GANTI FONT BLOG INI!

Menelisik Metodologi Hisab (Falak)

Mukaddimah

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan suatu nikmat dan taufiqNya kepada kita, semoga kita bisa menggapai ridhoNya. Solawat dan Salam semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah menjadi suri tauladan bagi manusia di alam semesta ini. Semoga kita selalu mahabah kepada beliau Nabi Muhammad saw. Amien.

Dari sekian banyak cabang ilmu falak (astronomi), falak syar`i menempati posisi strategis dalam Islam, ini terkait dengan beberapa ibadah yang secara langsung bersentuhan dengan falak syar`i. paling tidak, ada empat hal untuk menentukan awal Bulan Qomariyah, menentukan jadwal sholat, menentukan bayangan dan arah kiblat, menentukan kapan dan di mana tejadinya gerhana matahari dan gerhana bulan. Ketentuan awal Bulan Qomariyah sampai sekarang belum ada sistem yang disepakati dan digunakan secara bersama-sama. Ini dikarenakan penentuan tersebut adalah masalah ijtihady, bukan masalah qot`i.

Defenisi Falak (Astronomi)

Kata falak bermakna orbit, edaran benda benda angkasa. Sedangkan astronomi berasal dari kata astro berarti bintang dan nomia berarti ilmu. Ilmu falak (astronomi) adalah ilmu yang mempelajari tentang tata lintas benda-benda angkasa (terutama bulan, bumi, dan matahari) secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan hamba Allah.

Sejarah dan Peradaban Falak.

Pembahasan ilmu falak adalah langit dengan segala yang berada di dalam dan sekitarnya. Bangsa-bangsa kuno Babilonia, Mesir, Cina, India, Persia dan Yunani misalnya, masing-masing telah mengenal astronomi (falak) dan astrologi (nujum) secara bersamaan dengan caranya masing masing. Kegiatan astronomis dan astrologis telah dilakukan sejak dahulu kala oleh masyarakat dalam peradaban Babilonia, Mesir kuno, dan Cina. Namun, ketika itu belum menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Kemudian muncul peradapan Yunani pada abad ke 6 sm yang menjadikan astronomi sebagai ilmu pengetahuan.

Dalam Islam, pada awalnya ilmu falak juga tidak lebih hanya sebagai kajian nujumisme (astrologi). Hal ini terjadi antara lain dengan dua alasan : Pertama, kebiasaan mereka di padang pasir yang luas serta kecintaan mereka pada bintang-bintang untuk mengetahui tempat terbit dan terbenamnya, serta mengetahui pergantian musim. Kedua, keterpengaruhan mereka terhadap kebiasaan bangsa-bangsa tetangga yang punya kebiasaan yang sama (astrologi).

Datangnya Rasululloh S.A.W. beserta risalahnya, menjelaskan bahwa: Waktu menurut Allah swt adalah sama. Ini membawa konsekwensi dalam Islam bahwa kegiatan astrologi dilarang. Kemudian, sepeninggalnya Rasululloh S.A.W. tepatnya pada masa dinasti Abbasiyah, Ja`far Al-mansur berjasa meletakan ilmu falak pada posisi istimewa, setelah ilmu tauhid, fiqh dan kedokteran. Ketika itu, Ilmu falak (astronomi) adalah sebuah ilmu pengetahuan yang sangat istimewa, apalagi dalam menentukan waktu sholat, arah kiblat dan lain lain. Namun, lebih dari itu, ilmu ini lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan science seperti ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran dan pemetaan.

Pada pemerintah Khalifah Al-makmun, kajian astronomi dibuat secara sistematik dan intensif yang melahirkan sarjana-sarjana islam, semisal Al-battani (w.317H), Al-buzani (w.387H), Ibnu Yunus (w.399 H), Attusy (w.672H), Albayruni (w.442H). Era Al-makmun ini mulai marak pula gerakan penerjemahan literatur-literatur falak barat kedalam bahasa arab, seperti buku Miftah an-Nujum yang di-nisbat-kan pada Hermes agung (Hermes Al-hakim).



Penetapan Awal Bulan Qomariyah : Rukyah atau Hisab

Pada masa Rasulullah S.A.W. proses melihat (rukyah) hilal sangat sederhana, cukup dengan menanti matahari terbenam di hari ke 29 lalu mencari bulan sabit. Dengan dua orang yang melihatnya sebagai saksi sudah bisa dipastikan malam itu adalah tanggal satu. Pergantian hari di kalender hijriah terjadi ketika maghrib. Jika hilal tidak terlihat, maka bilangan bulan akan digenapkan menjadi tiga puluh hari. berarti, besok harinya masih tanggal tiga puluh bulan yang sama. Tanggal satu akan jatuh besok sorenya lagi. Metode ini sangat sederhana dan sangat cocok dengan keadaan umat islam pada masa itu yang sebagian besar buta huruf (ummy)

Periode revolusi bulan terhadap bumi lamanya 29.530589 hari, nyaris 29.5 hari. Dengan memanfaatkan ini, disepakati bahwa lamanya satu bulan berselang antara 29 dan 30 hari. Metode kelender Hijriah yang seperti ini disebut dengan hisab urfi, Hisab urfi tidak selalu mencerminkan fase bulan yang sebenarnya. Ia hanya metode pendekatan satu siklus bulan yang lamanya 29.53 hari, didekati dengan 29 dan 30 hari. karena untuk keperluan ibadah, melakukan rukyah hilal secara langsung tetap harus dilaksanakan.

Metode hisab yang lain, dengan menghitung posisi bulan yang sebenarnya, disebut dengan hisab hakiki. Hisab hakiki dapat dibagi menjadi 3 macam, yakni, hisab hakiki taqribi, tahkiki dan kontemporer. Ketiga hisab hakiki ini menggunakan rumus dan nilai konstan yang berbeda. Penanggalan Hijriah berdasarkan bulan mengelilingi bumi(revolusi bulan terhadap bumi) sedangkan penanggalan Miladiah (masehi) didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi terhadap matahari). Awal Bulan Qomariah diawali dengan munculnya hilal, yaitu bulan sabit yang pertama kali terlihat.


Tahun Milady (Masehi)

Tahun Masehi dimulai dari tahun kelahiran Nabi Isa A.S. Tanggal 1 Januari tahun 1 Masehi jatuh pada hari Sabtu Kliwon. Tahun ini digunakan mulai tahun 527 Masehi. Hitungan hari dalam setahun adalah 365 Hari untuk tahun pendek (basithoh) dan 366 untuk tahun panjang (kabisat). Dengan 12 bulan, yaitu: Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, Nopember, Desember. Bulan ke 1, 3, 5, 7, 8, 10 dan 12 berumur 31 hari dan selainnya berumur 30 hari, kecuali Bulan Februari, berumur 28 hari untuk bulan basithoh dan 29 untuk tahun kabisat.

Sebelum tahun 1582 Masehi, ketentuan tahun kabisat adalah tahun yang habis dibagi empat. Dan setelah tahun 1582 ada sedikit perubahan. Pada tahun ini, tepatnya pada 5 Oktober 1582, ada pemotongan hari yang dilakukan oleh Paus Greogorius XIII, yaitu: tanggal 5 Oktober (menurut perhitungan J. Caesar) dijadikan tanggal 15 Oktober. Jadi ada pemotongan 10 hari. Dan untuk menentukan tahun panjang atau kabisat dibuat ketentuan, yaitu: tahun-tahun yang habis dibagi 400 atau yang bisa dibagi 4 dengan syarat tidak habis dibagi 100 adalah tahun kabisat, karena peredaran matahari sebenarnya adalah membutuhkan waktu 365,2422 hari (365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik)


Tahun Hijriah

Tahun ini berdasarkan peredaran bulan. Tahun pertama ialah tahun yang didalamnya terjadi hijrahnya beliau Nabi Muhammad S.A.W. dari Makkah ke Madinah. Satu Muharram bertepatan dengan hari Kamis kliwon, tanggal 15 juli 622 masehi. Satu tahun terdapat 15 bulan dan lamanya ditetapkan 35411/30 hari. Oleh karena itu, diadakan daur windu berumur 30 tahun yang didalamnya terjadi tahun kabisat 11 kali yaitu tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26,dan 29. Tahun yang angkanya dibagi 30 bersisa tepat dengan angka-angka tersebut diatas adalah tahun kabisat, berumur 355 hari, dan yang tidak tepat adalah tahun basihtoh berumur 354 hari. Umur bulannya adalah 30 dan 29. Untuk bulan ganjil berumur 30, sedangkan yang genap berumur 29 kecuali bulan Dzulhijjah. Kalau kabisat berumur 30 hari.




Rukyat Hilal


Rukyah secara etimologi adalah melihat, bermakna melihat dengan mata (bi al-`ain) bisa pula bermakna dengan ilmu (bi al-`ilmi). Rukyah yang dimaksud dalam hal ini adalah melihat hilal diakhir bulan Sya`ban atau Ramadhan untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal.

Didalam penetapan rukyah terdapat keragaman pendapat dikalangan Fuqaha dalam hal berapa orang jumlah minimal untuk melihat hilal tersebut. Hanafiah menetapkan jika awan dalam keadaan cerah, maka penetapan tanggal satu dengan rukyah kolektif (rukyah jama'ah) dan tidak mengambil kesaksian orang perorang. Menurut pendapat yang rojih, dengan alasan karena keadaan cuaca cerah tentu tidak ada penghalang bagi seseorang untuk tidak dapat melihat hilal, Sementara yang lain bisa melihat. Namun jika hilal dalam keadaan tidak memungkinkan untuk dilihat, maka cukup hanya kesaksian satu orang saja dengan syarat dia beragama Islam, adil, berakal dan dewasa.

Sementara, Syafi'iah dan Hanabilah menetapkan minimal adalah kesaksian satu orang, baik cuaca dalam keadaan cerah atau mendung, dengan catatan, orang yang melihat hilal (al-ra’iy) beragama Islam, dewasa, berakal, merdeka, laki-laki dan adil. Selanjutnya, kesaksian atau rukyah tersebut harus disaksikan dihadapan Qadhi (pemerintah). Adapun Malikiah menetapkan dengan tiga kriteria: Pertama, rukyah kolektif. Kedua, rukyah satu orang adil. Tiga, rukyah dua orang adil.


Cukup sekian tulisan ini, semoga bisa untuk memperluas wawasan kami dan pembaca. Semoga Allah meridhoiNya dan melimpahkan keberkahanNya serta rahmatNya, sehingga kita bisa menjadi orang-orang yang dekat dengan Robbul izzaty, wa Allahu a’lam bissawab.

Oleh: M. Nur Ihsan Mabrur
Share this article :
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger