By: Cah Ganteng
Setelah hancurnya Khilafah, Mustafa Kamal dengan tangan besi menjalankan ajaran-ajarannya yang dikenal dengan Kemalisme, yang berisi 6 (enam) sila :republikanisme, nasionalisme, populisme (popular sovereignty), sekularisme, etatisme, dan revolusionisme. Yang paling kontroversial adalah paham sekularisme yang jelas bertentangan secara frontal dengan Islam.
Pengambilan dan penerapan sekularisme inilah yang selanjutnya melahirkan perilaku tasyabbuh bil kuffâr (menyerupai orang kafir) di kalangan umat Islam. Inilah malapetaka ideologi yang paling menonjol akibat hancurnya Khilafah. Berikut sekilas ulasannya. Pertama, Umat Islam terperosok ke dalam sistem kehidupan berasaskan paham sekularisme.Sekularisme (secularism) menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “segenerasi, seusia, seabad”. Kemudian dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu“sepanjang waktu yang tak terukur” dan dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia ini”, yang dikuasai oleh setan.17 Pada abad ke-19 (1864 M) George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari kekuatan supernatural.18 Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara.
Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai “1. system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan) Atau sebagai : "The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education." (Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik).
Jadi, sekularisme, secara ringkas, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashl ad-dîn ’an al-hayah), yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.20 Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu pemikiran tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik); dan pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountagne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik.
Jalan tengahnya, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat Secara ideologis, sekularisme merupakan aqîdah (pemikiran mendasar) yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme dengan demikian merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yakni pemikiran dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview/weltanscahauung) bagi manusia dalam hidupnya.
Sekularisme juga merupakan basis pemikiran (al-qâ’idah alfikriyyah) dalam ideologi kapitalisme, yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lainnya, seperti demokrasi, nasionalisme, liberalisme (freedom), HAM, dan sebagainya. Jelaslah bahwa posisi paham sekularisme sangat mendasar sebagai basis ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas falsafi (pemikiran mendasar) yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam peradaban Barat. Maka barangsiapa mengadopsi sekularisme, sesungguhnya ia telah mengadopsi pemikiranpemikiran Barat secara keseluruhan.
Sekularisme adalah paham kufur, yang bertentangan dengan Islam. Sebab Akidah Islamiyah mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak
ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah SAW : “...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim) Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah. Abdurrahman Al Jaziri berkata : “Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) – rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...” Maka dari itu, runtuhnya Khilafah merupakan malapetaka yang sangat besar bahkan merupakan yang terbesar bagi umat Islam. Dampak buruknya bukan saja pada lenyapnya sistem pemerintahan Islam, namun juga pada merajalelanya berbagai pemikiran kufur yang berasal dari ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Malepataka ideologis ini merupakan malapetaka paling berat yang dialami oleh umat Islam, sebab sebuah ideologi akan dapat mengubah cara pandang dan tolok ukur dalam berpikir dan berperilaku. Umat Islam secara tak sadar akan memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang. Semua itu adalah akibat hancurnya Khilafah.
Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah “Ingatlah ! Sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi)
janganlah kalian berpisah dengan Al Qur`an !” (HR. Ath Thabrani). Sabda Rasulullah SAW : “Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim). Kedua, Umat Islam telah menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr) dengan menerapkan sekularisme.
Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara). Disebutkan dalam Injil : "Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan" (Matius 22 : 21). Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima paham sekularisme dengan penuh keikhlasan tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang Kristen– juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious regim), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain.28 Namun bagi seorang muslim, secara ideologis sesungguhnya tak mungkin menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara.
Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi alkuffâr). Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Dawud) Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits ini : “Hadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman menyerupai (tasyabbuh) kepada orang kafir, walaupun zhahir dari hadits tersebut menetapkan kufurnya bertasyabbuh dengan mereka...” Dengan demikian, pada saat Khilafah hancur dan umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya, maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang Kristen yang memisahkan urusan agama dari negara.31 (Na’uzhu bi-Llâh min dzâlik !)
+ comments + 1 comments
cah ganteng kie sopo?? seng jelas leh namane!