GANTI FONT BLOG INI!

Hadis Syâdz yang Masih Belum Selesai

Hadis Syâdz yang Masih Belum Selesai*
Oleh: Muhammad Kholilullah**
I.          Pendahuluan

Bismillâhi al-rahmân al-rahîm.Segala pujian hanya milik Allah swt.dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan atas nabi Muhammad saw., keluarga serta sahabat.
Telah menjadi hal yang lumrah dan tidak perlu dipikir berulang kali, bahwa al-quran adalah sumber hukum umat islam yang utama dan pertama. Tapi bukan menjadi hal yang mustahil dan tidak bisa dipungkiri juga, bahwa memang benar diperlukan sumber hukum kedua untuk menjewantahkan dan menguraikan isi dari al-quran.Dibutuhkan sebuah wasilah entah itu berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan dari seseorang yang diberi keistimewaan.itulah hadis, sumber hukum kedua, sebagai pentafsir dan penjelas.Allah swt.berfirman:

يوصيكم الله في أولدكم للذكر مثل حظ الأنثيين فان كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك و ان كانت واحدة فلها النصف و لأبويه لكل واحد منهما السدس مما ترك ان كان له ولد فان لم يكن له ولد وورثه أبواه فلأمه الثلث (النساء : 11)

Secara zahir, ayat tersebut menunjukkan bahwa setiap orang tua berhak mewarisi harta sang anak, begitu juga sebaliknya. Hingga ada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa hukum waris tersebut bisa sah jika keduanya sama-sama beragama islam. Tetapi jika berbeda keyakinan diantara keduanya, maka sang anak tidak bisa mewarisi harta orang tua dan sebaliknya.

عن أسامة بن زيد قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم[1]

Tapi, tidak semua hadis bisa dijadikan hujjah dan sumber hukum.Karena ada beberapa syarat untuk hadis agar bisa diterima.Ada hadis shahîh dengan syaratnya yang ketat, diantaranya sanad yang harus bersambung, dinukilkan dari orang yang adil, tamâm al-dhabth, tidak adanya perselisihan, dan tidak mengandung ‘illah. Ada juga hadis hasan, yang syaratnya hampir sama dengan hadis shahîh, hanya saja berbeda dari segi kualitas rawi, yang tidak sampai tamâm al-dhabth. Kemudian hadis dho’îf, adapun sebab-sebab hadis dikatakan dho’îf adalah sebagai berikut:


           1.       Apabila hadis tersebut tidak ittishâl atau tidak sambung sanadnya

Ada tujuh hadis yang dho’îf sebab tidak sambung sanadnya, yaitu hadis mu’allaq, mursal, munqothi’, mu’adhdhol, mudallas, mu’an’an, dan mu`annan.

         2.         Hilangnya sifat adil dari seorang rawi hadis
Beberapa diantaranya adalah hadismaudhû’, matrûk,munkar, dhoîf karena tidak jelasnya status murû`ah dari rawi hadis, dhoîfkarena rawinya ahli bid’ah, hadis yang tidak diketahui keadaan dan keadilan rawinya.
         3.         Tidak adanya ketelitian dari rawi hadis
Apabila kekurangan tersebut disebabkan lantaran lupa, pikun, atau terlalu banyak kesalahan dari seorang rawi dalam meriwayatkan hadis, maka hadis tersebut dinamakan hadis matrûk.Dan apabila disebabkan karena keragu-raguan rawi dalam meriwayatkan hadis, maka dinamakan hadis mudhthorib.Kemudian ada juga selain kedua hadis tersebut yang dhoîf karena tidak adanya ketelitian rawi, yaitu hadis mudroj, hadis maqlûb, dan hadis mushahhaf.
Secara garis besar, kekurangan tersebut terletak pada terlalu banyaknya kesalahan,  kecerobohan yang disebabkan karena seringnya lupa, buruknya hafalan, pencampuran, keraguan-raguan seorang rawi dalam periwayatan hadis dan perbedaan periwayatan seorang rawi terhadap rawi lain yang terkenal tsiqoh.
         4.         Adanya perselisihan
Dari perselisihan tersebut muncul istilah hadis syâdz. Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi menyalahi atau berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh para rawi lain yang lebih tsiqoh.
         5.         Adanya ‘illah atau kecacatan
Kecacatan sebuah hadis merupakan satu sebab yang samar, yang dengan kecacatan tersebut bisa mempengaruhi kualitas hadis, meskipun secara zahir tidak ada celah atau cacat. Kecacatan itu ada kalanya terdapat di sanad ataupun matan hadis.[2]
Dari sini, penulis mencoba menguraikan hadis dho’îf karena adanya perselisihan antar rawi atau bisa dikatakan hadis syâdz.Sesuai dengan tema yang diangkat pada kesempatan kali ini.

II.        Pembahasan

2.1.     Definisi

Jika dilihat dari segi bahasa, syâdzmerupakanisim fâ’il dari lafadz (شذّ) yang berarti (انفرد عن الجمهور) menyendiri dari mayoritas golongan.[3]

Sedangkan secara istilah, para pakar ilmu hadis tidak ada yang mencapai kata sepakat dalam mengartikan hadissyâdzitu sendiri.Masih ada begitu banyak perbedaan dan kesamaran, sehingga diperlukan perincian dan analisa yang mendalam untuk mengartikan hadis tersebut.[4]Saling bantah dan mengkritisi menjadi hal yang biasa demi mengukuhkan pendapat masing-masing.Tapi itu bukan menjadi sebuah hal yang perlu dikhawatirkan, karena pada dasarnya mereka hanya ingin memperluas hasanah keilmuan.

Semisal Imam Syafi’i dan segolongan ulama hijâz, mereka berkata:

ما روى الثقة مخالفا لرواية الناس لا أن يروي ما لا يروي غيره

Hadis syâdzadalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqohberbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh para perawi lain.[5]

Kemudian Abu Ya’la al-Kholili dalam kitabnya al-Irsyâd, beliau mengartikan hadis syâdz sebagai hadis yang hanya mempunyai satu isnad,[6]dimana rawi yang meriwayatkan hadis tersebut menyalahi rawi lain, baik rawi itu tsiqah ataupun tidak.[7]

Tapi dari semua perbedaan antar ulama ahli hadis mengenai definisi hadis syâdz, tentu ada pendapat yang dijadikan dasar atau landasan dan lebih bisa diterima.Seperti yang ditulis oleh al-Khusu’iy Muhammad dalam Mausu’ah ulûm al-hadîts al-syarîf.Beliau mengklaim bahwa yang dituliskannya adalah qaul mu’tamad.Di dalam kitab tersebut, dituliskan bahwa hadis syâdz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tsiqoh atau terpercaya menyalahidengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi lain yang lebih utama, baik keutamaan itu mencakup tentang hafalan atau jumlah rijâl al-hadîtsnya.[8]

2.2.     Klasifikasi Hadis Syâdz

Hadis syâdz jika dilihat dari “tempatnya”, terbagi menjadi tiga bagian:
1.      Syâdz di bagian sanad
Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasa`i melalui Ibnu Uyainah

حدثنا ابن أبي عمر حدثنا سفيان عن عمرو ابن دينار عن عوسجة عن ابن عباس- رضي الله عنهما – أن رجلا مات على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم و لم يدع وارثا الا عبدا هو أعتقه فأعطاه النبي صلى الله عليه و سلم ميراثه

Menurut Ibnu Hajar al-Asqallani, hadis tersebut sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan lainnya, dan mereka mengikuti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah.Tetapi ada rawi lain yang menyalahi, yaitu Hammad bin Zaid. Beliau meriwayatkan hadis tersebut dari Amr bin Dinar dari Ausajah, tanpa menyebutkan Ibnu Abbas. Hammad bin Zaid merupakan rawi yang terkenal adil dan teliti, akan tetapi Abu Hatim lebih mengunggulkan hadis yang diriwayatkan Ibnu Uyainah, karena rijâl al-hadîts-nya lebih banyak.

2.      Syâdz di bagian matan

حدثنا بشر بن معاذ العقدي حدثنا عبد الواحد بن زياد حدثنا الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم اذا صلى أحدكم ركعتي الفجر فليضطجع على يمينه

Menurut Imam Suyuthi, al-Baihaqi pernah mengatakan bahwa dalam hadis tersebut Abdul Wahid menyalahi rawi lain dalam hal banyaknya rijâl al-hadîts. Kebanyakan rawi lain meriwayatkan hadis tersebut bukan berdasarkan perintah, melainkan perbuatan nabi.

Menanggapi hadis tersebut, Ibnu al-Qoyyim mencoba memberikan penjelasan yang didapat dari gurunya, Ibnu Taimiyyah.Beliau berpendapat bahwa hadis tersebut batal dan tidak benar.karena yang benar adalah hadis yang diriwayatkan berdasarkan perbuatan nabi, bukan perintah.

3.      Syâdz di bagian sanad dan juga matan

حدثنا أبو العباس محمد بن أحمد المحبوبي بمرو الثقة المأمون من أصل كتابه قال حدثنا أبو الحسن أحمد بن سيار قال ثنا محمد بن كثير العبدي قال ثنا سفيان الثورى قال حدثني أبو الزبير عن جابر بن عبد الله الأنصارى-رضي الله عنهما- قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم في صلاة الظهر يرفع يديه اذا كبر و اذا ركع و اذا رفع رأسه من الركوع

Menurut Abu Abdullah, hadis tersebut syâdz dibagian sanad dan juga matannya. Karena dalam hadis tersebut menyebutkan bahwa al-Tsauri meriwayatkannya dari Abu Zubair, yang seharusnya tidak demikian.Dari segi matan, tidak ada seorang rawi pun yang meriwayatkan hadis tersebut menyebutkan bahwa mengangkat kedua tangan dilakukan ketika shalat zuhur atau selainnya.
2.3.     Persamaan dan Perbedaan Hadits Syâdz dan Hadits Munkâr
Dalam prakteknya, persamaan dan perbedaan kedua hadis tersebut masih samar. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa kedua hadis tersebut mempunyai makna satu.Contohnya Imam Syafi’I dan Imam Tirmidzi, mereka lebih sering menggunakan istilah bahwa hadis ini hadis syâdz dan jarang sekali mengatakan bahwa hadis ini munkar. Berbeda halnya dengan apa yang sering dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal, beliau lebih senang menggunakan istilah hadis munkar ketimbang hadis syâdz.Karena pada dasarnya mereka menganggap bahwa jika ada kesalahan dalam hadis baik dari segi rawi ataupun al-wasîlah allatî istadalla bihâ ‘ala al-khathâ` entah itu berselisih ataupun sama sekali berbeda, maka hadis tersebut dinamakan hadis syâdz atau munkar. Secara mutlak.[9]
Tapi, menurut Ibnu Hajar al-Asqallani, hadissyâdz dan munkar mempunyai persamaan dan perbedaan.Kedua hadis tersebut mempunyai kesamaan dalam syaratnya, yaitu adanya perselisihan atau perbedaan antar rawi.Sedangkan perbedaan dari keduanya terletak pada kekuatan rawi yang berselisih.Jika rawi tersebut dho’îf, maka hadis tersebut dinamakan hadis munkar.Begitu juga sebaliknya, jika rawi yang berselisih merupakan rawi yang tsiqoh, maka hadis syâdz.
Penggolongan hadis ini terjadi karena adanya qayyid, dimana qoyyid  tersebut tidak diketahui sebelum jamannya Ibnu Hajar. Yang diketahui oleh ulama ahli hadis sebelum Ibnu Hajar adalahhadis syâdz dan munkar dipukul rata, keduanya sama tidak ada perbedaan. Hanya masalah penggunanaan istilah.[10]

III.       Penutup

Dalam pembahasan ilmu hadis, utamanya yang sedang penulis kemukakan, banyak sekali perdebatan hingga melahirkan sebuah perbedaan. Dimana perbedaan itu sungguh tidak ditujukan untuk kerusakan umat islam. Bahkan sebaliknya, perbedaan itu mendorong kita untuk ikut andil dalam menghidupkan kajian keislaman.Terbukti dengan munculnya ulama-ulama kontemporer yang lahir akibat perseteruan antar pendapat dikalangan ulama mutaqaddimîn. Mereka mampu menyimpulkan, menambahkan bahkan mengkritik dari apa yang selama ini menjadi argumen tak terbantahkan dan menjadi hal yang begitu tabu untuk dikoreksi. Hingga mampu dengan mudahnya kita hanya menganggukkan kepala dan berkata “kok gak kepikiran ya?”.Hanya saja diperlukan sikap yang santun dalam menanggapi perbedaan, bukan dengan cacian atau hujatan, melainkan dengan hujjah disertai dalil.Seperti yang dilakukan oleh Abu Mu’adz Thariq bin Iwadhillah bin Muhammad, beliau dalam kitabnya Syarhu Lughoh al-Muhaddits Manzhûmah fî ‘Ilmi Mushtholah al-Hadîts mengkritikpendapat Imam Syafi’I, Ibnu Hajar, Abu Ya’la al-Kholili, al-Hakim al-Naisaburi, bahkan Imam Suyuthi. Yang sudah barang tentu penulis tidak mampu untuk menguraikannya secara terperinci, karena keterbatasan kemampuan dalam kepenulisan dan penyampaian.Maka dari itu, penulis yang masih dan memang awamini mengharapkan adanya sumbangsih pemikiran, pendapat, gagasan, atau bahkan kritikan.

Karena, malu itu ketika mendapati tulisan :

و كان رضي الله عنه (يعني الشيخ علي الخواص) أميا لا يكتب و لا يقرأ مع ذلك يتكلم على معاني القرأن الكريم و السنة المطهرة كلاما يتعجب به العلماء

Sehingga yang ada di benak hanyalah “bagaimana mungkin?”.Wallâhu a’lam.

           






* Makalah dipresentasikan dalam diskusi dwi-mingguan FAS Mesir.
**Mahasiswa pemimpi dari Universitas al-Azhar fakultas ushuluddin yang ingin membuat cerita dengan orang-orang besar sebagai bagian dari tujuan hidup.
[1] Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Baghdadi, al-Kifâyah fî ‘Ilmi al-Riwâyah, Muassasah al-Risâlah Nâsyirûn, Damaskus, 2009, hlm. 22.  
[2] Umar Hasyim, Mausu’ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, Jumhûriyyah Misr al-Arabiyyah Wizâratu al-Auqâf al-Majlis al-A’lâ li al-Syu`ûn al-Islâmiyyah, Kairo, 2013, hlm. 60.
3 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Syarhu Alfiah al-Suyûthi fî Mushthalah al-Hadîts, Dâr Ibni al-Qayyim,Riyadh,2010, jilid 1, hlm. 322.
[4]Abu Amru Utsman bin Abdurrahman, Ulum al-Hadîts libni al-Shalâh, Dâr al-Fikr, Damaskus, 2013, hlm. 78.
[5]Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwîy fî Syarhi Taqrîb al-Nawâwîy, Maktabah Dâr al-Turâts,Kairo, 2005, hlm. 180.
[6] Menurut al-Badru bin Jamma’ah di kitabnya al-Manhal al-Rawîy dan al-Thibbiy, mereka berpendapat bahwa al-isnad dan al-sanad merupakan dua kalimat dengan satu makna هو الاخبار عن طريق المتن)).
[7]Abu Mu’adz Thariq bin Iwadhillah bin Muhammad, Syarhu Nuzhah al-Nazhar fî Taudhihi Nuhbati al-Fikr fî Mushthalahi Ahli al-Atsar, Dâr al-Ma`tsûr, Kairo, 2011, hlm. 162.
[8] Al-Khusyu’iy Muhammad, Mausu’ah ‘Ulûm al-Hadîts al-Syarîf, Jumhûriyyah Misr al-Arabiyyah Wizâratu al-Auqâf al-Majlis al-A’lâ li al-Syu`ûn al-Islâmiyyah, Kairo, 2013, hlm. 430.
[9]Abu Mu’adz Thariq bin Iwadhillah bin Muhammad, Syarhu Lughoh al-Muhaddits Manzhûmah fî ‘Ilmi Mushtholah al-Hadîts, hlm. 424-425.
[10]Abu Mu’adz Thariq bin Iwadhillah bin Muhammad, Syarhu Nuzhah al-Nazhar fî Taudhihi Nuhbati al-Fikr fî Mushthalahi Ahli al-Atsar, hlm. 139-144.
Share this article :
 
 
Support : Dimodifikasi oleh | masmuafi |
Copyright © 2013. MEDIA FAS MESIR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger