GANTI FONT BLOG INI!

Mengubah Paradigma Keberagaman

Oleh: M. Nurul Ahsan el-Balury

Gambaran Umum
Keberadaan hitam tidak lepas dari adanya putih, tidak ada atas jika tidak ada bawah, tidak ada cepat jika tidak ada pelan, tidak ada siang jika tidak ada malam dan seterusnya. Manusia, hewan, listrik, tumbuh-tumbuhan berpasang-pasang. Sedangkan menurut ahli fisika atom-pun diketemukan berpasang-pasang. Semua ini adalah contoh riil tentang validitas firman Tuhan mengenai keberadaan segala sesuatu itu berpasang-pasang. 14 abad silam, dimana manusia masih jauh mencapai tarap teknologi modern seperti sekarang, al-Qur’an telah menceritakan kondisi alam ini secara general. “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS: ad-Daariyat: 49). Demikian sebagai result bahwa intelijensi manusia sangatlah amat terbatas dibandingkan kabesaran-Nya.

Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) ini Tuhan memberikan ruang bagi manusia untuk selalu berekspresi memahami keberadaan alam dengan segala konsekwensi logisnya. Pasang-pasangan seperti itu pada dasarnya mampu memberikan dampak positif dalam kehidupan nyata. Keberadaan lampu berangkat dari adanya malam berikut siang. Adanya obat disebabkan adanya sakit berikut sehat, dan seterusnya. Signifikansi sikap sadar atas fenomena keberagaman ini ternyata mampu memberikan arti yang tak terhingga. Biarkan keharmonisan perbedaan alam ini tetap berjalan secara natural agar supaya dijadikan instrumen untuk menentukan sebuah paradigma-paradigma.

Sikap arif dan bijaksana terhadap pembacaan keberagaman seharusnya bukan hanya diterapkan pada kondisi alam saja. Alangkah baiknya instrumen ini diarahkan ke berbagai aspek lain semisal kondisi ekonomi, sosial dan budaya secara aplikatif. Akhir-akhir ini tampak jelas kondisi sosial yang ada sering menjadi pemandangan yang begitu anarkis. Dalam menyikapi perbedaan secara indifidu maupun kolektif tampaknya lebih cenderung kurang dewasa dan tidak ramah. Doktrin yang ada seakan-akan hanya “habisi lawan” tanpa memberikan kesempatan pihak lain untuk mengungkapkan argumentasi pandangannya. Padahal de facto membuktikan bahwa sesuatu yang dipikirkan komunitas tertentu justeru sering tidak terlintas dalam benak komunitas lain. Begitu juga sebaliknya.

Diakui maupun tidak keberagaman adalah suatu bagian yang tak dapat terelakkan hampir di semua sendi kehidupan. Sebagai spesifikasi disini akan berbicara tentang pembacaan atas permasalahan agama yang keberadaannya selalu menjadi isu aktual sepanjang zaman. Otoritas kebenaran tidak dapat dimonopoli kalangan tertentu jika masih dalam batas teritorial memegang erat al-Qur-an dan al-Hadits. Banyak sekali satu ayat maupun satu redaksi Hadits mempunyai bertumpuk-tumpuk interpretasi. Diantara faktor pemicu realita ini terus berkelanjutan adalah adanya kredibiltas, kapabilitas maupun letak geografis yang begitu varian, sehingga sangat mempengaruhi cara pandang dan membentuk sebuah opini yang dikembangkan. Qath’iy, dzanny, haqiqy dan majazy-pun sebagai area yang masih saja menjadi perdebatan sampai saat ini seperti yang terdapat hampir di setiap manuskrip klasik maupun kontermporer. Dari sini dapat disimpulkan bahwa keberagaman adalah suatu keniscayaan, sesuai Hadis Rasulullah saw.


Perbedaan Dalam Masalah Teologi
Dalam ranah teologi dari dulu telah terjadi ketidakseragaman dikalangan kaum muslimin. Perdebatan permasalahan ini ada yang sampai mampu menghantarkan beberapa Ulama untuk memberikan tanggungjawab yang begitu mahal, seperti yang terjadi pada Ibnu Taimiah. Beliau harus rela mendekam di penjara sebagai tanggungjawab intelektual terhadap buah dari pemikirannya yang cenderung “mujassim” bertentangan dengan pendapat mayoritas.

Pandangan beliau pada dasarnya tidak keluar dari mashadir al-tasyri’iyyah yang telah disepakati bersama (al-Qur~an dan al-Hadits). Jika ditelisik lebih jauh --menurut hemat Penulis-- semua itu sebatas karena pendapat beliau dipahami secara parsial dan adanya distorsi pemahaman sehingga terjadilah kesenjangan yang berakibat tiang jeruji yang harus menjadi penyelesaian. Ini adalah satu dari sekian contoh perkembangan intelektual dalam Islam.

Perbedaan Dalam Masalah Hukum (Fiqh)
Nyaris tak terlihat ritual keaagamaan dalam kodifikasi hukum islam (baca: fiqh) tidak terjadi perkhilafan dalam pandangan ulama. Apalagi di dalamnya mengandung unsur hukum cabang atau lebih dikenal dengan istilah furu’iyyat. Secara teoritis hal pokok (ushuliyyat) yang sangat bersifat prinsip saja masih terjadi multi interpretasi, apalagi dalam hal hukum cabang (furu’iyyat). Asalkan metode pemahaman tersebut masih berpijak pada mainstrem yang benar alangkah baiknya mengedepankan sikap toleransi demi terciptanya sebuah keharmonisan dalam berintelektual, sehingga nantinya dapat lebih memperkaya konstribusi khazanah peradaban Islam, seperti yang diakui oleh seorang Orientalis.

Selama ini dalam masalah furu’iyyah masih saja banyak terdapat antipati terhadap cara pandang maupun sikap kelompok tertentu. Radikalisme berfikir berkembang begitu mengakar akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia. “Kalimah al-Takfir” yang telah menjadi metodologi paten sebagian kaum puritan-pun kian eksis dan mendapat tempat di masyarakat. Keberadaannya sering menimbulkan masalah karena sering diaktualisasikan dengan tindakan-tindakan ekstrim untuk men-judge komunitas lain. Padahal problem yang sering ada hanyalah permasalahan sederhana dan bersifat non prinsip.

Meskipun demikian bukan hanya kelompok ini saja yang menjadi kendala terciptanya keharmonisan. Di sisi lain gerakan liberalisme juga menjadi permasalahan tersendiri bagi masyarakat. Seakan-akan yang ada dibenaknya hanyalah “tampil beda” tanpa memperhatikan apakah yang dilakukannya berdampak negatif pada masyarakat atau bukan. Yang jelas kedua komunitas ini sama-sama masuk dalam kategori “ekstrem” dengan bukti keduanya tidak dapat menghargai satu sama lain. Padahal apa yang mereka lakukan tidak memberikan solusi efektif bagi tatanan masyarakat, justeru yang ada hanyalah semakin memperkeruh keadaan yang kian memprihatinkan.

Kesimpulan
Sikap fanatisme terhadap komunitas terntentu adalah kendala utama dalam menentukan sikap proporsional, karena pada tataran praktis hal itu lebih menimbulkan intoleran atas bentuk-bentuk pemikiran yang selama ini berkembang. Sportifitas maupun obyektifitas harus selalu dijaga seperti yang disinyalir beberapa hadits agar tidak terjadi timpang. Sedangkan hal itu sulit diraih jika keperpihakan secara membabibuta masih saja menjadi bayang-bayang dalam menentukan justifikasi. Sudah saatnya menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam berdialog demi terciptanya perkembangan intelektual Islam secara sehat. Dengan ini pula ukhuah islamiyyah yang selama ini tercabik-cabik semakin terjalin erat dan persatuan umat Islam semakin dapat terwujud. Persatuan umat Islam tidak harus digambarkan dalam bentuk sistem Khilafah, namun persatuan dapat juga berbentuk kesamaan komitment saling merasa memiliki, mengisi dan berbagi. Titik keindahan pelangi bukan terletak pada keseragaman warna namun sebaliknya point keindahannya justeru dari unsur warnanya yang berbeda sehingga mampu menghipnotis para penikmatnya. Wallahu A'lam.
 

Sejarah Islam yang Terdustakan

Resensi Tarikhuna Al-Muftara Alaihi
Karya: Prof. DR. Yusuf Al-Qardhawi

Diskursus sejarah berkaitan erat dengan waktu. Karena perjalanan dan pergerakan waktu dari masa ke masa akan muncul yang bernama sejarah. Sejarah, dalam etimologi Arab berasal dari kata tarikh dan taurikh, keduanya menjelaskan tentang waktu. Perbedaan dari dua akar kata tersebut hanya sekadar dialekta Bani Tamim (Taurikh) dan Tarikh adalah dialekta Bani Qais.

Pada awal perkembangan, kata sejarah digunakan untuk waktu dan penanggalan kemudian dimaksudkan sebagai rekaman peristiwa yang bersandarkan pada waktu. Tahap berikutnya, sejarah diartikan sebagai berita, yang selanjunya pada pertengahan abad kedua hijrah dimaksudkan sebagai proses kodifikasi sejarah yang mengandung berbagai berita secara berantai yang berkaitan dengan waktu dan tema tertentu. Hingga akhirnya memasuki awal abad ketiga hijrah, sejarah diartikan sebagai ilmu untuk mengetahui sejarah dan berbagai berita, berbagai biografi tokoh dan berbagai buku yang menerangkan berita dan tokoh masa lalu.

Jadi kata sejarah dalam literatur Arab mencakup lima makna, The History Of …, The Biography…, Historiography, History dan Date.
Dalam terminologi Arab, sejarah, menurut Ibnu Khaldun dimaknai sebagai berbagai berita yang berkaitan dengan suatu masa atau generasi. Sedangkan tema sejarah adalah manusia dan waktu. Atau dengan kata lain tema sejarah adalah sejarah umat atau masyarakat dengan berbagai pemikiran, akidah, dan para tokoh yang berada di dalamnya, sebagaimana pendapat As-Sakhawi.

Munculnya buku Tarikhuna Al-Muftara Alaihi
Buku ini terbit sebagai respon dan jawaban DR. Qardhawi atas pertanyaan tentang masa kejayaan Islam dan keadilan yang hanya terbatas pada periode Khulafa' Ar-Rasyidin. Sehingga semua hal hanya tertumpu dan dikembalikan pada masa keemasan tersebut. Pertanyaan ini muncul di saat Ia mengisi ceramah di Niqobah Athibba' (Assosiasi para Dokter) di Mesir pada tahun 2003 M. Bagaimana jawabannya?

Dalam bukunya, DR. Qardhawi berusaha mendiskripsikan Sejarah Islam -dimulai dari masa Khulafa' Ar-Rasyidin sampai pada masa berakhirnya negara Abbasiyah - dengan fair dan adil. Kemudian Ia menilainya, baik dari sisi positif dan negatif.

Ia membagi bukunya menjadi lima bab, yaitu :
I. Penyelewengan orang-orang Sekuler terhadap Sejarah Islam dan dukungan sebagian para da'i Islam. II. Sikap Negara Umawiyah dan Abasiyah tentang Syariat Islam. III. Sejarah Islam; dampak dan kejayaan. IV. Siapakah yang bertanggungjawab atas citra buruk Sejarah Islam? V. Penulisan kembali terhadap Sejarah Islam dan bagaimana idealnya Sejarah Islam itu. Perlu diketahui Pengarang tidak membahas Negara Turki Utsmani karena ingin konsen pada periode sahabat hingga ahir masa Abbasiyah.

I. Penyelewengan orang-orang Sekuler terhadap Sejarah Islam dan dukungan sebagian para da'i Islam.

(1) Anggapan Syariat Islam hanya diterapkan pada masa sahabat Umar r.a.
Dakwaan ini muncul di awal tahun 1950 M pada abad duapuluh, diprakarsai oleh Ustad Khalid M. Khalid dalam bukunya "Min Huna Nabda'". Karena pada masa Sahabat Abu Bakar r.a disibukkan dengan memerangi orang-orang yang murtad, kemudian pada masa Utsman disibukan dengan fitnah yang berakhir dengan gerakan revolusi dan terbunuhnya sahabat Utsman, kemudian pada masa sahabat Ali banyak terjadi perang saudara. Sehingga hanya pada masa Umarlah terlaksana penerapan Syari'at Islam dan tidak mungkin terulang lagi. Pendapat inilah yang dimanfaatkan oleh orang-orang sekuler, meskipun Ustad Khalid telah menarik kembali pendapatnya ini dalam bukunya "Addaulah fil Islam" (Islam adalah agama dan state)
Jawaban atas dakwaam ini meliputi tiga dimensi;

1- Meskipun singkatnya masa pemerintahan sahabat Abu Bakar r.a. namun banyak prestasi yang raih, seperti memerangi orang-orang murtad dan orang-orang yang menentang mengeluarkan zakat demi memperjuangkan hak fakir miskin. Beliau memulai pembebasan wilayah Islam dengan memeragi orang Persia dan Romawi. Beliau membangun pondasi akhlak dalam medan pertempuran dan membuat sistem pengawasan rakyat terhadap pemimpin.
Pada Masa sahabat Utsman juga terpenuhi kemakmuran (internal) dan perluasan wilayah (eksternal), khalifah pertama yang membuat sistem perang dengan kapal laut, serta memberikan fatwa bahwa talak al faar tidak jatuh kepada istri.
Demikian pada masa sahabat Ali r.a, beliau telah membuat dasar-dasar politik kepemerintahan, keuangan, cara berinteraksi dengan para pembaikot negara sekaligus kaya dengan hazanah fatwa fikih, termasuk mengakui adanya partai oposisi (Khawarij) selagi tidak menggunakan senjata.


2-Prestasi yag diraih sahabat Umar bisa terulang kembali meskipun dalam kwalitas yang berbeda, misalkan pemerintahan Umar bin Abdul Azis, sampai dijuluki khalifah kelima. Kemudian dapat kita lihat juga pada masa Yazid bin Walid yang keduanya termasuk pemimpin Bani Marwan yang paling adil. Dapat kita lihat juga pemerintahan Nuruddin Mahmud Asy Syahid dan Shalahuddin Al Ayyubi.

3. Kepemerintahan pada masa Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Mamalik dan sebagainya adalah periode penyimpangan terhadap Islam. Pendapat seperti tidak fair dan adil karena banyak juga di antara mereka yang bersikap adil dan berperilaku baik. Ini diakibatkan tidak sportifnya dalam referensi yang dibuat standar dalam menelusuri sejarah. Artinya, Ketika kita membahas suatu sejarah maka berbagai dimensi harus kita pelajari sehingga pelaksanaan al-jarhu wat- ta'dil berjalan dengan semestinya.

(2) Syariat adalah dasar masyarakat Islaim sepanjang 13 abad
Perlu ditegaskan bahwa Syariat Islam merupakan undang-undang masyarakat Islam sejak masa Nabi hingga runtuhnya Turki Utsmani. Penerapan ini meliputi berbagai aspek kehidupan, sebagai contoh terkenalnya biografi Umar bin Abdul Aziz pada masa Bani Umayyah. Hanya sekitar 30 bulan mampu membuat ketenangan, ketentraman, kemajuan dan kemakmuran. Tidak asing lagi dijuluki pembaharu pada seratus tahun pertama. Meskipun terkadang diakui juga ada pemerintahan yang dipimpin oleh orang yang berwatak keras, semisal Hajjaj bin Yusuf, namun perlu dicatat bahwa kepemimpinan masa dulu lebih baik dibanding masa kita sekarang. Sebab kepemimpinan sekarang era sekarang ini dikendalikan secara penuh oleh pemerintah. Semisal untuk urusan kehidupan beragama diserahkan para tokoh dan ulama' dan peradilan diserahkan pada ahli hakim. Sehingga tugas negara hanyalah tertumpu pada keamanan dan ketentraman

(3) Contoh penyelewengan sejarah secara jelas
Dakwaan yang dilontarkan oleh seorang yang sekuler bahwa Umar bin Abdul Aziz seorang yang bodoh terhadap politik dan aturan ketatanegaraan. Terbukti keadaan negara menjadi kurang tentram yang pada akhirnya terjadi perpindahan kekuasaan dari kekuasaan Arab ke orang-orang Persia.

Dakwaan yang ngawur ini terbantahkan oleh logika sehat, konsesus ulama', sejarah yang valid dan bukti nyata yang dirasakan rakyat saat itu. Menurut logika sehat, ia tidak seorang yang bodoh sebab ia keturunan keluarga Umawiyyah yang hebat. Orang tuanya seorang Amir di Mesir, pamannya adalah Abdul Malik bin Marwan, pendiri kedua Bani Umayyah. Dimungkinkan dakwaaan ini muncul dikarenakan ia adalah orang yang berpegang agama dengan baik, adil dan terkenal taqwanya sehingga hal ini dianggap penghalang untuk mengetahui dengan baik tentang politik dan aturan ketatanegaraan. Ijma' ulama menyatakan bahwa beliau adalah Khulafa' Ar-Rasyidin yang kelima dan reformer agama pada seratus tahun pertama.

Sejarah yang valid menguatkan bahwa Ia pandai berpolitik dan ilmu ketatanegaan. Sebagai contoh, di saat Abdul Malik (Putranya) melihat kedzaliman dan kerusakan dalam masyarakat sang anak ingin menghancurkan seketika, tapi sang ayah menjawab dengan penuh tenang dan bijak, "Jangan tergesa-gesa wahai anakku, sesungguhnya Allah mencela arak dalam Al-Quran dengan bertahap, dua kali tahapan kemudian pada tahapan ketiga baru mengharamkannya, dan saya khawatir kalau menganjurkan manusia dengan seketika maka mereka juga menolaknya dengan seketika, dan ini akan menjadi fitnah". Ini artinya, solusi sesuatu dengan cara bijak dan bertahap dengan menggunakan metode Allah dengan mengkaitkan sejauhmana maslahat yang akan diperoleh. Berarti betapa cerdiknya Umar bin Abdul Azizi tentang politik dalam perspektif Syara'.

Bukti sejarah menunjukan betapa hebatnya Umar bin Abdul Aziz sebab nikmatnya pemerintahannya telah dirasakan oleh rakyatnya. Di riwayatkan dari Yahya bin Said, ia berkata, "Ketika saya diutus untuk memberikan sedekah di wilayah Afrika dan aku jalankan tugas tadi kemudian setiap orang fakir yang meminta, saya kasih, sampai akhirnya tidak ada satu pun orang yang meminta lagi, sungguh Umar bin Abdul Aziz telah memakmurkan rakyatnya".

(4) Kritikan tajam yang dilakukan sebagian Dai Islam terhadap Sejarah Islam
Sebagian para dai Islam mengkritik sejarah Islam dengan tajam. Mereka mengatakan Syariat Islam hanya diterapkan pada masa Umar, dan sesungguhnya Syariat Islam itu syariat yang ideal namun tidak pas untuk diterapkan.

Di antara tiga dai Islam tersebut adalah Abu A'la Al Maududiy, Sayyid Qutb dan Muhammad Ghazali. Pendapat Abu Ala Al Maududi ini dapat kita temukan diberbagai bukunya terutama dalam buku Al-Khilafah Wal-Mulk, Mujazu Tarikhi tajdidid-Din Wa-Ihya`ihi, Al-Hukumah Al- Islmaiyyah. Semisal dalam bukunya Al-Khilafah Wal-Mulk, Abu A'la Al Maududi mengatakan sahabat Utsman dalam masa khilafahnya banyak mengangkat kerabatnya untuk menjadi pemimpin padahal banyak para pembesar sahabat dari kaum Anshar dan Muhajirin, seperti Sa'ad bin Abi Waqqash. Di samping itu, sahabat Utsman juga mendorong Bani Umayyah untuk menjadi para pemimpin. Sikap politik inilah yang dikhawatirkan oleh Sahabat Umar. Sehingga salah satu faktor inilah yang menimbulkan munculnya fitnah yang mengakibatkan terbunuhnya sahabat Utsman.

Sayyid Qutb dalam Bukunya Al-Adaah Al-Ijtimaiyyah Fil Islam dalam bab realita Sejarah Islam ia menjelaskan bahwa spirit Islam mempunyai dampak yang besar dalam perjalanan sejarah, namun ketika sampai pada masa sahabat Utsman kemudian ia kritik, karena sahabat Utsman telah memberikan jabatan kepada Marwan bin Al Hakam yang berasal dari Bani Umayyah sehingga ia berbuat tindakan yang menyimpang dari ajaran Islam dan contoh sahabat Utsman untuk mendahulukan kerabat daripada yang lain.

Sedangkan Syekh Ghazali yang agal lunak dalam mengkritik Sejarah Islam terutama Bani Umayyah. Ia mengatakan, kendali kepemimpinan yang bijaksana hanya berlaku 30 tahun terhitung sejak berdirinya. Ia mencontohkan seperti Yazid bin Muawiyah. Kemudian Syekh Gazali memaparkan nilai negatif dalam pemerintahan Bani Umayyah, seperti beralihnya sistem khilafah menjadi sistem kerajaan, kebebasan individu ditangan para penguasa dan para pengikutinya dan lain sebagainya.

(5) Kesaksian sebagian tokoh dai Islam terhadap Sejarah Islam
Meskipun sebagian para pemimpin dalam skala kecil atau besar telah menyimpang dari aturan Islam, namun para dai Islam tersebut masih mengakui bahwa Syariat Islam sebagai dasar peradilan, fatwa dan rakyat dalam kehidupan sehari-hari masih berpegang pada dasar-dasar Syariat. Sebagai contoh, kesaksian Syekh Gazali bahwa para khalifah atau para raja masih tetap berjuang demi Islam dan perubahan yang terjadi dalam individu pemimpin tidak berarti perubahan dalam aturan dan tujuan Islam. Sehingga mereka memulai lagi melakukan perluasan daerah Islam dan memberikan kebebasan wilayah agama kepada para ahli fikih.
Demikian, Sayyid Qutb juga mengakui bahwa Islam masih tetap jaya baik dalam bidang fatwa, peradilan dan undang-undang dalam masyarakat. Seperti halnya pengakuan Al Maududi, Sejarah Islam juga banyak dipenuhi para raja yang shalih dan masih banyak kesaksian lagi tentang citra baik Sejarah Islam.

Dengan mempertemukan pendapat yang mengkritik dan pengakuan terhadap citra baik Sejarah Islam maka dapat disimpulkan Sejarah Islam masih mendapat rangking yang baik dan tidak seburuk yang dipaparkan sebagian orang. Di samping itu, kita tetap menganggap bahwa kritikan yang dilontarkan ketiga tokoh tadi terhadap Sejarah Islam tidak mengurangi kapasitas dan kapabelitas keilmuan mereka. Sebab jika kita buat neraca maka nilai kebaikan yang mereka miliki lebih banyak dibanding nilai negatif. Jika seseorang mempunyai nilai kebaikan lebih banyak maka ketika ia melakukan kejelekan yang dalam batas wajar maka orang tersebut masih kita katakan orang yang baik, sebagaimana perumpamaan air yang yang tidak mengalir yang melebihi dua qullah (menurut Hanafiyyah sebanyak 101,56 Kilo Gram, sedangkan menurut mayoritas ulama' sebanyak 95,625 Kilo Gram) maka jika terkena najis dan tidak berubah maka air tersebut tetap suci (إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل الخبث).

II. Sikap Negara Bani Umawiyah dan Bani Abasiyah tentang Syariat Islam.

(1) Negara Bani Umayyah (perluasan wilayah dan dasar peradaban)
Sebagian penulis menggambarkan bahwa Negara Bani Umayyah adalah sebuah negara, negara tanpa agama, negara Arab, bahkan ada yang beranggapan negara sekuler.
Pernyataan seperti ini dibantah oleh realita teks agama. Realita teks agama menjelaskan bahwa Negara Bani Umayyah berdiri sejak tahun 40 H sampai 132 H. pada masa generasi ini termasuk tiga periode terbaik umat, sebagaimana disinyalir kanjeng Nabi Muhammad saw.
Realita sejarah juga menyangkal pendapat di atas. Sebagaimana diketahui pada masa Negara Bani Umayyah, Islam tersebar di berbagai penjuru bumi, mulai adanya kodifikasi cabang-cabang ilmu, bahkan dimulai penerjemahan yang dipelopori oleh Khalid bin Yazid.
Ibnu Khaldun sendiri setuju kalau Negara Bani Umayyah masuk dalam pada katagori kepemimpinan yang bijaksana karena periodenya bersandingan dengan periode khilafah Ar-Rasyidah.

Memang diakui seperti kepemimpinan Walid bin Yazid adalah pemimpin Bani Umayyah yang terjelek namun terkadang orang berlebihan dalam memberikan penilaian terhadap Walid bin Yazid sampai dikatakan ia seorang yang kafir. Setelah berakhirnya masa Walid bin Yazid (setahun lebih tiga bulan) puncak kepemimpinan dipegang seseorang yag disebut sebagai orang yang paling adil –termasuk Umar bin Abdul Aziz- dari Bani Marwan.

(2) Negara Bani Al-Abbas (Negara ilmu dan berkembanganya peradaban)
Pada masa ini muncul tokoh-tokoh sekaliber internasional, sebut saja Ibnu Hayyan, Al Biruni, Ibnu Sina, Azzahrawi, Khawarizmi, Ibnu Nafis, Ibnu Rusyd. Dalam sisi peradaban adanya bangunan yang hebat. Terlebih pada mana Abbasiyah pertama, masa Al Manshur, Harun Ar-Rasyid, dan Al-Makmun adalah masa keemasaan. Dari sinilah kita dalam mengambil metode riset ilmiah, sebagaimana dikatakan oleh DR. Sami An Nasysyar bahwa metode Islam tidak hanya terbatas pada metode deduktiv (Al-Manhaj Al-Qiyasi) sebagaimana ilmu logika Aresto, namun harus dipadukan dengan metode istiqra'i (induktif).

III. Sejarah Islam; dampak dan kejayaan

(1) Kuatnya sisi Ketuhanan dalam Sejarah Islam
Keistimewaan Sejarah Islam bersumber dari Allah SWT dan bertujuan untukNya, karena umat ini dijadikan sebagai sebaik-baik umat, bertugas untuk amar ma'ruf dan nahi munkar. Di samping itu, sejarah juga bertujuan untuk mencari ridha-Nya sebab semua prilaku hidup hanya milik-Nya. Maka Allah mengajari umat ini dengan membaca, karena ia adalah kunci ilmu pengetahuan dan peradaban, sekaligus bacaan tadi disertai dengan nama Allah. Ini menunjukan arti pentingnya ilmu dan agama dalam membangun sebuah peradaban.

(2) Menjunjung tinggi nila-nilai kemanusiaan dalam Sejarah Islam
Kemuliaan dan hak asasi manusia sangat dijunjung oleh Sejarah Islam. Banyak sejarah yang menceritakan kisah tersebut. Seperti kisah persengketaan antara sahabat Ali dengan seorang Nasrani. Di suatu saat baju besi milik sahabat Ali berada di tangan seorang Nasrani, namun sang Nasrani mengaku bahwa baju itu miliknya. Bagi sahabat Ali tidak ada jalan lain untuk bisa mengembalikan bajunya tersebut kecuali melalui peradilan. Kemudian Beliau ditanya oleh Qadhi Syureh, "Apakah Anda punya bukti atas dakwaan Anda?", tidak, jawab sahabat Ali, kemudian Qadhi Syureh memutuskan bahwa baju tersebut milik sang Nasrani. Namun akhirnya sang Nasrani tadi mengakui bahwa baju itu milik sahabat Ali lalu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Di antara nilai-nilai kemanusiaan yang lain adalah senang membantu yang membutuhkan dan berbuat baik kepada sesama, seperti didirikannya rumah sakit, adanya wakaf dan lain sebagainya.

(3) Berprinsipkan Akhlak Mulia
Ini sangat penting karena rasul membawa tugas untuk menyempurnakan Akhlak. Seperti, ketika sahabat Ali r.a. keluar rumah untuk melakukan shalat Subuh, ada dua orang khawarij, Syabib Al-Asyja'i dan Abdur Rahman bin Muljim sedang mengintainya. Di saat sahabat Ali masuk pintu masjid, kemudian Syabib berusaha memukulnya tapi tidak terkena sasaran, kemudian Ibnu Muljim dapat memukulnya dibagian kepala sahabat Ali, lalu sabahat Ali berkata, "Demi Allah, saya telah memperoleh kemenangan", artinya mati syahid. Kemudian seketika orang-orang berkumpul mendatangi kedua laki-laki tadi. Syabib mampu melarikan diri, sedangkan Ibnu Muljim dapat ditangkap oleh Mughirah bin Naufal. Kemudian orang–orang mendatangi sahabat Ali, seraya bertanya, "Apakah yang harus diperbuat untuk sang pembunuh? Sahabat Ali menjawab, "Jika aku masih hidup, urusan di tangan saya, jika saya meninggal maka urusan saya serahkan kalian, namun jika anda mengqishohsnya maka satu pukulan dibalas dengan satu pukulan, namun memaafkan itu lebih mendekatkan terhadap ketaqwaan".

(4) Toleransi dalam Beragama
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (الممتحنة الآية 8)
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ  فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ  قُلْتُ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِيْ أُمَّكِ. (رواه البخاري في كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها، باب الهدية للمشركين)
Toleransi termasuk keistimewaan dalam Sejarah Islam. Sehingga hal ini diakui secara fair oleh orang-orang Barat, seperti yang dikatakan oleh orientalis Inggris Thomas Arnold dalam bukunya Ad Da'wah Ila Islam.

(5) Islam tersebar dengan damai
Islam tersebar dengan mudah karena menggunakan jalan damai, bukan dengan mengangkat senjata sebagaimana dikatakan orang-orang yang tidak suka terhadap Islam. Pemaksaan tidak bisa menarik simpati. Pengakuan ini tidak hanya dikatakan orang Islam sendiri namun diakui juga tokoh-tokoh orientalis.

(6) Mampu menghadapi berbagai rintangan dan cobaan
Di antara cobaan dan rintangan itu adalah banyaknya pemurtadan setelah wafatnya Rasul, munculnya fitnah besar di antara sahabat sampai sahabat Utsman terbunuh. Terjadinya perang Jamal dan Siffin, munculnya perang salib dan lainnya.

IV. Siapakah yang bertanggungjawab atas citra buruk Sejarah Islam?

Semua orang Islam bertanggungjawab atas citra buruk yang menimpa sejarah Islam, dan kelompok terdepan yang paling bertanggungjawab ialah para sejarawan, sastrawan dan Ahli Hadits.

(1) Empat pointer yang harus dipertanggungjawabkan sejarawan muslim atas citra buruk Sejarah Islam.

1- Mereka tidak teliti dalam meriwayatkan peristiwa yang berkaitan dengan fitnah di antara para sahabat dan pemberitaan tentang Negara Bani Umayyah. Oleh karena itu, tidak semua buku-buku sejarah mengandung kebenaran seratus persen. Sebagai contoh buku sejarah karya Imam AT Thabari. Keinginan yang diusung oleh Imam At Thabari adalah mengumpulkan semua sejarah tanpa harus melalui penyeleksian terlebih dahulu terhadap sanad dan realita yang diberitakan. Bisa dimungkinkan Imam AT Thabari menulis sejarah dari seorang perawi padahal dia seorang yang dhaif atau dicurigai berdusta atau yag lainnya. Yang penting bagi At Thabari adalah kecintaan untuk mengoleksi berita dan mengkhawatirkan berita tersebut sirna jika tidak dibukukan. Maka, dalam mukadimah sejarah yang dia tulis ia katakan, "Buku saya ini mencakup berita dan sejarah masa lalu dan apabila ada berita yang tidak disetujuai pembaca atau bagi pendengar, disebabkan ketidakbenaran berita tersebut maka itu semua bukan dari saya namun dari seseorang yang memberitakan ke saya, sehingga saya hanya sekadar menulis apa yang telah ia berikan kepadaku". Kelemahan berikutnya pada sejarah Imam At-Thabarberkaitan tentang pandangan kalau sejarah itu tidak dapat dibuat hujjah karena tidak berkaitan dengan halal dan haram seperti ilmu fikih, serta tidak menjelaskan tentang penafsiran Al-Quran atau Hadits.

2- Pemberitaan tentang sesuatu yang aneh dan ajaib secara berlebihan sekaligus menyebut bilangan angka yang berlebihan juga. Maka pantas jika ahli Hadits mengatakan ciri hadits maudhu' adalah hadits yang berlebihan dalam memberitakan ancaman dan janji.

3- Mayoritas buku-buku sejarah yang besar yang menjadi rujukan adalah terkonsentrasi pada sisi politik, militer dan kepemerintahan dan sesuatu yang berkaitan dengannya. Padahal masih banyak sisi lain yang belum menjadi perhatian serius seperti biografi tokoh, klasifikasi dan tingkatan masyarakat yang menurut Imam Dzahabi sampai empat puluh buku sejarah. Keempat puluh buku sejarah tersebut tidak banyak dijelaskan oleh buku-buku sejarah yang besar yang hanya mengurusi urusan politik saja.

4- Minimnya perhatian terhadap sejarah yang bersifat pembaharuan dibandingkan dengan sejarah tentang politik, serta kecilnya perhatian sejarah tentang perjalanan rakyat dan tokoh ulama' dan para dai Islam dibandingkan dengan sejarah para pemimpin dan para raja.

(2) Tanggungjawab citra buruk sejarah juga dipikul oleh buku-buku sastra baik berbentuk syair, prosa, kisah, dan sebagainya.

(3) Sebagian muhadditsin harus bertanggungjawab disebabkan mereka membatasi masa Khilafah Rasyidah hanya pada masa tiga puluh tahun setelah Rasulullah saw. Dua tahun masa sahabat Abu Bakar, sepuluh tahun masa sahabat Umar, dua belas tahun masa sahabat Utsman dan enam tahun masa sahabat Ali. Setelah itu mulai muncul masa kerajan yang saling baku hantam. Sebagian ahli muhadditsin tidak membatasi masa Khilafah Rasyidah dalam batas tertentu, seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Hadits-hadits Tentang Fitnah dan Hari Akhir
Sebagian besar ahli hadits memberitakan hadits-hadits tentang fitnah dan tanda-tanda hari akir dengan pemahaman kepada pembaca bahwa Islam terbelakang, semakin banyak kekafiran, setiap waktu kejelekan semakin bertambah dari sebelumnya. Padahal di sisi lain banyak hadits yang menceritakan kabar gembira yang disinyalir hadits-hadits shahih.

Hadits Iftiraq Ummah
Hadits yang sering disebut adalah hadits tentang perpecahan umat menjadi 73 kelompok, semuanya masuk neraka kecuali satu. Mereka berusaha mencari dukungan agar hadits tersebut mejadi hadits shahih, namun hadits ini secara dzatiyah tidak bisa sampai pada derajat hadits shahih, karena itu Imam Bukhari dan Muslim tidak menyebutkan dalam kitab shahihnya. Sebagian riwayat hadits tidak menyebutkan bahwa semuanya masuk neraka kecuali satu tapi hanya menyebutkan jumlah perpecahan dan kelompok saja, yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban dan Hakim melalui jalur Abu Hurairah. Hadits ini disahihkan Imam Turmudzi dan disahihkan Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits yang menjelaskan semua kelompok masuk neraka kecuali satu melalui sanad sahabat Abdullah bin Amr, Muawiyah, Auf bin Malik, Anas dan semuanya dhaif. Sebagian ulama` ada yang menentang, baik dari sanad dan sebagian lagi dari segi matan dan makna. Imam Syaukani menukil perkatan Ibnu Kastir bahwa tambahan hadits semuanya masuk di neraka kecuali satu adalah dhoif sebagaimana dikatakan sebagian ulama, bahkan Ibnu Hazm mengatakan maudhu'.

V. Penulisan ulang terhadap sejarah Islam dan bagaimana seharusnya sejarah Islam itu

(1) Kenapa perlu penulisan ulang sejarah Islam
Ini dianggap penting karena setiap kelompon ingin menulis kembali sejarah sesuai orientasi masing-masing kelompok. Oleh karena itu perlu adanya metode untuk menulis ulang sejarah.

(2) Siapakah yang menulis ulang sejarah dan bagaimana seharusnya ditulis.
Kita tahu tidak semua orang yang mengetahui sejarah mampu menulis sejarah Islam. Ia harus melengkapi dengan pendidikan Islam, memahami sejarah, memahami umat, paham filsafat sejarah, akidah, syariat dan peradabannya. Ia harus mengetahui metode orang–orang terdahulu dalam menulis sejarah dan sisi kelemahan untuk diperbaiki. Adanya tanggungjawab dihadapan Allah, dengan hati nurani dan umat dan tidak boleh sembrono. Maka ia harus menjauhi sumber dan referensi yang tidak kuat dan tidak boleh menafsiri dan membaca peristiwa dengan penafsiran yang jelek, seperti yang dilakukan para orientalis atau berlebihan dalam menafsiri.
Akhirnya perlu adanya pandangan yang lengkap tentang sejarah dari berbagai dimensi agar kita bisa bersikap adil terhadap sejarah Islam.
Wallahu A'la Wa A'lam

Dikaji oleh : H.Mahmudi muchson MA.

 

Malapetaka Ideologi

By: Cah Ganteng

Setelah hancurnya Khilafah, Mustafa Kamal dengan tangan besi menjalankan ajaran-ajarannya yang dikenal dengan Kemalisme, yang berisi 6 (enam) sila :republikanisme, nasionalisme, populisme (popular sovereignty), sekularisme, etatisme, dan revolusionisme. Yang paling kontroversial adalah paham sekularisme yang jelas bertentangan secara frontal dengan Islam.

Pengambilan dan penerapan sekularisme inilah yang selanjutnya melahirkan perilaku tasyabbuh bil kuffâr (menyerupai orang kafir) di kalangan umat Islam. Inilah malapetaka ideologi yang paling menonjol akibat hancurnya Khilafah. Berikut sekilas ulasannya. Pertama, Umat Islam terperosok ke dalam sistem kehidupan berasaskan paham sekularisme.Sekularisme (secularism) menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “segenerasi, seusia, seabad”. Kemudian dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu“sepanjang waktu yang tak terukur” dan dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia ini”, yang dikuasai oleh setan.17 Pada abad ke-19 (1864 M) George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari kekuatan supernatural.18 Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara.

Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai “1. system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan) Atau sebagai : "The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education." (Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik).

Jadi, sekularisme, secara ringkas, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashl ad-dîn ’an al-hayah), yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.20 Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu pemikiran tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik); dan pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountagne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik.

Jalan tengahnya, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat Secara ideologis, sekularisme merupakan aqîdah (pemikiran mendasar) yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme dengan demikian merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yakni pemikiran dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview/weltanscahauung) bagi manusia dalam hidupnya.

Sekularisme juga merupakan basis pemikiran (al-qâ’idah alfikriyyah) dalam ideologi kapitalisme, yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lainnya, seperti demokrasi, nasionalisme, liberalisme (freedom), HAM, dan sebagainya. Jelaslah bahwa posisi paham sekularisme sangat mendasar sebagai basis ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas falsafi (pemikiran mendasar) yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam peradaban Barat. Maka barangsiapa mengadopsi sekularisme, sesungguhnya ia telah mengadopsi pemikiranpemikiran Barat secara keseluruhan.

Sekularisme adalah paham kufur, yang bertentangan dengan Islam. Sebab Akidah Islamiyah mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak
ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah SAW : “...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim) Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah. Abdurrahman Al Jaziri berkata : “Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) – rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...” Maka dari itu, runtuhnya Khilafah merupakan malapetaka yang sangat besar bahkan merupakan yang terbesar bagi umat Islam. Dampak buruknya bukan saja pada lenyapnya sistem pemerintahan Islam, namun juga pada merajalelanya berbagai pemikiran kufur yang berasal dari ideologi kapitalisme maupun sosialisme. Malepataka ideologis ini merupakan malapetaka paling berat yang dialami oleh umat Islam, sebab sebuah ideologi akan dapat mengubah cara pandang dan tolok ukur dalam berpikir dan berperilaku. Umat Islam secara tak sadar akan memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang. Semua itu adalah akibat hancurnya Khilafah.

Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah “Ingatlah ! Sesungguhnya Al Kitab (Al Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi)
janganlah kalian berpisah dengan Al Qur`an !” (HR. Ath Thabrani). Sabda Rasulullah SAW : “Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim). Kedua, Umat Islam telah menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr) dengan menerapkan sekularisme.

Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara). Disebutkan dalam Injil : "Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan" (Matius 22 : 21). Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima paham sekularisme dengan penuh keikhlasan tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang Kristen– juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious regim), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain.28 Namun bagi seorang muslim, secara ideologis sesungguhnya tak mungkin menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara.

Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi alkuffâr). Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Dawud) Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits ini : “Hadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman menyerupai (tasyabbuh) kepada orang kafir, walaupun zhahir dari hadits tersebut menetapkan kufurnya bertasyabbuh dengan mereka...” Dengan demikian, pada saat Khilafah hancur dan umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya, maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang Kristen yang memisahkan urusan agama dari negara.31 (Na’uzhu bi-Llâh min dzâlik !)
 

Merenungkan Kembali Hikmah Isra Mikraj

Oleh: Aang Asy'ari

Isra mikraj bukan hanya sebentuk cerita yang selesai begitu saja tanpa makna tersisa dengan kembalinya Nabi Muhamad Saw ke bumi. Kisah ini masih banyak menyimpan nilai-nilai yang perlu digali, direnungkan, diteladani kemudian diaktualisasikan dalam ranah nyata sebagai gerakan sadar sejarah dan kebangkitan peradaban umat Islam, khususnya terkait dengan nasib masjid al-Aqsha (tempat berakhirnya Isra) dan penderitaan saudara kita di Palestina yang hari demi semakin menderita akibat kekejaman penjajahan bangsa Israel.

Di sisi lain, seyogyanya Isra Mikraj tidak hanya dimaknai bahwa Nabi Kita pernah melakukan perjalanan yang sanggup mengguncang iman seseorang, lalu diperlihatkan tentang betapa agung dan luar biasanya kekuasaan Allah Swt. Lebih dari itu, kalau kita jeli membaca dan merenungkan rentetan momen-momen yang terjadi di tengah-tengah antara Isra dan Mikraj, maka kejadian ini sebetulnya mengandung hikmah dan isyarat Tuhan tentang posisi dan potensi sesungguhnya Nabi Muhamad dan umatnya: betapa Nabi Muhamad dipersiapkan Allah Swt sebagai pemimpin seluruh umat dan pewaris terakhir kenabian dan umatnya di jadikan sebagai umat terbaik.

Perjalanan Isra: dari masjid al-Haram (di Mekah) ke masjid al-Aqsha (di Palestina), kemudian saat di masjid al-Aqsa Nabi didaulat menjadi imam shalat jama'ah yang makmumnya terdiri dari para Nabi terdahulu, semua ini menunjukan ada proses peralihan estafet kepemimpinan sekaligus pengakuan sadar bahwa Nabi Muhamad merupakan pemegang tongkat kepemimpinan dari generasi terdahulu dan generasi yang akan datang. Shalat jama'ah ini juga menunjukan bahwa misi dakwah para nabi itu satu yaitu: sama-sama mengajak beriman kepada Allah Swt yang Maha Esa. Kejadian ini juga sebagai tanda bahwa Islam adalah agama samawi penutup. Karena Islam ditahbiskan sebagai agama terakhir, maka sebagai konsekuensi logisnya nilai-nilai Islam dijamin akan selalu relevan dan kompatibel dengan kemajuan zaman.

Awal Mula Isra
Perjalanan spiritual ini terjadi pada saat Nabi dan umat Islam sedang mengalami tekanan psikologis dan fisik yang luar biasa sakit. Selama tiga tahun (mulai 7 Muharam tahun ke-7 - semenjak diangkat jadi Nabi- sampai tahun ke-10) Nabi dan pengikutnya diembargo oleh kaum musyrik Mekah, baik secara ekonomi, maupun sosial-politik. Masa gembira karena berakhirnya embargo tak berlangsung lama, karena enam bulan kemudian, tepatnya bulan Rajab, pamannya, Abu Thalib, pembela setia dan selalu menjaga bahkan memperkuat daya tawar politik Nabi di hadapan kaum musyrikin, wafat. Lima puluh hari kemudian, tepatnya bulan Ramadhan, istri tercintanya Sayidah Khadijah yang selalu setia mensuport, melayani dan mendengar keluh kesah Nabi dengan penuh kasih sayang juga wafat. Lengkaplah sudah kesedihan Nabi. Dua pelindung utamanya telah tiada hampir dalam waktu yang bersamaan. Maka umat Islam menamakan tahun ini sebagai tahun penuh duka (amul huzni).

Tapi kekuatan iman dan keyakinannya akan pertolongan Allah Swt. tidak membuat musibah di atas menggoyahkan perjuangan dakwahnya. Beliau tetap survive! Masih pada tahun kesepuluh dari pengangkatannya sebagai Nabi, tepatnya bulan Syawal, Nabi bersama Zaid bin Haritsah membuat keputusan berani pergi ke Thaif untuk mencari lahan dakwah baru. Tapi tak ada satupun yang mau masuk Islam! Bahkan secara terencana, Nabi dilempari batu dan terluka parah, kedua kakinya berlumuran darah, begitu juga Zaid bin Haritsah, kepalanya berdarah akibat lemparan batu. Tapi yang lebih menyakitkan Nabi adalah sumpah serapah dan caci-maki yang kebablasan dari penduduk Thaif. Nabi akhirnya bersimpuh, mengadu pada Allah Swt, bahwa dirinya begitu lemah tak berdaya:(Ya Allah, kepadaMu juga aku mengadukan kelemahan kekuatanku, kekurangan siasatku dan kehinaanku di hadapan manusia. Engkau Yang Paling Pengasih, Engkau adalah Tuhannya orang-orang lemah, Engkaulah Tuhanku, kepada siapa hendak Kau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku, ataukah musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab sungguh teramat luas rahmat yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan DzatMu yang menyinari segala kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemarahanMu kepadaku atau murka kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan selain denganMu)

Untuk menghibur, meyakinkan kebenaran visi Nabi dakwah selama ini dan mengingatkan kembali bahwa beliau tidak sendiri dalam berjuang: ada Allah Swt dibelakang Nabi, di perjalankanlah beliau sampai menuju Sidratul Muntaha. Di dalam perjalanan itu Nabi disambut hangat oleh penduduk langit ditunjukan kebesarannya, bahwa kalau di bumi beliau dicaci-maki, maka sebaliknya penduduk langit gegap-gempita menyambutnya. Diperlihatkan pada Nabi betapa segenap jagad raya ini tak ada apa-apanya dihadapan Allah Rabul 'alamin.

Menurut saya, demi memperkuat keyakinan keimanan sampai pada tahap tertinggi, kejadian Isra Mikraj adalah keniscayaan bagi seseorang yang dipersiapkan akan dijadikan pemimpin seluruh alam. Dengan kejadian ini Nabi tidak hanya iman kepada Allah secara teori tapi juga disertai data empiris. Maka penghayatan dan pengakuan keimanan Nabi pada al-Khaliq adalah yang tertinggi diantara makhluk Allah Swt.

Sementara bagi muslimin hikmahnya adalah bahwa kejadian ini sebagai ujian atas keteguhan iman mereka: percayakan mereka dengan kejadian Isra dan Mikraj? Mungkinkah Mekah-Palestina (-+1500 k.m) plus ke Sidratul Muntaha ditempuh dalam sepenggal malam? Padahal masa itu Mekah-Palestina kalau ditempuh dengan menggunakan onta tidak kurang dari satu bulan lamanya. Menanggapi kejadian ini, menurut Ibnu Katsir, sikap orang Islam terbelah dua, ada yang kembali murtad, dan ada yang malah semakin tebal imannya.

Pro Kontra Seputar Isra Mikraj
Detail kejadian seputar Isra Mikraj, baik menyangkut tanggal, bulan dan apakah diperjalankannya Nabi dengan jasadnya atau hanya ruhnya saja dan kejadian lainnya memang masih menyisakan pro-kontra. Tapi dalam konteks keimanan, asal kita masih percaya bahwa pernah ada prosesi Isra, maka perdebatan ini tidak menggangu keimanan kita. Artinya yang paling penting adalah memetik substansi dan makna yang bisa kita terapkan dalam hidup kita. Beberapa isu yang akan diangkat di sini hanya sebagai pengayaan wacana dan pengetahuan saja.

Betulkah Isra terjadi pada bulan Rajab tanggal 27?
Menurut Ibn Ishaq, Isra terjadi tahun ke-10 (dari sejak diangkat jadi Nabi). Menurut az-Zuhri dan 'Urwah kejadianya setahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Menurut Ismail as-Sudi terjadinya enam bulan sebelum hijrah. Sedang menurut al-Hafidz Abd. Ghani bin Surur al-Muqadasi Isra Mikraj terjadi pada tanggal 27 bulan rajab. Dan pendapat terakhir ini yang diambil oleh umat Islam sekarang dan dirayakan.

Apakah Isra dan Mikraj Nabi dilakukan dengan ruh saja atau sekaligus dengan jasad?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa Isra Mikraj dilakukan dengan tubuh dan ruh Nabi. Justru disinilah letak mukjizatnya. Selain itu kalimat bi'abdihi yang terdapat dalam surat al-Isra semakin mengukuhkan bahwa kejadian itu dilakukan dengan ruh dan jasa Nabi. Karena dalam al-Qur'an dan leksikal Arab kata abdun, selalu menunjuk pada ruh dan jasad secara bersamaan.
Kenapa harus ke Baitul Maqdis dulu, tidak langsung saja dari Haram ke Sidratul Muntaha?
Ini menujukan bahwa Baitul Maqdis sangat penting posisinya dalam agama Islam. Ia adalah kiblat pertama umat Islam. Kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi Shalat menghadap Baitul Maqdis. Ia adalah salah satu dari 3 masjid yang wajib dikunjungi ketika kita bernazar untuk menziarahinya. Pahala beribadah di sana sama dengan 500x lipat beribadah ditempat lain (selain masjid al-Haram dan masjid Madinah). Masjid al-Aqsha juga adalah tempat para nabi dikuburkan, sehingga Imam Syafi'i, suatu ketika pernah berkata, "saya sangat suka beri'tikaf di masjid ini, lebih dari masjid manapun," kemudian ketika ditanyakan alasannya, beliau menjawab, "disinilah tempat berkumpul dan dikuburkannya beberapa Nabi."

Bagaimana hukum orang yang tidak mempercayai Isra Mikraj?
Ulama dalam hal ini membedakan antara hukum tidak mempercayai Isra dan hukum tidak mempercayai Mikraj. Bagi orang yang tidak mempercayai Isra, hukumnya kafir karena kejadian itu sudah di nash dalam al-Qur'an dengan sangat gamblang dan tak menerima lagi kemungkinan takwil (qat'iyu ats-tsubut wa ad-dilalah). Sementara orang yang tidak mempercayai Mikraj hukumnya fasik. Kenapa? Karena kejadian mikraj hanya berdasarkan pada al-Qur'an (an-Najm:13-18) yang tidak tegas dilalahnya (qat'iyu ats-tsubut wa zdhani ad-dilalah) dan berdasarkan hadis-hadis sahih tapi tidak sampai pada derajat mutawatir.

Hikmah Isra Mikraj Dalam Konteks Kekinian
Pertama, setiap kita memperingati Isra Mikraj hendaknya jangan hanya diposisikan sebagai telah terjadinya sebuah kisah luar biasa belaka, tetapi mesti diletakan dalam konteks perenungan untuk diambil hikmah dan semangatnya, kemudian dijadikan sebagai pemicu kebangkitan peradaban umat Islam.

Kedua, Peringatan Kejadian ini hendaknya memicu semangat persatuan, konsolidasi dan solidaritas umat Islam diseluruh dunia, khususnya untuk membantu rakyat Palestina terlepas dari penderitaan yang sekarang ini memasuki babak baru yang sangat menyedihkan dan memalukan, yaitu perang saudara antara Hamas dan Fatah. Tidak ada yang menguntungkan dari pertikaian ini kecuali membuat rakyat Palestina makin menderita. Pada saat yang sama dibelahan dunia Islam lain perang saudara di Irak, Afganistan, Sudan dan lainnya juga masih panas berkecamuk. Masih belum cukupkah bagi kita untuk segera bangun dan bangkit mengejar ketertinggalan hampir disemua bidang ini?

Ketiga, Hal penting lain dari Isra Mikraj adalah diwajibkannya menunaikan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Tidak seperti puasa, haji, zakat dan ibadah lainnya yang kesemuanya diwajibkan dibumi melalui wahyu via Malaikat Jibril, shalat diwajibkan langsung oleh Allah Swt saat Nabi masih dilangit. Ini menunjukan betapa posisi shalat punya nilai khusus dimata Allah Swt. Shalat adalah media mikraj muslim pada Allh Swt. Maka tak heran shalat yang baik, yang berkualitas, yang dibarengi kebersihan jiwa akan sanggup menciptakan kondisi sosial yang kondusif, karena bisa mencegah berbagai bentuk kemunkaran. Jadi Islam saja, shalat saja tidak cukup untuk mencegah kemunkaran, korupsi, nepotisme, kekerasan, tapi harus dibarengi perenungan, kebersihan jiwa, aktualisasi dan keikhlasan. Intinya, tekad setiap individu muslim untuk berusaha menciptakan shalat berkualitas sangatlah penting dalam sistem tarbiyah kejiwaan kita. Karena efek jangka panjangnya dapat mengontrol perilaku sosial umat Islam. Wallahu 'alam bi as-Ashawab.
 

TEST

Blog ini adalah wadah kreatifitas tulis menulisnya anak-anak FAS(Forum Alumni Sarang) di mesir yang mayoritas kuliah di Universitas Al-azhar. dan diharapkan semoga lewat media ini potensi diri segenap anggota FAS bisa muncul dan menjadi kebiasaan diri untuk selalu gemar menulis. tunjukkan potensi dirimu!
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger