GANTI FONT BLOG INI!

Telaah Hadis Sahih

Telaah Hadis Sahih
Oleh: M. Nurul Ahsan
I.              Pendahuluan

1.1.      Latar Belakang
Telah jamak diketahui bahwa hadis menjadi sumber primer kedua dalam Islam setelah Alquran. Secara faktual, studi hadis tidak sepopuler studi Alquran. Minat studi hadis relatif lebih rendah dibanding dengan Alquran hingga akhirnya membawa dampak pada studi hadis yang tidak pernah tuntas dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Satu sisi, fenomena seperti ini sangat menguntungkan bagi kaum muslimin dalam membarikan konstribusi khazanah keislaman, akan tetapi pada sisi lain justru membawa dampak signifikan terjadinya konflik internal umat Islam di berbagai kesempatan.
Interval yang cukup panjang antara kodifikasi hadis dengan masa wafatnya nabi berpotensi pada masuknya unsur luar hingga mempengaruhi otentisitas hadis ketika dibukukan. Ulama hadis menetapkan persyaratan relatif ketat dan selektif agar supaya kekhawatiran itu tidak pernah terjadi. Banyak sumber menceritakan, nabi melarang sahabat mencatat hadis kecuali hanya ayat-ayat Alquran semasa hidupnya. Nabi mengancam bagi siapa saja yang berani berbohong atas nama dirinya secara sengaja niscaya tempatnya adalah neraka.[1] Larangan ini terbukti efektif hingga mengakibatkan dinamika studi hadis relatif lebih rendah dibanding studi Alquran.

Alasan larangan nabi terhadap sahabat dalam menuliskan hadis–oleh banyak ulama—diklaim sebagai bentuk kekhawatiran terjadinya bias antara Alquran dan hadis.[2] Nabi bertindak antisipatif bahwa Alquran yang kala itu dicatat oleh sebagian sahabat tidak boleh terkontaminasi oleh catatan lain. Prilaku maupun perkataan nabi praktis hanya diperkenankan sebagai objek cerita verbal, bukan tulisan. Sebagai pemegang otoritas, sudah barang tentu larangan ini dipatuhi oleh sahabat meskipun di akhir-akhir hayatnya ada riwayat nabi memberikan intruksi penulisan. Fakta sejarah ini secara eksplisit terekam dalam hadis yang diriwayatkan dari beberapa sumber.[3]
1.2.      Ruang Lingkup
Dalam disiplin ilmu hadis terdapat beberapa terminologi salah satunya hadis sahih. Dalam memberikan predikat sahih sebuah hadis harus diuji terlebih dahulu melalui mekanisme bertahap yang telah ditentukan oleh ulama pakar hadis. Titik berat yang menjadi objek penelitian secara general terletak pada aspek kualitas sanadnya, bukan matan atau redaksinya. Manakala validitas hadis telah ditetapkan konsekuensi logis bagi masyarakat muslim adalah mematuhinya tanpa harus menggugat bagaimana bentuk redaksi. Hal ini sesuai anggapan sebagian ulama bahwa segala sesuatu yang muncul dari nabi adalah wahyu yang harus ditaati.[4]

Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi hadis sahih dan hal-hal yang berkaitan dengannya perspektif ulama melalui disiplin ilmu hadis. Metode penulisannya menggunakan standard penalaran ulama klasik yang hampir disepakati seluruh umat Islam sembari sedikit menampilkan buah pemikiran tokoh kontroversial umat Islam, Muhammad Syahrur dan Muhammad Albani. Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk menyampaikan sebuah pesan bahwa  selain tokoh klasik populer masih ada tokoh modern yang berusaha merekontruksi tatanan ilmu hadis.

II.           Pembahasan

2.1.      Definisi

Ulama terjadi perbedaan dalam mendefinisikan hadis dan sunah. Al-Hadîst secara etimologi adalah nama dari at-tahdîst yang berarti al-ikhbâr atau pengabaran. Kemudian redaksi itu digunakan dalam sebuah terminologi disiplin ilmu hadis sebagai ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang dihubungkan dengan Nabi Muhammad Saw.[5] Sedangkan as-sunnah dipandang secara etimologi adalah jalan (ath-tharîqah), kemudian kata itu digeneralisir untuk jalan yang ditempuh nabi semasa hidupnya. Jika arti dari redaksi al-hadîst secara etimologi lebih luas menyangkut perkataan, prilaku serta ketetapan, maka arti as-sunnah terbatas pada ruang tertentu, yaitu perbuatan nabi.[6] Meskipun demikian di beberapa negara kedua terminologi itu cenderung tidak dibedakan. Bahkan Wahbah Zuhaili menggunakan definisi hadis di atas ketika  mendefinisikan sunah. Menurutnya al-khabar merupakan bentuk sinonim dari al-hadîst, yang keberadaannya terbatas pada ucapan dan dapat timbul dari nabi, sahabat dan lain-lain.[7]

Dalam mendefinisikan hadis sahih ulama tidak terjadi perbedaan signifikan. Perbedaan yang terjadi di antara mereka hanya pada persoalan persyaratan yang ditawarkan dan barometer yang digunakan untuk menentukan kriteria.[8] Hadis sahih adalah hadis yang rangkaian sanadnya tersambung awal hingga akhir dari orang yang jujur (âdil) serta cakap (dhâbith) tanpa ada indikasi keanehan (syudzûdz) maupun kecacatan (‘illah).[9] Jika salah satu dari perawi terbukti keluar dari kriteria di atas maka secara otomatis sebuah hadis dikatakan tidak sahih.

2.2.      Klasifikasi Hadis

Dalam tradisi ilmu hadis, klasifikasi hadis dari aspek peringkatnya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu sahih, hasan dan dhaif. Klasifikasi ini ditinjau secara historis muncul pada pertengahan abad ke tiga yang dicetuskan pertama kali oleh Abu Isa at-Tirmidzi. Sebelumnya belum pernah ditemukan klasifikasi ini.
Perkembangan hadis pada awal abad ke tiga hanya mengenal terminologi maqbûl (diterima) dan mardûd (ditolak) atau hadis sahih dan dhaif. Artinya, sebuah hadis yang telah mampu memenuhi persyaratan maka hadis tersebut dikatakan sahih/maqbûl, sedangkan yang tidak memenuhi persyaratan dianggap dhaif/mardûd.[10] Akan tetapi, seperti yang dikatakan Suyuthi, tetap ada yang beranggapan bahwa hadis terbagi menjadi dua: sahih dan dhaif, sedangkan hadis hasan masuk kategori sahih.[11]
Selain klasifikasi di atas, ulama juga melakukan kategorisasi berdasarkan sifatnya: 1) Musnad, 2) Marfû’, 3) Mauqûf, 4) Maqtû’, 5) Muttashil, 6) Mursal, 7) Munqathi’, 8) Mu’adhdhal, 9) Mudallas.[12] Dilihat dari sanadnya di sana juga ada kategori mutawâtir dan âhâd,[13] akan tetapi kategori-kategori ini tidak akan dijelaskan dalam kesempatan kali ini.

2.3.      Mengenal Karya Hadis Sahih

Menyentuh dimensi ruang kajian salah satu sumber hukum Islam kedua, yakni hadis atau sunah, dipandang sebagai keniscayaan intelektual di tengah berkembangnya zaman dengan segala problematikanya paska wafatnya nabi. Upaya ulama mempersembahkan sebuah kodifikasi hadis atau sunah sebagai solusi bagi umat Islam menghasilkan banyak karya yang yang tak terhitung jumlahnya yang beberapa di antaranya telah diakui validitasnya. Sudah barang tentu karya-karya itu memberikan nuansa baru bagi khazanah keilmuan Islam yang dalam eksistensinya dituntut selalu mampu berinteraksi dengan perkembangan zaman.

Karya besar yang muncul dari sejumlah ulama dalam upaya melakukan kodifikasi hadis tidak terhitung jumlahnya. Pertama, Sahih Bukhari karya dari ulama besar Imam Muhammad bin Ismail  bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi, Abu Abdillah al-Bukhari, memuat 7075 hadis. Kedua, Sahih Muslim yang disusun oleh Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi yang memuat 8000 atau 12000 hadis sahih.[14] Keduanya dianggap karya paling monumental sepanjang sejarah dan dianggap buku paling ‘suci’ setelah Alquran.

Anggapan itu mengemuka lantaran keduanya secara murni memuat hadis sahih dengan persyaratan ketat sedangkan karya-karya sebelumnya memuat berbagai kategori hadis. Banyak yang mengulas tentang mana yang lebih sahih antara Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, sebagian besar dari mereka mengatakan Bukhari lebih sahih. Pilihan ini didasarkan pada beberapa alasan salah satunya tingkat persyaratkan yang digunakan Bukhari lebih ketat daripada Muslim. Anggapan Imam Syafii terkait karya paling sahih setelah Alquran adalah Al-Muwatha’ lantaran pada periode Syafii Sahih Bukhari dan Sahih Muslim belum ada.[15]

Ketiga, Jami’u at-Tirmidzi karya dari Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahhak as-Sulami, ad-Dharir al-Bughhi, at-Turmudzi. Keempat, Sunan Abi Dawud karya dari Sulaiman bin al-Asy’ab bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin Amr bin Imran al-Azdi as-Sijistani, memuat 500.000 hadis. Kelima, Sunan an-Nasa`i yang diberi nama Al-Mujtaba atau Al-Mujtana, karya Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar, Abu Abdirrahman an-Nasa’i. Keenam, Sunan Ibn Majjah karya Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majjah.[16]

Keenam karya ini dikenal dengan sebutan ash-Shahhah as-Sittah (enam kitab sahih) di kalangan ulama India meskipun mereka mengetahui bahwa empat karya yang terakhir bukan hanya memuat hadis sahih tapi juga memasukkan hadis dhaif. Penamaan ini hanya persoalan generalisasi (min bab at-tahghlib) dari fakta persentase hadis sahih jauh lebih besar dibanding hadis dhaif.[17] Selain itu ada beberapa karya lagi yang dianggap sebagai kodifikasi hadis sahih semisal Sunan Ibnu Khuzaimah, ad-Dar Qurthni, al-Hakim, al-Baihaqi dan lain-lain, akan tetapi tingkat persyaratan dalam menentukan hadis-hadisnya tidak seketat Bukhari dan Muslim.[18]

2.4.      Persyaratan

Di atas telah sedikit menyinggung kriteria yang ditentukan ulama dalam menganalisis sebuah hadis. Kriteria itu ada yang ketat, ada juga yang longgar dan bahkan ada yang mengatakan terlalu mudah. Dalam hal ini kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim terbilang paling ketat dibanding ulama lain. Bagi Bukhari ada tiga syarat yang harus dipenuhi sebuah hadis dapat dikatakan sahih.[19] Pertama, syarat sah secara umum, yaitu rawi yang terpercaya, sambung sanadnya, bebas dari keanehan dan kecacatan. Syarat pertama ini dimiliki semua ulama pakar hadis seperti Muslim dan lain-lain. Akan tetapi dua syarat berikutnya hanya dimiliki oleh Bukhari. Kedua, kualitas rijâl (perawi) mulai dari kecakapan serta intensitas interaksi terhadap gurunya. Syarat ini tidak didapat pada pakar hadis lainnya sehingga sudah sepantasnya karya yang dihasilkan Bukhari menempati urutan pertama tingkat kesahihannya.

Imam al-Hazimi menjelaskan lapisan rawi perspektif Bukhari: a) orang yang mempunyai kecakapan dalam meriwayatkan serta interaksi dengan gurunya sangat intensif; b) orang yang mempunyai kecakapan dalam meriwayatkan hadis namun tidak intensif berinteraksi dengan gurunya; c) orang yang banyak berinteraksi dengan gurunya akan tetapi tidak mempunyai kecakapan. Rawi seperti ini dalam periwayatannya ada dua kemungkinan, antara diterima dan ditolak; d) orang yang tidak tidak intensif berinteraksi dengan seorang guru dan juga tidak mempunyai kecakapan; e) orang lemah dan bodoh.
Ketiga, rangkaian sanadnya mu’an’an, menggunakan redaksi ‘an (dari). Ini juga salah satu alasan mengapan karya Bukhari menjadi karya tersahih lantaran hadis dengan sanad mu’an’an telah disepakati mayoritas ulama harus tersambung sanadnya secara kontinu menggunakan redaksi ‘an dan juga perawinya diharuskan tidak mudallis (menipu/mengaburkan).

Syarat Imam Muslim secara general mempunyai kesamaan dengan Imam Bukhari. Pertama, syarat sah secara umum; kedua, kualitas rawi, dan; ketiga, rangkaian sanadnya mu’an’an. Perbedaannya adalah Bukhari mensyaratkan seorang rawi mempunyai internsitas interaksi antara rawi dengan gurunya sedangkan Muslim tidak demikian.[20] Yang jelas hampir semua ulama sepakat bahwa syarat Bukhari dan Muslim merupakan syarat terkuat dalam menentukan kesahihan hadis.

2.5.      Kritikus Hadis

Beberapa dekade terakhir dinamika keilmuan hadis dikagetkan oleh kehadiran sosok fenomenal Muhammad Nashiruddin al-Albani, yaitu seorang pakar hadis kelahiran Albania yang bernyali melakukan kritik terhadap hadis-hadis sahih. Pada dasarnya Albani bukan orang pertama yang berani melakukan kritik terhadap karya tokoh-tokoh klasik semisal Bukhari dan Muslim. Dalam Tadrîb ar-Râwi karya Imam Suyuthi menjelaskan tentang adanya rijâl lemah yang teridentifikasi pada Sahih Bukhari dan Muslim. Dari 453 rijâl dalam Sahih Bukhari terdapat 80 rijâl dinilai lemah sedangkan dari 620 rijâl dalam Sahih Muslim terdapat 160 rijâl dinilai lemah.[21]

Kritik hadis juga dilakukan oleh Muhammad Syahrur, hanya saja kritik yang dilakukan oleh tokoh kontroversial kelahiran Suriah ini dari aspek metodologisnya. Ia membedakan dua sunah, yaitu Sunnah an-Nubuwwah yang berkaitan dengan keyakinan dan merupakan objek keagamaan, sementara Sunnah ar-Risâlah menyangkut hukum-hukum dan merupakan objek kepatuhan. Model ketaan pertama berlaku bagi sunah yang berisi tentang tradisi kebiasaan nabi sehari-hari ketika masih hidup sedangkan model ketaan kedua adalah ketaan abadi yang berlaku bagi semua perintah nabi yang berkaitan dengan hukum, ibadah dan akhlak.[22] Dari sini dapat dipahami bahwa predikat sahih yang telah ditentukan ulama klasik melalui tradisi ilmu hadis dalam persoalan tertentu sifatnya sudah tidak lagi mengikat hukumnya.

III.         Penutup
3.1.      Kesimpulan

Dalam konteks keilmuan hadis seakan telah terjadi konsensus umat Islam bahwa posisi yang telah diraih Bukhari dan Muslim tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun dalam upaya memberikan penilaian sahih dan tidaknya sebuah hadis. Kajian dan telaan hadis terhenti pada kajian tekstual yang mengacu pada kitab-kitab hadis saja. Masyarakat muslim sebagaian besar terdiri dari kaum yang hanya merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka. Mereka menganggap final terhadap kitab-kitab hadis yang ada, sebagaimana finalnya Alquran.
Oleh beberapa pihak, kondisi statis semacam ini dianggap tidak menguntungkan bagi masa depan umat Islam. Terbukti secara psikologis umat Islam terlihat tidak siap manakala mereka mengetahui sebuah fenomena baru semisal Albani dengan pemikiran konservatifnya dan Syahrur dengan pemikiran liberalnya. Dua tokoh yang meyakini bahwa karya monumental ulama-ulama klasik semisal Bukhari dan Muslim masih layak dikritisi sejauh argumentasi yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan.

3.2.      Saran

Pertama, tak satupun dapat menunjukkan adanya disiplin keilmuan yang tidak berkembang.  Demikian juga disiplin ilmu hadis --sebuah disiplin keilmuan yang hanya dimiliki oleh Islam. Penilaian hadis masih belum mencapai kata final yang berarti generasi sekarang masih dapat berkonstribusi menganalisis sekaligus memberikan penilaian.[23] Jadi sudah selazimnya disiplin ini secara intensif dipelajari. Kedua, tidak ada gading yang tak retak. Berakhirnya tulisan ini berarti munculnya kekurangan-kekurangan sehingga saran dan kritik sangat diharapkan.[]

Daftar Pustaka

Dr. Nu’man Abdul al-Muta’al al-Qadhi, Al-Hadîst asy-Syarîf Riwâyatan wa Dirâyatan (t.c.; Mesir: Maktabah al-Usrah, Al-Hai`ah al-‘Ammah li al-Kitab, th. 2013 M.).
Dr. Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur`ân (cet. 1; Mesir: Sina li an-Nasyr wa al-Ahali, th. 1992 M.)
Dr. Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1 (cet. 19; Damaskus: Dar al-Fikr, th. 2011 M.)
Syabbir Ahmad al-Utsmani al-Hindi, Mabâdi`u Ilmi al-Hadîst wa Ushûluh (cet. 4; Lebonan: Dar al-Basya`ir al-Islamiah, th. 2011 M.)
Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, vol. 1 (t.c.; Kairo: Al-Maktabah at-Taufiqiah, t.t.)
Abi al-Ula Muhammad Abdirrahman al-Mubarakfuri, Fawâid fî Ulûmi al-Hadîst wa Kutubihi wa Ahlihi (cet. 1; Riyad: Maktabah Dar al-Minhaj, th. 1431 H.)
Dr. Ali Naif Baqa’i, Manâhij al-Muhaddistîn al-‘Ammah wa al-Khashshah (cet. 3; Bairut: Dar al-Basya`ir al-Islamiah, th. 1432 H./2012 M.)


* Dipresentasikan pada diskusi reguler FAS Mesir, 22 Februari 2014.
**Mahasiswa tingkat akhir di Universitas Al-Azhar, Kairo, Fakultas Syariah wa al-Qanun.
[1] Telah terjadi perdebatan panjang terkait pembukuan hadis periode nabi. Sebagian ulama mengatakan pembukuan tidak pernah terjadi kala itu dan sebagian lain menentangnya. Masing-masing mengemukakan argumentasi hadis sebagai bahan legalitasnya yang diambil dari berbagai sumber. Bagi penulis, pembukuan dan penulisan merupakan dua terminologi yang berbeda. Lihat, Dr. Nu’man Abdul al-Muta’al al-Qadhi, Al-Hadîst asy-Syarîf Riwâyatan wa Dirâyatan (t.c.; Mesir: Maktabah al-Usrah, Al-Hai`ah al-‘Ammah li al-Kitab, th. 2013 M.), h. 17.
[2] Pendapat ini ditolak oleh Syahrur. Menurutnya, nabi adalah orang pertama yang mengetahui jaminan akan tetap terpeliharanya kemurnian Alquran sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Hijr: 9, sehingga sudah semestinya jaminan tersebut cukup menjauhkan diri dari khawatiran semacam itu. Dapat dikatakan bahwa tidak ada perintah pengumpulan hadis memang tidak perlu terjadi lantaran yang dikehendaki dengan kata ‘sunnah’ dalam hadis tersebut bukanlah redaksi perkataan nabi. Lihat, Dr. Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur`ân (cet. 1; Mesir: Sina li an-Nasyr wa al-Ahali, th. 1992 M.), h. 546-547.
[3] Dr. Nu’man abdul al-Muta’al al-Qadhi, loc. cit.
[4] Syahrur tidak sependapat dengan sebagian ulama hadis yang mempercayai bahwa semua yang muncul dari nabi adalah wahyu berdasarkan pada QS. An-Najm (53): 3-4. Pendapat tersebut menurutnya memiliki dua kesalahan metodologis. Pertama, kata ganti (dhamîr) huwa dalam ayat tersebut tidak kembali pada Muhammad, melainkan pada al-Kitab yang berhubungan dengan kata yantiqu merujuk pada nabi. Kedua, dilihat dari sabab an-nuzûl-nya, ayat ini turun di Makkah berkaitan dengan sebuah peristiwa ketika orang-orang Arab ragu akan kebenaran wahyu (Alquran), bukan meragukan perkataan atau perbuatan nabi. Lihat, Dr. Muhammad Syahrur, op. cit., h. 545.
[5] Menurut penalaran syahrur, atas dasar bahwa tindakan dan segala keputusan nabi Saw. bukan wahyu maka Islam yang dicerminkan nabi dalam aspek di luar yang asli (Alquran) hanyalah salah satu alternatif interaksi Islam, yaitu Islam yang terbentuk sesuai dengan abad ke-7, bukan satu-satunya bentuk final dari Islam. Kemudian ia mendefinisikan sunah sebagai metode (manhaj) untuk menerapkan ketentuan hukum umm al-Kitâb secara mudah tanpa keluar dari batas-batas (hudûd) yang ditetapkan Allah, atau meletakkan batas-batas tradisi periode tertentu sembari memperhatikan realitas. Lihat, Ibid., h. 545-546.
[6] Dr. Nu’man abdul al-Muta’al al-Qadhi, op. cit., h. 79;
[7] Dr. Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1 (cet. 19; Damaskus: Dar al-Fikr, th. 2011 M.), h. 431.
[8] Syabbir Ahmad al-Utsmani al-Hindi, Mabâdi`u Ilmi al-Hadîst wa Ushûluh (cet. 4; Lebonan: Dar al-Basya`ir al-Islamiah, th. 2011 M.), h. 135.
[9] Ibid., h. 134; Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwî, vol. 1 (t.c.; Kairo: Al-Maktabah at-Taufiqiah, t.t.), h. 40.
[10] Dr. Nu’man abdul al-Muta’al al-Qadhi, op. cit., h. 121.
[11] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 39.
[12] Dr. Nu’man abdul al-Muta’al al-Qadhi, op. cit., h. 115-119.
[13] Syabbir Ahmad al-Utsmani al-Hindi, op. cit., h. 69.
[14] Abi al-Ula Muhammad Abdirrahman al-Mubarakfuri, Fawâid fî Ulûmi al-Hadîst wa Kutubihi wa Ahlihi (cet. 1; Riyad: Maktabah Dar al-Minhaj, th. 1431 H.), h. 366-380.
[15] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 60-63.
[16] Abi al-Ula Muhammad Abdirrahman al-Mubarakfuri, op. cit., h. 387-440.
[17] Ibid., h. 358.
[18] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 72-73.
[19] Dr. Ali Naif Baqa’i, Manâhij al-Muhaddistîn al-‘Ammah wa al-Khashshah (cet. 3; Bairut: Dar al-Basya`ir al-Islamiah, th. 1432 H./2012 M.), h. 92-95.
[20] Ibid., h. 97.
[21] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 63.
[22] Dr. Muhammad Syahrur, op. cit., h. 549-550.
[23] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., h. 103.
Share this article :
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger