GANTI FONT BLOG INI!

Rahn (Gadai); dari Teori ke Praktik


Dok. Google

Rahn; dari Teori ke Praktik*
Oleh: M. Nurul Ahsan**

BAB: I
PENDAHULUAN
Di tengah terpuruknya ekonomi kapitalis, konsep ekonomi Islam seakan menjadi wacana yang akrab akhir-akhir ini. Wacana itu bukan hanya berkembang di dunia Islam saja, akan tetapi telah menyentuh di berbagai belahan dunia, tak terkecuali dunia Barat. Oleh sebagian orang, ekonomi Islam dianggap sebagai ekonomi alternatif untuk menyelamatkan perekonomian dunia yang saat ini tengah berada pada titik menghawatirkan. Dari sekian banyak konsep ekonomi Islam itu adalah Gadai Syariah.
Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak maupun tidak bergerak untuk dijadikan jaminan pelunasan atas utang yang diambilnya. Pegadaian sendiri merupakan “trademark” dari Lembaga Keuangan milik pemerintah yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai. Berikut ini akan sedikit dijelaskan mengenai konsep gadai berbasis syariah dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

BAB: II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Gadai, dalam bahasa Arab dikenal dengan nama rahn. Secara etimologi, rahn berarti konstan (ats-tsubût), permanen (ad-dawâm), seperti contoh, ماء راهن yang berarti “tsâbit”.[1] Menurut sebagian ulama, rahn diartikan menahan (al-habs), seperti contoh firman Allah Swt. dalam Alquran: كل نفس بما كسبت رهينة. Yang dikehendaki rahînah di sini adalah mahbûsah.[2]
Dipandang dari syariah, rahn adalah menjadikan suatu benda yang bernilai ekonomis –dalam pandangan syariah-- untuk jaminan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda tersebut.[3]
Gadai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: 1) Meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yg memberi pinjaman; 2) Barang yg diserahkan sebagai tanggungan utang; 3) Kredit jangka pendek dengan jaminan yang berlaku tiga bulan dan setiap kali dapat diperpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah satu pihak yg bersangkutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 dijelaskan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain. Dari sini mulai teridentifikasi adanya perbedaan antara konsep gadai syariah dan gadai konvensional melalui redaksi “barang bergerak”.
2.2. Legalitas Gadai
Sebelum mengupas lebih jauh konsep rahn, alangkah baiknya menjelaskan aspek legalitasnya terlebih dahulu. Para ulama berpendapat bahwa praktik rahn legal perspektif hukum Islam berdasarkan Alquran, hadis dan konsensus. Berikut ini penjelasannya:
1.      Allah berfirman dalam Alquran:
﴿ وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Artinya, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (QS. 2:283).
Ulama sepakat atas legalnya praktik rahn. Hanya saja Mujahid dan Dzahiriyyah berpendapat bahwa praktik rahn hanya dapat dilakukan ketika dalam kondisi perjalanan. Ketentuan ini berlandaskan pada ayat di atas yang secara eksplisit menggunakan redaksi “safar”, berarti perjalanan.
Mayoritas ulama berpendapat praktik rahn dapat dilakukan dalam kondisi apapun, entah itu dalam kondisi perjalanan maupun bukan. Pendapat ini mengacu pada sebuah hadis nabi dalam melakukan gadai, sementara beliau tidak dalam kondisi perjalanan. Redaksi dalam ayat di atas hanya disebabkan mekanisme dokumentasi sebuah transaksi dalam kondisi perjalanan masa itu belum ditemukan.[4]
2.      Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas Ra. menceritakan tentang nabi pernah menggadaikan pakaian perangnya kepada salah seorang Yahudi di Madinah untuk mendapatkan gandum bagi keluarganya.[5] Nabi saat itu juga tidak dalam kondisi perjalanan sehingga hadis ini menjadi ilustrasi bahwa melakukan praktik rahn tidak harus dalam kondisi perjalanan.
3.      Umat Islam telah mencapai titik konsensus tentang legalnya praktik rahn. Fakta itu telah berjalan berabad-abad lamanya, mulai periode nabi hingga sekarang. Belum pernah ditemukan satupun penolakan.[6]
2.3. Rukun dan Syarat
Dalam praktik Rahn harus ada empat unsur: 1) Râhin (pemberi jaminan); 2) Murtahin (penerima jaminan); 3) Marhûn (barang jaminan), dan; 4) Marhûn bih (utang). Rukun rahn menurut kalangan Hanafiah hanya ijab dan kabul –antara pihak rahin dan murtahin. Pendapat ini juga terjadi dalam transaksi-transasi lain selain rahn. Kemudian, menurut kalangan ulama selain Hanafiah, rukun rahn adalah shîghat, âqid (râhin dan murtahin), marhûn, dan marhûn bih. Jika salah satu dari rukun ini tidak dipenuhi, maka secara otomatis rahn tidak dapat berjalan.
Dalam melakukan praktik rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar rahn dapat berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:[7]
Pertama, syarat âqid. Masing-masing râhin dan murtahin harus memenuhi kriteria ahliyyah. Ahliyyah sesuai pendapat Hanafiah dan Malikiah adalah orang yang mempunyai kemampuan transaksi, karena rahn –menurut mereka—diidentifikasi mempunyai kesamaan dengan jual-beli, sehingga âqid harus berakal dan mumayyiz. Berbeda dengan kalangan Syafiiah dan Hanabilah yang mengidentifikasi rahn mempunyai kesamaan dengan jual-beli dan tabarru’ (sukarela). Oleh karenya, dalam melakukan praktik rahn masing-masing râhin dan murtahin harus telah mencapai usia balig, sehat rohani, tidak safîh (idiot), tidak muflis (pailit) dan tidak mustakrah (dalam tekanan orang lain).
Kedua, syarat shîghat. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa sîghat dalam praktik rahn tidak boleh menyertakan syarat maupun disandarkan pada masa yang akan datang. Rahn dalam konsepnya menyerupai jual-beli. Jika dalam praktiknya masih disertai syarat atau disandarkan pada masa yang akan datang, maka rahn dinyatakan tidak sah sebagaimana jual-beli. Akan tetapi jika syarat yang diajukan ternyata menyalahi syariah, maka yang tidak sah hanya sebatas syaratnya saja, sedangkan hukum rahn tetap sah. Akan tetapi, menurut Alauddin al-Kasani –salah satu ulama Hanafiah—syarat dan rahn-nya sama-sama tidak sah.
Para ulama selain Hanafiah mempunyai pandangan lain. Syarat dalam rahn diklasifikasi menjadi tiga bagian menurut Syafiiah: syarat benar, syarat salah, dan syarat yang dapat merusak akad. Dari tiga syarat tersebut hanya terakhir yang mampu membatalkan praktik rahn. Mengenai syarat ini, Malikiah dah Hanabilah mempunyai pandangan lain. Bagi mereka syarat dalam praktik rahn hanya ada dua macam: syarat benar dan syarat rusak.
Ketiga, syarat marhûn (barang jaminan). Ulama Hanafiah berpandangan marhûn harus berupa benda yang dapat diperjualbelikan, bermanfaat, bernilai, diketahui, dimiliki rahin secara penuh, tidak sedang digunakan râhin, tidak berkumpul dengan harta lain atau harta orang lain. Menurut jumhur fukaha, kecuali Malikiah, tidak sah menggadaikan manfaat suatu barang.
Keempat, syarat marhûn bih. Syarat marhûn bih menurut ulama Hanafiah adalah berupa hak yang harus diserahkan, penyerahannya layak sebagai timbal balik dari marhûn, dan ma’lum atau diketahui kedua belah pihak. Sedangkan menurut kalangan Syafiiah dan Hanabilah, marhûn bih harus bersifat konstan (tsabit), mengikat (lazim) atau mengarah ke sana, diketahui jumlah dan sifatnya oleh kedua belah pihak.  
2.4. Benda yang Timbul dari Barang Jaminan
Di dalam mekanisme rahn, terdapat beberapa ketentuan berkaitan dengan pemanfaatan marhûn, batas kewenangan râhin sekaligus murtahin, biaya perawatan dan beberapa benda yang timbul darinya. Para ulama sepakat berkenaan dengan benda lain yang yang menyatu secara langsung (az-ziyâdah al-muttashilah) dengan marhûn statusnya dianggap sebagaimana marhûn itu sendiri. Akan tetapi perbedaan ulama itu terjadi ketika benda yang ada menyatu tidak secara langsung dengan marhûn (az-ziyâdah al-munfashilah).
Menurut kalangan Syafiiah, benda lain yang menyatu secara tidak langsung dengan marhûn, semisal buah, anak hewan, susu dan sejenisnya, secara otomatis ikut serta menjadi marhûn, kecuali sesuatu yang dianggap ganti dari manfaat, semisal upah, sedekah atau hibah. Sedangkan kalangan Malikiah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar dari marhûn, semisal anak, secara otomatis statusnya menjadi marhûn. Berbeda dengan susu, bulu domba atau buah-buahan statusnya tidak menjadi marhûn.
Dalam persoalan ini pendapat Hanabilah lebih general. Menurutnya, apapun benda yang secara tidak langsung timbul dari marhûn otomatis statusnya menjadi marhûn. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara anak dengan induknya, dan seterusnya..[8]
2.5. Memanfaatkan Barang Gadai
Selain persoalan di atas, ulama juga berbeda pandangan mengenai pemanfaatan marhûn oleh râhin. Terdapat dua pendapat mengenai persoalan ini, antara Syafiiah dan mayoritass ulama. Pemanfaatan barang jaminan oleh râhin diperbolehkan menurut ulama Syafiiah selama tidak mengakibatkan kerusakan. Menurut mayoritas ulama, pemanfaatan ini tidak diperbolehkan. Menurut Hanafiah dan Hanabilah pemanfaatan diperbolehkan selama mendapatkan izin dari pihak murtahin. Sedangkan enurut Malikiah pihak râhin sama sekali tidak diperkenankan memanfaatkan. Jika ternyata râhin memanfaatkan barang jaminannya, maka konsekuensinya rahn menjadi batal.
Berdasarkan pendapat jumhur, pihak murtahin tidak diperkenankan memanfaatkan marhûn. Pemanfaatan itu boleh dilakukan terbatas jumlah kebutuhan perawatannya ketika pihak râhin enggan menanggungnya. Hanabilah mempunyai pendapat berbeda. Menurutnya, pihak râhin dapat memanfaatkan benda jaminan, selama jaminan yang ada berupa hewan, bukan yang lain. Durasi pemanfaatannya juga harus sebatas jumlah kebutuhan perawatan barang jaminan. Untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh karya Dr. Wahbah Zuhaily. [9]
2.6. Berakhirnya Perjanjian
Rahn dapat dikatakan selesai ketika marhûn telah diserahkannya kepada pemiliknya, utang dinyatakan lunas, marhûn dijual sesuai intruksi yang berwenang, marhûn dijual atas iniatif râhin yang disepakati murtahin, pembebasan tanggung jawab pembayaran utang entah menggunakan metode hawalah maupun lainnya, pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh murtahin meskipun tidak disepakati râhin. Pembatalan secara sepihak ini dinyatakan sah karena perjanjian rahn adalah hak murtahin. Murtahin tidak ada keharusan untuk menerima (ghaira lâzim), ia mempunyai hak menerima atau menolak (jâiz).[10]
2.7. Penjualan Barang Jaminan
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 terkait penjualan barang jaminan dalam praktik rahn adalah sebagai berikut: a) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan râhin untuk segera melunasi utangnya; b) Apabila râhin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhûn dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah; c) Hasil penjualan Marhûn digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan; d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik râhin dan kekurangannya menjadi kewajiban râhin.
2.8. Jenis-Jenis Gadai
Dalam Al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah, Wahbah Zuhaily menjelaskan gadai ada dua macam: Rahn Hiyazy dan Rahn Ta`miny/Rasmy. Rahn Hiyazy merupakan praktik gadai yang telah dikenal banyak orang dari dulu hingga sekarang. Dalam prosedur pelaksanaannya, marhûn berada dalam kekuasaan murtahin.  Berbeda dengan Rahn Ta`miny/Rasmy, dimana pihak murtahin hanya  mempunyai kewenangan memegang surat bukti kepemilikan saja –semisal BPKB, sedangkan marhûn tetap berada di tangan rahin.[11] Praktik gadai semacam ini jamak terjadi di berbagai tempat pada periode sekarang. Dari dua model gadai di atas, hanya Rahn Ta`miny/Rasmy yang menyisakan pertanyaan terkait kebolehannya.
Dalam memberi pandangan hukum terkait Rahn Ta`miny/Rasmy, ulama kontemporer terjadi perbedaan. Dr. Hassan Wahdan mengatakan bahwa rahn dalam bentuk ini bertentangan dengan syariah karena pihak murtahin tidak menerima marhûn. Menurutnya, bentuk transaksi semacam ini telah terkontaminasi produk transaksi Barat. Akan tetapi, pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama. Mereka mengatakan bahwa penerimaan (qabd) pihak murtahin atas marhûn tidak terbilang rukun menurut pendapat sebagian ulama. Lagipula pemindahan kepemilikan melalui penyerahan surat bukti kepemilikan juga dapat masuk kategori qabd.[12]
2.9. Perbandingan
Pada prinsipnya, ada aspek pembeda antara gadai syariah dengan gadai konvensional. Berikut ini beberapa di antaranya:
a.       Pegadaian syariah sistem operasionalnya menggunakan metode fee based income dan mudhârabah, tergantung tujuan pihak râhin dalam mengalokasikan dananya. Karena masing-masing râhin mempunyai tujuan bermacam-macam, tergantung kebutuhannya, semisal pembiayaan pendidikan, tambah modal dan lain-lain. Fee based income lebih diutamakan daripada mudhârabah.
b.      Pegadaian konvensional hanya melakukan satu perjanjian, yaitu utang-piutang, sedangkan status barang jaminan bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian utang-piutang. Berbeda dengan pegadaian syariah, yang mana barang jaminan mutlak disyaratkan guna penarikan jasa simpanan.
c.       Dana yang salurkan pegadaian syariah kepada nasabah (râhin) tidak ada unsur riba, karena biaya berasal dari dana pribadi atau menjadikan Bank Muamalat sebagai fundernya, sementara sumber pegadaian konvensional dari bunga para râhin.
d.      Dalam pegadaian konvensional sangat menekankan bunga berdasarkan jumlah pinjaman, berlipat ganda, serta berakumulasi, sedangkan dalam pegadaian syariah tidak mengenal riba. Di sana menggunakan prosedur jasa penyewaan.[13]

BAB: III
PENUTUP
Hadirnya pegadaian syariah di Indonesia sebagai lembaga keuangan formal yang bertugas menyalurkan pembiayaan dalam bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu diapresiasi. Secara praktis, gadai syariah masih ditemui berbagai unsur yang berindikasi menabrak prinsip-prinsip syariah, semisal adanya unsur riba, perjudian (spekulasi), dan seterusnya. Untuk mencapai pegadaian syariah yang sempurna, tentu dibutuhkan pembenahan di mana-mana. Pada akhirnya penulis mengakui, tulisan ini hanya mengupas sedikit tentang sekian banyak persoalan dalam praktik gadai. Pada dasarnya, masih banyak persoalan penting untuk dikemukakan dan dirumuskan. Tapi karena keterbatasan penulis, semua itu tidak dapat terlaksana. Wallâhu a’lam.


* Dipresentasikan dalam kajian dwi mingguan FAS (Forum Alumni Sarang) Mesir, pada hari Jum’at, 9 Maret 2013.
** Salah satu mahasiswa Al-Azhar University, Faculty of Islamic Jurisprudence and Law.
[1] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, vol. 6 (cet. 4; Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.), h. 4207.
[2] Abdurrahman bin Muhammad ‘Audh Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, vol. II (Maktabah Syamilah) h. 212; Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah (cet. 1; Damaskus: Dar al-Fikr, th. 2011), h. 82; Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiyata Qalyûby wa Umairah, vol. 2 (t.c.; Dar at-Taufiqiyyah at-Turats, th. 2010), h. 429.
[3] Terdapat banyak redaksi perihal definisi rahn dalam perspektif syariah. Akan tetapi, masing-masing definisi tidak terlalu jauh perbedaannya sehingga tidak terlalu banyak mempengaruhi substansi dari rahn itu sendiri. Lihat, Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, loc. cit.
[4] Ibit., h. 4209.
[5] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa`i dan Ibnu Majah.
[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughny fî Fiqh al-Imâm Ahmad ibn Hambal al-Syaibâni, vol. 4 (cet. 1; Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 397.
[7] Rukun dan syarat ini secara terperinci dijelaskan oleh, Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, op. cit., h. 4212- 4236.
[8] Wizarat al-Auqaf wa al-Syu`un al-Islamiyyah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, vol. 23  (t.c.; Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, th. 2008), h. 183.
[9] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, op. cit., h. 4287-4289.
[10] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah, op. cit., h. 87.
[11] Ibit., h. 88.
[12] Markaz ad-Dirasat al-Fiqhiyyah al-Iqtishadiyyah, Mausû’ah Fatâwy al-Mu’âmalât al-Mâliyyah, vol. 13 (t.c.; Kairo: Dar as-Salam, t.t.), h. 352.
[13] Prof. Dr. Abdul Ghafur Anshori, S.H., M.H., Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiyaan (cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, th. 2008), h. 58.

 

Haul KH. Zubair Dahlan; Ojo Kakehen Wiridan!

Haul KH. Zubair Dahlan; Ojo Kakehen Wiridan!
Dok. Google

Peringatan Haul KH. Zubair Dahlan kali ini bisa dibilang spesial, karena tepat diadakan pada 
hari Senin, hari yang sama saat beliau kembali ke hadiratNya. Tradisi tahunan tersebut juga 
selalu diperingati kawan-kawan FAS (Forum Alumni Sarang) di Mesir. Bertempat di bilangan 
distrik 6, kediaman Bapak Mahmudi Muhson, MA, acara ini dihadiri oleh segenap anggota FAS
Mesir serta almamater tetangga seperti KMF (Kajen), IKAMARU (Guyangan, Pati), Bandungsari, 
serta Gubernur dari kekeluargaan Jawa Tengah di Mesir. Acara yang diiringi buka bersama 
tersebut dibuka dengan khataman Alquran 30 juz, tafa'ulan pad acara serupa yang 
diselenggarakan di Sarang.

"Jika kita membaca perjalanan sejarah beliau, kita pasti merinding," ungkap Bapak Mahmudi 
Muhson, MA mengawali mauidhoh hasanah dengan kekaguman atas biografi KH. Zubair Dahlan. 
Beliau menjelaskan, Mbah Zubair, memulai belajar dari ayah dan kakek beliau, Kyai Dahlan dan 
Kyai Syuaib. Tak cukup dari satu jalur, beliau juga belajar dari para paman. Hingga akhirnya pada 
usia 17 tahun, beliau pergi ke tanah suci bersama kakeknya dan bertempat tinggal bersama 
pamannya, KH.Imam Kholil yang terlebih dahulu berada di Makkah selama 3 tahun. 3 tahun yang 
benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya, beliau banyak belajar pada ulama-ulama tersohor di 
bumi tempat Baginda Nabi Muhammad SAW dilahirkan.

Pada usia 24 tahun, beliau menikah dengan Nyai Mahmudah hingga dikaruniai 5 putra dan putri, 
semuanya meninggal kecuali seorang putra, KH. Maimoen Zubair. Tiba-tiba Pak Mahmudi, sapaan 
akrab Bapak Mahmudi Muhson, MA, berucap, "sebenarnya umur 24 itu sudah ancang-ancang, 
kang,". Sontak para hadirin yang merasa tersindir mengelak. "Sampean juga kan, pak," celetuk 
Irhas Darojat dari dapur. "Lho, saya yang berbicara yaa tidak masuk khitob, saya kan 
mutakallim, bukan mukhotob," jawab Pak Mahmudi balik. Hadirin terpingkal mendengar jawaban 
dari Pak Mahmudi tersebut.

Mbah Zubair, lanjut beliau, tidak mengajarkan ilmu Tasawuf- walaupun beliau ahli dalam 
bidang tersebut- sampai usia beliau yang ke 60. Hal ini, lanjut Pak Mahmudi, menggambarkan 
salah satu maqolah beliau yang terkenal, "Man izdada khusyu'an, izdada jahlan". Ilmu tasawuf 
yang identik dengan 'khusyuk', sepantasnya memang diajarkan kala senja. Waktu muda, 
sebaiknya digunakan untuk memperkaya pikiran. "Ojo kakehen wiridan wektu enom," begitu Pak 
Mahmudi menggambarkan.

Adzan Maghrib telah lama dikumandangkan, Rendang ayam pun telah lama disajikan, pengajian 
terpaksa diakhiri dengan walaupun para tamu masih khusuk mendengarkan. ditutup dengan doa 
yang dibawakan Bapak Yunus Masrukhin, MA, semoga peringatan Haul KH. Zubair Dahlan kali ini 
membawa berkah dan manfaat yang tak terhitungkan.

Suasana Sehabis Berbuka


 

Transaksi Syar’i antara Doktrin dan Solusi


Dok. Google

Oleh: El Madridisty
Prolog
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa terlepas dari yang lainnya.  Dalam segi apapun, antara satu sama lain saling membutuhkan. Mungkin ini yang mendorong Ibnu Khaldun untuk mengatakan: "saya tidak bisa membuat roti sendiri" saat ditanya kenapa kita harus bersosialisasi?.

Syari'at islam datang memberikan batasan-batasan terhadap manusia dalam berinteraksi dengan sang pencipta dan sesama. Karena semua syari'at islam tidak lain hanya untuk kemashlahatan manusia.[1] Dalam koridor interaksi manusia dengan sang pencipta, Islam mensyariatkan beraneka ragam ibadah (‘ibâdât). Demikian pula dalam segi interaksi manusia dengan sesamanya, syari’at islam membatasinya dengan hukum-hukum seputar transaksi (mu’âmalah), kriminalitas (jinâyât), pernikahan (munâkahât), agar tidak terjadi penindasan terhadap yang lainnya.
Pada dasarnya syari'at islam sangat elastis terhadap situasi-kondisi manusia. Taruh saja dalam segi ibadah, Islam tidak menuntut manusia untuk melakukan sholat berdiri apabila tidak mampu melaksanakannya. Kemudian berbicara lebih spesifik dalam segi mu’âmalah, hukum yang diterapkan disuatu negara mungkin tidak cocok diterapkan di negara lain. Pendapat ulama disuatu masa, mungkin kurang  relevan jika diaplikasikan di zaman yang sarat akan tehnologi ini. Karena disetujui atau tidak, terkadang suatu fatwa mempunyai masa dan lingkungan tertentu.
Kalau kita pandang secara kasat mata, tentu masalah ini terkesan sporadis. Pasalnya tidak ada pemerataan hukum terhadap setiap elemen umat, padahal bersumber dari referensi yang sama. Lantas bagaimana langkah kita mensikapinya?. Apakah perbedaan ulama’ ini harus kita jadikan sebagai alat pemecah kesatuan umat?. Dan apakah fenomena ini memaksa kita untuk tidak melirik karya-karya peninggalan mereka (turats). Dengan dalih karena sudah tidak selaras dengan perkembangan zaman?.
Pada kesempatan kali ini Penulis mencoba menganalisa peran turats dimasa sekarang, dengan lebih menspesifikan hukum mu’âmalah. Walaupun Penulis bukan spesialis dibidangnya, tapi tidak ada salahnya belajar menganalisa pendapat ulama’ dengan maksud pengembangan ilmiyah. Berangkat dari ketentuan kepengurusan FAS Mesir 2012/2013, tema yang diusung dalam diskusi dwimingguan adalah mu’âmalah syar’iyah dengan mengacu kitab “Hasyiyatâ Al Qalyuby wa ‘Umaerah”, Penulis tidak ingin menterjemah tema yang diberikan. Karena disetujui atau tidak menterjemah merupakan hal yang mudah dan tidak banyak membutuhkan pemikiran dan pengalisaan. Penerjemahan lebih banyak mengajak kita hanya bergelut dengan alih bahasa saja. Dengan mengharap taufiq Allah SWT., Penulis mencoba membahas sebagian sub-sub tema yang ada dengan mengkaitkan relevansinya dimasa sekarang atau kemashlahatannya dikalangan umat. Dalam makalah singkat ini penulis hanya menitik tekankan dua point. Yang pertama seputar polemik shighat, dan yang kedua seputar penjualan barang najis.
I. Polemik Seputar Shighat akad
Imam Nawawi dalam Minhaj al Thalibinnya mengatakan: “syarat ba’i adalah ijab dan qabul” dengan menampilkan kedua contohnya. Kemudian Syekh Jalaluddin al Mahaly dalam syarahnya mentafri’ ketidaksahan jual beli tanpa ijab dan qabul. Sedangkan Al Qalyuby dalam hâsyiyahnya berpandangan bahwa jual beli tanpa adanya ijab-qabul (ba’i mu’âthâh) merupakan suatu dosa, setelah Ia menampilkan perbedaan pendapat apakah ini dosa besar atau kecil?.[2]
Tentu hal ini menjadi polemik tersendiri apabila diaplikasikan dipelbagai kalangan masyarakat. Pasalnya banyak komunitas yang mempraktekkan transaksi ini (ba’i mu’âthâh). Jika kita tetap mengacu pendapat Al Qalyuby, kita akan memvonis dosa banyak kalangan. Dari sisi lain, fiqh merupakan solusi bagi masyarakat.
Pengertian Shighat Akad
Shighat akad (shighat al aqd) adalah sesuatu yang membentuk transaksi, baik berupa ucapan seperti ijab dan qabul, atau tindakan seperti mu’âthâh untuk menjelaskan tujuan seseorang yang sedang bertransaksi.[3]
Mu’âthâh adalah pengambilan barang dari pihak pembeli serta penyerahan harga darinya, atau pemberian barang dari pihak penjual, dan pembayan pembeli tanpa adanya perkataan atau isyarat.[4]
Ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan transaksi ini. Perbedaan mereka berporos pada ada dan tidak adanya ridla dalam transaksi tersebut.  Berikut pandangan ulama beserta dalil mereka:
a. Keabsahan Ba’i Mu’âthâh
Diantara ulama yang berpendapat tentang sahnya ba’i mu’u’âthâh (jual-beli tanpa shighat) adalah kalangan Hanafiyyah, Mâlikiyyah, dan Hanâbilah.[5] Mereka menggunakan dalil secara manqul dan ma’qul. Dalil manqul mereka yang pertama adalah firman Allah dalam surat al Nisa’ ayat 29.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Wajhu al dalâlah: ayat ini menegaskan tentang diperbolehkannya tijârah (jual-beli). Tijârah adalah gambaran pemberian suatu barang pada yang lain dengan pemberian ganti tertentu dari pihak kedua. Definisi tijârah ini merupakan interpretasi dari mu’âthâh. Perkataan kedua orang yang melakukan transaksi adalah bukti saling menukar barang yang menunjukkan kerelaan (ridla), namun itu bukan berarti selain perkataan tidak menunjukkan keridlaan.
Dalil manqul yang kedua adalah keumuman firman Allah SWT. dalam surat Al BAqarah: 275.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Wajhu al dalâlah dalam ayat tersebut adalah kehalalan akad jual-beli. Allah SWT. tidak menentukan caranya secara pasti. Maka dikembalikan pada kebiasan suatu lingkungan (urf).
Sedangkan dalil secara ma’qul adalah adanya ijab-qabul yang dimaksudkan untuk saling ridla antara keduabelah pihak yang bertransaksi. Ketika ditemukan sesuatu yang menunjukkan keridlaan selain ijab-qabul, maka sudah mencukupi dari keduanya.[6]
b. Keharaman Ba’i Mu’âthâh
Pendapat yang kedua ini diamini kalangan Syâfi’iyyah, Dzâhiriyyah, dan Zaediyyah[7]. Namun sebagian dari kalangan Syafi’iyyah (Ibn Surej) menganggap sah mu’âthâh pada barang-barang yang dianggap sepeleh dan suatu komunitas telah membiasakannya.

Pendapat mereka berpijak pada firman Allah SWT dalam surat Al Nisa: 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Wajhu al dalâlah: Dalam ayat ini Allah SWT. mengkaitkan kehalalan makanan dengan adanya saling ridla (rela). Sedangkan ridla merupakan sesuatu yang samar yang tidak dapat kita ketahui. Sehingga hukum harus dikaitkan dengan sesuatu yang dlahir  yaitu shighat (ijab-qabul). Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa jual-beli mu’âthâh tidak sah, karena hanya sekedar tindakan tidak cukup sebagai shighat yang menyatakan keridlaan.
Mengacu pada ayat yang sama, kalangan Dlâhiriyyah mempunyai pandangan (wajhu al dalâlah) yang berbeda. Ibnu Hazm mengatakan: Mu’âthâh bukanlah suatu jenis akad yang disyari’atkan Allah SWT. Karena setiap akad penamaannya secara tauqify (bersumber dari Allah dan rasulnya). Dengan bukti Allah SWT. berfirman (وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا), dan firman Allah                 (لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ). Sesungguhnya perkara yang diharamkan Allah, maka jelas keharamannya. Dan yang dihalalkan Allah, tentu halal. Ketika suatu barang diambil dengan selain nama yang telah ditentukan Allah, maka tindakan tersebut batil sesuai nash alqur’an[8]. Dalam hal ini, mereka bersih keras (mutasyaddid) untuk memberi istilah setiap akad dengan nama tertentu secara tauqify.
Selain dari ayat diatas, mereka juga mengambil dalil hadits yang diriwayatkan Ibnu Mâjah:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ الدِّمَشْقِىُّ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ صَالِحٍ الْمَدَنِىِّ، عَنْ أَبِيــهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ[9]
Wajhu al dalâlah hadits ini seperti halnya pandangan Syafi’iyyah dalam menganalisa ayat diatas.

Tarjîh
Dalil dari kedua pendapat secara garis besar sama, yakni firman Allah dalam surat Al Nisa: 29. Akan tetapi pandangan teoretis dalil yang berbeda. Pengarahan yang mengklaim ba’i’ mu’âthâh tidak sah dapat dapat ditanggapi (munâqasyah) demikian:

* Pendapat Syâfi’iyyah yang mengklaim mu’âthâh tidak sah menjadi akad jual-beli. Dengan dalih mu’âthâh tidak bisa menunjukkan keridlaan. Dapat ditanggapi bahwa poros keabsahan akad adalah adanya keridlaan dari kedua belah pihak. Maka seharusnya dapat diterima segala sesuatu yang menunjukkan keridlaan. Tentunya, dan tidak diragukan kalau mu’âthâh juga menunjukkan keridlaan dari kedua belah pihak. Pemaksaan adanya ridla dari shighat saja, hanya akan meyisihkan pertanyaan pada kalangan Syâfi’iyyah. Mengapa hanya menganggap lafadz saja yang menjadikan keabsahan jual-beli?. Dan uniknya, kadang Syâfi’iyyah menganggap sah akad tanpa adanya lafadz atau shighat, semisal orang bisu.
* Pendapat Dlâhiriyyah yang mengklaim nama semua akad merupakan tauqify (dari Allah), dapat ditanggapi bahwa hal ini dapat memberatkan transaksi jual-beli yang telah berlaku disuatu kominitas semenjak masa rasul. Dan klaim semacam ini tidak sesuai fakta, dengan kata lain syariat tidak menentukan nama atau istilah khusus pada setiap akad. Karena titik tekan dalam setiap akad adalah maknanya bukan lafadznya. Ketika akad tanpa lafadz sudah membuahkan keridlaan dari kedua belah pihak yang bertransaksi, maka pendapat yang mengharuskan berpegang pada lafadz justru tidak sealur sejalan dengan transaksi yang sudah dipraktekkan pada masa nabi.
Solusi Umat
Ibnu Qadâmah, Setelah menjelaskan keabsahan mu’âthâh mengatakan: “tidak ada riwayat dari nabi ataupun sahabatnya praktek ijab-qabul. Memandang banyaknya transaksi yang ada. Apabila mereka menggunakan ijab-qabul, pasti banyak sekali periwayatan. Dan apabila ini merupakan syarat, maka wajib untuk diriwayatkan”. Kemudian Ibnu Qadâmah memberi gambaran adanya transaksi mu’âthâh dari satu masa kemasa. Bahkan Ia mengklaim adanya ijma’ atas keabsahan akad ini, hingga akhirnya ada sebagian kalangan yang bertolak belakang dengan hukum ini.[10]
Dari adanya dalil dan beberapa pertimbangan diatas, dan tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormat dari ijtihâd ulama, maka pendapat yang mengatakan sahnya akad mu’âthâh lebih utama untuk diterima dan selaras dengan kebiasan yang terjadi dikalangan masyarakat dari masa kemasa. Karena lebih mudah untuk diaplikasikan dan tidak memberatkan masyarakat.
II. Syarat Mabi’ (barang jualan)
Dalam Minhaj al Thalibin, Imam Nawawi mengatakan: “terdapat beberapa syarat dalam mabi’. Salah satunya suci. Maka tida sah menjual anjing dan arak”. Al Mahaly dalam syarahnya memberikan dalil dari hadits nabi:
نَهَى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ[11]

Dan hadits Nabi:
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَام[12]

Kemudian Al Mahaly melanjutkan pensyarahan dan mengatakan: “makna dari ini semua adalah kenajisan mabi’. Samakanlah masalah ini pada setiap barang yang najis.” Bahkan Syekh Umaerah dalam hâsyiyahnya mengatakan: larangan penjualan barang najis merupakan ijma’ sebagaimana keterangan dalam syarah Muhadzab.[13]

Kalau kita amati redaksi dalam kitab tersebut, secara sharih mengharamkan penjualan barang yang najis. Termasuk dalam kategori barang najis adalah darah. Tentu ini akan menjadi polemik tersendiri saat kita dihadapkan fakta sekarang ini adanya pendonoran darah dengan imbalan tertentu, atau saat kita hadapkan pada seseorang yang menjual darahnya karena himpitan ekonomi. Kemudian bagaimana pandangan dan solusi syara’?.
Selayang Pandang Donor Darah
Darah merupakan sarana kehidupan bagi tubuh manusia dan beragam jenis hewan lainnya. Sehingga dalam bahasa arab istilah safk al dam (mengalirkan darah) diartikan tindak kriminal pembunuhan (Al Baqarah: 30). Karena menghilangkan sesuatu yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Dalam khuthbah rasul saat haji wada’, Beliau menjadikan keharaman darah, sebagai kinayah dari kemulyaan kehidupan.[14]
Peran darah sangat urgen dalam tubuh manusia untuk kelangsungan kehidupannya. Darah menyerap makanan dari lambung, dan usus menuju keseluruh bagian tubuh. Begitupula darah membawah oksigen dari paru-paru dan menyebarkannya kesel-sel tubuh. Selain itu darah berperan penting membantu pengeluaran kotoran dari dalam tubuh.[15]
Apabila kadar darah kurang dari ukuran normal, rentan sekali mengakibatkan penyakit dalam tubuh. Namun kekurangan darah dapat diantisipasi dengan mengkonsumsi makanan atau vitamin tertentu. Ironisnya, tidak semua kekurangan darah bisa diantisipasi dengan cara yang sama. Banyak Kejadian yang mengharuskan seseorang menerima transfer darah dari yang lainnya, seperti ketika mengalami pendarahan saat kecelakaan atau melahirkan. Oleh karena itu banyak layanan kesehatan yang mendorong masyarakat untuk mendonorkan darah guna membantu mereka yang membutuhkan.
Referensi kedokteran mencatat pada tahun 1829 merupakan awal mula donor darah dilakukan.  Eksperimen ini dilakukan pada seorang wanita yang mengalami pendarahan saat melahirkan. Kemudian pada tahun 1872, pendonoran dilakukan kembali pada kasus yang sama. Sehingga dengan perjalanan waktu kedokteran menetapkan dan menklasifikasi darah manusia menjadi empat yaitu: A, B, AB, dan O.[16] Secara penelitian, pendonoran darah merupakan cara paling efektif untuk menangani masalah kekurangan darah seperti pendarahan dan yang lainnya. Sehingga hal ini merupakan suatu keniscayaan disetiap rumah sakit dan instansi kesehatan dunia.
Setelah sedikit kita menyinggung tentang pentingnya donor darah dalam dunia kedokteran, apakah hal ini dapat melegalkan penjualan darah secara syar’i ?. Sebelum membahas lebih jauh masalah ini, kita perlu menggaris bawahi beberapa point penting sebagai acuan pembahasan. Antara lain:
1. Ulama sepakat atas keharaman pengaliran darah untuk dikonsumsi (Al An’am: 145),
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِــــــــــــــلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Al Qurthuby dalam tafsirnya mengatakan: "ulama sepakat bahwa darah najis, tidak dapat dimakan dan dimanfaatkan."[17]
2. Darah tidak bisa diintifa’ kecuali dalam keadaan darurat. Sedangkan dalam keadaan normal merupakan najis yang diharamkan. Dengan demikian darah bukan merupakan mâl (harta benda). Karena definisi mâl adalah sesuatu yang bermanfaat diluar dari keadaan darurat. Sesuatu yang bermanfaat saat darurat tidak bisa menjadikan suatu barang menjadi mâl. Karena saat darurat, syari’at memperbolehkan hal-hal yang dilarang (Al Baqarah : 173)
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
3. Syariat memperbolehkan manusia untuk mengeluarkan darahnya dengan maksud pengobatan. Oleh karena itu islam memperbolehkan hijâmah (pengobatan tradisional dengan mengeluarkan darah). Banyak riwayat yang menjelaskan tentang hijâmah Nabi Muhammad SAW.[18]
4. Memandang tindakan pengeluaran darah dan pembuangnya karena faktor pengobatan diperbolehkan syara', maka berangkat dari sini mengeluarkan darah untuk menyelamatkan nyawa seseorang tentunya lebih patut dipertimbangkan.
Setelah memperhatikan beberapa hal diatas, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendonoran darah dengan uang pengganti tertentu masuk dalam koridor jual-beli syar’i?, ataukah merupakan jenis hibah?, ataukah hanya sekedar bantuan kemanusiaan?.
Secara kasat mata, segala kemungkinan mungkin terjadi. Tentunya untuk menganalisa kita harus hadapkan dengan disiplin rukun-syarat akad yang akan kita terapkan dalam praktek ini. Apabila masalah ini kita tarik dalam ranah hukum ba’i (jual-beli), maka akan tabrakan dengan beberapa hal:
a. Mayoritas Fuqaha' berpendapat jual-beli dianggap sah, apabila barang yang dijual merupakan barang yang suci. Sedangkan darah merupakan barang najis menurut ijma' ulama'. Walaupun kalangan Hanafiyyah tidak mensyaratkan kesucian mabi', akan tetapi mereka mengharamkan penjualan air susu ibu (ASI) dalam kemasan. Dengan dalih karena ASI bukan mâl, dan merupakan bagian dari tubuh manusia. Demikian halnya dengan darah. Semua anggota badan manusia dimulyakan syar'an.[19] Sementara kalangan Syâfi'iyyah dan Hanâbilah memandang darah bukan mâl, karena suatu benda dapat dikatakan mâl apabila dapat diintifa' diluar keadaan darurat.
b. Apabila mengqiyaskan pendapat yang memperbolehkan penjualan ASI dalam kemasan, maka akan terjadi beberapa benturan (qiyâs ma'a al fâriq). Benturan ini terdapat pada peran laban (air susu) dan dam (darah). Laban berperan untuk memberi makanan pada bayi. Sedangkan darah perannya membantu aktifitas sel-sel tubah manusia. Dari sisi lain laban merupakan sesuatu yang suci, sementara darah najis.
Begitu juga kalau kita tarik dalam ranah hibah, praktek pendonoran darah ini juga tidak sah syar’an. Karena kalangan Syafi’iyyah mensyaratkan mauhub (barang yang diberikan) seperti syarat pada mabi’ (barang yang dijual). Dalam Mughni al Muhtâj disebutkan: "Segala sesuatu yang sah untuk dijual, sah untuk dihibahkan. Dan segala sesuatu yang tidak sah untuk dijual, seperti barang yang majhul (tidak diketahui keberadaannya), barang ghashaban, atau hamba sahaya yang lari dari majikannya, maka tidak sah untuk dihibahkan"[20]
Sementara kalangan Hanafiyyah dan Hanâbilah mensyaratkan mauhub harus berupa mâl. Sedangkan darah bukanlah mal.[21] Lain halnya Mâlikiyyah, mereka mensyaratkan mauhub harus berupa kepemilikan. Sedangkan darah bukanlah suatu kepemilikan.
Kemudian bagaimana solusi pendonoran darah dengan adanya imbalan yang dibenarkan secara syar’i?.
Solusi untuk masalah ini adalah dengan menarik keranah ji’alah. Secara terminologi, ji’alah adalah menyanggupi imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau pekerjaan majhul yang susah diketahui.[22] Praktek ini dibenarkan syara’ karena selaras dengan dalil akad ji’alah. Dalil disyariatkannya ji’alah sebelum ijma’ adalah hadits tentang sahabat nabi yang meruqyah dengan imbalam beberapa kambing (30 ekor).[23] Al Zarkasyi mengatakan: “dapat dipahami dari hadits ini diperbolehkannya ji’alah atas segala sesuatu yang bermanfaat pada orang sakit, baik berupa obat atau ruqyah”.[24] Sedangkan Al Kharsyi mengatakan: Sahnun menjelaskan bahwa dalil dalam mengobati orang sakit adalah ji’alah.[25]
Epilog
Islam kaya akan peninggalan karya dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan (turats). Tak perlu heran apabila kita mendengar statement yang menyatakan: “umur kita tidak akan cukup untuk mempelajari satu fan ilmu hadits ini”. Begitupula jika kita observasi bidang fiqih, kita akan menemukan ribuan karya dari berbagai madzhab (madzâhib fiqhiyyah). Madzhab-madzhab ini, menawarkan corak pemikiran mereka masing-masing dalam menganalisa referensi utama islam. Dan tentunya fakta semacam ini akan menimbulkan banyak perbedaan ulama dalam menjustifikasi suatu hukum. Hingga wajar apabila terjadi perbedaan fatwa pada satu masa, atau dengan masa berikutnya. Perbedaan hukum antar satu daerah dengan yang lainnya.

Tidak menutup mata, salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan sudut pandang mereka adalah situasi-kondisi suatu masyarakat. Karena syariat datang untuk menata kemashlahatan manusia. Dalam hal ini, turâts mempunyai posisi penting dalam memberikan solusi pada masyarakat dalam menjawab lika-liku permasalahan. Karena tidak semua permasalahan terdapat perbedaan. Banyak literature turâts yang mungkin tidak bisa diaplikasikan disuatu lingkungan, tapi sangat patut untuk direalisasikan dilingkungan lainnya. Dari masa kemasa turâts masih dipertimbangkan sebagai acuan referensi suatu karya ilmiyyah keislaman.

Namun bukan berarti kita mengesampingkan karya-karya modern yang sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak kita temukan dilampiran-lampiran turâts. Atau fanatik membabi buta dengan mengsakralkan turâts madzhab tertentu dan enggan mengambil, bahkan melirik yang lainnya. Selama itu lebih ashlah diaplikasikan disuatu lingkungan dan bersumber dari referensi utama yang sama, tidak adil apabila kita menolaknya. Karena kebenaran yang hakiki hanya disisi Allah SWT. Wallâhu a’lam bi al shawâb, wa huwa al muwaffiq ilâ aqwam al thatîq. Wa alhamdu lillâhi rabb al âlamîn.





[1] . Al Izzu Ibn Abd Al Salam, Qawâ’id al Ahkâm Fî Mashâlih al Anâm, hal. 9.
[2] . Hasyiyatâ al Qalyuby wa Umaerah, juz. II, hal. 608-609, Cet. Maktabah Tawfiqiyyah.
[3] . Dr. Syawkat al Adawy, Nadlariyah al Aqd, hal. 9
[4] . Al Dardir, Al Syarhu Al Kabir, juz. 3, hal. 3.
[5] . Bada’i’ al Shana’i’, Syarah al Kharsyi, juz. 5, hal. 6. Syarh Muntahâ al Iradât, juz. 2, hal. 141.
[6] . Ibnu Qadâmah, Al Mughny, Juz. 4, hal. 5.
[7] . Raudlat al Thalibin, juz. 3, hal. 336. Al Muhallâ, juz. 9, hal. 294. Al Bahr Al Zakhkhâr, juz. 3, hal. 299.
[8] . Ibnu Hazm, Al Muhallâ, juz. 9, hal. 294.
[9] . Sunan Ibnu Mâjah, kitab al tijârah, hadits. 3369.
[10] . Ibnu Qadâmah, Al Mughny, juz. 4, hal. 4-5.
[11] . HR. Bukhari, dari Aun ibn Abi Juhaefah, kitab al buyu’, bab, tsaman al kalb, hadits. 2278. HR. Muslim, kitab musâqâh, bab tahrim tsaman al kalb, hadits. 4092.
[12] . HR. Bukhari, dari Jabir ibn Abdillah, kitab al buyu’, bab, ba’i al maetah wa al ashnâm, hadits. 3375. HR. Muslim, dari Jabir ibn Abdillah, kitab musâqâh, bab tahrim bae’I al khamr wa al maetah, hadits. 4132.
[13] . Hasyiyata al Qalyuby wa Umaerah, juz. 2, hal.619-620, cet. Maktabah Al Tawfiqiyyah.
[14] . Shahih Muslim, kitab alhaj, bab hajjat al nabi, hadits. 1218.
[15] . Dr. M. Taufiq Ramadan al Buthy, Al Buyu’ Al Syai’ah, hal. 278.
[16] . Dr. Zaenab al Subky, al Dam, wa al Musytaqatuhu, hal. 133.
[17] . Aall Qurthuby, Al Jami’ Al Ahkâm, juz. 2, hal. 227.
[18] . Ibnu Hajar al Asqalany, Fath Al Bâry, bab al hijâmah, juz. 11, hal. 301.
[19] . Bada'i' Al Sana'i', syuruth al ma'qud 'alaih,  juz. 5. Hal. 145.
[20] . Mughni al Muhtaj,  juz. 2, hal. 399.
[21] . Bada'i' al Shana'i',  juz. 6, hal. 199.
[22] . Mughni al Muhtaj, juz. 2, hal. 429.
[23] . Shahih Bukhari, kitab al thib, bab ruqyah bifatihat al kitab.  Shahih muslim, kitab al thib, bab jawaz akhdz al ajr ‘ala al ruqyah.
[24] . Mughni al Muhtaj, juz. 2, hal. 429.
[25] . Sahnun adalah Abdu al Salam ibn Sa’id ibn Habib al Tanukhi. Berasal dari Syam, lahir didaerah al Qaeruwan tahun 160 H. Adalah salah seorang qâdli nan faqih. (Al Kharsyi ‘ala Mukhtashar Sidy Khalil, juz. 2, hal. 61)
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger