(Pembacaan atas retorika Wahabi dan Salafi)
Manusia adalah sosok pilihan Tuhan yang dijadikan Khalifah di muka bumi ini dengan segala macam fenomenanya.[1] Sebagai khalifah selayaknya manusia selalu bereksperimen untuk mendapatkan jawaban semua persoalan yang tengah dihadapi. Tak dapat dipungkiri dalam dekade ini pencapaian manusia begitu pesat dan signifikan, terlebih dari aspek teknologi. Manifestasi dominan yang mampu memicu keberadaan dunia sedemikian berkembang-pesatnya adalah disebabkan manusia diciptakan sebagai makhluk inovatif, tidak seperti malaikat yang bersifat statis. Oleh karena itu perkembangan teknologi dan disiplin ilmu keagamaan sebagai sebuah keniscayaan di dunia ini dan tak perlu dipertanyakan lagi.
Pemikiran keagamaan mempunyai peranan penting di segala aspek kehidupan, terlebih di sebuah negara dengan idealisme theis. Memang, realita perkembangan itu oleh beberapa pihak dirasa begitu banyak menguras energi, karena hal itu berpotensi menciptakan kondisi konfrontasi masing-masing sectarian.
Manusia adalah sosok pilihan Tuhan yang dijadikan Khalifah di muka bumi ini dengan segala macam fenomenanya.[1] Sebagai khalifah selayaknya manusia selalu bereksperimen untuk mendapatkan jawaban semua persoalan yang tengah dihadapi. Tak dapat dipungkiri dalam dekade ini pencapaian manusia begitu pesat dan signifikan, terlebih dari aspek teknologi. Manifestasi dominan yang mampu memicu keberadaan dunia sedemikian berkembang-pesatnya adalah disebabkan manusia diciptakan sebagai makhluk inovatif, tidak seperti malaikat yang bersifat statis. Oleh karena itu perkembangan teknologi dan disiplin ilmu keagamaan sebagai sebuah keniscayaan di dunia ini dan tak perlu dipertanyakan lagi.
Pemikiran keagamaan mempunyai peranan penting di segala aspek kehidupan, terlebih di sebuah negara dengan idealisme theis. Memang, realita perkembangan itu oleh beberapa pihak dirasa begitu banyak menguras energi, karena hal itu berpotensi menciptakan kondisi konfrontasi masing-masing sectarian.
Meskipun demikian rekontruksi keagamaan selalu menjadi wacana aktual dari masa ke masa, seiring berkembangannya sosio-kultural dan budaya. Artinya metodologi praktis terus diupayakan untuk menciptakan bagaimana sebuah literatur agama mampu berinteraksi secara harmonis dengan budaya tanpa adanya konflik yang signifikan.
Realita Dunia Islam
Sepanjang sejarah, pasca nabi, gagasan bersifat dekonstruktif dalam dunia Islam selalu mendapatkan perlawanan serius dari berbagai kelompok internal Islam itu sendiri. Kontinuitas ini berawal ketika Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib mempunyai nota kesepakatan (baca; tahkim) dengan Mu’awiyah, tatkala kedua belah kubu ini tengah terlibat dalam sebuah konflik, yang dikenal dengan perang Shiffîn, pada tahun 37 H. Kemudian dari kubu Khalifah ‘Ali Ibn Abi Thalib muncul kelompok penolak nota kesepakatan tersebut dan memproklamirkan untuk desersi, keluar dari barisannya. Kelompok itu untuk selanjutnya disebut Khawârij. [2]
Kelompok ini tampak begitu radikal dalam mengimplementasikan paham agamanya dengan mengklaim bahwa kedua belah kubu (Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah) yang telah menyepakati nota kesepahaman saat itu sebagai kelompok kafir dan keluar dari millah Islam.[3] Jargon mereka bahwa “Hukum hanya milik Allah” telah mengesampingkan peran akal manusia dalam memahami literatur agama (baca; wahyu). Sehingga mereka akan melakukan agresi sekaligus pembunuhan terhadap siapapun yang berani berbeda sikap dan pandangan dengannya.[4]
Dalam kontek modern, ideologi keagamaan kelompok Khawârij dapat digambarkan pada gerakan Islam kiri. Gerakan mereka diaktualisasikan dalam segala bentuk aktifitas dari mulai akfitas politik maupun aktifitas sosial, gerakan frontal maupun secara infiltratif.[5] Fenomena ini kian hari kian memprihatinkan dilihat dari efek sosial maupun efek teologisnya. Sehingga opini publik yang berkembang dasawarsa ini dimana ada muslim di suatu komunitas secara otomatis akan terjadi gerakan separatis dan sarat dengan kekerasan, seperti yang banyak terjadi di berbagai negara belahan dunia saat ini.
Preseden buruk Khawârij bagi generasi setelahnya adalah begitu mudahnya menghakimi kafir terhadap sekte di luar mereka. Persoalan pelik pada dasarnya bukan pada kosep teologisnya (kalimat al-Takfir) namun lebih karena konsekwensi implementasinya dalam bentuk nyata, sehingga menimbulkan konflik yang begitu memprihatinkan. Karena terbelenggu ideology-paradigmatik inilah mereka gagal mengidentifikasi kelompok mana yang layak mendapatkan perlindungan dan mana yang tidak layak, sebagaimana fenomena terorisme.[6]
Dengan aksi-aksi kejam dan destruktif mereka tidak hanya mengacaukan stabilitas politik, tetapi juga mendistorsi logika berfikir umat Islam dan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi. Dewasa ini, para ulama lazim menyebut siapapun yang mewarisi kebiasaan buruk Khawarij ini sebagai neo-Khawârij. Beberapa tabiat buruk ini kemudian juga menjadi bagian dari tabiat wahabi yang muncul di jazirah Arab pada abad 18.[7]
Munculnya Paham Wahabi
Di akhir abad 12 sampai awal abad 13 muncul tokoh kontroversial Muhammad ibn Abdul Wahhab (1115 – 1206 H./1703 – 1792 M.) [8] di wilayah ‘Uyaynah, masuk daerah Najd, belahan timur Kerajaan Arab Saudi sekarang. [9] Pada dasarnya konsep teologi Muhammad ibn Abdul Wahab hanya mengekor pada tokoh kontroversial pendahulunya, Ibn Taimiyah, beserta beberapa pengikut dan anak didiknya semisal Ibn al-Qayyim dan Ibn al-Hadi. Namun faktor keberuntungannya saja yang tampak berbeda, karena gerakan Ibn Taimiyah dan para simpatisannya mengalami isolasi dan pada akhirnya mereka harus memberikan pertanggungjawaban intelektualnya bertahun-tahun berada di balik jeruji.[10]
Keberhasilan paham Wahabi pada hakikatnya ditopang kepentingan politik Ibn Sa’ud, sosok pimpinan suku Najd terkuat saat itu. Ibn Sa’ud memberikan jaminan keamanan penuh terhadap semua aktifitas dekonstruktif Muhammad ibn Abdul Wahhab, dengan dalih perang terhadap budaya bid’ah, syirik, khurafat dan sejenisnya –perspektif mereka-- agar kembali kepada konsep teologi yang benar. Kontrak politik itu dilakukan berangkat dari banyaknya perlawanan secara reaktif oleh kelompok mayoritas, mulai dari awal kemunculannya paham Wahabi, sampai pada akhirnya mencapai puncaknya. [11]
Wahabisme dan Salafisme
Menyusun strategi dalam segala macam bentuk perjuangan merupakan komponen penting agar mampu memobilisir sebuah gerakan secara tepat, cepat dan tidak terjadi gerakan impulsif. Tampaknya hal ini telah menjadi agenda Wahabi untuk memperluas teritorialnya dalam mengenalkan idealisme keagamaannya. Strategi tersebut dapat terbaca dengan adanya simbol ganda –antara label Wahabi dan Salafi-- namun pada dasarnya mempunyai kepribadian sama.[12] Strategi itu mengemuka setelah mereka sadar atas meluasnya perlawanan gaya berpikir ekstrem mereka. Jadi pada dasarnya Wahabi dan Salafi adalah oknum yang sama, hanya namanya saja yang berbeda. [13]
Hasan al-Saqaf dalam bukunya Al-Salafiyyah al-Wahhâbiyyah mengemukakan; sekte Wahabi adalah embrio baru Salafiah. Menurutnya, Muhammad Abdul Wahab –sebagai pionir gerakan sekte Wahabi—merupakan kepanjangan produk pemikiran Ibn Taimiyah dan beberapa punggawa sekte Hanabilah, meskipun secara praksis ada titik pembeda di beberapa kompilasi hukum fiqh-nya (baca; furû’iyyat) semisal larangan berziarah kubur dan anti praktek sufistik. [14]
Pernah suatu ketika Muhammad ibn Abdul Wahab memasuki kota Makkah bersama Ibn Sa’ud pada tahun 1218 H. untuk menghadiri suatu pertemuan, ia diberi beberapa pertanyaan mengenai konsep dakwahnya. Kemudia ia menjawab; pada dasarnya gerakan yang selama itu ia proklamirkan adalah berdiri di atas Ahl Sunnah wa al-Jamâ’ah sedangkan jalannya menggunakan ritme Salaf. Ia juga menambahkan, dalam prilaku furû’iyyah-nya menggunakan madzhab Imam Ahmad ibn Hambal sekaligus tidak mengingkari penganut madzhab empat. [15] Demikian jawaban diplomatis (mujamalah) Muhammad ibn Abdul Wahhab kepada penanya.
Konsep Teologi
Wahabi adalah kelompok dengan metodologi literalistik, sebagaimana Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Sepanjang sejarah pemahaman keagamaan dengan menggunakan pendekatan literalistik selalu menimbulkan persoalan serius karena hal itu terkesan memarjinalkan peran logika dalam berinteraksi dengan teks-teks agama. Dengan literalisme Wahabi seakan-akan akal tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menginterpretasikan literatur agama (al-Qur’an dan al-Hadist). Padahal agama adalah akal dan tidak ada agama bagi yang tidak berakal, sebagaimana sabda nabi.[16]
Metodologi literalistik berpotensi pada paham mujassimah dan musyabbihah sedangkan Wahabi atau salafi mempunyai konsep teologi mujassimah atau musyabbihah. Artinya; mereka mempercayai keberadaan Tuhan mempunyai unsur materi, sebagaimana fisik manusia. Pendapat ini berangkat dari teks yang ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadist secara implisit.
Oleh banyak pihak, literalisme Wahabi dan sekte-sekte sejenisnya yang meyakini tangan, wajah dan duduknya Tuhan sebagaimana manusia di kehidupan nyata, layak disejajarkan dengan konsep teologi Yahudi dan Nasrani, seperti yang dipaparkan Hasan ibn Ali al-Saqaf.[17] Namun, Penulis berpendapat bahwa judgement mayoritas atas pemikiran semisal Wahabi, Salafi maupun Ibn Taimiyyah –dalam permasalahan ini-- disebabkan metodologi penilaian menggunakan pemahaman parsialis sehingga tidak dapat menangkap permasalahan yang sesungguhnya.
Epilog
Paham Wahabi dan para pengikutnya sepanjang sejarah –secara keliru-- telah meyakini bahwa pemahaman mereka atas ajaran agama serta interpretasi mereka atas teks-teks suci, juga mempunyai tingkat kebenaran absolut sebagaimana ajaran agama dan teks-teks suci adanya. Ini adalah penyakit epistemologi yang berpotensi menjadikan perbedaan pendapat tidak produktif lagi. Padahal, dalam sebuah hadis prediktif yang telah masyhur di kalangan umat Islam, nabi bersabda; “Perbedaan pendapat diantara umatku adalah rahmat” (Ikhtilâfu ummatî rahmah).
Secara generalogi umat Islam mempunyai kecenderungan miskin etika dalam berdialog dengan tidak dapat menghargai pendapat orang lain. Sering sekali beberapa pihak menyikapi fakta perbedaan –entah itu Islam kiri maupun Islam kanan-- diimplementasikan dalam bentuk argumentasi anarkis maupun dengan tindakan ekstremis. Alangkah baiknya memperhatikan seksama etika berdialog, selama masing-masing masih menggunakan mainstrem yang benar dan dari sumber literatur yang benar pula (al-Qur’an dan al-Hadits), agar nantinya mampu menciptakan dialog sehat dan alam yang kondusif. Wallahu a’lam.
Wriiten by: M. Nurul Ahsan
Referensi:
[1] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 30.
[2] DR. Amir Najjar, Fi Madzâhib al-Islâmiyyin, (Mesir: Al-Hai’ah al-Mashriyyah al-‘Ammah Li al-Kitâb, 2005) h. 65.
[3] Ibid, h. 67.
[4] Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Ma’arif Institute, Ilusi Negara Islam, (Cet: I, Jakarta: PT. Desantara Utama Media, April 2009), h. 60-61.
[5] Salah satu aspek sosial dalam konteks moderen Wahabi banyak menggelontorkan dana besar-besaran guna merealisasikan proyek pengadaan buku gratis atau murah, berisi tentang konsep Wahabi dan Salafi. Sedangkan dari aspek politik mereka menempatkan kader Wahabi berafiliasi dengan berbagai partai politik namun menggunakan pendekatan politik yang berbeda dari yang semestinya.
[6] Mantan Kepala BIN A.M Hendropriyono –meskipun mengundang kontroversi-- dalam wawancara dengan TV One (29/7/2009) berusaha mengkaitkan antara terorisme dengan apa yang dia sebut sebagai Wahabi radikal. Menurutnya Wahabi radikal merupakan lingkungan yang cocok (habitat) bagi terorisme. Tidak hanya itu, Hendropriyono juga mengkaitkan Wahabi radikal dengan Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin
[7]
Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Ma’arif Institute, Ilusi Negara Islam, (Cet: I, Jakarta: PT. Desantara Utama Media, April 2009), h. 61.
[8] DR. Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, Al-Salâfiyyah Marhalah Zamâniyyah Mubârakah La Madzhab Islamiy, (Cet: I, Damaskus: Dâr al-Fikr Bi Dimsyq, th. 1988) h. 235.
[9] Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Ma’arif Institute, Ilusi Negara Islam, (Cet: I, Jakarta: PT. Desantara Utama Media, April 2009), h. 61.
[10] Al-Sayyid Al-Imam Muhammad Rasyid Ridla, Al-Sunnah Wa al-Syî’ah, (Cet: II, Mesir: Dâr al-Manâr, th. 1366 H./1947 M.), h. 72–73.
[11] Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, Al-Wahhâbiyyûn wa al-Hijâz, (Cet: I, Mesir: Matba’ah Al-Manâr Bi Misr, th. 1344 H.) h. 6.
[12] Justru Penulis sering menjumpai –untuk tidak dikatakan semua-- begitu banyak Wahabian lebih enjoy menyebut dirinya sebagai Salafian, atau bahkan menolak untuk dikatakan sebagai Wahabian.
[13] Hasan ibn Ali al-Saqaf, Al-Salafiyyah al-Wahhâbiyyah Afkâruha al-Asâsiyyah wa Judzûruhâ al-Târikhiyyah, (Bairut: Dâr al-Imâm al-Rawwas), h. 19.
[14] Ibid, h. 19.
[15] Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, Al-Wahhâbiyyûn wa al-Hijâz, (Cet: I, Mesir: Matba’ah Al-Manâr Bi Misr, th. 1344 H.) h. 11.
[16] الدين هو العقل, ومن لادين له لا عقل له. حديث ضعيف للألباني
[17] Hasan ibn Ali al-Saqaf, Al-Salafiyyah al-Wahhâbiyyah Afkâruha al-Asâsiyyah wa Judzûruhâ al-Târikhiyyah, (Bairut: Dâr al-Imâm al-Rawwas), h. 24.
Realita Dunia Islam
Sepanjang sejarah, pasca nabi, gagasan bersifat dekonstruktif dalam dunia Islam selalu mendapatkan perlawanan serius dari berbagai kelompok internal Islam itu sendiri. Kontinuitas ini berawal ketika Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib mempunyai nota kesepakatan (baca; tahkim) dengan Mu’awiyah, tatkala kedua belah kubu ini tengah terlibat dalam sebuah konflik, yang dikenal dengan perang Shiffîn, pada tahun 37 H. Kemudian dari kubu Khalifah ‘Ali Ibn Abi Thalib muncul kelompok penolak nota kesepakatan tersebut dan memproklamirkan untuk desersi, keluar dari barisannya. Kelompok itu untuk selanjutnya disebut Khawârij. [2]
Kelompok ini tampak begitu radikal dalam mengimplementasikan paham agamanya dengan mengklaim bahwa kedua belah kubu (Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah) yang telah menyepakati nota kesepahaman saat itu sebagai kelompok kafir dan keluar dari millah Islam.[3] Jargon mereka bahwa “Hukum hanya milik Allah” telah mengesampingkan peran akal manusia dalam memahami literatur agama (baca; wahyu). Sehingga mereka akan melakukan agresi sekaligus pembunuhan terhadap siapapun yang berani berbeda sikap dan pandangan dengannya.[4]
Dalam kontek modern, ideologi keagamaan kelompok Khawârij dapat digambarkan pada gerakan Islam kiri. Gerakan mereka diaktualisasikan dalam segala bentuk aktifitas dari mulai akfitas politik maupun aktifitas sosial, gerakan frontal maupun secara infiltratif.[5] Fenomena ini kian hari kian memprihatinkan dilihat dari efek sosial maupun efek teologisnya. Sehingga opini publik yang berkembang dasawarsa ini dimana ada muslim di suatu komunitas secara otomatis akan terjadi gerakan separatis dan sarat dengan kekerasan, seperti yang banyak terjadi di berbagai negara belahan dunia saat ini.
Preseden buruk Khawârij bagi generasi setelahnya adalah begitu mudahnya menghakimi kafir terhadap sekte di luar mereka. Persoalan pelik pada dasarnya bukan pada kosep teologisnya (kalimat al-Takfir) namun lebih karena konsekwensi implementasinya dalam bentuk nyata, sehingga menimbulkan konflik yang begitu memprihatinkan. Karena terbelenggu ideology-paradigmatik inilah mereka gagal mengidentifikasi kelompok mana yang layak mendapatkan perlindungan dan mana yang tidak layak, sebagaimana fenomena terorisme.[6]
Dengan aksi-aksi kejam dan destruktif mereka tidak hanya mengacaukan stabilitas politik, tetapi juga mendistorsi logika berfikir umat Islam dan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi. Dewasa ini, para ulama lazim menyebut siapapun yang mewarisi kebiasaan buruk Khawarij ini sebagai neo-Khawârij. Beberapa tabiat buruk ini kemudian juga menjadi bagian dari tabiat wahabi yang muncul di jazirah Arab pada abad 18.[7]
Munculnya Paham Wahabi
Di akhir abad 12 sampai awal abad 13 muncul tokoh kontroversial Muhammad ibn Abdul Wahhab (1115 – 1206 H./1703 – 1792 M.) [8] di wilayah ‘Uyaynah, masuk daerah Najd, belahan timur Kerajaan Arab Saudi sekarang. [9] Pada dasarnya konsep teologi Muhammad ibn Abdul Wahab hanya mengekor pada tokoh kontroversial pendahulunya, Ibn Taimiyah, beserta beberapa pengikut dan anak didiknya semisal Ibn al-Qayyim dan Ibn al-Hadi. Namun faktor keberuntungannya saja yang tampak berbeda, karena gerakan Ibn Taimiyah dan para simpatisannya mengalami isolasi dan pada akhirnya mereka harus memberikan pertanggungjawaban intelektualnya bertahun-tahun berada di balik jeruji.[10]
Keberhasilan paham Wahabi pada hakikatnya ditopang kepentingan politik Ibn Sa’ud, sosok pimpinan suku Najd terkuat saat itu. Ibn Sa’ud memberikan jaminan keamanan penuh terhadap semua aktifitas dekonstruktif Muhammad ibn Abdul Wahhab, dengan dalih perang terhadap budaya bid’ah, syirik, khurafat dan sejenisnya –perspektif mereka-- agar kembali kepada konsep teologi yang benar. Kontrak politik itu dilakukan berangkat dari banyaknya perlawanan secara reaktif oleh kelompok mayoritas, mulai dari awal kemunculannya paham Wahabi, sampai pada akhirnya mencapai puncaknya. [11]
Wahabisme dan Salafisme
Menyusun strategi dalam segala macam bentuk perjuangan merupakan komponen penting agar mampu memobilisir sebuah gerakan secara tepat, cepat dan tidak terjadi gerakan impulsif. Tampaknya hal ini telah menjadi agenda Wahabi untuk memperluas teritorialnya dalam mengenalkan idealisme keagamaannya. Strategi tersebut dapat terbaca dengan adanya simbol ganda –antara label Wahabi dan Salafi-- namun pada dasarnya mempunyai kepribadian sama.[12] Strategi itu mengemuka setelah mereka sadar atas meluasnya perlawanan gaya berpikir ekstrem mereka. Jadi pada dasarnya Wahabi dan Salafi adalah oknum yang sama, hanya namanya saja yang berbeda. [13]
Hasan al-Saqaf dalam bukunya Al-Salafiyyah al-Wahhâbiyyah mengemukakan; sekte Wahabi adalah embrio baru Salafiah. Menurutnya, Muhammad Abdul Wahab –sebagai pionir gerakan sekte Wahabi—merupakan kepanjangan produk pemikiran Ibn Taimiyah dan beberapa punggawa sekte Hanabilah, meskipun secara praksis ada titik pembeda di beberapa kompilasi hukum fiqh-nya (baca; furû’iyyat) semisal larangan berziarah kubur dan anti praktek sufistik. [14]
Pernah suatu ketika Muhammad ibn Abdul Wahab memasuki kota Makkah bersama Ibn Sa’ud pada tahun 1218 H. untuk menghadiri suatu pertemuan, ia diberi beberapa pertanyaan mengenai konsep dakwahnya. Kemudia ia menjawab; pada dasarnya gerakan yang selama itu ia proklamirkan adalah berdiri di atas Ahl Sunnah wa al-Jamâ’ah sedangkan jalannya menggunakan ritme Salaf. Ia juga menambahkan, dalam prilaku furû’iyyah-nya menggunakan madzhab Imam Ahmad ibn Hambal sekaligus tidak mengingkari penganut madzhab empat. [15] Demikian jawaban diplomatis (mujamalah) Muhammad ibn Abdul Wahhab kepada penanya.
Konsep Teologi
Wahabi adalah kelompok dengan metodologi literalistik, sebagaimana Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Sepanjang sejarah pemahaman keagamaan dengan menggunakan pendekatan literalistik selalu menimbulkan persoalan serius karena hal itu terkesan memarjinalkan peran logika dalam berinteraksi dengan teks-teks agama. Dengan literalisme Wahabi seakan-akan akal tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menginterpretasikan literatur agama (al-Qur’an dan al-Hadist). Padahal agama adalah akal dan tidak ada agama bagi yang tidak berakal, sebagaimana sabda nabi.[16]
Metodologi literalistik berpotensi pada paham mujassimah dan musyabbihah sedangkan Wahabi atau salafi mempunyai konsep teologi mujassimah atau musyabbihah. Artinya; mereka mempercayai keberadaan Tuhan mempunyai unsur materi, sebagaimana fisik manusia. Pendapat ini berangkat dari teks yang ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadist secara implisit.
Oleh banyak pihak, literalisme Wahabi dan sekte-sekte sejenisnya yang meyakini tangan, wajah dan duduknya Tuhan sebagaimana manusia di kehidupan nyata, layak disejajarkan dengan konsep teologi Yahudi dan Nasrani, seperti yang dipaparkan Hasan ibn Ali al-Saqaf.[17] Namun, Penulis berpendapat bahwa judgement mayoritas atas pemikiran semisal Wahabi, Salafi maupun Ibn Taimiyyah –dalam permasalahan ini-- disebabkan metodologi penilaian menggunakan pemahaman parsialis sehingga tidak dapat menangkap permasalahan yang sesungguhnya.
Epilog
Paham Wahabi dan para pengikutnya sepanjang sejarah –secara keliru-- telah meyakini bahwa pemahaman mereka atas ajaran agama serta interpretasi mereka atas teks-teks suci, juga mempunyai tingkat kebenaran absolut sebagaimana ajaran agama dan teks-teks suci adanya. Ini adalah penyakit epistemologi yang berpotensi menjadikan perbedaan pendapat tidak produktif lagi. Padahal, dalam sebuah hadis prediktif yang telah masyhur di kalangan umat Islam, nabi bersabda; “Perbedaan pendapat diantara umatku adalah rahmat” (Ikhtilâfu ummatî rahmah).
Secara generalogi umat Islam mempunyai kecenderungan miskin etika dalam berdialog dengan tidak dapat menghargai pendapat orang lain. Sering sekali beberapa pihak menyikapi fakta perbedaan –entah itu Islam kiri maupun Islam kanan-- diimplementasikan dalam bentuk argumentasi anarkis maupun dengan tindakan ekstremis. Alangkah baiknya memperhatikan seksama etika berdialog, selama masing-masing masih menggunakan mainstrem yang benar dan dari sumber literatur yang benar pula (al-Qur’an dan al-Hadits), agar nantinya mampu menciptakan dialog sehat dan alam yang kondusif. Wallahu a’lam.
Wriiten by: M. Nurul Ahsan
Referensi:
[1] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 30.
[2] DR. Amir Najjar, Fi Madzâhib al-Islâmiyyin, (Mesir: Al-Hai’ah al-Mashriyyah al-‘Ammah Li al-Kitâb, 2005) h. 65.
[3] Ibid, h. 67.
[4] Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Ma’arif Institute, Ilusi Negara Islam, (Cet: I, Jakarta: PT. Desantara Utama Media, April 2009), h. 60-61.
[5] Salah satu aspek sosial dalam konteks moderen Wahabi banyak menggelontorkan dana besar-besaran guna merealisasikan proyek pengadaan buku gratis atau murah, berisi tentang konsep Wahabi dan Salafi. Sedangkan dari aspek politik mereka menempatkan kader Wahabi berafiliasi dengan berbagai partai politik namun menggunakan pendekatan politik yang berbeda dari yang semestinya.
[6] Mantan Kepala BIN A.M Hendropriyono –meskipun mengundang kontroversi-- dalam wawancara dengan TV One (29/7/2009) berusaha mengkaitkan antara terorisme dengan apa yang dia sebut sebagai Wahabi radikal. Menurutnya Wahabi radikal merupakan lingkungan yang cocok (habitat) bagi terorisme. Tidak hanya itu, Hendropriyono juga mengkaitkan Wahabi radikal dengan Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin
[7]
Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Ma’arif Institute, Ilusi Negara Islam, (Cet: I, Jakarta: PT. Desantara Utama Media, April 2009), h. 61.
[8] DR. Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, Al-Salâfiyyah Marhalah Zamâniyyah Mubârakah La Madzhab Islamiy, (Cet: I, Damaskus: Dâr al-Fikr Bi Dimsyq, th. 1988) h. 235.
[9] Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, dan Ma’arif Institute, Ilusi Negara Islam, (Cet: I, Jakarta: PT. Desantara Utama Media, April 2009), h. 61.
[10] Al-Sayyid Al-Imam Muhammad Rasyid Ridla, Al-Sunnah Wa al-Syî’ah, (Cet: II, Mesir: Dâr al-Manâr, th. 1366 H./1947 M.), h. 72–73.
[11] Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, Al-Wahhâbiyyûn wa al-Hijâz, (Cet: I, Mesir: Matba’ah Al-Manâr Bi Misr, th. 1344 H.) h. 6.
[12] Justru Penulis sering menjumpai –untuk tidak dikatakan semua-- begitu banyak Wahabian lebih enjoy menyebut dirinya sebagai Salafian, atau bahkan menolak untuk dikatakan sebagai Wahabian.
[13] Hasan ibn Ali al-Saqaf, Al-Salafiyyah al-Wahhâbiyyah Afkâruha al-Asâsiyyah wa Judzûruhâ al-Târikhiyyah, (Bairut: Dâr al-Imâm al-Rawwas), h. 19.
[14] Ibid, h. 19.
[15] Al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, Al-Wahhâbiyyûn wa al-Hijâz, (Cet: I, Mesir: Matba’ah Al-Manâr Bi Misr, th. 1344 H.) h. 11.
[16] الدين هو العقل, ومن لادين له لا عقل له. حديث ضعيف للألباني
[17] Hasan ibn Ali al-Saqaf, Al-Salafiyyah al-Wahhâbiyyah Afkâruha al-Asâsiyyah wa Judzûruhâ al-Târikhiyyah, (Bairut: Dâr al-Imâm al-Rawwas), h. 24.