Oleh: M. Nurul Ahsan el-Balury
Gambaran Umum
Keberadaan hitam tidak lepas dari adanya putih, tidak ada atas jika tidak ada bawah, tidak ada cepat jika tidak ada pelan, tidak ada siang jika tidak ada malam dan seterusnya. Manusia, hewan, listrik, tumbuh-tumbuhan berpasang-pasang. Sedangkan menurut ahli fisika atom-pun diketemukan berpasang-pasang. Semua ini adalah contoh riil tentang validitas firman Tuhan mengenai keberadaan segala sesuatu itu berpasang-pasang. 14 abad silam, dimana manusia masih jauh mencapai tarap teknologi modern seperti sekarang, al-Qur’an telah menceritakan kondisi alam ini secara general. “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS: ad-Daariyat: 49). Demikian sebagai result bahwa intelijensi manusia sangatlah amat terbatas dibandingkan kabesaran-Nya.
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) ini Tuhan memberikan ruang bagi manusia untuk selalu berekspresi memahami keberadaan alam dengan segala konsekwensi logisnya. Pasang-pasangan seperti itu pada dasarnya mampu memberikan dampak positif dalam kehidupan nyata. Keberadaan lampu berangkat dari adanya malam berikut siang. Adanya obat disebabkan adanya sakit berikut sehat, dan seterusnya. Signifikansi sikap sadar atas fenomena keberagaman ini ternyata mampu memberikan arti yang tak terhingga. Biarkan keharmonisan perbedaan alam ini tetap berjalan secara natural agar supaya dijadikan instrumen untuk menentukan sebuah paradigma-paradigma.
Sikap arif dan bijaksana terhadap pembacaan keberagaman seharusnya bukan hanya diterapkan pada kondisi alam saja. Alangkah baiknya instrumen ini diarahkan ke berbagai aspek lain semisal kondisi ekonomi, sosial dan budaya secara aplikatif. Akhir-akhir ini tampak jelas kondisi sosial yang ada sering menjadi pemandangan yang begitu anarkis. Dalam menyikapi perbedaan secara indifidu maupun kolektif tampaknya lebih cenderung kurang dewasa dan tidak ramah. Doktrin yang ada seakan-akan hanya “habisi lawan” tanpa memberikan kesempatan pihak lain untuk mengungkapkan argumentasi pandangannya. Padahal de facto membuktikan bahwa sesuatu yang dipikirkan komunitas tertentu justeru sering tidak terlintas dalam benak komunitas lain. Begitu juga sebaliknya.
Diakui maupun tidak keberagaman adalah suatu bagian yang tak dapat terelakkan hampir di semua sendi kehidupan. Sebagai spesifikasi disini akan berbicara tentang pembacaan atas permasalahan agama yang keberadaannya selalu menjadi isu aktual sepanjang zaman. Otoritas kebenaran tidak dapat dimonopoli kalangan tertentu jika masih dalam batas teritorial memegang erat al-Qur-an dan al-Hadits. Banyak sekali satu ayat maupun satu redaksi Hadits mempunyai bertumpuk-tumpuk interpretasi. Diantara faktor pemicu realita ini terus berkelanjutan adalah adanya kredibiltas, kapabilitas maupun letak geografis yang begitu varian, sehingga sangat mempengaruhi cara pandang dan membentuk sebuah opini yang dikembangkan. Qath’iy, dzanny, haqiqy dan majazy-pun sebagai area yang masih saja menjadi perdebatan sampai saat ini seperti yang terdapat hampir di setiap manuskrip klasik maupun kontermporer. Dari sini dapat disimpulkan bahwa keberagaman adalah suatu keniscayaan, sesuai Hadis Rasulullah saw.
Perbedaan Dalam Masalah Teologi
Dalam ranah teologi dari dulu telah terjadi ketidakseragaman dikalangan kaum muslimin. Perdebatan permasalahan ini ada yang sampai mampu menghantarkan beberapa Ulama untuk memberikan tanggungjawab yang begitu mahal, seperti yang terjadi pada Ibnu Taimiah. Beliau harus rela mendekam di penjara sebagai tanggungjawab intelektual terhadap buah dari pemikirannya yang cenderung “mujassim” bertentangan dengan pendapat mayoritas.
Pandangan beliau pada dasarnya tidak keluar dari mashadir al-tasyri’iyyah yang telah disepakati bersama (al-Qur~an dan al-Hadits). Jika ditelisik lebih jauh --menurut hemat Penulis-- semua itu sebatas karena pendapat beliau dipahami secara parsial dan adanya distorsi pemahaman sehingga terjadilah kesenjangan yang berakibat tiang jeruji yang harus menjadi penyelesaian. Ini adalah satu dari sekian contoh perkembangan intelektual dalam Islam.
Perbedaan Dalam Masalah Hukum (Fiqh)
Nyaris tak terlihat ritual keaagamaan dalam kodifikasi hukum islam (baca: fiqh) tidak terjadi perkhilafan dalam pandangan ulama. Apalagi di dalamnya mengandung unsur hukum cabang atau lebih dikenal dengan istilah furu’iyyat. Secara teoritis hal pokok (ushuliyyat) yang sangat bersifat prinsip saja masih terjadi multi interpretasi, apalagi dalam hal hukum cabang (furu’iyyat). Asalkan metode pemahaman tersebut masih berpijak pada mainstrem yang benar alangkah baiknya mengedepankan sikap toleransi demi terciptanya sebuah keharmonisan dalam berintelektual, sehingga nantinya dapat lebih memperkaya konstribusi khazanah peradaban Islam, seperti yang diakui oleh seorang Orientalis.
Selama ini dalam masalah furu’iyyah masih saja banyak terdapat antipati terhadap cara pandang maupun sikap kelompok tertentu. Radikalisme berfikir berkembang begitu mengakar akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia. “Kalimah al-Takfir” yang telah menjadi metodologi paten sebagian kaum puritan-pun kian eksis dan mendapat tempat di masyarakat. Keberadaannya sering menimbulkan masalah karena sering diaktualisasikan dengan tindakan-tindakan ekstrim untuk men-judge komunitas lain. Padahal problem yang sering ada hanyalah permasalahan sederhana dan bersifat non prinsip.
Meskipun demikian bukan hanya kelompok ini saja yang menjadi kendala terciptanya keharmonisan. Di sisi lain gerakan liberalisme juga menjadi permasalahan tersendiri bagi masyarakat. Seakan-akan yang ada dibenaknya hanyalah “tampil beda” tanpa memperhatikan apakah yang dilakukannya berdampak negatif pada masyarakat atau bukan. Yang jelas kedua komunitas ini sama-sama masuk dalam kategori “ekstrem” dengan bukti keduanya tidak dapat menghargai satu sama lain. Padahal apa yang mereka lakukan tidak memberikan solusi efektif bagi tatanan masyarakat, justeru yang ada hanyalah semakin memperkeruh keadaan yang kian memprihatinkan.
Kesimpulan
Sikap fanatisme terhadap komunitas terntentu adalah kendala utama dalam menentukan sikap proporsional, karena pada tataran praktis hal itu lebih menimbulkan intoleran atas bentuk-bentuk pemikiran yang selama ini berkembang. Sportifitas maupun obyektifitas harus selalu dijaga seperti yang disinyalir beberapa hadits agar tidak terjadi timpang. Sedangkan hal itu sulit diraih jika keperpihakan secara membabibuta masih saja menjadi bayang-bayang dalam menentukan justifikasi. Sudah saatnya menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam berdialog demi terciptanya perkembangan intelektual Islam secara sehat. Dengan ini pula ukhuah islamiyyah yang selama ini tercabik-cabik semakin terjalin erat dan persatuan umat Islam semakin dapat terwujud. Persatuan umat Islam tidak harus digambarkan dalam bentuk sistem Khilafah, namun persatuan dapat juga berbentuk kesamaan komitment saling merasa memiliki, mengisi dan berbagi. Titik keindahan pelangi bukan terletak pada keseragaman warna namun sebaliknya point keindahannya justeru dari unsur warnanya yang berbeda sehingga mampu menghipnotis para penikmatnya. Wallahu A'lam.