GANTI FONT BLOG INI!

Rahn (Gadai); dari Teori ke Praktik


Dok. Google

Rahn; dari Teori ke Praktik*
Oleh: M. Nurul Ahsan**

BAB: I
PENDAHULUAN
Di tengah terpuruknya ekonomi kapitalis, konsep ekonomi Islam seakan menjadi wacana yang akrab akhir-akhir ini. Wacana itu bukan hanya berkembang di dunia Islam saja, akan tetapi telah menyentuh di berbagai belahan dunia, tak terkecuali dunia Barat. Oleh sebagian orang, ekonomi Islam dianggap sebagai ekonomi alternatif untuk menyelamatkan perekonomian dunia yang saat ini tengah berada pada titik menghawatirkan. Dari sekian banyak konsep ekonomi Islam itu adalah Gadai Syariah.
Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak maupun tidak bergerak untuk dijadikan jaminan pelunasan atas utang yang diambilnya. Pegadaian sendiri merupakan “trademark” dari Lembaga Keuangan milik pemerintah yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai. Berikut ini akan sedikit dijelaskan mengenai konsep gadai berbasis syariah dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

BAB: II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Gadai, dalam bahasa Arab dikenal dengan nama rahn. Secara etimologi, rahn berarti konstan (ats-tsubût), permanen (ad-dawâm), seperti contoh, ماء راهن yang berarti “tsâbit”.[1] Menurut sebagian ulama, rahn diartikan menahan (al-habs), seperti contoh firman Allah Swt. dalam Alquran: كل نفس بما كسبت رهينة. Yang dikehendaki rahînah di sini adalah mahbûsah.[2]
Dipandang dari syariah, rahn adalah menjadikan suatu benda yang bernilai ekonomis –dalam pandangan syariah-- untuk jaminan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda tersebut.[3]
Gadai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti: 1) Meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yg memberi pinjaman; 2) Barang yg diserahkan sebagai tanggungan utang; 3) Kredit jangka pendek dengan jaminan yang berlaku tiga bulan dan setiap kali dapat diperpanjang apabila tidak dihentikan oleh salah satu pihak yg bersangkutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 dijelaskan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain. Dari sini mulai teridentifikasi adanya perbedaan antara konsep gadai syariah dan gadai konvensional melalui redaksi “barang bergerak”.
2.2. Legalitas Gadai
Sebelum mengupas lebih jauh konsep rahn, alangkah baiknya menjelaskan aspek legalitasnya terlebih dahulu. Para ulama berpendapat bahwa praktik rahn legal perspektif hukum Islam berdasarkan Alquran, hadis dan konsensus. Berikut ini penjelasannya:
1.      Allah berfirman dalam Alquran:
﴿ وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Artinya, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (QS. 2:283).
Ulama sepakat atas legalnya praktik rahn. Hanya saja Mujahid dan Dzahiriyyah berpendapat bahwa praktik rahn hanya dapat dilakukan ketika dalam kondisi perjalanan. Ketentuan ini berlandaskan pada ayat di atas yang secara eksplisit menggunakan redaksi “safar”, berarti perjalanan.
Mayoritas ulama berpendapat praktik rahn dapat dilakukan dalam kondisi apapun, entah itu dalam kondisi perjalanan maupun bukan. Pendapat ini mengacu pada sebuah hadis nabi dalam melakukan gadai, sementara beliau tidak dalam kondisi perjalanan. Redaksi dalam ayat di atas hanya disebabkan mekanisme dokumentasi sebuah transaksi dalam kondisi perjalanan masa itu belum ditemukan.[4]
2.      Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas Ra. menceritakan tentang nabi pernah menggadaikan pakaian perangnya kepada salah seorang Yahudi di Madinah untuk mendapatkan gandum bagi keluarganya.[5] Nabi saat itu juga tidak dalam kondisi perjalanan sehingga hadis ini menjadi ilustrasi bahwa melakukan praktik rahn tidak harus dalam kondisi perjalanan.
3.      Umat Islam telah mencapai titik konsensus tentang legalnya praktik rahn. Fakta itu telah berjalan berabad-abad lamanya, mulai periode nabi hingga sekarang. Belum pernah ditemukan satupun penolakan.[6]
2.3. Rukun dan Syarat
Dalam praktik Rahn harus ada empat unsur: 1) Râhin (pemberi jaminan); 2) Murtahin (penerima jaminan); 3) Marhûn (barang jaminan), dan; 4) Marhûn bih (utang). Rukun rahn menurut kalangan Hanafiah hanya ijab dan kabul –antara pihak rahin dan murtahin. Pendapat ini juga terjadi dalam transaksi-transasi lain selain rahn. Kemudian, menurut kalangan ulama selain Hanafiah, rukun rahn adalah shîghat, âqid (râhin dan murtahin), marhûn, dan marhûn bih. Jika salah satu dari rukun ini tidak dipenuhi, maka secara otomatis rahn tidak dapat berjalan.
Dalam melakukan praktik rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar rahn dapat berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:[7]
Pertama, syarat âqid. Masing-masing râhin dan murtahin harus memenuhi kriteria ahliyyah. Ahliyyah sesuai pendapat Hanafiah dan Malikiah adalah orang yang mempunyai kemampuan transaksi, karena rahn –menurut mereka—diidentifikasi mempunyai kesamaan dengan jual-beli, sehingga âqid harus berakal dan mumayyiz. Berbeda dengan kalangan Syafiiah dan Hanabilah yang mengidentifikasi rahn mempunyai kesamaan dengan jual-beli dan tabarru’ (sukarela). Oleh karenya, dalam melakukan praktik rahn masing-masing râhin dan murtahin harus telah mencapai usia balig, sehat rohani, tidak safîh (idiot), tidak muflis (pailit) dan tidak mustakrah (dalam tekanan orang lain).
Kedua, syarat shîghat. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa sîghat dalam praktik rahn tidak boleh menyertakan syarat maupun disandarkan pada masa yang akan datang. Rahn dalam konsepnya menyerupai jual-beli. Jika dalam praktiknya masih disertai syarat atau disandarkan pada masa yang akan datang, maka rahn dinyatakan tidak sah sebagaimana jual-beli. Akan tetapi jika syarat yang diajukan ternyata menyalahi syariah, maka yang tidak sah hanya sebatas syaratnya saja, sedangkan hukum rahn tetap sah. Akan tetapi, menurut Alauddin al-Kasani –salah satu ulama Hanafiah—syarat dan rahn-nya sama-sama tidak sah.
Para ulama selain Hanafiah mempunyai pandangan lain. Syarat dalam rahn diklasifikasi menjadi tiga bagian menurut Syafiiah: syarat benar, syarat salah, dan syarat yang dapat merusak akad. Dari tiga syarat tersebut hanya terakhir yang mampu membatalkan praktik rahn. Mengenai syarat ini, Malikiah dah Hanabilah mempunyai pandangan lain. Bagi mereka syarat dalam praktik rahn hanya ada dua macam: syarat benar dan syarat rusak.
Ketiga, syarat marhûn (barang jaminan). Ulama Hanafiah berpandangan marhûn harus berupa benda yang dapat diperjualbelikan, bermanfaat, bernilai, diketahui, dimiliki rahin secara penuh, tidak sedang digunakan râhin, tidak berkumpul dengan harta lain atau harta orang lain. Menurut jumhur fukaha, kecuali Malikiah, tidak sah menggadaikan manfaat suatu barang.
Keempat, syarat marhûn bih. Syarat marhûn bih menurut ulama Hanafiah adalah berupa hak yang harus diserahkan, penyerahannya layak sebagai timbal balik dari marhûn, dan ma’lum atau diketahui kedua belah pihak. Sedangkan menurut kalangan Syafiiah dan Hanabilah, marhûn bih harus bersifat konstan (tsabit), mengikat (lazim) atau mengarah ke sana, diketahui jumlah dan sifatnya oleh kedua belah pihak.  
2.4. Benda yang Timbul dari Barang Jaminan
Di dalam mekanisme rahn, terdapat beberapa ketentuan berkaitan dengan pemanfaatan marhûn, batas kewenangan râhin sekaligus murtahin, biaya perawatan dan beberapa benda yang timbul darinya. Para ulama sepakat berkenaan dengan benda lain yang yang menyatu secara langsung (az-ziyâdah al-muttashilah) dengan marhûn statusnya dianggap sebagaimana marhûn itu sendiri. Akan tetapi perbedaan ulama itu terjadi ketika benda yang ada menyatu tidak secara langsung dengan marhûn (az-ziyâdah al-munfashilah).
Menurut kalangan Syafiiah, benda lain yang menyatu secara tidak langsung dengan marhûn, semisal buah, anak hewan, susu dan sejenisnya, secara otomatis ikut serta menjadi marhûn, kecuali sesuatu yang dianggap ganti dari manfaat, semisal upah, sedekah atau hibah. Sedangkan kalangan Malikiah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar dari marhûn, semisal anak, secara otomatis statusnya menjadi marhûn. Berbeda dengan susu, bulu domba atau buah-buahan statusnya tidak menjadi marhûn.
Dalam persoalan ini pendapat Hanabilah lebih general. Menurutnya, apapun benda yang secara tidak langsung timbul dari marhûn otomatis statusnya menjadi marhûn. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara anak dengan induknya, dan seterusnya..[8]
2.5. Memanfaatkan Barang Gadai
Selain persoalan di atas, ulama juga berbeda pandangan mengenai pemanfaatan marhûn oleh râhin. Terdapat dua pendapat mengenai persoalan ini, antara Syafiiah dan mayoritass ulama. Pemanfaatan barang jaminan oleh râhin diperbolehkan menurut ulama Syafiiah selama tidak mengakibatkan kerusakan. Menurut mayoritas ulama, pemanfaatan ini tidak diperbolehkan. Menurut Hanafiah dan Hanabilah pemanfaatan diperbolehkan selama mendapatkan izin dari pihak murtahin. Sedangkan enurut Malikiah pihak râhin sama sekali tidak diperkenankan memanfaatkan. Jika ternyata râhin memanfaatkan barang jaminannya, maka konsekuensinya rahn menjadi batal.
Berdasarkan pendapat jumhur, pihak murtahin tidak diperkenankan memanfaatkan marhûn. Pemanfaatan itu boleh dilakukan terbatas jumlah kebutuhan perawatannya ketika pihak râhin enggan menanggungnya. Hanabilah mempunyai pendapat berbeda. Menurutnya, pihak râhin dapat memanfaatkan benda jaminan, selama jaminan yang ada berupa hewan, bukan yang lain. Durasi pemanfaatannya juga harus sebatas jumlah kebutuhan perawatan barang jaminan. Untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh karya Dr. Wahbah Zuhaily. [9]
2.6. Berakhirnya Perjanjian
Rahn dapat dikatakan selesai ketika marhûn telah diserahkannya kepada pemiliknya, utang dinyatakan lunas, marhûn dijual sesuai intruksi yang berwenang, marhûn dijual atas iniatif râhin yang disepakati murtahin, pembebasan tanggung jawab pembayaran utang entah menggunakan metode hawalah maupun lainnya, pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh murtahin meskipun tidak disepakati râhin. Pembatalan secara sepihak ini dinyatakan sah karena perjanjian rahn adalah hak murtahin. Murtahin tidak ada keharusan untuk menerima (ghaira lâzim), ia mempunyai hak menerima atau menolak (jâiz).[10]
2.7. Penjualan Barang Jaminan
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 terkait penjualan barang jaminan dalam praktik rahn adalah sebagai berikut: a) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan râhin untuk segera melunasi utangnya; b) Apabila râhin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhûn dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah; c) Hasil penjualan Marhûn digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan; d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik râhin dan kekurangannya menjadi kewajiban râhin.
2.8. Jenis-Jenis Gadai
Dalam Al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah, Wahbah Zuhaily menjelaskan gadai ada dua macam: Rahn Hiyazy dan Rahn Ta`miny/Rasmy. Rahn Hiyazy merupakan praktik gadai yang telah dikenal banyak orang dari dulu hingga sekarang. Dalam prosedur pelaksanaannya, marhûn berada dalam kekuasaan murtahin.  Berbeda dengan Rahn Ta`miny/Rasmy, dimana pihak murtahin hanya  mempunyai kewenangan memegang surat bukti kepemilikan saja –semisal BPKB, sedangkan marhûn tetap berada di tangan rahin.[11] Praktik gadai semacam ini jamak terjadi di berbagai tempat pada periode sekarang. Dari dua model gadai di atas, hanya Rahn Ta`miny/Rasmy yang menyisakan pertanyaan terkait kebolehannya.
Dalam memberi pandangan hukum terkait Rahn Ta`miny/Rasmy, ulama kontemporer terjadi perbedaan. Dr. Hassan Wahdan mengatakan bahwa rahn dalam bentuk ini bertentangan dengan syariah karena pihak murtahin tidak menerima marhûn. Menurutnya, bentuk transaksi semacam ini telah terkontaminasi produk transaksi Barat. Akan tetapi, pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama. Mereka mengatakan bahwa penerimaan (qabd) pihak murtahin atas marhûn tidak terbilang rukun menurut pendapat sebagian ulama. Lagipula pemindahan kepemilikan melalui penyerahan surat bukti kepemilikan juga dapat masuk kategori qabd.[12]
2.9. Perbandingan
Pada prinsipnya, ada aspek pembeda antara gadai syariah dengan gadai konvensional. Berikut ini beberapa di antaranya:
a.       Pegadaian syariah sistem operasionalnya menggunakan metode fee based income dan mudhârabah, tergantung tujuan pihak râhin dalam mengalokasikan dananya. Karena masing-masing râhin mempunyai tujuan bermacam-macam, tergantung kebutuhannya, semisal pembiayaan pendidikan, tambah modal dan lain-lain. Fee based income lebih diutamakan daripada mudhârabah.
b.      Pegadaian konvensional hanya melakukan satu perjanjian, yaitu utang-piutang, sedangkan status barang jaminan bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian utang-piutang. Berbeda dengan pegadaian syariah, yang mana barang jaminan mutlak disyaratkan guna penarikan jasa simpanan.
c.       Dana yang salurkan pegadaian syariah kepada nasabah (râhin) tidak ada unsur riba, karena biaya berasal dari dana pribadi atau menjadikan Bank Muamalat sebagai fundernya, sementara sumber pegadaian konvensional dari bunga para râhin.
d.      Dalam pegadaian konvensional sangat menekankan bunga berdasarkan jumlah pinjaman, berlipat ganda, serta berakumulasi, sedangkan dalam pegadaian syariah tidak mengenal riba. Di sana menggunakan prosedur jasa penyewaan.[13]

BAB: III
PENUTUP
Hadirnya pegadaian syariah di Indonesia sebagai lembaga keuangan formal yang bertugas menyalurkan pembiayaan dalam bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu diapresiasi. Secara praktis, gadai syariah masih ditemui berbagai unsur yang berindikasi menabrak prinsip-prinsip syariah, semisal adanya unsur riba, perjudian (spekulasi), dan seterusnya. Untuk mencapai pegadaian syariah yang sempurna, tentu dibutuhkan pembenahan di mana-mana. Pada akhirnya penulis mengakui, tulisan ini hanya mengupas sedikit tentang sekian banyak persoalan dalam praktik gadai. Pada dasarnya, masih banyak persoalan penting untuk dikemukakan dan dirumuskan. Tapi karena keterbatasan penulis, semua itu tidak dapat terlaksana. Wallâhu a’lam.


* Dipresentasikan dalam kajian dwi mingguan FAS (Forum Alumni Sarang) Mesir, pada hari Jum’at, 9 Maret 2013.
** Salah satu mahasiswa Al-Azhar University, Faculty of Islamic Jurisprudence and Law.
[1] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, vol. 6 (cet. 4; Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.), h. 4207.
[2] Abdurrahman bin Muhammad ‘Audh Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, vol. II (Maktabah Syamilah) h. 212; Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah (cet. 1; Damaskus: Dar al-Fikr, th. 2011), h. 82; Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiyata Qalyûby wa Umairah, vol. 2 (t.c.; Dar at-Taufiqiyyah at-Turats, th. 2010), h. 429.
[3] Terdapat banyak redaksi perihal definisi rahn dalam perspektif syariah. Akan tetapi, masing-masing definisi tidak terlalu jauh perbedaannya sehingga tidak terlalu banyak mempengaruhi substansi dari rahn itu sendiri. Lihat, Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, loc. cit.
[4] Ibit., h. 4209.
[5] Hadis diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa`i dan Ibnu Majah.
[6] Ibnu Qudamah, Al-Mughny fî Fiqh al-Imâm Ahmad ibn Hambal al-Syaibâni, vol. 4 (cet. 1; Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 397.
[7] Rukun dan syarat ini secara terperinci dijelaskan oleh, Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, op. cit., h. 4212- 4236.
[8] Wizarat al-Auqaf wa al-Syu`un al-Islamiyyah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, vol. 23  (t.c.; Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, th. 2008), h. 183.
[9] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, op. cit., h. 4287-4289.
[10] Prof. Dr. Wahbah Zuhaily, Al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah, op. cit., h. 87.
[11] Ibit., h. 88.
[12] Markaz ad-Dirasat al-Fiqhiyyah al-Iqtishadiyyah, Mausû’ah Fatâwy al-Mu’âmalât al-Mâliyyah, vol. 13 (t.c.; Kairo: Dar as-Salam, t.t.), h. 352.
[13] Prof. Dr. Abdul Ghafur Anshori, S.H., M.H., Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiyaan (cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, th. 2008), h. 58.

Share this article :
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger