupakan barang
yang suci. Sedangkan darah merupakan barang najis menurut ijma' ulama'.
Walaupun kalangan Hanafiyyah tidak mensyaratkan kesucian mabi',
akan tetapi mereka mengharamkan penjualan air susu ibu (ASI) dalam kemasan.
Dengan dalih karena ASI bukan mâl, dan merupakan bagian dari tubuh
manusia. Demikian halnya dengan darah. Semua anggota badan manusia dimulyakan syar'an.[19]
Sementara kalangan Syâfi'iyyah dan Hanâbilah memandang darah
bukan mâl, karena suatu benda dapat dikatakan mâl apabila dapat
diintifa' diluar keadaan darurat.
b. Apabila mengqiyaskan
pendapat yang memperbolehkan penjualan ASI dalam kemasan, maka akan terjadi
beberapa benturan (qiyâs ma'a al fâriq). Benturan ini terdapat pada
peran laban (air susu) dan dam (darah). Laban berperan
untuk memberi makanan pada bayi. Sedangkan darah perannya membantu aktifitas
sel-sel tubah manusia. Dari sisi lain laban merupakan sesuatu yang suci,
sementara darah najis.
Begitu juga kalau kita
tarik dalam ranah hibah, praktek pendonoran darah ini juga tidak sah syar’an.
Karena kalangan Syafi’iyyah mensyaratkan mauhub (barang yang
diberikan) seperti syarat pada mabi’ (barang yang dijual). Dalam Mughni
al Muhtâj disebutkan: "Segala sesuatu yang sah untuk dijual, sah untuk
dihibahkan. Dan segala sesuatu yang tidak sah untuk dijual, seperti
barang yang majhul (tidak diketahui keberadaannya), barang ghashaban,
atau hamba sahaya yang lari dari majikannya, maka tidak sah untuk dihibahkan"[20]
Sementara kalangan Hanafiyyah
dan Hanâbilah mensyaratkan mauhub harus berupa mâl.
Sedangkan darah bukanlah mal.[21]
Lain halnya Mâlikiyyah, mereka mensyaratkan mauhub harus berupa
kepemilikan. Sedangkan darah bukanlah suatu kepemilikan.
Kemudian bagaimana
solusi pendonoran darah dengan adanya imbalan yang dibenarkan secara syar’i?.
Solusi untuk masalah
ini adalah dengan menarik keranah ji’alah. Secara terminologi, ji’alah
adalah menyanggupi imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau pekerjaan majhul
yang susah diketahui.[22] Praktek
ini dibenarkan syara’ karena selaras dengan dalil akad ji’alah. Dalil
disyariatkannya ji’alah sebelum ijma’ adalah hadits tentang
sahabat nabi yang meruqyah dengan imbalam beberapa kambing (30 ekor).[23] Al
Zarkasyi mengatakan: “dapat dipahami dari hadits ini diperbolehkannya ji’alah
atas segala sesuatu yang bermanfaat pada orang sakit, baik berupa obat atau ruqyah”.[24]
Sedangkan Al Kharsyi mengatakan: Sahnun menjelaskan bahwa dalil dalam
mengobati orang sakit adalah ji’alah.[25]
Epilog
Islam kaya akan peninggalan karya dalam
berbagai disiplin ilmu keagamaan (turats). Tak perlu heran apabila kita
mendengar statement yang menyatakan: “umur kita tidak akan cukup untuk
mempelajari satu fan ilmu hadits ini”. Begitupula jika kita observasi
bidang fiqih, kita akan menemukan ribuan karya dari berbagai madzhab (madzâhib
fiqhiyyah). Madzhab-madzhab ini, menawarkan corak pemikiran mereka masing-masing
dalam menganalisa referensi utama islam. Dan tentunya fakta semacam ini akan
menimbulkan banyak perbedaan ulama dalam menjustifikasi suatu hukum. Hingga
wajar apabila terjadi perbedaan fatwa pada satu masa, atau dengan masa
berikutnya. Perbedaan hukum antar satu daerah dengan yang lainnya.
Tidak menutup mata, salah satu faktor
yang mempengaruhi perbedaan sudut pandang mereka adalah situasi-kondisi suatu
masyarakat. Karena syariat datang untuk menata kemashlahatan manusia. Dalam hal
ini, turâts mempunyai posisi penting dalam memberikan solusi pada
masyarakat dalam menjawab lika-liku permasalahan. Karena tidak semua
permasalahan terdapat perbedaan. Banyak literature turâts yang mungkin
tidak bisa diaplikasikan disuatu lingkungan, tapi sangat patut untuk
direalisasikan dilingkungan lainnya. Dari masa kemasa turâts masih
dipertimbangkan sebagai acuan referensi suatu karya ilmiyyah keislaman.
Namun bukan berarti kita mengesampingkan
karya-karya modern yang sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak kita
temukan dilampiran-lampiran turâts. Atau fanatik membabi buta dengan
mengsakralkan turâts madzhab tertentu dan enggan mengambil, bahkan
melirik yang lainnya. Selama itu lebih ashlah diaplikasikan disuatu
lingkungan dan bersumber dari referensi utama yang sama, tidak adil apabila
kita menolaknya. Karena kebenaran yang hakiki hanya disisi Allah SWT. Wallâhu
a’lam bi al shawâb, wa huwa al muwaffiq ilâ aqwam al thatîq. Wa alhamdu lillâhi
rabb al âlamîn.
[1] . Al Izzu Ibn
Abd Al Salam, Qawâ’id al Ahkâm Fî
Mashâlih al Anâm, hal. 9.
[2] . Hasyiyatâ al Qalyuby wa Umaerah, juz.
II, hal. 608-609, Cet. Maktabah Tawfiqiyyah.
[3] . Dr. Syawkat
al Adawy, Nadlariyah al Aqd, hal. 9
[4] . Al Dardir, Al Syarhu Al Kabir, juz. 3, hal. 3.
[5] . Bada’i’ al Shana’i’, Syarah al Kharsyi,
juz. 5, hal. 6. Syarh Muntahâ al Iradât,
juz. 2, hal. 141.
[6] . Ibnu
Qadâmah, Al Mughny, Juz. 4, hal. 5.
[7] . Raudlat
al Thalibin, juz. 3, hal. 336. Al Muhallâ, juz. 9, hal. 294. Al
Bahr Al Zakhkhâr, juz. 3, hal. 299.
[8] . Ibnu Hazm, Al
Muhallâ, juz. 9, hal. 294.
[9] . Sunan
Ibnu Mâjah, kitab al tijârah, hadits. 3369.
[10] . Ibnu
Qadâmah, Al Mughny, juz. 4, hal. 4-5.
[11] . HR. Bukhari,
dari Aun ibn Abi Juhaefah, kitab al buyu’, bab, tsaman al kalb, hadits.
2278. HR. Muslim, kitab musâqâh, bab tahrim tsaman al kalb, hadits.
4092.
[12] . HR. Bukhari,
dari Jabir ibn Abdillah, kitab al buyu’, bab, ba’i al maetah wa al ashnâm,
hadits. 3375. HR. Muslim, dari Jabir ibn Abdillah, kitab musâqâh, bab tahrim
bae’I al khamr wa al maetah, hadits. 4132.
[13] . Hasyiyata al Qalyuby wa Umaerah, juz. 2,
hal.619-620, cet. Maktabah Al Tawfiqiyyah.
[14] . Shahih Muslim, kitab alhaj, bab hajjat al
nabi, hadits. 1218.
[15] . Dr. M.
Taufiq Ramadan al Buthy, Al Buyu’ Al
Syai’ah, hal. 278.
[16] . Dr. Zaenab
al Subky, al Dam, wa al Musytaqatuhu,
hal. 133.
[17] . Aall
Qurthuby, Al Jami’ Al Ahkâm, juz. 2, hal. 227.
[19] . Bada'i' Al
Sana'i', syuruth al ma'qud 'alaih, juz. 5. Hal. 145.
[20] . Mughni al Muhtaj, juz. 2, hal. 399.
[21] . Bada'i' al Shana'i', juz. 6, hal. 199.
[22] . Mughni al Muhtaj, juz. 2, hal. 429.
[23] . Shahih Bukhari, kitab al thib, bab ruqyah
bifatihat al kitab. Shahih muslim, kitab
al thib, bab jawaz akhdz al ajr ‘ala al ruqyah.
[24] . Mughni al Muhtaj, juz. 2, hal. 429.
[25] . Sahnun
adalah Abdu al Salam ibn Sa’id ibn Habib al Tanukhi. Berasal dari Syam, lahir didaerah
al Qaeruwan tahun 160 H. Adalah salah seorang qâdli nan faqih. (Al
Kharsyi ‘ala Mukhtashar Sidy Khalil, juz. 2, hal. 61)