Entitas Hadis Dalam Pandangan Orientalis
Oleh:
Arif Al Anang Masduki[1]
Prolog
Tidak akan ada asap jika tidak ada
api. Itulah mungkin pribahasa yang cukup untuk menggambarkan bagaimana
perkembangan pemikiran orientalisme saat ini.
Disadari atau tidak, wacana orientalisme merupakan asap dari kayu
oriental yang dibakar oleh para orientalis. Asap ini menyebar ke segela arah
dunia dan sungguh membuat perih mata yang tersapu olehnya. Sebaliknya, asap ini
pula bisa menjadi katarsis bagi mereka yang secara sengaja ingin membumihanguskan
bangunan-bangunan kayu oriental, sehingga yang tersisa dan yang kokoh berdiri
tinggallah mereka sendiri, para pembakarnya, sang orientalis.
Penggambaran tersebut merupakan
perspektif umum orientalisme, yaitu sebuah eksploitasi khusus dari
universalisme Eropa-sentris yang mentasbihkan superioritas dunia Barat di atas
inferioritas dunia Timur. Eksploitasi ini termasuk penggunaan istilah-istilah
Self dan Other, yang oleh sarjana Barat dimaksudkan upaya paradoksal dalam
memandang dunia Timur. Pada saat itu, Timur dijadikan tempat penyimpanan atau
proyeksi dari aspek-aspek mereka sendiri yang mana orang-orang Barat tidak
memilih untuk mengakuinya, seperti kejahatan, sensualitas dekadensi, kemalasan
dan lain-lain.[2]
Pada sisi lain, Timur dipandang sebagai alam mempesonakan diri yang eksotis dan
penuh dengan rayuan-rayuan mistis. Namun walaupun begitu, dunia Timur tetap
inferior, karena dianggap sebagai sebuah kelainan yang patut dikaji, ditelaah, dikritik
untuk kemudian direndahkan.
Dalam pandangan orientalis, Islam
adalah makhluk oriental yang penampakannya eksotis, kedalamannya mistis, dan
isinya filosofis, karenanya Islam harus dikaji dan ditelaah, yang tentu saja di
dalam frame kacamata mereka (Barat). Namun, sekai lagi, arogansi Barat (dengan
bangga mereka menepuk dadanya sebagai Self dan memandang Islam/Timur sebagai
Others) yang kebetulan secara historis terkait dengan ideologi agama Kristen
yang bermusuhan dengan Islam, mampu mengalahkan objektivitas pemikiran mereka
yang katanya rasional. Sehingga yang timbul kemudian adalah hasil-hasil
pengkajian yang penuh dengan unsur-unsur subjektivitas. Maka lahirlah
karya-karya subjektif dari para laskar
orientalis seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, H.A.R Gibb, Spranger,
Snouck Hurgronjee dan tokoh-tokoh lainnya, yang dengan alasan meluruskan
mendekonstruksi kebenaran-kebenaran Islam melalui kajian-kajian mereka atas
landasan-landasan keislaman, terutama dua sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an
dan al-Hadis.
Dari sekian banyak orientalis yang
mengkaji Islam, atau lebih tepatnya sumber-sumber ajaran Islam, ada dua orang
orientalis yang secara khusus memfokuskan diri ke dalam mengkaji Ilmu Hadis,
yaitu Joseph Schaht dan Ignaz Goldziher. Kedua tokoh orientalis tersebut yang
akan menjadi pokok pembahasan makalah yang ada di hadapan pembaca ini.
HistorikalitasOrientalisme
Orientalisme
berasal dari dua kata, orient dan ismediambil dari bahasa latin oriri
yang berartiterbit. DalambahasaPrancis dan Inggris orient berartidirection
of risingsun (arahterbitnyamatahari dari bumibelahantimur).[3]Secarageografis
kata orientbermaknaduniabelahantimur dan
secaraetnologisberartibangsa-bangsatimur.[4]Secaraluas
kata orientjugaberatiwilayah yang membentangluas dari
kawasanTimurdekatTurki dan sekitarnyahinggaTimurjauh (Jepang, Korea, Cina), dan
Asiaselatanhinggarepublik-republikmuslimbekas Uni Soviet,
sertakawasanTimurTengahhinggaAfrikaUtara.[5]Lawan kata dariorientadalahoccident
yang berartidirection of setting sun
(arahtenggelamnyamatahariataubumibagianbarat.[6]
Sedangkan istilah isme
berasal dari bahasa Belanda atau isma dalam bahasa Latin atau ism
dalam bahasa Inggris yang berartia doctrine, theory of system,
atau pendirian, ilmu, paham keyakinan dan sistem. Jadi menurut bahasa
“orientalisme” dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi
tentang dunia Timur.[7]
Secara terminologis, istilah“orientalisme”mengandung
banyak pengertian. Suatu pengertian yang bersih dan sederhana dari suatu bidang
kajian keilmuan, atau dalam pengertian sebagai cara metodologi yang memiliki kecenderungan
muatan integral antara orientalisme dengan kegiatan-kegiatan lainyang bertujuan
untuk menguasai, memanipulasi bahkan mendominasi dunia Timur.
Dalam konteks suatu kajian keilmuan,
seorang penulis Turki, Abdul Haq Ediver, menyodorkan pengertian orientalisme
secara umum, yaitu suatu pengertian sempurna yang terkumpul dari sumber
pengetahuan asli mengenai bahasa, kesusastraan dan seni-seni bangsa Timur.[8] Lain daripada itu, Edward Said memberikan tiga pengertian dasar
orientelisme dalam bukunya Orientalism, yaitu:
Sebuah cara
kedatangan yang berhubungan dengan bangsa-bangsa Timur berdasarkan tempat
khusus Timur dalam pengalaman Barat Eropa; sebuah gaya pemikiran berdasarkan
ontology dan epistemology antara Timur dan Barat pada umumnya; dan sebuah gaya
Barat untuk mendominasi, membangun kembali serta mempunyai kekuasaan terhadap
Timur.[9]
Secara historis, sejauh informasi
yang telah sampai pada kita, belum ada kepastian kapan dan siapa orang yang
pertama kali memberikan perhatiannya terhadap studi ketimuran. Sebagian
peneliti menyetakan orientalisme mulai ada abad X Masehi, sebagaian lain
berpendapat muncul setelah perang Salib yang berlangsung selama dua abad antara
1097-1295. Ada pula yang menyatakan orientalisme telah memulai aktifitasnya
pada abad XII di Andalusia, ketika serangan kaum Salibi Spanyol terhadap Islam
mencapai puncaknya.[10] Ada pula yang mengaitkan kemunculan orientalisme bersamaan dengan
munculnya imprealisme dan kolonialisme Eropa ke dunia Islama abad XVII Masehi,
di saat melemahnya kekuasaan Daulah Utsmaniyah yang dianggap sebagai garis
pemisah antara Eropa dengan negara-negara Timur.[11] Menjelaskan hal tersebut berdasarkan kerangka atau garis besar
yang disajikan dalam ensiklopedi Islam,[12] di sini penulis akan membagi rentang pertumbuhan dan perkembangan
orientalisme pada tiga fase penting, yaitu: (1) masa sebelum meletusnya Perang
Salib, di saat umat Isam berada dalam zaman keemasannya (650-1250), (2)masa
Perang Salib sampai pada masuknya masa pencerahan Eropa (1096-1291), (3) munculnya
masa pencerahan di Eropa sampai ada perkembangan kontemporer.
Auto-biografi
Joseph Schacht
Joseph
Schacht lahir di Rotibor (sekarang termasuk wilayah Polandia) pada 15 Maret
1902 dan meninggal di New Jersey pada 1 Agustus 1969. Karirnya sebagai
orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa
Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih doctor dari Universitas
Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berumur 21 tahun.[13]
Pada
tahun 1947, ia menjadi warga Negara Inggris dan bekerja di radio BBC London.
Meskipun ia bekerja untuk kepentingan Inggris, namun pemerintah Inggris tidak
mau memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang
menyandang gelar Profesor Doctor, di Inggris ia justru belajar lagi di tingkat
pasca sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan
Doctor (1952) dari Universtas tersebut. Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris
dan mengajar di Universitas Leiden Negeri Belanda sebagai guru besar sampai
tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairaha
al-Ma’rifah al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1953, ia pindah
ke universitas Columbia New York, dan menjadi guru besar sampai ia meninggal
dunia tahun 1969.[14]
Adapun
karya ilmiah yang pernah ditulisnya adalah The Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford; Clarendon Press, 1950), An Introduction to
Islamic Law (Oxford: Clarendon Press, 1964), Islamic law dalam The
Encyclopedia of Social Sciences (1932), Pre Islamic Background and Early
Development of Jurisprudence dalam Law in Middle East: Origint and
Development (Washington, DC. The Midle East Institute, 1995) dan karya
terakhirnya adalah Theology and Law in Islam (Wiesbaden: Otto Harrosowitz,
1971)
Pandangan Schacht Terhadap Hadis
Dalam mengkaji
hadis nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad (tranmisi silsilah)
dari pada aspek matan sebuah hadis, tentunya hal ini berbeda dengan yang
dilakukan Goldziher, Schacht menilai bahwa sanad hadis adalah bukti adanya
kesewenang-wenangan dan kecerobohan yang dilakukan para ulama pada saat itu.[15]
Sanad (sandaran)
atau isnad (penyangga) yang dalam ilmu hadis dimaknai sebagai silsilah
(rangkaian) dari para penyaksi, mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir,
yang atas mereka keaslian sebuah hadis disandarkan, menurut Schacht
otentisitasnya sangat diragukan. Sanad hadis pada awalnya lahir dalam pemakaian
yang sederhana, kemudian berkembang dan mencapai bentuknya yang sempurna pada
periode kedua dan ketiga Hijriyah.[16]Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan
itu ia lalu menyodorkan teori projecting back.
Schacht menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada
masa al-Syab’i (w. 110 H). penegasan ini menyiratkan pengertian apabila
ditemukan hadis-hadis yang berkenaan dengan hukum Islam, maka hadis tersebut
dipastikan adalah buatan orang-orang yang hidup seelah itu. Ia berpendapat
bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan qâdi (hakim
agama) yang dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.[17]
Kira-kira pada akhir abad kedua Hijriyah, pengankatan qâdi
itu ditunjukan kepada orang-orang spesialis yang berasal dari kalangan orang
yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis itu kian bertambah, di
samping solidaritasnya yang semakin kuat, maka akhirnya merka berkembang
menjadi kelompok fiqih klasik. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan para
qadi tersebut memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas
yang lebih tinggi, karena mereka tidak menisbatkan keputusan itu pada mereka
sendiri, melainkan menisbatkannya pada tokoh-tokoh sebelumnya.[18]
Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat
tersebut tidak hanya dinisbatkan pada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih
dekat, melainkan pada tokoh-tokoh terdahulu sekali, bahkan sahabat dan pada akhirnya
pada Nabi Saw. yang memiliki otoritas paling tinggi. Itulah gambaran atau
rekontruksi terjadinya sanad hadis menurut Schacht, yaitu dengan memproyeksikan
pendapat kepada tokoh-tokoh di belakang (projecting back). Ia menilai
bahwa kebanyakan hadis pada dasarnya merupakan aplikasi yang tidak berbeda
dengan teori tersebut. Pada bagian lain ia menilai bahwa sanad hadis hanya
merupakan semacam pembenaran teoritis terhadap apa yang diyakini sebagai
kepercayaan naluriah.[19]
Menurut Schacht juga, munculnya aliran fiqih klasik ini membawa konskuensi
logis, yaitu munculnya kelompok oposisi yang terdiri ahli-ahli hadis. Pemikiran
dasar ahli hadis ini adalah bahwa hadis yang berasal dari Nabis Saw. harus dapat
mengalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh ahli-ahli fiqih. Untuk mencapai
tujuan tersebut, kelompok oposisi ini membuat penjelasan hadis seraya
mengatakan bahwa hal tersebut pernah dilakukan atau diucapkan oleh nabi Saw.
dengan sanad bersambung dan perowi yang terpercaya. Schacht menyatakan bahwa
para ahli hadis terpaksa menyatakan doktrin-doktrin mereka sendiri dalam
tradisi yang konon berasal dari nabi Saw.[20]
Kesimpulan dari gambaran di atas, baik kelompok aliran
fiqih klasik maupun ahli-ahli hadis, sama-sama memalsukan hadis, dan oleh
karenanya maka keabsahan dan otentitas hadis nabi Saw. tetap saja harus
diragukan, walaupun hadis tersebut, misalnya dilengkapi dengan sanad.
Auto-biografi Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis Hongaria yang
dilahirkan di Szekesfehervar, Hongaria. Dia termasuk keturunan dari keluarga
Yahudi. Nenek moyang keluarga ini adalah tukang emas di Hambung pada abad
ke-16, dan di sinilah asal dari nama keluarga itu. Sebelum ayahnya tinggal di
Kopeseny dan baru pindah ke Szekesfehervar, tempat anaknya lahir sejak tahun
1842.
Goldziher telah menunjukan mutu intelektualnya yang
tinggi ketika ia masih muda. Dalam usia dua belas tahun, dia sudah menulis
suatu risalah tentang asal-usul dan waktu yang tepat bagi sembahyang
orang-orang Yahudi yang disebut Piyyuts. Dalam usia enam belas tahun,
dia mengikuti kuliah dari Arminius Vanbeery di Universitas Budapest. Dengan
beasiswa dari negaranya, dia dikirim ke Jerman untuk belajar dengan Prof.
Rodiger di Berlin tahun 1868. Dengan H.L Fielscher dan G. Ebers di Leipzig pada
tahun yang sama. Di bawah bimbingan Rodiger dia berhasil memperoleh gelar
Doktor dalam usia 19 tahun.[21]
Sesudah mempelajari manuskrip-manuskrip Arab di Lieden
dan Wiena, pada tahun 1871 dia diangkat menjadi dosen privat di Budapest.
Selama tahunakademik 1872-1873 dia menjabat rektor dalam mata kuliah bahasa
Hebrew (Ibrani) pada Callxinist Theological Faculty di Budapest.[22]
Yang menguntungkan baginya ialah ia melakukan perjalanan ke dunia Timur dari
bulan september 1873-1874 atas biaya pemerintah Hongaria untuk belajar di
Universitas Al-Azhar, Cairo, Syiria dan Palestina. Pada tahun 1894, dia menjadi
calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi guru
besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest sampai akhirnya ia
meninggal pada 13 November 1921. Dan pada tahun1900 ia juga pernah mengajar
filsafat Yahudi di Jewish Seminary Budapest.
Adapun karya-karya ilmiah yang pernah ia tulis, di
antaranya Die Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte
(Leipzig:1884) yang membahas perkembangan sejarah aliran Zahiri, Muhammedanische
Studien tentang sejarah agama Islam secara umum dan khususnya tentang
hadis, Vorlesungen den Islam (Heideberg:1910) yang membahas pengantar
untuk memahami teologi dan hukum Islam, juga Die Richtungen Der Islamichen
Koran Auslegung (Leiden:1290) yang isinya hampir sama dengan pengantar
teologi dan hukum Islam, dan ada juga lainnya tetapi hanya merupakan penjelasan
lebih lanjut dari karya-karya tersebut.[23]
Pandangan Goldziher Terhadap Hadis
Keraguan Godziher tentang keabsahan dan otentisitas
hadis bukan saja ketika ia mengemukakan makna hadis dan sunnah yang kemudian
mendapat revisi dan kedudukan dalam Islam. Ia melihat faktor lain tentang kondisi
masyarakat Islam abad pertama Hijriyah di mana hadis saat itu mulai memasuki
perkembangan awal. Kita akan mendapatkan sejumlah bukti bahwa hadis benar-benar
merupakan perkataan, perbuatan dan taqrir yang dinisbatkan kepada Muhammad Saw.
Akan tetapi, menurut Goldziher, kalaupun ada bukti tentang hal itu akan sangat
sulit menentukan kebenaran dan keabsahannya.[24]
Beberapa argumentasi kemudian ia ajukan untuk mendukung keraguan tersebut,
terutama kali betapa sulitnya untuk menemukan data otentik tentang hadis
tersebut. Ia mengatakan bahwa kesulitan data itu lebih diakibatkan karena
kondisi masyarakat Islam pada abad pertama Hijriyah sama sekali tidak mendukung
budaya pemeliharaan data tersebut.
Ketika membahas perkembangan hadis pada masa Umayyah
dan Abbasiyah, atau lebih umumnya pada abad pertama Hijriyah, Goldziher
menggambarkannya sebagai kondisi masyarakat yang belum memiliki kemampuan cukup
untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memlihara ritus-ritus keagamaan dan
mengembangkan doktrin agama yang kompleks. Terlebih lagi, menurutnya, pada saat
itu buta huruf masih merajalela di mana-mana, dan kebudayaan yang berpusat pada
lingkungan istana serta kebiasaan di kota-kota besar ternyata masih bersifat
sekuler dan lepas dari agama.[25]
Di samping itu, ia juga memandang bahwa secara faktual
penelitian keabsahan hadis yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kesalahan metode yang dipakainya.
Hal itu karena para ulama, menurutnya, lebih banyak menggunakan metode kritik
sanad, dan kurang menggunakan kritik matan. Oleh karena itu, Goldziher kemudian
menawarkan metode baru yaitu kritik matan saja.[26]
Kritik atas matan yang terjadi di kalangan para
shahabat, menurut para ahli hadis kerapkali dilakukan untuk meneliti apakah ada
‘illat atau syadz dalam hadis tersebut. Dan hal ini berbeda
dengan apa yang disodorkan oleh Goldziher sebagai kritik atas matan. Ia
menyarankan bahwa studi hadis juga harus diupayakan untuk mengetahui atau tidak
adanya hubungan materi hadis dengan situasi yang sedang terjadi pada saat itu.
Ia mencontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari, di
mana menurutnya al-Bukhari hanya melakukkan kritik sanad dan tidak melakukan
kritik atas matan. Sehingga setelah adanya kritik matan yang dilakukan oleh
Goldziher, hadis tersebut dinyatakan palsu.[27]
Selanjutnya, untuk tujuan politis tersebut ia
mempercayakan ahli hadis al-Zuhri untuk membuat hadis yang sanadnya bersambung
kepada Nabi Saw. dan mengedarkannya di masyarakat, sehingga nantinya dipahami
bahwa ada tiga masjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji, yaitu masjid di
Mekah, Madinah dan masjid di Quds (Jerussalem).[28]
Jelaslah bagi kita, karena kondisi politik saat itu
yang mendudukan rezim Umawiyah berbeda pada puncak kekuasaan, menurut Godziher,
Imam al-Zuhri telah dimanfaatkan oleh para penguasa tersebut untuk memalsukan
hadis sesuai dengan keinginan dan kebijaksanaan politik mereka.[29]
Kesemua pandangan-pandangan di atas, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa
hadis sebagai corpus yang berisikan perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi
Saw. jika diihat dari sejarah perkembangan yang kerapkai berbaur dengan
kepentingan politik, maka akan sulit meyakinan kita sendiri bahwa otentisitas
hadis dapat dipertanggungjawabkan.
Kritik Penulis
Dalam teori-teoriahli hadis, keabsahan dan otentitas
sanad hadis merupakan unsur yang terlibat dalam menentukan keabsahan dan otentisitas
hadis itu sendiri. Tidak ada ahli hadis yang taqwa menganggap bahwa hadis
Mauquf adalah hadis Marfu’ atau sebaliknya. Begitu pula, tidak ada orang yang menganggap hadis putus
sanadnya sebagai hadis yang bersambung sanadnya. Hal ini tidak perlu
dikhawatirkan terjadi dikalangan ahli-ahli hadis.
Penulis juga mencatat ada beberapa hal yang dianggap
sebagai kekeliruan mereka, Pertama, Schacht dan Goldziher seringkali
tidak melakukan cheking yang mendalam atas bahan-bahan kesejarahan yang
mereka pakai dalam pembuktian, seperti penelitian otentisitas hadis melalui
kitab-kitab fiqih ataupun tanpa dilibatkannya al-Qur’an sebagai refrensi lain
dalam meneliti hadis.
Kedua, banyaknya penafsiran yang nyata salah dalam
mengartikan ucapan-ucapan atau kejadian-kejadian yang diberitakan dalam
sumber-sumber kesejarahan. Misalnya ucapan Amir Ibn Sya’by: “Aku tidak
pernah menulis dengan tinta hitam di atas permukaan kertas putih atau meminta
seseorang untuk menguangi sebuah hadis sampai dua kali”. Ucapan ini tidak
ada hubungannya dengan larangan menuliskan hadis, melainkkan hanya menunjukan kekuatan
hafalan Amir saja. Sedangkan bagi kedua orientalis ini, ucapan tersebut
dianggap sebagai bukti bahwa pada abad pertama Hijriyah kaum muslim dilarang
menuliskan hadis.
Ketiga, adanya sekumpulan subjektivitas paradoks keduanya
sebagai orientalis non muslim, yang setidaknya menyimpan misi-misi terendiri
(biasanya tidak lepas dari usaha-usaha untuk menyudutkan Islam) di balik
kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas
belahan Timur, khususnya wilayah Islam.
Epilog
Demikianlah gambaran umum tentang pemikiran Schacht dan
Goldziher terhadap hadis Nabi Saw. yang kalau kita analisis secara substansial
memiliki kesamaan, hanya saja terutama Scacht karena ia sendiri memulai
penyelidikannya dari perkembangan hukum Islam, maka kelihatannya seperti
berbeda. Padahal rentang benang merah keduanya tetap saja bertumpu pada satu
anggapan bahwa hadis sebagai corpus yang berisikan pernyataan, perbuatan dan
taqrir Nabi Saw. sangat diragukan keotentikannya kalaupun dianggap tidak ada
atau banyak pemalsuan.
Akan tetapi, keraguan Goldziher dan Schacht telah
dibantah oleh para pemikir lainnya, baik muslim maupun nonmusim. Di kalangan
muslim, tak kurang seperti MM. Azami, Fazlur Rahman, Daud Rasyid, TM. Hasbi
Ashidieqy dan banyak lagi yang lainnya yang telah mengkritik balik
pemikiran-pemikiran Schacht dan Goldziher tersebut. Sedang di kalangan
nonmuslim, upaya penggalian hadis secara objektif di antaranya dilakukan oleh
Montgomery Watt, Von Guerboum, Arberry, Jeffre, dan J. Robson. Secara umum,
penulis menyimppulkan bahwa upaya objektivikasi dan purivikasi hadis dari
pengkritik Scacht dan Goldziher tersebut dapat disandarkan pada argumen umum
bahwa pemikiran kedua tikoh tersebut jelas sekali mengandung tendensi
kedengkian dan lebih merupakan arogansi Self-nya Barat yang selalu ingin
mendistorsikan realitas Islam sebagai Others, seperti apa yang diwacanakan
orientalisme itu sendiri.
‘Alâ kulli hâl,
Kritik atas matan hadis sendiri dalam khazanah Iimu Hadis sesungguhnya
bukanlah merupakan hal yang baru. ‘Umm al-Mû’minîn ‘Âisyah, ‘Umar bin Khatab,
‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan dan para shahabat lainnya telah
melakukan kritik matan atas hadis-hadis sejak dahulu. Bahkan pada perkembangan
berikutnya, Musthafa Sadiq al-Rifa’i menyebutkan bahwa kritik para shahabat
atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah merupakan kritik atas matan
hadis pertama yang dilakukan dalam Islam.[30]
Wallâhu A’lâm Bimâ Nabhatsu Fîh
[1]كالطير فر من النساء و ان مشي # ن
يصر في طلب النساء ليقرب
[2] Peter Barry, Beginning
Theory: An Introduction to Literary and Culture Theory, Manchester
University Press, 1995, hlm. 192
[3] Musthafa
Maufur, Orientalisme: serbuan Ideologi dan Intelektual, Jakarta, pustaka
al-Kautsar, 1995, hlm. 11
[4]Joesoef Sou’yb,
Orientaisme dan Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
1985, hlm. 1
Lihat, The Glorier Dictionary (Massachusetts:Houghton Mifflin Company, 1990) Vol. II, hlm. 926
“Kata orient barartiwilayahtimur, denganpusatnyaadalahnegara-negara Asia, terutama Asia TimurataudalampemahamankunoberartitanahataukawasantimurMediterania.
Lihat, The Glorier Dictionary (Massachusetts:Houghton Mifflin Company, 1990) Vol. II, hlm. 926
“Kata orient barartiwilayahtimur, denganpusatnyaadalahnegara-negara Asia, terutama Asia TimurataudalampemahamankunoberartitanahataukawasantimurMediterania.
[5]MusthafaMaufur, loc, cit
[7]Ahmad Sa’adi al-Farindauni, Orientalismepertumbuhandanperkembangannya,
Surabaya, PustakaProgresif, 1988, hlm. 12. LihatjugaRifyalKa’bah, IsamdanSeranganpemikiran,
Jakarta, Granada Ghalia, 1994, hm. 26
[8]MusthafaMaufur, op, cit., hlm. 12
[9]Edward Said, Orientalisme, Bandung, pustaka
Salman, 1994, hlm. 1-3
[10]Ismail Yaqub, Orientalisme dan Orientalisten, Surabaya, Faizan,
1970, hm. 11
[11]LihatAhmad Satori Ismail, Orientalismedalampandangan
Orang TimurdalamMajalahMa’rifah, No. 1, hlm. 4
[12]Ensiklopedia Islam, Jakarta, IchtiarBaru Van Hoove,
1994, hlm. 55
[13] Ali Mustafa
Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hm. 19
[15]Ali MusthafaYaqub, op, cit., hlm. 22
[16]Muhammad MusthafaAzami, Studies in Early Hadis
Literary, hlm. 21
[17]Ali MusthafaYaqub, op, cit., hlm. 21
[18]Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law,
Oxford University Press, 1964, hlm. 31
[19]Joseph Schacht, Law and JusticdalamThe Cambridge
History of Islam, hlm. 125
[20]Joseph Schacht, Law and Justic, op, cit., hlm.
126
[21]MirceaEliade (ed), The Ensyclopedia of Religion,
New York, Macmillan Publishing Company, 1993, Vol. 5 dan 6, hlm. 74
[24]IgnazGoldziher, Muslim Studies, London: George
Alen&Unwin Ltd., 1970, hlm. 18
[25]Endangsoetari Ad, pandanganOrientalisterhadapHadis,
hlm. 2
[26]Ali MusthafaYaqub, op, cit., hlm. 15
[28]Muhammad MusthafaAzami, op, cit., hlm. 608
[30]Mahmud Abu Rayyah, Adhwa ‘Ala al-Sunnah
al-Muhammadiyah, Cairo, Dâr al-Ma’ârif, 1980, hlm. 177